"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

9/26/2011

FILOLOGI


 PENGERTIAN FILOLOGI

Secara etymologi Filologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata philos dan logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos berarti juga ilmu). Jadi filologi itu secara harfiah berarti cinta pada kata-kata. Itulah sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata. Kata-kata dipertimbangkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya dan sebagainya, sehingga jelas bentuk dan artinya. Pengertian filologi ini kemudian berkembang; dari pengertian cinta pada kata-kata menjadi cinta pada ilmu. Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya, tetapi juga ilmu yang menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah. Dari penelitian filologi, kita dapat mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra itu, seperti kepercayaan, adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa. Sejak sekitar abad ke-3 SM, istilah filologi sudah dipakai oleh para ahli di Aleksandria (Baried, 1983: 1-2). Dikatakan bahwa kegiatan mereka adalah berusaha mengkaji teks-teks lama yang berasal dari bahasa Yunani.
Pengkajian mereka terhadap teks-teks tersebut bertujuan menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Usaha mencari perbedaan bacaan yang terdapat di dalam teks (varian) akan diketahui adanya bacaan yang rusak (Korup). Jadi tugas filologi adalah untuk memurnikan teks dengan mengadakan kritik terhadap teks, dan tujuan kritik teks ialah menghasilkan suatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang-bidang ilmu lain.
Dari urain di atas dapat disimpulkan, bahwa Filologi merupakan penginterprestasikan kata-kata/teks- teks kuno dalam sebuah kitab atau catatan sejarah  sampai mengungkap tentang masalah kebudayaan dari awal abad ke -20 sampai sekarang yang digunakan khusus menelaah tentang naskah.



            2. Edisi Teks dan Kritik Teks dalam Filologi

            Edisi teks atau sering dikenal dengan istilah suntingan teks adalah (upaya) menyusun suatu teks secara utuh setelah dilakukan pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa. Pemurnian teks adalah upaya untuk menentukan salah satu teks yang akan dipakai sebagai dasar transliterasi naskah berdasarkan penelitian teks dengan suatu metode kritik teks. Metode kritik teks meliputi perbandingan naskah untuk mengelompokkan varian-varian yang ada dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema) (Christomy, 1988: 7; Mass: 1972). Jadi menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi, tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang seksama.
Sebelum mengarah ke inventarisasi naskah, seorang peneliti harus tau apa itu naskah. Naskah merupakan semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu. Batu yang mempunyai tulisan itu biasa disebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu disebut epigrafi.
Langkah awal dari suatu penelitian teks adalah menginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan terrealisasi pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi naskah dapat dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya memperoleh naskah kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke dalam katalogus naskah dapat juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui memiliki naskah tersebut..
            Pentransliterasian naskah yang tidak melalui suatu edisi kritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapat diragukan. Oleh sebab itu setiap kajian teks harus didahului oleh suatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya hanya sederhana, tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secara filologis masih terdapat kelemahan, misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya, dsb.
            Transliterasi naskah yang tanpa didahului penelitian yang seksama, meskipun naskah yang dipakai sebagai objek penelitian berupa naskah cetakan juga sering ada kelemahan. Kebiasaan ini sering dilakukan oleh mahasiswa S-1 dalam penulisan skripsinya. Di pihak lain ada contoh kasus yang perlu diperhatikan di sini ialah, bahwa Hikayat Indera Bangsawan, di Museum Pusat Jakarta terdapat 6 buah naskah, semua naskah sama isinya. Salah satunya pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ternyata beberapa waktu kemudian diketemukan koleksi v.d.W. 162 yang isinya lebih lengkap dari yang diterbitkan oleh Balai  Pustaka (Fang, 1991: 175). Di Singapura ada pengecapan naskah ini dengan batu tahun 1310 dan 1323 H atau 1890 dan 1862 M. di Aceh juga terdapat sadurannya dalam bahasa Aceh. Jika peneliti terus saja percaya kepada naaskah cetakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan terbitan di Singapura, maka kesahihan sumber datanya kurang sempurna. Itulah sebabnya edisi kritis itu amat perlu dilakukan.

           
3. Pengembangan Penelitian Filologi

            Dalam Pengembangan penelitian, filologi pernah dipandang sebagai studi sastra secara ilmiah. Arti ini muncul ketika teks-teks yang dikaji itu merupakan karya sastra yang bernilai tinggi karya”Humoros”. Keadaan tersebut membawa filologi kepada arti yang memperhatikan segi kesastraannya. Banyak filolog mempermasalahkan perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra, dan kajian bidang filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra. Karena kajian yang bersifat filologis dengan melalui suatu edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian yang lain dengan menggunakan metode literer. Hal itu dapat dipahami setelah diketahui terlebih dahulu mengenai ruang lingkup pengembangan penelitian filologi. Berikut dikemukakan ruang lingkup penelitian filologi dan pengembangannya dalam bentuk skema.

SKEMA EDISI TEKS DAN KAJIAN TEKS

1.
PENGANTAR EDISI TEKS                             
PENDAHULUAN
 Seperangkat unsur Pendahuluan yang lazim bagi suatu penelitian: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Landasan Teori, Tujuan Penelitian, dsb.
2.
INTI EDIT TEKS
DESKRIPSI NASKAH
-   Informasi: Inventarisasi Naskah,
-   Keadaan Naskah: Tulisan, Bentuk Huruf, Bahasa, Isi, dsb.
-   Sejarah Penurunan Naskah, dsb.
-   Transliterasi Naskah
3.
PELENGKAP EDISI TEKS

Penjelasan: Kandungan Teks
-   Daftar Kata Asing
-   Indeks
-   Terjemahan/Penafsiran
4.
KAJIAN TEKS
Metodologi:
-   Intrinsik
-   Ekstrinsik
-   Gabungan antara  Intrinsik-Ekstrinsik
5.
PENUTUP
Kesimpulan/Saran
-   Kepustakaan
-   Lampiran

            Unsur-unsur penelitian filologi yang paling penting adalah nomer 1) Pengantar Edisi Teks, 2) Inti Edit Teks , 3) Pelengkap Edisi Teks dan , 5) Penutup. Studi yang demikian ini sudah dianggap memenuhi persyaratan sebagai suatu edisi kritis. Unsur nomer 4) Kajian Teks merupakan bagian yang memungkinkan dikembangkannya penelitian filologi dengan berbagai disiplin ilmu terutama bidang kebahasasan dan kesusastraan. Jadi jika sumber data itu sudah merupakan hasil edisi kritis, pendekatan literer itu dapat diterapkan. Di sini terbuka kesempatan bagi para filolog untuk menerapkan seperangkat pendekatan sastra yang makin hari makin pesat perkembangannya. Dan di sini pula filolog dapat menerapkan suatu kajian yang relevan dengan arus perkembangan ilmu pengetahuan.
            Kajian terhadap teks terbuka kemungkinan untuk mempergunakan berbagai pendekatan literer, kebahasaaan, dan pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang dapat dipakai (disesuaikan dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) adalah pendekatan struktural, mimetik, pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional, intertekstual, semiotik, dekonstruktif, penafsiran, dsb. Dapat pula dilakukan dengan gabungan antara pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik bahasa Roman Jakobson, lapis-lapis makna Roman Ingarden, dan berbagai pendekatan semiotik. Dan pendekatan yang merupakan gabungan antara pendekatan literer dengan pendekatan multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi sastra, reseptif, feminisme atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus tentang pendekatan reseptif  (misalnya analisis reseptif terhadap kitab Undang-undang dapat dikomparasikan dengan ilmu hukum). Akhir-akhir ini banyak penulis yang menyukai pendekatan struktural, fungsional, reseptif, dan intertekstual; tetapi jarang yang menggunakan pendekatan yang lain sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini dapat memberi peluang bagi penulis-penulis lain untuk mengembangkan penelitiannya dengan variasi pendekatan yang praktis dan mutakhir. Dengan menggunakan pendekatan mutakhir dan relevan dengan masalah kekinian akan menempatkan filologi sesuai dengan arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga peranan filologi dapat dirasakan manfaatnya dalam kalangan yang lebih luas terutama di dunia ilmu pengetahuan.

           
Penutup

            Langkah pertama studi filologi adalah berupa edisi teks dan langkah berikutnya berupa kajian teks. Kajian teks membuka peluang diterapkannya berbagai teori ilmu pengetahuan guna memperluas cakrawala penelitiannya, sehingga studi filologi akan dirasakan manfaatnya secara lebih luas. Tampaknya hal ini cukup menjadi perhatian kita untuk mengantisipasi datangnya globalisasi dunia dewasa ini.


DAFTAR PUSTAKA






Weda Kusuma,  I Nyoman. 2010. Filologi. Denpasar: Cetakan untuk mata kuliah
Saidi, shaleh Drs. 1079. Pengantar Filologi Indonesia. Denpasar: Fakultas Sastra UNUD




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH
BIDANG ILMU PENDIDIKAN  BAHASA DAN SASTRA BALI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI BALI
2010

TEORI-TEORI SASTRA

1.     Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

2.     Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

3.     Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

4.     Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
a.     kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
b.     pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
c.      kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Memahami Karya Sastra

Tujuan utama dari pengajaran sastra adalah untuk membentuk sikap yang apresiatif dan kreatif terhadap sastra dan bahasa secara umum. Namun, bukan berarti sastra juga tak memberi sumbangan terhadap perkembangan budi pekerti. Karena jika siswa atau mahasiswa sudah mampu bersikap apresiatif terhadap karya sastra, maka mereka sekaligus juga mampu menangkap nilai-nilai dan amanat yang ada dalam karya tersebut. Mengapa demikian?
Sebuah karya sastra, misalnya karya yang monumental semacam Mahabhatara dan Ramayana, memberikan amanat penting yang bisa menuntun seorang manusia dalam menjalankan hidupnya di dunia nyata, Artinya selain belajar menilai karya sastra, Sastra juga bisa menyerap nilai budi pekerti yang terkandung di dalam karya itu.
Agar karya sastra bisa dipelajari dengan baik sehingga merangsang untuk apresiatif maka sastra itu harus diajarkan dengan enak, menarik dan kreatif.
baik segi instrinsik maupun ekstrinsik. Dalam pembelajaran sastra di sekolah hal ini masalah pemahaman sastra ini sangat memprihatinkan karena kegiatan “menilai” karya sastra baru sebatas pengetahuan (knowledge) yang berkutat pada apa itu sastra, siapa pengarangnya dan lain-lain.
Jadi bukan ke inti persoalan bagaimana sastra memberi ruang yang komprehensif pada siswa untuk menaruh penghargaan pada sastra dan sastra memberi kontribusi fragmatis untuk kehidupannya sebagai manusia berbudaya. Solusinya, nilailah karya sastra secara menyeluruh melalui strategi penugasan dan diskusi.
untuk mampu menulis karya sastra yang baik dan kreatif, Caranya, pertama, menumbuhkan motivasi siswa untuk menulis kreatif. Kedua, penanaman teori elementer tentang menulis kreatif (menulis sastra). Ketiga, pelatihan atau pembelajaran penulisan kreatif secara kontinu dan adanya proses evaluasi dan guru. Keempat, memberi ruang bagi karya sastra siswa, seperti majalah dinding, majalah sekolah, media massa. Kelima, menumbuhkan iklim atau atmosfer pergaulan kreatif ).
Proses belajar atau mengajar sastra di sekolah harusnya berani untuk kcluar dari kurikulum resmi ynng ditetapkan oleh lembaga resmi pendidikan. “Keluar” dari kurikulurn maksudnya adalah seorang guru harus berani mendobrak batasan-batasan pengajaran sastra yang selama ini dilakukan secara konvensional. Jika hanya mcngandalkan kurikulum rcsmi maka waktu yang efektif untuk belajar sastra sangatlah terbatas. Apalagi selama ini pelajaran sastra masih digabung dengan pelajaran bahasa secara umum.
Padahal, menurut Artawan, proses belajar sastra itu harus dilakukan secara kontinu karena berkaitan dengan masalah nalar dan kepekaan. Kepekaan berbahasa, kepekaan memahami masalah sosial, kepekaan dalam mengasah imajinasi, termasuk juga budi pekerti, tak bisa diajarkan hanya dalam pertemuan yang sekali seminggu. Untuk itu, seorang guru atau pihak sekolah harus memberikan ruang dan waktu lebih banyak kepada pelajaran sastra di sekolah.
Misalnya, jika selama ini pelajaran sastra dilakukan di kelas sesuai batasan-batasan kurikulum, maka ruangnya bisa saja diperlebar tidak hanya dengan mengadakan ekstrakulikuler tetapi juga menyediakan les-les khusus sebagaimana dilakukan terhadap pelajaran komputer, bahasa Inggris, fisika dan sejenisnya

Sirnanya Tradisi Penulisan Kritik Sastra


Sastera itu ada ramai penulis, tetapi tidak ramai kritikus besar. Yang bagus itu selalunya menulis bukan sahaja esei dan kritikan, tetapi juga fiksyen (Shahnon Ahmad, Virginia Woolf, Henry James), atau puisi (Goenawan, Sapardi, Coleridge, Emerson, Borges), atau memang dikenali sebagai penulis esei sahaja walaupun ada menulis puisi dan novel (Hazlitt, Johnson, Sontag). Kritikus sejati? Itu sangat sedikit. Harold Bloom ialah yang terbaik di zaman kita. Di Indonesia ialah H. B. Jassin. Sehingga sekarang, kedudukkannya belum ada pengganti.

Semasa Jassin meninggal dunia pada tahun 2000, Agus R. Sarjono menulis bahawa penulis-penulis Indonesia kini telah menjadi yatim piatu; mereka kehilangan rumah - kehilangan gereja - untuk mereka berteduh dan membina kamar peribadi; mereka kehilangan sang paus yang akan mengucup dahi dan memberkati kelahiran mereka sebagai sasterawan; mereka kehilangan pelita untuk menerangi sastera Indonesia keluar ke pentas antarabangsa - pentas universal seperti yang Jassin sendiri perjuangkan dari permulaan penulisannya sebagai kritikus. Jassin itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata.
...  
Begitu tinggi sekali orang Indonesia mengangkat kritikus mereka. Susah nak membayangkan negara lain melakukan penghormatan yang sama. Kalau kritikus itu diangkat sekali pun pada suatu zaman, dia mungkin dilupakan di zaman yang lain. Masih adakah orang membaca Jassin sekarang? Masih adakah orang membaca F. R. Leavis atau Allen Tate atau William Empson? Di universiti mungkin. Itupun teori Formalisme Baru sudah tidak dipandang oleh pensyarah dan sarjana. Terlalu mudah. Tidak cukup intelektual. Tidak cukup Melayu dan Islamik. Kita mesti mencipta teori kita sendiri. Begitulah seruan yang bergema dalam kitab-kitab tebal dan berkulit keras dan berhabuk para kritikus kita. Bunyinya hanya berdesis di celah daun-daun pintu dewan kuliah. Ia tidak sampai ke telinga pembaca. Apatah lagi para penulis. Teori akan hanya tinggal teori. Dan para kritkus yang menciptanya akan dilupakan begitu sahaja.
 
Memang mudah untuk kita menyalahkan masyarakat apabila tulisan kritikan tidak dibaca apatah lagi dipandang serius sebagai sebuah karya seni. Novelis dan penyair pun sama. Mereka menuduh pembaca kita sebagai mempunyai taste yang rendah. Jangan membaca Ramlee Awang Murshid dan Ilham Hamdani. Itu taste rendah. Tuduhan sama dilontarkan kepada mereka yang menonton wayang. Penulis dan pengkritik mengutuk mereka kerana menonton filem seram atau lawak-bodoh-ala-Senario. Itu taste rendah. Tetapi, kita mesti ingat, bahawa keinginan umum itu ialah hukum yang berada di luar batas seorang seniman. Dan seorang seniman itu sendiri juga bermula, dan kemudian kembali, dalam kelompok umum yang sama. Betul, dia mencipta. Dan dia mencipta menggunakan bahasa puisi - bahasa sastera - yang mengubah, memintal, melebih-lebihkan, merendah-rendahkan, mendramakan, dan mengindahkan bahasa umum sebuah masyarakat. Memang itu kerjanya. Dia ialah, seperti kata Paul Valery, tuhan dalam penulisannya. Tetapi pada sama dia juga bukan tuhan. Dia hanya manusia. Dia juga sebahagian, dan kadang-kadang tidak sebahagian, daripada keinginan umum yang dia sendiri ingin mengelak untuk memuaskan keinginan peribadinya. Dia tahu dia tidak boleh tunduk sepenuhnya pada kehendak masyarakat. Tetapi, dia juga tahu, untuk dia memuaskan keinginannya, dia mesti memuaskan keinginan bahasa itu sendiri.
 
Saya pernah tulis bahawa tradisi kritikan di negara kita sudah mati. Ia mati bukan kerana tiada lagi buku dan tulisan kritikan di majalah. Ada. Memang sangat ada. Itu belum ambil kira penulis-penulis kita yang membuat ulasan buku di blog. Kemudian cuba anda masuk ke dalam sebuah majlis sastera. Perbincangan. Polemik. Kertas kerja! Semua ini dilakukan, kononnya, atas nama perbincangan ilmiah yang, sebenarnya, tidak membawa apa-apa sumbangan penting kepada perkembangan tradisi kritikan. Tetapi ia tetap kritikan. Seterusnya kita tengok pengkritik dan sarjana kita. Ramai bukan? Di Indonesia pun sama. Malah buku kritikan mereka lebih banyak daripada kita. Yang feminisnya; yang studi budayanya; yang pascakolonialnya; yang Derrida; yang Foucault; yang Lacan. Dan masing-masing ingin tampalkan label mereka di dinding dan jendela rumah sastera. Kamar Chairil Anwar dan Amir Hamzah itu pasti terlalu gelap kerana banyak sarjana yang menempelkan label di jendela mereka. Itu belum tengok kamar Ayu Utami. Atau Faisal Tehrani. Setiap hari masyarakat melintas depan rumah sastera ini dan mereka akan melihat dinding-dinding yang tertampal. Kalau di kota, manusia itu sudah jemu membaca iklan. Di kampung, manusia sudah mempunyai alam sebagai teman. Dia tidak memerlukan label. Jadi, akhirnya, rumah sastera itu akan tinggal sebagai sebuah rumah kertas sahaja.
 
Pengkritik sekarang hanya mencipta kertas. Pengumpul suratkhabar lama di belakang rumah sastera.
 
Seorang pengkritik seharusnya menulis dari dalam rumah itu. Dia harus membangunkan sebuah rumah sastera.
 
Untuk itu, dia mesti terlebih dahulu, selaku arkitek sastera, memahami asas binaannya. Dia mesti membina dari dalam sastera itu sendiri, bukan dari luar. Dia mesti membawa dirinya ke setiap kamar penulis dalam rumah itu; menyimpan sebanyak mungkin pengalaman hidup yang dikutipnya dari penulis-penulis yang dia telah berbual dan mengenali; kemudian dia mesti menguruskan rumah itu, mengikut desakkan intuisi, supaya semua orang berada di kamar dan tingkat yang sepatutnya. Label dan risalah orang luar sudah tidak penting buatnya. Kalau ada tetamu, pembaca, yang datang ke rumah itu, maka dia mesti menjemput, menerangkan, menjelaskan, dan mempengaruhi mereka untuk mencintai sastera. Ingat, mempengaruhi, bukan memaksa. Tidak ada paksaan dalam seni. Seperti seorang pengkritik tidak boleh memaksa penulis (bukan seorang penulis, tetapi banyak) untuk tunduk pada kehendaknya. Sudah cukup kalau dia dapat membangunkan dalam dirinya kata-kata yang akan mengikat roh dan pemikiran antara dirinya dengan penulis itu.
 

PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN

Oleh Imade Juliadi Supadi · Terakhir disunting pada hari Sabtu · 


PARADIGMA KAJIAN SASTRA
DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN

Oleh Yoseph Yapi Taum

"All good poets, epic as well as lyric, compose their beautiful poems, not as works of art,
but because they are inspired or possessed" (Plato, dalam Gunsaulus, 1995).


1. Pengantar

Sub-tema yang sebenarnya diharapkan dari saya adalah “Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra”. Dalam TOR, diterangkan bahwa tema Dies Natalis XVI “Implementasi Aspek Humaniora” kali ini adalah kelanjutan dari tema Lustrum III tahun 2008 yang lalu, yaitu “Mereposisi Identitas Fakultas Sastra”. Secara lebih lengkap dijelaskan dalam TOR tersebut bahwa “Hasil seminar lustrum tersebut menyatakan bahwa hermeneutika merupakan landasan untuk membentuk identitas Fakultas Sastra. Karena Fakultas Sastra USD bergelut dalam bidang humaniora: bahasa, sastra, dan sejarah, maka permasalahan mengerucut menjadi bagaimana landasan hermeutika tersebut diimplementasikan dalam ilmu bahasa, sastra, dan sejarah.” Dengan kata lain, tema yang perlu dibahas di sini sesungguhnya adalah “Implementasi Hermeneutika dalam Kajian Sastra”.
Menghadapi masalah yang demikian, segera muncul pertanyaan-pertanyaan. Cita-cita humaniora seperti apakah yang diharapkan dari hermeneutika? Mengapa identitas Fakultas Sastra (USD) dibangun di atas dasar hermeneutika? Bukankah hermeneutika itu sebuah studi tentang teori dan praktik interpretasi? Bukanlah hermeneutika itu sebuah kajian metodologis tentang otensitas dan penafsiran teks? Mengapa identitas tidak dibangun di atas sebuah ‘teori,’ ‘ideologi,’ ‘konsep,’ atau sekurang-kurangnya sebuah ‘paradigma’ kemanusiaan tertentu? Dengan kata lain, mengapa identitas dibangun di atas sebuah proses?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, muncul dugaan bahwa sudah ada kegelisahan di kalangan stakeholders Fakultas Sastra mengenai semakin melemahnya intensitas dan kualitas riset yang dilakukan oleh (dosen dan) mahasiswa sehingga perlu ditanamkan sebuah tradisi pemikiran (khas barat) dengan menggunakan metodologi hermeneutika, sebuah bidang kajian yang seringkali dipandang sebagai sub-bidang teologi. Dugaan itu barangkali ada benarnya. Apabila kita mengamati peta kajian sastra di Jurusan Sastra Indonesia, terdapat dua kecenderungan (tradisi) pemikiran. Pertama, kecenderungan penelitian yang bersifat normatif-reproduktif. Tradisi ini berusaha mempertahankan warisan akademis yang berlaku sebelumnya. Apabila ada judul penelitian Tekanan Batin tokoh Saman dalam Novel Saman karya Ayu Utami: Kajian Psikologi Sastra maka akan muncul banyak reproduksinya dalam bentuk Tekanan Batin Tokoh Seto dalam Novel Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya: Kajian Psikologi Sastra atau Tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk; Tokoh Karman dalam Kubah, dst. Dengan reproduksi-reproduksi semacam itu, sumbangan kajian sastra pada masyarakat apalagi masa depan kemanusiaan menjadi kabur.
Kedua, kecenderungan penelitian yang bersifat hermeneutik-produktif. Model penelitian ini merupakan kebalikan dari corak pemikiran normatif-reproduktif. Penelitian hermeneutik-produktif berusaha mengambil cita-cita moral humanistik dan mengkajinya melalui karya-karya sastra. Mereka dibekali dengan nilai-nilai humaniora tertentu (meskipun tidak secara sistematis dan terencana) dan secara kreatif mengimplementasikan dan mengungkapnya dalam karya-karya sastra dengan menggunakan alat-alat analisis yang bisa beragam. Isu-isu seperti kesetaraan gender, kemiskinan, penggusuran, penindasan, pembodohan, diskriminasi dan ketidakadilan yang merupakan isu-isu humanistik lebih menarik perhatian mereka daripada sekedar mereproduksi model-model penelitian yang sudah ada. Karena itu, benarlah bahwa Hermeneutika diperlukan dalam membentuk identitas Fakultas Sastra, khususnya Jurusan Sastra Indonesia. Hermeneutika yang dikenal dalam tradisi pemikiran barat sebagai kerangka metodologi untuk memahami teks klasik dan Kitab Suci (Ridwan, 2008) dapat memicu iklim dan tradisi akademis yang lebih cemerlang.
Makalah ini tidak secara langsung membahas subtema Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra. Sebagaimana terlihat dalam judul di atas, pembahasan akan difokuskan pada paradigma kajian sastra dan masa depan kemanusiaan. Topik ini dipilih karena dua alasan. Pertama, disiplin ilmu sastra memiliki sejumlah masalah dan metode untuk menetapkan core disiplinnya, dengan menggunakan prosedur repertoirnya sendiri dengan vocabulary yang khas (Lefevere, 1977). Kedua, melalui subtopik ini, berbagai aspek humaniora dapat diimplementasikan dalam kajian sastra, yang akan diabdikan untuk masa depan kemanusiaan. Untuk itu, berturut-turut uraian ini yang membahas: (1) sebuah evaluasi tentang posisi studi sastra yang marginal; (2) meninjau paradigma kajian sastra, (3) masa depan kajian sastra dan kemanusiaan; (4) penutup.

2. Posisi Studi Sastra yang Marginal
Di dunia persekolahan dan di dalam masyarakat kita, ilmu sastra menduduki posisi yang sangat marginal. Di SMA, siswa-siswi yang pandai hampir secara otomatis dimasukkan ke dalam kelompok IPA; siswa-siswi yang kurang pandai ke dalam kelompok IPS; dan yang tidak pandai ke dalam kelompok Bahasa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua SMA memiliki jurusan Bahasa. Hanya sedikit SMA, baik swasta maupun negeri, yang membuka jurusan Bahasa. Karena itu, sudah sejak awal, ilmu sastra bukanlah sebuah bidang pilihan. Orang tua dan guru akan mendorong anak-anaknya mempelajari ilmu-ilmu pasti dan ilmu-ilmu sosial dan bukan ilmu-ilmu humaniora. Mereka seringkali merasa cemas bila anaknya memilih belajar bahasa dan sastra, terutama bahasa dan sastra Indonesia.
Masyarakat memang patut bertanya, apa yang dapat dipelajari dari karya sastra: puisi, cerpen, dan novel? Apa kaitan antara studi sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia? Apa kontribusi kajian sastra terhadap masalah genosida, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, korupsi, multikulturalisme? Jika tidak ada kontribusi dan relevansi studi sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia, lulusan sarjana sastra bisa bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang menguasai hermeneutika dan mempelajari puisi, cerpen, dan novel? (bdk. Salam, 2008).
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari adanya tiga asumsi yang keliru sebagai berikut. Pertama, belajar sastra adalah mempelajari keindahan kata dan keindahan alam yang bertujuan untuk mendapatkan hiburan. Sastra yang baik, dalam pengertian ini, tidak boleh berhubungan dengan atau dinodai oleh aspek-aspek ‘luar’ seperti politik, ekonomi, sosial. Kedua, sastra adalah karya fiksi, karya imaginatif, yang tidak memiliki hubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Kalaupun hendak dihubungkan dengan realitas kehidupan, diperlukan mediasi-mediasi teoretis yang rumit, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ketiga, ada keyakinan bahwa belajar sastra (cerpen/novel) hanyalah mempelajari tema, penokohan, alur, sudut pandang penceritaan, dan gaya bahasa. Keyakinan ini diperkuat dengan pengalaman pengajaran sastra di sekolah (SLTP/SLTA) yang tidak pernah bergerak dari penapisan stuktural (Salam, 2008).
Dengan dua keyakinan di atas, dapat dipastikan bahwa di mata masyarakat kajian sastra tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Bagaimana sesungguhnya paradigma kajian sastra itu sendiri? Bagaimana caranya agar kajian sastra dapat bermanfaat bagi kehidupan, dan dengan demikian menjadi bidang kajian yang menarik?
Sesungguhnya terpinggirnya studi sastra tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa dan Amerika Serikat yang memiliki tradisi dan inftrastruktur akademis yang kuat dalam bidang humaniora, kedududukan dan fungsi ilmu-ilmu humaniora secara umum semakin terpinggirkanl (lihat Rahmanto, 2008). Banyak jurusan ilmu-ilmu ini yang diperkecil, dipersempit, bahkan ditutup. Minat mahasiswa untuk studi humaniora semakin kecil. Salah satu alasan fundamental terpinggirnya ilmu-ilmu ini adalah tidak adanya kebutuhan pasar akan tenaga-tenaga yang ahli dalam bidang humaniora. Pasar tidak lagi membutuhkan lulusan ilmu-ilmu humaniora, termasuk lulusan sastra.


3. Paradigma Kajian Sastra
Sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang, kajian sastra menunjukkan pola-pola pemikiran (interpretasi) yang berbeda-beda. Mengikuti pandangan Abrams (1981), terdapat empat paradigma kajian sastra, yaitu pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik. Berikut ini secara singkat dikemukakan prinsip-prinsip utama masing-masing pendekatan itu.
Pendekatan Objektif. Pendekatan objektif berusaha menjauhkan hal-hal yang dianggap berbau subjektif (yang disebut sebagai hal-hal bersifat eksternal) dan menekankan studi sastra pada teks sastra itu sendiri (yang disebut sebagai aspek intrinsik). Pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang menekankan objektivitas dan netralitas keilmuan. Akibat pengaruh positivisme itu, pendekatan ini dipandang memenuhi tuntutan dan persyaratan keilmuan (Taum, 1997: 31) karena berhasil mengembangkan sistem dan metode keilmuan untuk memahami objek kajiannya, yaitu teks sastra itu sendiri. Mengingat kajian sastra hanya terfokus pada ‘dunia dalam kata’ yaitu struktur teks itu sendiri, maka salah satu kelemahan pokok pendekatan ini adalah sifatnya yang a-historis. Strukturalisme, sebuah aliran utama dalam pendekatan ini, menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun struktur universal yang menghapus pandangan individual. Sumber makna bukan pada pengalaman manusia pengarang atau pembaca, melainkan pada sistem yang menguasai individu. Dengan demikian, strukturalisme juga bersifat antihumanis (Selden dalam Taum, 1997: 46). Pendekatan yang semacam ini hampir tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan manusia dan masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Implikasinya, karya sastra dan kajiannya tidak memiliki relevansi dengan apalagi kontribusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa.
Pendekatan Ekspresif. Pendekatan ekspresif beranggapan bahwa karya sastra pertama dan terutama merupakan pernyataan atau ekspresi batin pengarangnya. Pendekatan ini adalah yang paling mapan dan cukup tua dalam sejarah studi sastra (Wellek dan Warren, 1993: 82). Pendekatan ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Teori ini menekankan data biografik dan historik dari pengarang karena dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan dan makna karya sastra. Pendekatan ini mendapat kritik yang sangat tajam dari Wimsatt dan Beardsley melalui buku mereka The Intentional Fallacy (Taum, 1997: 26). Mereka menegaskan bahwa adalah keliru apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks sastra orang berpedoman pada maksud (intensi) dan latar belakang pengarang. Intensi pengarang tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses atau gagalnya sebuah karya sastra.
Pendekatan Mimetik. Pendekatan mimetik beranggapan bahwa sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut. Pendekatan ini adalah yang paling tua karena dikembangkan orang sejak sebelum masehi tetapi sampai saat ini menjadi sebuah bidang ilmu yang masih muda berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih labil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra (Taum, 1997: 47-56).
Pendekatan Pragmatik. Pendekatan pragmatik mengutamakan aspek pembaca. Pendekatan yang mula-mula dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di Jerman ini menggeserkan fokus perhatian dari struktur teks ke arah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi (Ingarden), strukturalisme Praha (Mukarovsky), dan hermeneutika (Gadamer). Dalam membaca dan memahami karya sastra, horison harapan pembaca (Hans Robert Jauss) sangat menentukan. Teks sebenarnya sudah memiliki pembaca implisit (implied reader) (Wolfgang Iser) yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembaca (Taum, 1987: 57-66).
Kini tengah muncul sebuah paradigma baru penelitian sastra yang tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu paradigma Abrams di atas, yaitu pendekatan New Historicism, yang merupakan salah satu bidang dari Cultural Studies. Berbagai asumsi lama mengenai aspek instrinsik dan ekstrinsik, sastra serius dan populer, diruntuhkan. Fokus penelitian diarahkan pada bagaimana sebuah fenomena (misalnya kemiskinan, kebodohan) berhubungan dengan ideologi, ras, kelas sosial, atau gender. Makna dikait dengan praktik kehidupan sehari-hari.
New historicism dapat dipandang sebagai sebuah model interpretasi yang memusatkan perhatiannya pada relasi kekuasaan sebagai konteks yang paling penting dari berbagai macam teks (Brannigan, 1998: 6), dengan memasukkan tiga unsur pokok sekaligus yang sebenarnya berbeda sifatnya, yakni: trancendent (sastra), kontingent (sejarah), dan mere strategic (politik). Pendekatan ini berupaya mempertanyakan asumsi-asumsi ideologis dari kritik sastra dan merelativisasikan klaimnya terhadap universalitas (Belsey, 2002: 428). New historicism, seperti juga berbagai pendekatan poststruktural lainnya, menekankan dimensi politis-ideologis dari produk-produk budaya.
Pertanyaannnya sekarang adalah, kontribusi apakah yang dapat diberikan oleh berbagai perspektif kajian sastra terhadap manusia dan masyarakat? Dapatkah ilmu-ilmu humaniora umumnya dan ilmu sastra khususnya memberikan sumbangan yang nyata bagi masa depan kemanusiaan kita? Sumbangan nyata apa sajakah yang dapat diharapkan dari lulusan yang menguasai kajian sastra?

4. Sastra dan Ekonomi Kreatif
4.1 Landasan: HETLS dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif
Sesungguhnya sejak berakhirnya perang dunia kedua (PD 2), sebenarnya orientasi pertumbuhan ilmu-ilmu cenderung mengarah pada pendekatan interdisipliner. Ciri lama perkembangan ilmu yang bercabang-cabang, majemuk, kompleks, menggurita dan banyak spesialisasinya mulai berkurang. Oleh karena ilmu menjadi tidak manageable lagi, orang mulai memikirkan pendekatan dan penataan interdisipliner dan komunikasi antara ilmu-ilmu. Orang menyadari bahwa ilmu bersifat evolutif atau menyejarah. Karena itu manusia berusaha dapat memikirkan bahwa membuat perencanaan (strategis) mengenai kemungkinan lebih lanjut dari evolusi ilmu itu sendiri. Selain kecenderungan pertumbuhan ilmu yang interdisipliner itu semakin kuat, ciri perkembangan keilmuan lain sejak berakhirnya perang dunia kedua adalah ilmu menjadi lebih pragmatik, dalam arti ilmu terkait dengan kepentingan politik, industri, dan militer (Pranarka, 1987: 174).
Model perkembangan ilmu yang semacam itu sesungguhnya sudah disadari pula oleh pemerintah Indonesia. Telah disebutkan di atas, bahwa terpinggirkannya fungsi dan kedudukan ilmu-ilmu humaniora terutama disebabkan karena tidak adanya kebutuhan pasar akan lulusan ilmu-ilmu tersebut. Jika hal ini dibiarkan, tidak dapat diharapkan adanya sumbangan yang dapat diperoleh dari ilmu-ilmu humaniora umumnya dan kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan. Karena itu, untuk dapat survive dalam persaingan pasar yang semakin ketat, tidak ada pilihan lain bagi ilmu sastra untuk memasuki bidang ‘ekonomi kreatif’ (yang akan diterangkan kemudian). Pemerintah melalui Dirjen Dikti juga secara eksplisit telah menekankan ‘relevansi’ ilmu dengan pembangunan perekonomian nasional, terutama dengan dunia industri.
Dalam perumusan Higher Education Long Term Strategy (HETLS) 2003-2010, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi merumuskan paradigma baru pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang yang difokuskan pada masalah “relevansi” ilmu dengan pengembangan daerah maupun pembangunan nasional. Dikatakan bahwa pembangunan perekonomian nasional di masa depan akan berbasis Ilmu Pengetahuan (lihat Pedoman Program Hibah Kompetisi A-3, Depdikbud, 2007). Perguruan tinggi tidak bisa lagi menutup diri dalam ‘menara gading’, tetapi perlu didorong untuk keluar dan melakukan kerjasama dengan dunia industri dan pemerintah. Untuk dapat menjalin kerjasama dengan dunia industri, diharapkan agar perguruan tinggi meningkatkan transferable skills dan soft skill lulusannya.
Perguruan tinggi perlu terlibat dalam membangun peradaban dan kesadaran baru (new consciousness) karena mereka yang ingin berhasil (survive) perlu mentransformasikan diri dan kebudayaannya (Toffler, 1980). Dalam bukunya The Third Wave, Alfin Toffler (1980) membentang perjalanan sejarah pradaban ummat manusia yang disebutnya telah melampaui tiga fase perkembangan.
Pertama, munculnya temuan-temuan baru di bidang pertanian, temuan-temuan ini secara berproses mengangkat derajat kehidupan umat manusia dengan menjadikan usaha pertanian sebagai penopang utama bagi kehidupan. Pertanianlah yang menjadi sentral kehidupan dan semua temuan-temuan barn pun ditujukan kepada upaya meningkatkan produktifitas di bidang pertanian. Kedua, munculnya peradaban baru yang lahir sebagai hasil Ciptaan Revolusi industri. Temuan-temuan baru berupa mesin yang berhasil melipat gandakan kerja otot dan bahkan secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja dengan cepat, tepat dengan hasil yang berlipat ganda. Ketiga, lahirnya sebuah era baru yang secara total di gerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era ini IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga melipat gandakan kemampuan otak dan kinerja nalarnya. Teknologi yang melipat gandakan kemampuan dan kinerja nalar yang dicapai umat manusia di era gelombang ke III, adalah berkat kemampuan IPTEK dalam bidang Computer, Komunikasi, dan Control yang kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan selanjutnya melahirkan satu tatanan masyarakat dunia yang baru yang di kenal dengan nama Masyarakat Informasi.
Saat ini kita memasuki fase perkembangan keempat di mana budaya menjadi komoditas utamanya. Kini, dalam fase keempat ini, fenomena peradaban umat manusia ditandai dengan apa yang disebut “ekonomi kreatif” . Dalam upaya menanggapi arus deras gelombang ekonomi keernpat ini Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia (lihat Paeni, 2008), yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Cetak biru tersebut akan memberi acuan bagi tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia sampai tahun 2030. Landasan utama industri kreatif adalah sumber daya manusia Indonesia, yang akan dikembangkan sehingga mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor produksi lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai sistem triple helix, yakni cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business), dan pemerintah (government).
Dalam cetak biro Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14 cakupan bidang ekonomi kreatif yakni 1) jasa periklanan, 2) arsitektur, 3) seni rupa, 4) kerajinan, 5) desain, 6) mode (fashion), 7) film, 8) musik, 9) seni pertunjukan, 10) penerbitan, 11) riset dan pengembangan 12) software, 13) TV dan radio, dan 14) video game.
Sangat disadari bahwa Ekonomi Kreatif atau Industri Budaya memerlukan keahlian khusus untuk mengolahnya. Memerlukan profesionalitas dan skill yang tepat untuk mengerjakanya dan juga diperlukan moralitas yang tinggi sebagai landasannya. Ekonomi Kreatif adalah sebuah karya yang betul-betul harus menjadi karya dunia, tanpa Landing, bermutu dan bernas, serta lahir dari imajinasi kreatif yang cemerlang, karena itu setiap kelahirannya ia harus segera dilindungi kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional.

4.2 Sastra dan Ekonomi Kreatif
Lulusan yang menguasai kajian sastra sesungguhnya dapat lebih berperan bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia, jika dia dipersiapkan secara lebih sengaja dan sistematis dengan memberhatikan aspek-aspek ekonomi kreatif. Dari keempat belas bidang cakupan ekonomi kreatif di atas, mahasiswa sastra sebenarnya dapat dipersiapkan untuk terlibat aktif dalam tiga bidang, yaitu: film, seni pertunjukan, TV dan radio, serta video game. Uraian berikut ini bukan penjelasan yang lengkap melainkan sekedar pancingan awal untuk memunculkan diskusi lebih lanjut.

Sinetron
Kebanyakan pengamat dan kritikus media memberikan penilaian yang negatif terhadap sinetron di berbagai televisi swasta di Indonesia. Selain bahasanya yang Betawi oriented, sinetron-sinetron Indonesia lemah dalam hal tema (apabila tema tertentu sedang diminati masyarakat, tema itu sajalah yang ditampilkan secara seragam di berbagai sinetron; biasanya tidak bergeser dari tema-tema percintaan) ; latar (latar sosial: pada umumnya menyangkut kelas menengah ke atas; latar waktu: sekarang, jarang mengungkap masa-masa sulit yang lalu –dark-past; latar tempat: Jakarta, umumnya tidak mencerminkan semangat nasional dan mondial); tokoh dan penokohan (tokoh pipih: hitam-putih dengan acting yang kebanyakan over); alur (alur yang mudah ditebak, penuh digresi yang dibuat-buat dan tidak terfokus karena mengikuti selera pasar).
Mahasiswa sastra, yang dibekali dengan pengetahuan yang memadai mengenai kekuatan alur, penokohan, latar, dan gaya bahasa dapat berperan dalam pembuatan sinetron Indonesia yang lebih bermutu. Mereka dapat dibekali dengan ilmu tentang kekuatan struktur cerita, pendalaman psikologis, relevansi cerita dengan kondisi kehidupan masyarakat, dan sebuah gambaran tentang masa depan kemanusiaan ‘orang Indonesia’ yang multikultural, terbuka, beradab, dan menghargai HAM.

Film Kartun dan Video Game
Sumbangan lulusan yang menguasai kajian sastra di bidang film dan video game terutama adalah pendalaman tema dan penulisan alur cerita yang memiliki pesan-pesan moral yang terselubung. Tema-tema cerita yang berasal dari kekayaan tradisi lisan nusantara dapat dieksplorasi dan dielaborasi dengan baik. Kisah-kisah heroik yang dapat dijadikan alur cerita yang sangat unik dan menarik untuk video game antara lain: Gadjah Mada, Ken Arok, cerita-cerita Panji, Wato Wele- Lia Nurat (Flores), Dewi Roro Kidul, Gatot Kaca, dll.

Penulisan Kreatif
Lulusan yang menguasai kritik dan studi sastra dapat menjadi fasilitator dalam berbagai pelatihan penulisan kreatif. Asumsinya adalah orang yang mampu memberikan kritik sastra (terhadap puisi, cerpen, novel) dengan argumentasi yang kuat dan memadai, mampu pula memberikan jawaban dan solusi bagi penciptaan karya sastra yang lebih baik.


4.3 Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra
Pokok diskusi dalam sub-bahasan ini adalah: aspek-aspek humaniora seperti apakah yang dapat diimplementasikan dalam kajian sastra? Bagaimanakah logika implementasinya? Masih relevankah perjuangan humanisme bagi masa depan kemanusiaan di tanah air kita?
Sumbangan terpenting dari Humanisme adalah asumsi dan sikapnya yang tegas tentang adanya ‘nilai intrinsik’ kemanusiaan. Perlu diperhatikan bahwa ‘nilai humaniora’ dalam bahasa Yunani disebut ‘axios’ (axia) yang memiliki makna ganda: nilai atau harga dan martabat atau kehormatan. Dalam bahasa Latin disebut ‘dignitas’. Ada dua pandangan yang berbeda tentang dignitas itu. Pandangan pertama mengatakan bahwa dignitas adalah apa yang harus ditampilkan oleh seseorang yang memiliki peran tertentu dan apa yang harus diberikan orang lain karena perannya itu. Pandangan ini didukung oleh dunia Romawi kuno dan filsuf politik Thomas Hobbes. Pandangan kedua menegaskan bahwa dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri. Pandangan ini didukung oleh Cicero, Immanuel Kant (lihat Kleden, 2006). Aliran humanisme (Humaniora) menganut pandangan yang kedua ini, yaitu bahwa nilai kemanusiaan tidak ditentukan oleh ‘nilai ekstrinsik’ atau nilai-nilai ‘luar’ yang ditempelkan pada manusia seperti memiliki bibit, bebet, dan bobot. Cita-cita humanisme adalah penghargaan yang tinggi terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri, sementara bibit, bebet, dan bobot hanyalah unsur-unsur yang sekunder. Martabat manusia tetap tinggi, sekalipun bibit, bebet, dan bobotnya tidak mengesankan.
Dengan demikian, dalam cita-cita kemanusiaan humaniora, nilai kemanusiaan Marsinah, Udin, Munir, manusia banci, waria, homoseks, lesbian, pemulung, eks tapol/napol, anak-cucu pengikut PKI, dll sama dengan nilai kemanusiaan seorang jenderal bintang empat, presiden, menteri pekerjaan umum, konglomerat, ataupun orang-orang dengan orientasi heteroseksual. Anak manusia tetap bernilai, apapun suku, agama, ras, golongan, dan orientasi seksualnya. Nilai-nilai Humaniora seperti ini masih relevan kita perjuangkan untuk masa depan kemanusiaan di bumi Indonesia ini.
Aspek humaniora yang coba diimplementasikan dalam kajian sastra dalam tulisan ini menjadi sangat konkret. Cita-cita kemanusiaan di Indonesia (yang berasaskan Pancasila dan berciri multikultural) dapat digali (melalui berbagai metode interpretasi, termasuk metode hermeneutik yang sudah dikenal) dari berbagai karya sastra. Bagaimanapun, potret carut marut kemanusiaan di Indonesia terekam pula di dalam berbagai karya sastra. Dari berbagai tragedi kehidupan seperti Tragedi 1965, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi Ambon, Tragedi Poso, Tragedi Bom Bali, Tragedi Pembagian Zakat, sampai krisis ekonomi global. Kemampuan menganalisis dan mengungkap aspek-aspek itu di dalam karya sastra memberikan pengalaman yang berharga bagi lulusan yang menguasai kajian sastra untuk mengaplikasikannya dalam penulisan skenario film/sinetron yang lebih bermanfaat bagi pembelajaran masyarakat kita.


Cita-cita Humanisme
‘nilai intrinsik kemanusiaan’ Implementasi Kajian Sastra Masa Depan Kemanusiaan di Indonesia
Dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Nilai ‘ekstrinsik’
manusia masih dinilai ‘berharga’ karena unsur-unsur yang dimilikinya, termasuk ukuran bibit, bebet, bobot. Struktur (alur, tema, latar, bahasa, penokohan)
Psikologi Sastra
Ideologi dan Kekuasaan (new historicism) Manusia Indonesia yang multikultural, terbuka (inklusif), cerdas, menghargai HAM, bermartabat


5. Penutup
Sampai saat ini terlihat bahwa ilmu sastra masih terus mengalami evolusi dan perkembangan. Berbagai paradigma kajian sastra telah dikembangkan dan menawarkan banyak alternatif dalam menggali dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan di dalam karya sastra.
Sumbangan ilmu-ilmu humaniora umumnya dan kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan dapat lebih dirasakan apabila ilmu-ilmu ini semakin mempertanyakan ‘relevansinya’ bagi manusia dan masyarakat. Masa depan kemanusiaan di Indonesia dengan karakteristik yang multikultur, terbuka, cerdas, menghargai HAM, dan bermartabat harus terus dan turut diperjuangkan oleh ilmu-ilmu humaniora di Indonesia. Pengalaman kajian sastra dengan berbagai perspektif, terutama yang dilandasi dengan kekuatan interpretasi hermeneutik yang kontekstual, dapat membuat lulusan yang manguasai kajian sastra memberikan kontribusi nyata bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia.


Daftar Pustaka

Abrams, M.H., 1981. A Glossary of Literary Terms. (Fourth Edition). New York: Holt,
Renehart and Winston.

Gunsaulus, Frank W., 1995. “Christ in Poetry” dalam The Biblical World, Vol. 6, No. 6, (Dec.,
1995), pp. 504-517 Chicago: The University of Chicago Press. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3140200. Accessed: 23/06/2008 01:45

Kleden, Paul Budi, 2006. “Hukuman Mati: Antara Argumen HAM dan KAM” dalam Jurnal
Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan. Maumere: STFK Ledalero.

Lefevere, Andre, 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its
Nature, Growth, Relevance, and Transmission. Assen/Amsterdam: Van Gorcum.

Martin, James E., 2007. Cultural Criticism: New Historicism. Stable URL:
http://www.keconnect.co.uk/~vanloon/loonintrocultstuds.html. Accessed: 31/01/2007
11:05

Munns, Jessica and Gita, Rajan. Eds. 1995. A Cultural Studies Reader: History, Theory,
Practice. London :Longman.

Paeni, Mukhlis, 2008. “Tradisi Lisan: Deposit Ekonomi Kreatif” Makalah Seminar
Internasional dan Festival Tradisi Lisan. Wakatobi, 1 – 3 Desember 2008.

Permanasari, Indira, 2007. “Peringatan 50 Tahun Antropologi UI : Di Tengah Gaung yang
Kian Pudar,” dalam Kompas, September 2007.

Pranarka, A.M.W., 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan
Proklamasi Centre for Strategic and International Studies.

Rahmanto, B., 2008. Revitalisasi Humaniora dalam Rangka Pembangunan Moral Bangsa:
Sebuah Refleksi Sastrawi. Pidato Dies Natalis ke-53 Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Ridwan, Ahmad Hasan, 2008. “Jejak Hermeneutika dalam Islamic Studies” Stable URL:
http://ahasanridwan.wordpress.com/2008/02/23/jejak-hermeneutika-dalam-islamic-
studies/ Accessed: 23/03/2009 19:20

Riffaterre, Michael, 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Salam, Aprianus, 2008. “Kajian Sastra dalam Masyarakat Indonesia” dalam Harian Kendari Pos. Diunduh dari http://www.kendaripos.co.id/index.php?
Taum, Yoseph Yapi, 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah.
Taum, Yoseph Yapi, 2007. “Semiotika Riffaterre dalam Bulan Ruwah Subagyo Sastrowardoyo” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol. 5 No. 1, Maret 2007.
Taum, Yoseph Yapi, 2008. “Pemaknaan Belenggu dengan Teori dan Metode Semiotik” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol. 6 No. 2, Oktober 2007