"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/25/2011

LANTURAN AKSARA ARDASUARA

Ardasuara artinya setengah suara atau semi vokal dan mempunyai dua fungsi, yaitu:
 
Sebagai aksara wianjana, umpama.
yasha daya ratu raka laki labha wayar bhata

   
Sebagai aksara suara, umpama.
jangkrik = jang - krik
kemplang = kem - plang
bangkiang = bangk - kiang
sampuak = sam - puak

Jadi arda suara ŗ pada wianjana k, l pada p, nania (ia) pada k, dan suku kembung (ua) pada p, adalah menjadi satu suku dengan wianjana tersebut. Sekarang yang menjadi persoalan bagi kita ialah bagaimana pasangnya kalau:
Kata itu mulai dengan: ya ra la wa mendapat pangater (awalan)
Kalau mendapat anusuara.
Kalau kata-kata itu kelihatannya hanya satu suku, terutama kata-kata yang berasal dari bahasa Kawi atau Sanskerta.
Keputusan-keputusan yang diambil pada Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963, untuk kata-kata tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Kata -kata mulai dengan ardasuara: ra la, pengaternya tidak boleh digantungi, misalnya
Tulisan Tidak boleh ditulis
kalintang klintang
saratuh sratuh
palinggih plinggih
karaton kraton

Kata-kata yang mulai dengan ardasuara ya dan wa maka sering kita jumpai perubahan suara a pada pengater menjadi i atau u karena pengaruh ardasuara ya dan wa yang mengikutinya, misalnya:
kata
+pangater
pengiring
menjadi lalu menjadi
yasha
ka
ang
kayasaang kyasayang
yakti
wi
  wiyakti wyakti
wangun
pa
  pawangun puangun
washa
ka
  kawasa kuasa

   
Ardasuara ya ra la wa anusuara nya semuanya ke ng. Untuk keperluan ini kita hanya tinggal merangkaikan saja (gantungan) misalnya:
raris - ngraris = ngraris
lalu - nglalu = nglalu
wayang- ngwayang = ngwayang
yakti - ngyaktiang = ngyaktiang

   
Mengenai kata-kata yang kelihatannya terdiri dari satu kata saja, akibat dari ardasuara:ya ra la wa terutama la dan ya dalam Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 masih terdapat dua pendapat yang sama-sama mempunyai alasan yang kuat yaitu:
Pendapat l:
Hampir 90% dari hadirin (terutama anak- anak muda), menghendaki agar kita mempunyai pegangan yang kuat terhadap kata-kata yang demikian, kita pakai saja pegangan hukum dua suku kata (pada kata dasar) sesuai dengan hukum bahasa Austronesia (Bahasa Indonesia, Bali termasuk rumpun bahasa tersebut), kalau sudah menjadi Bahasa Bali.
Dengan berpegangan kepada hukum dua suku kata (uger-uger kalih wanda), kita akan lepas dari pada kesukaran asal-usul bahasa di samping melihat kenyataan, bahwa pada umumnya kata-kata yang kita pergunakan (kruna lingga) kebanyakan terdiri dari dua suku kata. Bahkan dalam hukum Bahasa Indonesia dan Jawa kunapun berlaku hukum tersebut, yaitu yang satu jadi dua yang tiga jadi dua. Lihat contoh di bawah ini:
Asal kata Menjadi
tar detar
rak derak
lit alit
bang abang
Asal kata Menjadi
mas emas
cos kecos
sahaya saya
bahasa basa
Asal kata Menjadi
abagus bagus
amerta merta
beladbad bladbad
kawasa kuasa
dan lain sebagainya. Dengan demikian lalu disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa semua kata-kata yang bekasnya tertulis menjadi satu suku kata, setelah termasuk dalam kalimat Bali kena hukum dua suku kata, sebagai:siap sian muah suah biu nguah jela dan lain sebagainya dengan tanpa menghiraukan asal- usul kata. Hal ini juga menggampangkan dalam hal pengisian guru lagu (pasang jajar).

Pendapat II:
Pendapat yang lain menyatakan sebagai berikut:
Kata-kata dengan ardasuara yang berasal dari Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bali Kuna dan kemudian menjadi perbendaharaan Bahasa Bali, tetap ditulis menurut ejaannya sendiri, kendatipun lafalnya di Bali- kan, sebagai kata dwi lwa dan lain sebagainya.
Kesimpulan yang diberikan adalah sebagai berikut:
Jika dalam ucapannya kedengaran sebagai satu suku dengan wianjana di mukanya, kedudukannya berubah sebagai aksara suara, umpama:slur swah ngwah slaung tityang kudiang dan lain sebagainya.
Coba perhatikan kata-kata ini:
ngwah ditulis bergantungan,
sebab asalnya dari
wwah
kweh ditulis bergantungan,
sebab ada persamaan dengan
keh

dwi ditulis bergantungan,
agar ada perbedaan dengan kata
duwi
lwa ditulis bergantungan,
agar ada perbedaan dengan kata
lua
dan sebagainya.
Keterangan:
dwi = dua,
dui = duri,
lwa = lebar,
lua = luha, wanita

Jika diucapkan tidak menjadi satu suku kata dengan aksara di mukanya, tetap ditulis sebagai aksara wianjana, umpama:
suah lua duwe kuang siap liak sereh gereh
Coba perhatikan kata-kata di bawah ini:
Kata ada persamaan dengan
kuang kirang  kurang
luih lebih
muah miwah
duwe drewe
sereh sedah
gereh guruh
dan lain sebagainya.
Keterangan:
Pendapat no. Il (dua) terutama dipertahankan oleh almarhum Bapak Kt. Sukrata dan beliau berjanji akan membuat kamus kecil, khusus untuk kata-kata ini. Oleh karena mengingat kamus itu tidak ada sampai sekarang, maka untuk keseragaman kita pakai pendapat No. l (satu) saja, terutama di sekolah-sekolah rendah.

Dengan memakai pendapat No. l (satu) berarti kita juga telah memperkuat pasang- pasang yang telah ada, masuk ke dalam hukum dua suku kata, sebagai kata- kata
tabia biana kakia tiara prau blakas blungbang brengbeng brongbong
dan lain sebagainya.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar