"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

10/27/2011

ANALISIS KALIMAT BASA BALI


ANALISIS KALIMAT
       
        Dalam pemerian kalimat, perlu dibedakan antara fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis. Konsep kategori, fungsi dan peran sering digunakan dalam analisis kalimat (sintaksis). Kategori merujuk kepada kelas kata seperti nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Fungsi mengacu pada kedudukan frasa dalam kalimat, seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
Fungsi induk (inti) dalam klausa adalah predikat, predikat biasanya berupa verbal artinya, secara kategorial perdikat itu berupa verba.
        Verba itu mengungkapkan suatu keadaan, kejadian, atau kegiatan. Dalam keadaan, kejadian atau kegiatan itu biasanya terlibatlah orang atau benda, satu atau lebih. Orang atau benda tersebut dijuluki peserta atau argumen. Verhaar,1996:164)
Dalam kalimat ada konstituen-konstituen baik inti atau non inti, hanya konstituen intilah yang disebut dengan argumen atau peserta pada verba. Sedangkan yang non inti disebut konstituen periferal. Konstituen periferal yang perlu demi keutuhan klausa disebut komplemen (pelengkap).
 Peran dinyatakan sebagai kategori semantis dalam kalimat, apakah nomina (argumen-argumen) dalam kalimat berperan sebagai aktor. Aktor dapat  menyiratkan peran agen, pemengaruh, lokatif, tema atau pasien (penderita). Kridalaksana (1993:168) menjelaskan bahwa peran semantik adalah hubungan antara predikator dengan sebuah nomina dalam proposisi. Peran semantik adalah peran yang dimiliki nomina yang merupakan (arti) dari argumen (peserta) pada verba dalam suatu struktur kalimat.
Konsep peran semantik dikembangkan oleh Foley dan Van Valin (1984) melalui teori peran umum. Teori ini menjelaskan bahwa terdapat dua peran umum pada argumen verba, yakni aktor dan undergoer. Peran-peran yang dimiliki aktor maupun undergoer seperti tersebut di atas.
 Misalnya dalam kalimat bahasa Bali  (1) Tiang naar jaja ‘Saya makan kue’. Predikat kalimat (1) adalah naar ‘makan’. Verba naar ‘makan’ membutuhkan dua argumen (peserta). Argumen pertama berperan sebagai agen dan argumen kedua berperan sebagai pasien.
 Berdasarkan struktur semantik verba naar ‘makan’ maka nomina tiang ‘saya’ dalam kalimat itu berperan sebagai agen dan nomina jaja  berperan sebagai pasien.
Konsep kategori, fungsi dan peran dalam kajian sintaksis merupakan pengembangan tata bahasa Tagmenik yang dipelopori oleh Kenneth L.Pika yang merupakan aliran struktural. Menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmen (kata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘susunan’).
Dalam tata bahasa ini dijelaskan bahwa unsur-unsur kalimat dapat dibagi menjadi segmen-segmen. Setiap segmen kalimat dapat dilihat dari kategori, fungsi, dan perannya. Kategori, fungsi, dan peran dinyatakan sebagai slot dalam kalimat. Misalnya (2)  Ayah menendang adik, kalimat (2) terdiri atas tiga segmen, yaitu ayah, menendang, dan adik. Dilihat dari kategorinya segmen Ayah dan adik dinyatakan sebagai nomina, dan menendang dinyatakan sebagai verba. Dilihat dari fungsi sintaksisnya, segmen ayah dinyatakan sebagai subjek, segmen menendang dinyatakan sebagai predikat, dan segmen adik dinyatakan sebagai objek. Dilihat dari perannya, segmen ayah dinyatakan sebagai agen (pelaku) dan segmen adik sebagai pasien (penderita), sedangkan segmen menendang tidak memiliki peran    

1. Analisis Kalimat berdasarkan Fungsi, Kategori dan peran
        Analisis kalimat adalah pemisahan unsur-unsur yang membentuk kalimat dengan ktriteria tertentu. Dalam analisis kalimat yang perlu diperhatikan adalah pemisahan unsur-unsur yang membangun kalimat itu hanya sampai pada tingkat kata, sebab analisis kalimat termasuk tataran sintaksis, sedngkan sintaksis menelaah hubungan gramatikal di luar batas kata, tetapi dalam satuan yang disebut kalimat. Jadi kata dalam kalimat dapat dianalisis berdasarkar fungsi, kategori, dan peran

1) Analisis Kalimat Berdasarkan Fungsi
        Tiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat. Fungsi di sini diberi pengertian hubungan saling kebergantungan antara unsur-unsur dari suatu perangkat sedemikian rupa sehingga perangkat itu merupakan keutuhan dan membentuk sebuah struktur (Kridalaksana, 2002).
Fungsi itu bersifat sintksis artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaktis utama dalam bahasa adalah  subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Unsur-unsur ini semua ada dalam sebuah kalimat. Akan tetapi kelima unsur tersebut tidak selalu bersama-sama ada dalam satu kalimat.
Menurut Verhaar (1978) fungsi-fungsi sintaksis yang terdiri dari unsur-unsur S,P,O, dan K itu merupakan kotak-kotak kosong atau tempat-tempat kosong yang tidak mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan tertentu. Lihat contoh berikut.
3) Dadong nyeledetin kaki tuni semengan.
    ‘Nenek melirik kakek tadi pagi’
Tempat kosong yang bernama subjek diisi oleh kata dadong ‘nenek’ yang berkategori nomina, tempat kosong yang bernama predikat diisi oleh kata nyeledetin ‘melirik’ yang berkategori verba, tempat kosong bernama objek diisi oleh kata kaki ‘kakek’ yang berkategori nomina  
        Untuk dapat mengetahui fungsi unsur kalimat perlu mengenal ciri umum tiap-tiap fungsi sintaksis tersebut.
a) Ciri-ciri Subjek 
Subjek merupakan sebuah fungsi dalam tataran sintaksis. Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nomina atau sesuatu yang dianggap nomina.
Kalau diperhatikan kalimat (3) Dadong nyeledetin kaki tuni semengan. yang dimaksud dengan subjek adalah sesuatu yang dianggap berdiri sendiri, dan yang tentangnya diberitakan sesuatu. Oleh karena subjek itu isinya sesuatu yang berdiri sendiri, maka semestinya terbentuk dari nomina atau kata benda (dadong’ nenek)
        Untuk menentukan subjek, kita dapat bertanya dengan memakai kata tanya apa atau siapa di hadapan predikat. Adapun ciri-ciri subjek adalah :     
-       tentangnya diberitakan sesuatu
-       dibentuk dengan kata benda atau sesuatu yang dibendakan
-       dapat bertanya dengan kata tanya apa atau siapa dihadapan predikat.

b) Ciri-ciri Predikat
        Predikat adalah bagian yang memberi keterangan tentang sesuatu yang berdiri sendiri atau subjek itu. Biasanya predikat kalimat berupa frasa verbal atau frasa  adjektival. Memakai kata tanya mengapa, artinya dalam keadaan apa, bagaimana, atau mengerjakan apa?  Seperti kata nyeleditin ‘melirik’ pada contoh (3) di atas adalah predikat yang berasal dari verba

c) Ciri-ciri Objek
        Objek adalah konstituen kalimat yang kehadiranya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Objek selalu diletakkan setelah predikat. Dengan demikian objek dapat dikenali dengan memerhatikan (a) jenis predikat yang melengkapinya, dan (b) ciri khas objek itu sendiri biasanya verba transitif ditandai oleh kehadiran afiks tertentu. Biasanya objek berupa nomina. Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika kalimat itu dipasifkan. Seperti pada contoh berikut.
        (4)  Bapa ngaturang dana punia ‘Ayah menyerahkan sumbangan’. Kalau dipasifkan
        (5) Dana punia aturanga teken i bapa. Dana punia diserahkan oleh ayah. Objek dari kalimat (4) adalah dana punia yang berkategori nomina dan menjadi subjek pada kalimat pasif  pada kalimat (5).

d) Ciri-ciri Pelengkap
        Fungsi pelengkap mirip dengan objek. Posisinya sama persis, yaitu sama-sama di belakang predikat. Salah satu perbedaan mencolok antara kedua fungsi itu adalah objek dapat dijadikan subjek dalam kalimat pasif, sedangkan pelengkap tidak.
6) Memene nyakitang basang. ‘Ibunya sakit perut’
7) Putu ngalihang icang gegaen’ Putu mencarikan
     saya pekerjaan.
 Satuan basang ‘perut’ dan gegaen ‘pekerjaan’ sama-sama berfungsi sebagai pelengkap di dalam kalimat di atas.



d) Ciri-ciri Keterangan
        Keterangan merupakan fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letaknya. Keterangan dapat berada di akhir, awal, dan bahkan di tengah kalimat. (Suparman, 1985). Pada umumnya kehadiran keterangan pada kalimat bersifat mana suka, biasanya berupa frasa nominal, frasa preposisional, atau frasa adverbial.
Perhatikan contoh berikut.
(8) Mbok ngetep bokne di kamar.
     ‘Kakak memotong rambutnya di kamar
(9) Mbok ngetep bokne baan gunting.
      Kakak memotong rambutnya dengan gunting
Unsur di kamar, baan gunting pada contoh kalimat di atas merupakan keterangan yang sifatnya manasuka. Berdasarkan maknanya terdapat bermacam-macam keterangan termasuk dalam kalimat bahasa Bali seperti:
-       keterangan lokatif fungsi yang menunjukkan tempat
-       keterangan temporal fungsi yang menerangkan waktu
-       keterangan instrumental fungsi menunjukan alat
-       keterangan tujuan fungsinya menyatakan tujuan atau maksud perbuatan atau kejadian
-       keterangan cara menyatakan cara suatu peristiwa terjadi
-       keterangan penyerta menyatakan ada tidaknya orang yang menyertai orang lain dalam melakukan perbuatan
-       keterangan similatif menyatakan kesetaraan atau kemiripan antara suatu keadaan, kejadian atau perbuatan dengan keadaan, kejadian, atau perbuatan yang lain
-       keterangan penyebaban yang menyatakan sebab atau alasan terjadinya suatu keadaan, kejadian, atau perbuatan
-       keterangan kesalingan menyatakan bahwa suatu perbuatan dilakukan silih berganti


2) Analisis Kalimat Berdasarkan Kategori

        Kategori sintaksis sering disebut kategori atau kelas kata (Alwi, et.al,1998). Analisis kalimat berdasarkan kategori merupakan penentua kelas kata yang menjadi un sur-unsur kalimat. Menurut Verhaar (1996) kategori sintaksis adalah apa yang sering disebut ‘kelas  kata’ seperti nomina, verba, adjektiva, adverbial dan preposisi. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Bali juga membagi kelas kata ke dalam lima kelas kata seperti nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas

a) Kategori Nomina
Dalam kalimat nomina cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap.
-       Karunge isinina baas.
-       Bapane ngajak memene ke peken.
-       Nyoman ngirimang memene pipis ibi.

Satuan karunge ‘karung, (itu), baas ‘beras’ ,bapane ‘ayah’ memene ‘ibunya’ , nyoman ‘nyoman’ dan pipis ‘uang’ dalam kalimat di atas adalah nomina yang menempati fungsi subjek, objek, dan pelengkap

b) Kategori Verba 
Kategori verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain.
-       Malinge ento malaib.
-       Adine memaca buku.

Satuan malaib’ berlari’ dan memaca ‘membaca’ dalam kalimat di atas berkategori verba dan menduduki fungsi predikat.

c) Kategori Adjektiva berpotensi sebagai fungsi predikat dan penjelas fungsi lain
        - Pan Dolar ngamatiang lelipi selem.
        - Kopi ane pahit suba daara.
Satuan selem ‘hitam’ dalam kalimat di atas berfungsi sebagai penjelas unsur lain, dan pahit berfungsi sebagai predikat sebagai penjelas dari kata kopi yang bersama-sama dengan kata tugas ane

d) Kategori adverbial
Kategori adverbial dapat menerangkan berbagai fungsi dalam kalimat
-       Pak Raka suba medaar.
Satuan suba ‘sudah’  berposisi sebelum medaar ‘makan’ yang berfungsi sebagai predikat. Kalimat itu berpredikat dua buah kata, dengan medaar ‘makan’ sebagai inti dan suba ‘sudah’ sebagai penjelas.

Kata Tugas
Secara mandiri kata tugas belum pernah menduduki fungsi dalam kalimat. Kata tugas sebagai pengisi fungsi  setelah bergabung dengan kategori lain.
-       Pianakne mejalan ka  peken.
-       Uli tuni tiang ngantosan bli.
Satuan ka ‘ke’ dan uli ‘dari’ dalam kalimat di atas termasuk contoh kata tugas. Kata-kata itu tidak secara mandiri berposisi sebagai keterangan tetapi  semuanya bergabung.

3)Analisis Kalimat Berdasarkan Peran Semantis
        Peran Semantis unsure kalimat bahasa Bali dapat dibedakan atas :
Pelaku, Sasaran, Pengalam, Peruntung, alat, tempat, waktu,  atribut, dan hasil
-       Pelaku adalah partisipan yang melakukan perbuatan yang pada umumnya  manusia atau binatang, atau juga benda.
Doglar ngejuk siap.

-       Sasaran adalah partisipan yang dikenai perbuatan yang pada umumnya terletak dibelakang predikat
Raka nongosin adine jumah.
-       Pengalam adalah partisipan yang mengalami keadaan atau peristiwa. Peran pengalam terdapat di dalam fungsi subjek dengan predikat adjektiva atau verba intransitive
Nyoman gelem.
-       Peruntung adalah partisipan yang memperoleh manfaat atau keuntungan dari peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan predikat. Biasanya peran peruntung berfungsi sebagai objek atau pelengkap.

Panitia ngaturang dana punia teken pemangku.

-       Alat adalah partisipan yang digunakan untuk melakukan perbuatan yang dinyatakan predikat. Peran alat merupakan instrument dalam unsur keterangan

-       Tiang meli buku aji pipis tiange pedidi.

-       Tempat  atau lokatif : peran partisipan yang menyatakan tempat. Biasanya berfungsi sebagai keterangan objek atau subjek.
Murid  Jawa melali ke kuta.
-       Waktu atau temporal : peran partisipan yang menyatakan waktu. Biasanya terdapat dalam fungsi keterangan. Dalam kalimat tertentu peran waktu juga terdapat di dalam fungsi subjek.
Jani otonan tiange.
-Atribut : merupakan peran partisipan yang berfungsi sebagai
predikat atau pelengkap.
Anake ento misan tiange.
-Hasil peran partisipan yang menyatakan hasil atas perbuatan
yang dinyatakan oleh  verba predikat.
Patung ento gaena aji kayu ketewel.

10/20/2011

DARMAWACANA MABASA BALI


BALI WISATA BUDAYA KAPIKUKUHANG ATUK TRI HITA KARANA
Para Darsika miwah uleman sane wangiang titiang,
Taler para Ida dane utawi semton pamilet sane sihin titiang,
Om Swastyastu,
Angayubagia uningayang titiang majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, saantukan wantah sangkaning asung kertha wara nugraha Ida, mawinan iraga prasida kacunduk masadu arep sakadi mangkin ring galahe sane becik puniki. Ampure ping banget lungsurin titiang ring Ida dane sinamian riantuk tambet titiange kalintang, nanging purun nglangkungin linggih Ida dane pacang maatur-atur samatra nganinin Indik ” Bali Wisata Budaya Kapikukuhang atuk Tri Hita Karana”.

Ida-dane Pamiarsa sane kasumayang titiang,
Ida dane sareng sami sayukti pisan sekadi mangkin, sami sampun uning rumasa ring kawentenan kauripane pamekas iriki ring Bali sayan sukerta, sangkaning pidabdab duene sareng sami sane marupa wewangunan sekala molihing don. Inggih punika kasidan mapikolih. Mungguing bhoga, upabhoga, lan paribhoga sami sampun sapatuta. Sarana makadi margi, listrik genah malajah marupa sekolah, pasar, bale banjar, miwah sane lienan sampun wenten kadi babuatane. Punika sami silih sinunggil sangkaning panglimbak wisata budaya sane mapikolih. Lian ring punika, taler mapikolih ring utsaha nyujur karahayuan jagat. Satata ngulati, ngastiti mangdawaras, seger pinaka bekel nglaksanayang swadarmane, ngulati nitenin mangda briak-briuk makrama.
Sakadi sane ketah kauningin, kantos mangkin Pulau Bali kantun kaangken pinaka “Pulau Seni Budaya, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan, Pulau Seribu Pura miwah Pulau Sorga utawi The Last Paradise”. Sajaba punika Bali kabaos pinaka daerah tatujon wisata Indonesia Bagian Tengah. Sajeroning nitenin linggihe pinaka daerah tatujon wisata, Bali ngemanggehang Pariwisata Budaya pinaka daya tarik wisatawane sane pinih utama. Duaning asapunika, budaya Baline patut kaupapira mangda prasida ajeg, kukuh miwah lestari. Yening budaya Bali ne sampun rered utawi runtuh, pariwisata Baline pacang taler sayan rered tur padem, mawinan pawangunan ring Bali nenten pacang prasida mamargi antar.
Sane mangkin, ngiring baosang, asapunapi tata carane mangda budaya Bali ne prasida ajeg kantos kapungkur wekas? Para jana Bali ne saking dumun sampun kaloktah pinaka masyarakat gotong royong, nginggilang rasa sagilik-saguluk salunglung sabayantaka sarpanaya utawi ngelarang kesatuan miwah persatuan mangda prasida ngemolihang kasukertan. Dasar kahuripan puniki raris kemargiang antuk:
1. Mikukuhang tur ngrajegang Sang Hyang Agama Puniki manut ring pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Nginggilang tata prawertining Maagama Hindu Tegesnyane ring ngelimbakang seni budaya Bali patut kadasarin antuk sasunduk miwah tata sulur agama.
3. Ngrajegang Tata sukertaning desa saha pawongannyane sekala lan niskala. Puniki mepiteges mangda sareng sami mamiara tata sukerta utawi keamanan desa antuk ngemargiang daging awig-awig Desa Pakraman sekala miwah niskala.
4. Nincapang Pangweruh, Kasusilan, miwah Pangupajiwa.Tegesnyane nenten surud-surud melajahang rage, nelebang daging sastra agama miwah teknologi maka bekel kahuripan anggen ngerereh pangupajiwa.

Ida-dane, sane wangiang titiang,
Ritatkala nglimbakang wewangunan pariwisata punika manut dudonan pangrencana, mangda kapikukuhan antuk Tri Hita Karana : tetiga pidabdab sane prasida ngametuang tatiga karahayuan jagat, inggih punika : Parahyangan, Pawongan, lan Palemahan. Parhyangan punika genah suci umat Hindu mangda janten-janten kasuciang olih pngepon pariwisatane, nenten cemer tur nenten sayan rusak. Pawongan, wong Bali sane neunang tur ngraksa pariwisata mangda sareng ngawerdiang, sareng midabdab sahanan genah utawi tetujon wisatene mangda asri pamekas taler ring budaya Baline. Indik palemahan, janten wenten karang suwung, karang palemahan sane katandurin antuk wit-wit taru sane mapikenoh sajeroning kahuripan. Mangda nenten sami kagentosin antuk wewangunan beton, hotel, cottage, saha pirantin ipun. Wewangunan kasidan magda kaanutang ring sejeroning pidabdab lan pangrencana sane sampun kasungkemin olih para jana Baline, sajeroning peraturan daerah lan awig-awig desa adat.

Nyarca indik pidabdab, pikeneh lan puaran wewangunan parwisata : tetojon lan genah wisata ring Bali wiakti makueh pisan babutan lanparantinyane. Sakewaten titiang nguningayang I wawu wantah akidik pinaka jalaran anggen pinget gumantingulati pamargi sane becik taler anggen pidabdab, anggen nincapang wewangunan pariwisata, kebudayaan lan kesenian Baline kapungkur wekas sayan becik. Mogi-mogi rasabakti, sutindih paramabela ring wangsa, desa lan negara sayan-sayan nincap



Sajaba punika, utsaha ngajegang seni miwah budaya Bali ketah kadasarin antuk dasar panglimbakan pawangunan adat Bali ne, warisan leluhur sane pinih utama sane kawastanin ajahan “Tri Hita Karana” minakadi Parahyangan, Pawongan,miwah Palemahan.
1. Parahyangan, meteges ngutamayang pawangunan sekala niskala taler nangun “hubungan” sane harmonis, medasar antuk manah suci majeng ring Ida Sag Hyang Widhi Wasa. Conto nyane inggih punika, melajahang rage, rajin metirtha yatra, mecikang genah-genah suci/Pura. Mangda polih pasuecan ring Ida Hyang Parama Kawi.
2. Pawongan, mateges nglimbakang tatakramaning kahuripan kemanusan minakadi ngwangun, ngelaksanayang sekancan parilaksana sane becik majeng ring semeton manusa sami. Puniki dasar nyane wantah Tri Kaya Parisudha, Kayika, Wacika, Manacika Parisudha. Berfikir, Berkata dan berbuat yang baik.
3. Palemahan, tegesnyane, mautsaha mamiara alam lingkungan gumanti prasida ngemolihang kahuripan sane trepti miwah kerta raharja. Sekadi ngelaksanayang upacara Tumpek Bubuh/Wariga, nanem pohon penghijauan, nanem mangrove, miwah sane tiosan.
Ida dane miwah semeton sami sane banget mustikayang titiang,
Kadi asapunika titiang prasida maatur-atur ring galahe sane becik puniki. Matur suksme banget antuk uratian Ida-dane sinamian. Menawi ta wenten iwang atur titian ten manut ring arsan Idadane, lugrayang titiang ngelungsur geng rena pengampura. Pinaka pamuput atur, sineb titiang antuk Parama Shanti,
OM Shanti Shanti Shanti OM.


 (2)
“Desa Pakraman Pinaka Sengker Ngawetuang Baline Ajeg”.
Om Swastyastu
Maka purwakaning atur titiang, pinih ajeng mantuka ring ida dane sareng sami, mustikanyane pisan Angga Juri sane kusumayang titiang. Maduluran antuk manah lascarya, lugrayang titiang ngaturang puja pangastuti ring Ida Hyang Parama Kawi, riantukan sangkaning asung kertha wara nugrahan Ida, titiang asapunika taler ida dane sareng sami, sida kasidan mapupul iriki, gumantin ipun ngamiletin pamargi pacentokan pidarta basa Bali, mapaiketan ring pekan seni remaja Kabupaten Badung warsane mangkin. Dumadak wekasan pamargi asapuniki sayan limbak kawentenannyane wastu sida ngawetuang jagat Baline ajeg.
Ida dane sareng sami mustikan nyane para pamilet sane wangiang titiang, ring galah sane becik puniki atur pidartan  titiang mamurda “Desa Pakraman Pinaka Sengker Ngawetuang Baline Ajeg”.
Ida dane sareng sami
Bali sampun kasub kawentenannyane ring dura nagara, sane sering kabaosang “Paradise Island” taler wenten sane maosang Bali punika “Morning Of The Word”. Bali kabaosang sekadi asapunika riantukan kaasrian lan kaluihan Adat lan Budayannyane sane ngangobin tur ngulangunin.
Midartayang indik ajeg Bali, punika merupa pabuat sane dahat mautama pisan. Riantukan pawangun jagat Baline kapungkur wekas, tan lempas ring swadharma sane mapiranti antuk pikukuh Tri Hita Karana, sane kajiwa-pramanin antuk sastra agama Hindu. Puniki sida werdi tur limbak, majanten sangkaning kawentenan adat lan budaya Baline sane mentik ring Desa-desa Pakramane.
Tri Hita Karana inggih punika marupa serana nyujur karahayuan urip, sanatana dharma, wastu sida moksatam jagad hita, malarapan antuk subhakti ring Ida Hyang Parama Kawi, paras paros ring sesamen manusa miwah tresna asih ring sarwa mauripe. Sami puniki mangda kadasarin antuk Tri Kaya Parisuda, saha kaetang maduluran antuk Catur Marga. Duaning asapunika, sandang pisan telebang anggen geguat lan sepat siku-siku pamatut nitenin urip maka krama Bali, bilih-bilih ring panglimbak aab jagate mangkin, yan irgamayang titiang, tan bina luir segara tan patepi, capuh awor tan pawates.
Agama Hindu, Adat lan Budaya Bali, punika sampun majanten madue paiketan. Kabaosang sakadi asapunika riantukan tatwa-tatwa Agama Hindu sane marupa pupulan tatwa luhur lan suci, punika sane ngurip, sane kaanggen sepat siku-siku ritatkala malaksana olih para karma Baline. Tata cara sane kadasarin antuk tatwa Agama Hindu, sane kalaksanayang punika kabaosang Adat Bali. Selantur nyane,  Adat punika limbak ring soang-soang Desa Pakraman, sane masikian sareng seni Budaya Bali sane ngawetuang Desa Mawa Cara.  Cutetnyane, Agama Hindu , Adat lan Budaya Bali  punika tan dados pasah utawi palas. Napi mawian? Riantukan maka sami punika patut masikian mangda prasida mamargi antar. Agama Hindu sane ngurip Adat lan Budaya Bali sane nglimbak ring soang-soang Desa Pakraman pinaka sengker sane patut kaupapira kalestarian nyane. Desa pakraman inggih punika pupulan krama sane madue hukum adat ring Bali nganutin tatwa Agama Hindu, sane mapaiketan ring Kahyangan Tiga. Swadharmaning soang-soang Desa Pakraman sane wenten ring Bali inggih punika :
1. Ngaryanang awig-awig
2. Mikukuhin dharmaning agama
3. Nglimbakang budaya Bali kadasarin antuk paras-paros, saglilik-sagluluk, salunglung-sabayantaka.
4. Sareng – sareng ngalaksanayang pawangunan mangda sida jagat Baline  landuh, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja sakala-niskala, sane kabasos moksatam jagat hita ya ca iti dharma.
Yening maka sami punika rered tur padem, sinah pawangunan Bali puniki nenten prasida mamargi antar. Napi malih ring pungkuran puniki wenten makudang-kudang wicara nibenin adat lan budaya druene, minakadi biuta sane kawetuang olih krama Desa ngenenin indik wewidangan, taler pamargi budaya asing sane tan nganutin tata titi sane wenten ring Bali. Punika wiakti banget ngawetuang pikobet, nanging punika marupa pakibeh jagat, iraga patut yatna-yatna ring kawentenan.
Pamekas iraga sareng sami mangkin mangda sida ngayunin malarapan antuk mulat sarira. Iraga sareng sami maka pawaris, sakadi mangkine kabaos putra bangsa, mangda yukti-yukti nyejerang rasa sutindih ring gumi, setata misinggihang dharmaning agama lan dharmaning Negara, sane gumanti kasungkemin tur kasinggihang ring jagate.
Ida Dane Sareng Sami
Ngajegang jagat Bali puniki, marupa kapatutan iraga sareng sami, maka pratisentana sane embas ring Bali, sane gumanti patut ngertiang warisan leluhur, mapiranti antuk mingsinggihang swadharmaning bela nagara. Yan saihang ring kawentenane riin, para leluhur matoh pati melanin gumi, riantukan kabanda antuk bromo corah, setata pangusak-asik, marikosa, mamati-mati wong tan padosa, sane dados meseh  dahat madurgama. Sane mangkin meseh asapunika tan wentenmalih. Nanging panglalah budaya dura negarane patut waspadain, mangda tan ngarubeda, riantukan puniki sida ngawetuang jagat Baline rusak. Adat budaya lan sastra agamane anggen panegulan nekekang kaajegan jagat Baline sane sampun kaloktah rauh ka jaba negara. Yan punika sida kaulati sareng sami, sinah jagat Bali landuh, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja sakala-niskala, sane kabasos moksatam jagat hita ya ca iti dharma.
Ida dane sareng sami
Yan cuteteng titiang daging pidarta puniki,
1. Ajeg Bali inggih punika sahanan prawertine sane sida ngalanggengang indik tetamian para leluhure nguni,makadi adat, budaya lan agama.
2. Sane patut ngajegang jagat Bali puniki nentenja tios wantah iraga sareng sami pamekas nyane pratisentanan Baline tur sang sapa sira ugi sane urip kamertain antuk sari-sarining bhoga jagat baline, kamanggala antuk sang mawa rat,masarana antuk kayun lascarya tan paleteh.
3. Dasar ajeg Bali inggih punika Tri Hita Karana, sane kauripin antuk sastra agama Hindu.
4. Desa pakraman wantah marupa genah miara sahanan pangwerdian adat lan budaya Baline, pinaka sengker sane patut kaupapira kalestarian nyane.
Ida dane sarengsami sane kusumayang titiang
Wantah asapunika mungguing atur pidartan titiang, mogi-mogi wenten pikenoh ipun. Tios ring punika, titian tan lali ngalungsur agung rena pangampura, manawi wenten kirang-kirang ipun. Maka pamuput atur, titiang ngaturang parama santhi
Om Santih Santih Santih Om 

 (3)

“Nelebang Daging Sastra Anggen Ngaruruh Widya Guna”.
Om Swastyastu
Maka Murdhaning atur, pinih ajeng mantuka ring ida dane sareng sami, mustikanyane pisan Angga Juri sane kusumayang titiang. Sadurung titiang  matur, lugrayang titiang ngaturang rasa angayu bagia mantuka ring Ida Hyang Parama Kawi, riantukan sangkaning asung kertha wara nugrahan Ida, titiang prasida sadu ajeng ring ida dane sareng sami, gumantin ipun ngamiletin pamargi pacentokan Dharma Wacana, sane mapaiketan ring “Hari Pendidikan Nasional” warsane mangkin. Dumadak wekasan pamargi asapuniki sayan limbak kawentenannyane wastu sida pawangunan jagat Baline puniki mamargi antar.
Ida dane sareng sami mustikan nyane para pamilet sane wangiang titiang, mungguing darma wacana sane pacang atur uningayang titiang mamurda “Nelebang Daging Sastra Anggen Ngaruruh Widya Guna”.
Ida dane sareng sami
Nelebang daging sastra, punika merupa pabuat sane dahat mautama pisan. Riantukan pawangun jagat Baline kapungkur wekas, tan lempas ring swadharma sane kajiwa-pramanin antuk sastra agama Hindu. Puniki sida werdi tur limbak, majanten sangkaning kawentenan para janane, pamekas nyane para yoana utawi sisya sane makayunan nelebang sahananing daging sastra utawi cakepan-cakepan. Kabaosang sakadi asapunika, riantukan punika tan bina luir suluh sane nyuluhin awidya ring angga sarirane, mangda sida nyihnayang widya sastra, maka wiweka nimbangin iwang kalawan patute punika. Yan tan pasastra, nirdon urip ring jagate. Ring niti sastra kabaos sakadi asapuniki :
Heman I sang mamukti dumadi, tika tan hana guna,
Yowana, rupawan, kula, wisala, tika pada hana,
Den Ika tan pasastra, tanateja wadana makucem,
Lwir sekar ing sami abang murub, tan hana wangin ika.
Teges ipun :
Kaon pisan manresti dados manusa, sane asapunika tan maguna,
Anom, bagus, wangsa luih, siteng, punika sami kadruenang,
Yan tan madasar sastra ( kaduegan) romane ucem tan pacaya
Tan bina kadi bunga barak ngendih, nanging tan mabo miyik.
Iraga sareng sami, punika anggen pratiwimba, nampa kauripane mangda sida plapan, sampunang nega-nenga malajahin sastra, yan sakadi mamargine mangda sida rauh ka tanggu. Yan sampun ngamolihang kaweruhan, punika kaanggen pasupati ring sajeroning kauripan, anggen nyanggra pawangunan jagate, pamekas ring Bali,wastu sida ajeg, duaning punika marupa kapatutan iraga maprawerti, maka panrestian jadma Bali luih guna.
Masa muda adalah masa belajar , asapunika ketah mangkine, puniki masuksama iraga sareng sami para anom-anome, mangda teleb ngulati kaweruhan. Mapan urip masarira manusa tan bina luir patapan ambengane, ring sajeroning urip wimuda kadi mangkine, kabaos mengpeng tajep, mangan ngidepang widya sastra. Yan sampun wayah wastu sida dados kereb, maka pangayom jagat.
Iraga para yoana sareng sami, punika anggen pratiwimba, mangda sida plapan, sampunang obah malajah mauruk sastra,ngulati kaweruhan. Maka cutet, masekolah mangda ngantos molihang ijasah, tan bina sakadi panah pasupati paicvan Ida Bhatara Siwa, kaweruhane punika kaanggen nyanggra uripe wekasan, mangda urip tan nemu kasengsaran, maka pabuat jadma luih guna.
Jadma luih guna inggih punika jadma sane satata mingsinggihang pakerti leluhur, mapiranti antuk swadharmaning bela Negara.
Yan punika sampun sida katelebang, majanten sampun mupu tetujon pemerintahe. Duaning maka unteng tetujon pemerintahe  tan lian wantah mautsaha nincapang kaonengan para janane mangda seneng ngawacen. Yan sampun seneng ngawacen sinah sida nincapang kaweruhang, sane dahat mawiguna rikala ngempu uripe kapungkur wekas.
Ida dane sarengsami sane kusumayang titiang
Wantah asapunika mungguing atur dharma wacanan titiang, mogi-mogi wenten pikenoh ipun. Tios ring punika, titiang tan lali ngalungsur agung rena pangampura, manawi wenten kirang-kirang ipun. Maka pamuput atur, titian ngaturang parama santhi
Om Santih Santih Santih Om

TRI HITA KARANA

Om Swastyastu,
Pada kesempatan yang baik ini saya akan mencoba menyampaikan sebuah paparan yang topiknya “TRI HITA KARANA. Ketertarikan saya untuk mengangkat topik ini tiada lain berangkat dari sebuah renungan yang menghasilkan sebuah kekaguman atas keadiluhungan konsep Tri Hita Karana yang saat ini menjadi primadona dalam konsep pembangunan bagi HINDU yang Mandara (aman, damai dan sejahtera).
Hadirin umat sedharma terkasih yang saya banggakan, telah banyak fenomena kehidupan disisi kita saat ini dapat kita jadikan sebagai refleksi untuk bangkit menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tujuan agama Hindu Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma” hanya akan dapat terwujud apabila di hati umat sedharma telah mampu menciptakan keselarasan, keharmonisan, serta keseimbangan dalam bergagai konteks kehidupannya. Konsep Tri Hita Karana yang mulai populer dan menjadi ikon HINDU dalam menata sendi-sendi kehidupan masyarakatnya sejak beberapa dasa warsa belakangan ini, sesungguhnya sudah ada sejak peradaban Hindu itu ada.
Pada zaman Majapahit Tri Hita Karana merupakan salah satu dari delapan belas rahasia sukses pemimpin besar Nusantara Gajah Mada pada waktu itu. Gajah Mada memasukkan konsep ajaran Tri Hita Wacana yang harus diikuti oleh para pemimpin Majapahit untuk mewujudkan cita-citanya mempersatukan Nusantara. Konsep Tri Hita Wacana yang dirumuskan oleh Gajah Mada itu, kini lebih dikenal dengan ajaran Tri Hita Karana sebagai sebuah doktrin keselarasan, keserasian, keharmonisan, dan keseimbangan dalam menata ke ajegan HINDU khususnya di Bali (Suhardana, 2008 : 77)
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :
1. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
2. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
3. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Selanjutnya ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat HINDU diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Parahyangan adalah merupakan kiblat setiap manusia (baca : Hindu) untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta ( sangkan paraning dumadi ) yang dikonkretisasikan dalam bentuk tempat suci, pawongan merupakan pengejawantahan dari sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri, bahwa manusia tak dapat hidup menyendiri tanpa bersama-sama dengan manusia lainnya (sebagai makhluk sosial). Sedangkan palemahan adalah merupakan bentuk kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, bahkan merupakan bagian dari alam itu sendiri.
Para Dewan Juri, hadirin umat sedharma, dan pemirsa yang berbahagia. Akhir-akhir ini telah kita saksikan bersama berbagai macam fenomena dan kejadian alam serta sosial yang sangat memprihatinkan kita semua. Umat manusia semakin menjauhkan diri dari Sang Penciptanya, degradasi moral kian memuncak, dan kepedulian terhadap lingkungannya sudah tergerus oleh keegoisan yang tak mengenal kompromi. Sudah saatnya dan belum terlambat buat kita untuk memulai berbenah diri. Konsep yang paling sederhana adalah marilah kita gali khazanah adiluhung yang telah diwariskan oleh para leluhur kita terdahulu, serta mari kita representasikan ke dalam bentuk tindakan nyata dengan tetap mengedepankan kepentingan bersama. Mari kita duduk bersanding dengan kejernihan hati yang jauh dari rasa apriori dan kemunafikan. A no bhadrah kratawo yantu wiçwatah, semoga pikiran yang jernih dan bijak datang dari segala penjuru.
Misalnya Bali dengan popularitasnya di mata dunia, tidak semata karena keindahan panoramanya akan tetapi lebih dari itu adalah karena taksu yang dimiliki Bali. Taksu Bali yang kami maksudkan adalah terletak pada keutuhan konsep Tri Hita Karana dalam setiap gerak perilaku masyarakat Balinya. Bali dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu memberi kontribusi besar yang turut mendongkrak menjadikan nama Bali semakin mendunia. Itu tiada lain karena konsep Tri hita Karana dan masyarakat Balinya yang religius dijiwai oleh ajaran Weda yang universal. Kita tidak menutup mata, bahwa masih banyak di belahan dunia ini memiliki keindahan alam yang jauh lebih asri dari Bali, dan bahkan tidak tertutup kemungkinannya telah mengadopsi serta mempraktekkan konsep Tri Hita Karana yang kita miliki. Timbul kemudian pertanyaan, “ Kenapa mereka tetap masih di bawah performa Bali ? Jawabannya adalah karena konsep Tri Hita Karana yang diadopsi dan masyarakat pendukungnya tidak dijiwai oleh spirit Weda.
Saudara-saudaraku umat sedharma yang saya banggakan, kembali kepada tema pokok dan judul dharma wacana kali ini, bahwasannya Tri Hita Karana sebagai konsep keselarasan hidup masyarakat Bali (baca: Hindu) memiliki spirit yang sangat kuat untuk mewujudkan HINDU yang siap dan tangguh dalam menghadapi tatanan masyarakat dunia yang semakin keras dan kompleks. Oleh karena itu mau tidak mau, rela tidak rela kita harus bersedia membuka diri untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya luar dengan semangat paramartha (tujuan mulia) serta tetap berlandaskan pada spirit dharma yang berstana dalam ajaran Weda. Saya yakin dengan demikian, HINDU ke depan merupakan kiblat dunia yang tiada duanya.
Dalam mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana yang dimaksud, sangat ditekankan bahwa ketiga unsurnya harus diaplikasikan secara utuh dan terpadu. Unsur parahyangan, pawongan, dan palemahan tidak ada yang menduduki porsi yang istimewa. Dia senantiasa seimbang dalam pemikiran, seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala tindakan. Sebagai konsep keharmonisan HINDU, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Unsur parahyangan dalam menjaga keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam berbagai bentuk aktivitas yadnya sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama, kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat, dsb.) untuk kepentingan ritual, kesemuanya itu membuat decak kagum orang-orang di luar sana. Dalam ranah pawongan, masyarakat Hindu dengan konsep manyama-braya, paras-paros sarpanaya, salunglung sabayantaka, dan Tat Twam Asi yang mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang ramah- tamah. Lebih-lebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap Hukum Karma Phala membuat kita semakin aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Sebelumnya saya mempunyai sebuah pertanyaan, “Adakah agama di dunia ini mempunyai hari raya yang terkait dengan lingkungan ?” Jawabnya adalah ‘tidak’ kecuali Hindu. Karena apabila agama lain ada upacara untuk itu, berarti ia memperkuat kultus berhala, sementara ia sangat alergi dengan hal-hal berhala. Bagaimana dengan Hindu ? Hindu bukan agama berhala, walau ada hari raya Tumpek Pengarah untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Kandang untuk segala macam ternak, Tumpek Landep untuk segala macam perabotan (senjata) sebagai sarana-prasarana mencari kehidupan, Nyepi untuk keharmonisan jagat raya, dan lain sebagainya. Karena substansi dari hari raya itu adalah persembahan yang tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai rasa syukur atas segala kemudahan yang dianugrahkan-Nya melalui media yang ada di alam semesta ini, dengan diiringi oleh sebuah permohonan semoga di anugerahkan kelestarian dan kemakmuran yang berkeseimbangan dan berkelanjutan.
Dalam Bhagawadgita, II.10 diuraikan :
“Sahayajnah prajah srstva
Puro ‘vaca prajapatih
Anena prasavisyadhvam
Esa vo’stv istakamadhuk”
“ Pada zaman dahulu, Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati) menciptakan alam semesta dan segala isinya dengan yadnya, serta bersabda: Wahai makhluk hidup dengan yadnya ini engkau akan berkembang dan peliharalah alam semesta ini menjadi sapi perahanmu”.


Bhagwadgita,VII.22 menegaskan :
“Sa taya sraddhaya yuktas,
Tasya ‘radhanam ihata,
Labhata ca tatah kãmãm,
Mayai’va vihitãm hi tãn.

“Diberkahi dengan kepercayaan itu dia mencari penyembahan pada itu dan dari itu pula dia dapat apa yang dicita-citakannya dan hasil mana adalah pemberian dari AKU sendiri.”
Pesan yang dapat dipetik dari sloka tadi adalah: bahwa kita harus senantiasa eling dan bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta jagat raya dengan segala isinya, selanjutnya membina hubungan yang harmonis di antara sesama manusia dan lingkungan sekitar. Maka dengan keyakinannya itu segala yang dicita-citakan akan tercapai sebagai berkah dari Yang Mahakuasa.
Umat sedharma dan pemirsa yang terkasih, dalam upaya menjaga keharmonisan alam semesta ini umat Hindu senantiasa menjaga keselarasan antara sekala dan niskala baik secara vertikal dengan Sang Pencipta dan lingkungan alamnya, maupun secara horizontal antar manusianya. Dengan demikian terciptalah energi positif yang dapat memberikan aura dan nuansa magis-spiritual. Ditambah lagi, dengan semakin eksisnya lembaga adat yang digerakkan atas konsep Tri Hita Karana menjadikan masayarakat HINDU semakin harmoni dan mandara. Umat HINDU akan semakin siap menghadapi segala tantangan pada era keterbukaan atau kesejagatan ini.
Umat sedharma dan pemirsa yang saya banggakan, sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya sampaikan pada forum ini akan tetapi mengingat terbatasnya waktu yang diberikan maka dharmawacana pada kesempatan ini saya akhiri dengan menghaturkan cakuping kara kalih, dan tidak lupa mohon maaf atas segala kekurangan yang ada pada diri saya.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om