"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/22/2012

UTSAWA DHARMA GITA


      Berdasarkan kitab suci Veda, Utsawa Dharma Gita pada hakekatnya adalah; Phalasruti, Phala- sloka, dan Phalakwaya. Phalasruti mengandung makna pahala dari pembacaan kibat-kitab sruti atau wahyu yang pada umumnya disebut mantra yang berasal dari Hyang Widhi.  Phalasloka adalah pahala dari pembacaan kitab-kitab susastra Hindu seperti kitab Itihasa, yakni Ramayana cur. Mahabrata. Phalawakya adalah tradisi pembacaan karya sastra Jawa Kuno berbentuk prosa atau parva. Utsawa berarti festival atau lomba. Sedangkan Dharma Gita adalah nyanyian suci keagamaan. Dengan demikian, Utsawa Dharma Gita adalah festival atau lomba nyanyian suci keagamaan Hindu. Utsawa Dharma Gita. sebagai kidung suci keagamaan Hindu telah lama berkembang di masyarakat melalui berbagai pesantian, , baik yang ada di Bali maupun luar Bali. Sebelum menasional, Utsawa Dharma Gita dilaksanakan Pemda Bali dalam bentuk lomba kekawin dan kidung.   Penggunaan Dharma Gita dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan sangat membantu menciptakan suasana hening, hikmat/kusuk yang dipancari getaran kesucian dengan jenis yadnya yang dilaksanakan, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan hening, hikmat/kusuk. Untuk melestarikan dan mengembangkan Dharma Gita dalam pelaksanaan kegiatan di masyarakat, Utsawa Dharma Gita diupayakan berlangsung setiap tiga tahun sekali. Utsawa Dharma Gita tingkat nasional telah berlangsung delapan kali berturut-turut.

      TUJUAN UTSAWA DHARMA GITA 
          Meningkatkan rasa keagamaan sebagai wujud pemahaman ajaran agama. Meningkatkan sradha dan bhakti sebagai landasan terbentuknya ahlak mulia. Melestarikan dan mengembangkan Dharma Gita di kalangan umat Hindu. Memantapkan kerukunan hidup intern umat Hindu yang serasi dan harmonis. Mempersatukan dan menyamakan persepsi tentang Dharma Gita. Meningkatkan kajian terhadapa kitab suci Veda.
         Meningkatkan keterampilan membaca kitab suci Veda atau kidung-kidung keagamaan. Meningkatkan penguasaan materi ajaran agama Hindu.

OM SUASTIASTU & SUASTIKA


Om Suastiastu merupakan panganjali umat Agama Hindu dimana kata Om Suastiastu berasal dari kata sansekerta yaitu “SU +ASTI + ASTU. Su artinya baik, asti artinya adalah dan Astu artinyamudh-mudahan. Jadi Om Suastiastu mengandung makna “SEMOGA ANDA DALAM KEADAAN BAIK ATAS KARUNIA SANG HYANG WIDI” Kata Swastiastu ini berhubungan erat dengan symbol suci aama hndu yaiu Suastika yang merupakan dasar kekuatandan kesejatraan buana Agung (macrokosmos,red) dan Buana Alit (mikrocosmos,Red). Bentuk swastika ini dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip dengan galxy atau kumpulan bintang-bintang dicakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran Alam mini.
               Dengan ucapan Om Swastiastu sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi.



sumber "upadesa"

METODE GOTONG ROYOONG


Dalam dunia pendidikan paradigma lama mengenai proses belajar mengajar bersumber pada teori (atau lebih tepatnya asumsi) tabula rasa John Locke yang menyatakan bahwa pikiran anak seperti kertas kosong yang putih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Dengan  kata lain, otak seorang anak sepeti botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan kebikaksanaan sang mahaguru.
              Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Kita tidak bisa lagi mempertahankan  paradigma lama tersebut. Teori, penelitian dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa para guru sudah harus mengubah  paradigma pengajaran. Kita perlu  menelaah kembali praktik-praktif pembelajaran di sekolah-sekolah . peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk  berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat  berbeda dengan peranan  tradisional yang selama ini dipegang oleh sekolah-sekolah.
              Ada persepsi umum yang sudah  berakar dalam dunia  pendidikan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah  merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi  dan pengetahua. Guru perlu bersikap atau setidaknya  dipandang oleh siswa sebagai yang mahatahu dan sumber informasi . lebih celaka lagi siswa belajar dalam situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengajar nilai-nilai tes  dan ujian yang tinggi.
              Tampaknya perlu adanya perubahan dalam menelaah proses belajar siswa interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogyanya kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain  itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesame siswa yang  lainnya. Bahkan banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (pear teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. System pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesame siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut  sebagai system “ pembelajaran gotong royong” atau cooperative  learning. Dalam system ini, guru bertindak sebagai fasilitator.
              Ada beberapa alas an penting mengapa system pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi social, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.
              Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong tidak terlampau asing dan mereka  telah sering menggunakannya dan mengenalnya  sebagai metode kerja kelompok. Memang tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugarkan para siswa untuk bekerja dalam kelompok.
              Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Berbagai sikap dan kesan negative memang bermunculan dalam pelaksanaan metode kerja kelompok. Jika kerja kelompok tidak berhasil, siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang pandai/rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil kerja mereka. Akibatnya metode kerja kelompok yang seharusnya bertujuan mulia, yakni menanamkan rasa persaudaraan  dan kemampuan bekerja sama, justru bisa berakhir dengan ketidakpuasan dan kekecewaan. Bukan hanya guru dan siswa yang merasa pesimis  mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang orang tua pun merasa was-was jika anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok dengan siswa lain yang dianggap kurang seimbang.
              Berbagai dampak negative dalam menggunakan metode kerja kelompok tersebut seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian  dalam mempersiapkan dan menyusun metode kerja kelompok. Yang diperkenalkan dalam metode pembelajaran cooperative learning  bukan sekedar kerja kelompok melainkan pada penstrukturannya, jadi system pengajaran cooperative learning  bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsure pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama dan proses kelompok.
              Kekawatiran bahwa semangat siswa dalam mengembangkan diri secara individual bisa terancam dalam menggunaan metode kerja kelompok bisa dimengerti karena dalam penugasan kelompok yang dilakukan secara sembarangan, siswa bukannya belajar secara maksimal, melainkan belajar mendominasi ataupun melempar tanggung jawab. Metode pembelajaran gotong royong distruktur sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota dalam satu kelompok melaksanakan tanggung jawab pribadinya karena ada system akuntabilitas individu. Siswa tidak bisa begitu saja membonceng jerih payah rekannya dan usaha setiap siswa akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya.

KRITIK TEKS


Kritik teks adalah aktivitas menganalisis teks yang termuat dalam naskah-naskah salinan untuk mengukur teks dalam hubungannya dengan teks asli (otograf). Tujuan akhir kritik teks adalah menemukan teks yang asli atau mendekati aslinya untuk bahan penyuntingan yang akan menghasilkan teks bersih dari segala kesalahan.Objek utama dalam kritik teks adalah aksara yang digunakan untuk menulis teks, bahasa teks, kesahihan teks, dan kandungan teks.
PENYUSUNAN LANGKAH PENELITIAN
1.Pencatatan dan pengumpulan naskah satu versi
2.Perbandingan naskah:
-Resensi: membaca dan menilai teks
-Perbandingan teks
-Mengelompokkan naskah atas versi-versi berdasarkan kesamaan bahasa, kandungan, dan struktur teks
-Eliminasi: penyisihan naskah yang tidak satu versi.
 3. Eksaminasi
-Melakukan perbandingan antar naskah
-Menentukan metode penyuntingan yang tepat sesuai keadaan naskah objek penelitian.
-Membaca dan memeriksa semua teks dalam naskah-naskah objek penelitian.
-Memeriksa kesalahan atau bagian yang diduga menyimpang dari teks asli.
-Mencatat seluruh kesalahan salin atau peyimpangan yang terdapat pada setiap naskah.
-Memisahkan perubahan atau peyimpangan mekanis dan non-mekanis
-Mencatat perbedaan vacaan (varian) antar naskah
--------------------------------------------------------------------------
BERSAMBUNG BELOM ADA BAHAAN,,,,
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''' 

MENULIS


Aktivitas  menulis merupakan suatu bentuk  manivestasi kemampuan/keterampilan berbahasa paling akhir dikuasai pelajar bahasa setelah kemampuan mendengarkan (menyimak), berbicara, dan membaca. Dibandingkan tiga kemampuan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal itu disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai  unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi karangan. Baik unsur bahasa maupun isi haruslah terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan karangan yang runtut dan padu.


Haliday menyebutkan bahwa ada tiga macam pembelajaran bahasa yang berlangsung bersamaan dan saling berkaitan. Yang dimaksudkan adalah belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa.  Ketiga jenis pembelajaran bahasa ini terdapat dalam tindak bahasa yang sesungguhnya, yaitu kejadian-kejadian otentik, orang-orang memakai bahasa untuk proses komunikasi dalam konteks situasi yang sesungguhnya. Itulah sebabnya belajar bahasa menjadi mudah kalau utuh, bermakna, dan fungsional, tetapi menjadi sangat sukar kalau tidak. Bahasa tulis juga menjadi mudah kalau dipelajari dalam konteks peristiwa kebahasaan yang otentik, seperti juga bahasa lisan.
Pada umumnya, aktivitas orang menghasilkan bahasa tidak semata-mata hanya bertujuan demi produktivitas bahasa itu sendiri, melainkan karena ada sesuatu yang ingin dikomunikasikan lewat bahasa. Dengan kata lain, bahasa hanya merupakan sarana, dan gagasan apa yang ingin dikomunikasikan lebih penting daripada sarana bahasa itu sendiri. Menulis bukan semata-mata tugas untuk  (memilih dan) menghasilkan bahasa saja, melainkan bagaimana mengungkapkan gagasan dengan mempergunakan sarana bahasa tulis secara tepat. Dengan kata lain, tugas menulis haruslah  yang memungkinkan terlibatnya unsur linguistik dan ekstralinguistik, memberi kesempatan kepada pelajar untuk tidak saja berpikir mempergunakan (baca: menghasilkan) bahasa secara tepat, melainkan juga memikirkan gagasan-gagasan apa yang akan dikemukakan.
Pelajar dan mahasiswa dituntut terampil menulis. Mereka harus dapat menulis laporan, menulis karya ilmiah dan sebagainya. Mahasiswa tidak dapat lepas dari tugas penulisan laporan buku, makalah, dan mungkin juga penulisan skripsi. Guru dan dosen harus terampil menulis. Pertama untuk menyusun bahan pengajaran atau perkuliahan. Kedua mungkin dalam menyusun buku teks. Bagi guru yang telah menduduki pangkat/ golongan IVa, sekarang dituntut untuk menulis karya ilmiah atau bentuk tulisan yang dipersamakan dengan hasil karya tersebut. Tanpa hasil tulisan itu mereka tidak dapat naik pangkat/ golongan yang lebih tinggi. Bagi dosen bahkan diwajibkan meneliti dan melaporkan hasil penelitiannya secara tertulis. Belum lagi dalam berbagai kegiatan seperti seminar, ceramah diskusi, dan sebagainya yang bersangkutan dituntut untuk menyediakan makalah.
Bila kita menerima pendapat bahwa barang cetakan, terutama buku sebagai gudang ilmu pengetahuan, maka dapat disimpulkan menulis dan penulis adalah tempat atau orang yang memproduksi  isi gudang itu. Tanpa keterampilan menulis gudang itu akan kosong. Satu hal yang sudah pasti ialah pembaca selalu melebihi jumlah penulis. Sekali lagi ditunjukkan bukti bahwa kemampuan menulis yang digunakan oleh sedikit orang peranannya tidak kalah oleh kemampuan membaca yang banyak digunakan orang.

PEMBELAJARAN  MENULIS

Dalam kegiatan menulis, terdapat dua masalah pokok yang terlibat: memilih (mungkin menemukan) gagasan yang akan dikemukakan dan memilih ungkapan (baca :bahasa ) untuk mengemukakan gagasan. Singkatnya kedua masalah yang terlibat itu adalah unsur gagasan dan bahasa. Proses pemilihan  terhadap kedua unsur tersebut merupakan kerja kognitif. Dalam kegiatan menulis yang sesungguhnya, seperti  dikatakan Amran Halim, tugas menulis lebih banyak berhubungan dengan masalah yang bukan bahasa, misalnya memilih dan mengorganisasikan gagasan, dan hanya sebagian saja yang sungguh-sungguh bersifat bahasa. Tugas menulis menuntut kemampuan kognitif yang tinggi, pengetahuan yang luas, dan lain-lain termasuk kepekaan menulis. Itu sebabnya, walau orang sudah terampil berbahasa secara aktif produktif belum tentu  mereka mampu menulis, sekalipun mereka penutur asli.
Bila guru bahasa sudah menghayati tujuan pembelajaran bahasa menurut kurikulum yang berlaku, khususnya tujuan pembelajaran menulis, maka guru harus memperbaiki cara mengajarnya. Untuk itu diperlukan penataan perencanaan, pelaksanaan dan pengevalua sian pengajaran menulis.
Di bawah ini ada beberapa teknik yang dapat ditiru oleh guru untuk kemudian dimodifikasi dan bila mungkin diciptakan model teknik pembelajaran menulis yang baru. Teknik menulis tersebut dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan seperti :

Djago Tarigan dalam bukunya Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa (1986 : 187) mengemukakan beberapa teknik cara pengajaran menulis yang dapat dipergunakan sebagai berikut :
1.     Menyusun Kalimat (menjawab pertanyaan, melengkapi kalimat, memperbaiki susunan kalimat, memperluas kalimat, substitusi, dan transformasi)
2.     Memperkenalkan karangan (baca dan tulis serta simak dan tulis).
3.     Meniru model
4.     Karangan Bersama
5.     Mengisi
6.     Menyusun kembali
7.     Menyelesaikan cerita
8.     Menjawab Pertanyaan
9.     Meringkas isi bacaan
10.  Parafrase
11.  Reka Cerita Gambar
12.  Memerikan
13.  Mengembangkan kata Kunci
14.  Mengembangkan kalimat topik
15.  Mengembangkan judul
16.  Mengembangkan peribahasa
17.  Menulis Surat
18.  Menyusun Dialog
19.  Menyusun Wacana (alinea)

Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (1987 : 273) mengemukakan bahwa tugas yang dapat disusun melalui kemampuan menulis adalah sebagai berikut:
(1)         Tugas menyusun Alinea
(2)         Menulis berdasarkan Rangsang Visual
(3)         Menulis berdasarkan Rangsang Suara
(4)         Menulis dengan Rangsang Buku
(5)         Menulis Laporan
(6)         Menulis Surat
(7)         Menulis Berdasarkan Tema Tertentu.

Penny Ur dalam bukunya A Course in Language Teaching (1996 : 165) ,menuliskan beberapa beberapa kegiatan menulis wacana, antara lain:
1.     Laporan buku (Book Report)
2.     Review buku (Book review)
3.     Kertas Instruksi (Instruction sheet)
4.     Narasi (Narative)
5.     Cerita Pribadi (Personal story)
6.     Menggambarkan pemandangan (Describe a view)
7.     Menggambarkan seseorang (Describe someone)
8.     Menggambarkan masyarakat (Describe people)
9.     Menjawab surat (Answer a letter)
10.  Surat Lamaran  (Job application )
11.  Tujuan perubahan ( Propose change)
12.  Laporan berita (News report)
13.  Sekolah ideal (Ideal school)
14.  Gambaran proses (Describe process)
15.  Musik film  (Film music)

PENILAIAN  MENULIS

       Penilaian kemampuan menulis yang hanya dimaksudkan mengungkapkan kemampuan kebahasaan, atau lebih tepatnya unsur-unsur tertentu kebahasaan saja, cenderung bersifat diskrit atau mungkin integratif. Penilaian yang demikian kiranya dapat juga ditolerir jika tes yang digunakan itu ditujukan kepada pelajar bahasa tahap awal. Bentuk-bentuk tes mungkin berupa mengenal kesalahan, melengkapi kesalahan, ataupun membetulkan kalimat.
       Tugas-tugas tes seperti di atas kurang  dapat mengungkapkan kemampuan menulis siswa yang sebenarnya. Tes di atas di samping tidak menuntut siswa untuk memikirkan isi juga hanya mengukur aspek-aspek tertentu secara terpisah. Oleh karena itu, tugas itu tidak bersifat alami seperti halnya tujuan komunikatif kegiatan menulis pada umumnya. Setelah siswa dapat menghasilkan sendiri bahasa (target), walau sederhana, sebaiknya tugas menulis sudah diarahkan ke penulisan yang pragmatik, membiarkan siswa memilih bentuk bahasa sendiri untuk mengungkapkan gagasannya. Tugas ini akan memberanikan siswa untuk berbuat.
       Penilaian terhadap hasil karangan bebas seperti ini mempunyai kelemahan pokok, yaitu rendahnya kadar objektivitas. Bagaimanapun juga dan betapapun kadarnya, unsur subjektivitas penilai pasti berpengaruh. Untuk itu penilaian yang bersifat holistik memang diperlukan. Akan tetapi, agar guru dapat menilai secara lebih objektif dan dapat memperoleh informasi yang lebih terinci tentang kemampuan siswa untuk keperluan diagnostik-edukatif, penilaian hendaknya sekaligus disertai penilaian yang bersifat analitis. Penilaian dengan pendekatan analitis merinci karangan ke dalam aspek-aspek atau kategori-kategori tertentu.

       Walaupun pengkategorian itu dapat bervariasi, kategori-kategori yang pokok hendaknya meliputi: (1) kualitas dan ruang lingkup isi, (2) organisasi dan penyajian isi, (3) gaya dan bentuk bahasa, (4) mekanik: tata bahasa, ejaan, tanda baca, kerapihan tulisan, dan kebersihan, dan (5) respon afektif guru terhadap karya tulis (Zaini Machmud, 1983: 11).
       Untuk karangan yang ditulis berdasarkan rangsang buku, baik fiksi maupun nonfiksi, kategori ke-1 di atas dapat diganti, atau kriterianya berisi kesesuaiannya dengan isi buku. Penerapan model penilaian analisis dengan kelima kategori di atas dapat dilakukan dengan mempergunakan skala, misalnya skala 1 sampai dengan 10.

No
Aspek yang dinilai
Tingkatan skala


0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4

5

Kualitas dan ruang lingkup isi
Organisasi dan penyajian isi
Gaya dan bentuk bahasa
Mekanik: tata bahasa, ejaan, kerapihan tulisan
Respon afektif guru terhadap karangan












Jumlah skor


       Selain model di atas, kita pun dapat memilih model pendekatan analitis yang lain, misalnya analisis unsur-unsur karangan seperti yang dikemukan oleh Haris  (1969 :68-9). Unsur-unsur yang dimaksud adalah content (isi, gagasan yang dikemukakan), form (organisasi isi), grammar (tata bahasa dan pola kalimat), style (gaya: pilihan struktur dan kosa kata), dan mechanics (ejaan).
       Untuk keperluan praktis, kita perlu menentukan bobot atau besarnya “porsi” untuk masing-masing unsur tersebut. Bobot yang diberikan mungkin sama, misalnya seperti model skala di atas. Akan tetapi, mungkin kita menganggap tidak adil jika unsur-unsur itu diberi bobot sama. Idealnya, pembobotan itu mencerminkan tingkat pentingnya masing-masing unsur dalam karangan. Dengan demikian, unsur yang lebih penting diberi bobot yang lebih tinggi. Berdasarkan pertimbangan terakhir tersebut, berikut ini dicoba membobot masing-masing unsur karangan di atas dengan kemungkinan skor maksimum 100.

No
Unsur yang dinilai
Skor maksimum
Skor siswa
1
Isi gagasan yang dikemukakan
30

2
Organisasi isi
25

3
Tata bahasa
20

4
Gaya: pilihan struktur dan kosa kata
15

5
Ejaan
10


Jumlah
100


       Penilaian untuk kemampuan menulis ke dalam tingkatan kognitif, khususnya tingkat analisis sungguh tidak mudah dilakukan. Hal itu disebabkan aktivitas kognitif yang terlibat sewaktu menulis sangat kompleks, antara tingkatan kognitif yang satu dengan lainnya sangat erat dan tidak mudah dipisahkan. Di samping itu, kita sendiri tak perlu menerapkan pengkategorian tersebut  jika memang tidak mungkin.

a)     Tes Kemampuan Menulis Tingkat Ingatan
Tes ini berisfat teoritis, artinya tes lebih berhubungan dengan teori atau pengetahuan tentang menulis yang sering diajarkan sebelum siswa praktik menulis. Pengetahuan yang dimaksud misalnya yang berhubungan dengan masalah definisi, pengertian, konsep, fakta, dan istilah-istilah yang biasa ditemui dalam pelajaran menulis. Misalnya, masalah alinea, macam-macam alinea, jenis-jenis karangan, kalimat into, kalimat penjelas dan sebagainya, misalnya:
·        Apakah yang dimaksud dengan kalimat deduktif ?
·        Sebutkan empat jenis karangan ?

b)     Tes Kemampuan Menulis Tingkat Pemahaman
Tes ini masih sama dengan ingatan. Tes pada tingkat ini juga belum menugasi siswa untuk menghasilkan karya tulis dengan sungguh-sungguh. Artinya, menghasilkan karangan yang baik gagasan maupun bahasanya berasal dari siswa, misalnya:
·        Jelaskan persamaan dan perbedaan antara karangan yang bersifat pemaparan dengan argumentatif.
·        Mengapa dalam sebuah alinea yang baik perlu ada pikiran pokok dan pikiran penjelas ?

Tes kemampuan menulis tingkat pemahaman ini dapat juga berupa tugas menyusun sebuah alinea berdasarkan kalimat-kalimat (biasanya empat buah) yang disediakan. Tugas ini tidak saja menuntut siswa memahami masing-masing kalimat, tetapi yang lebih penting adalah memahami hubungan dan urutan kelogisan kalimat-kalimat tersebut sehingga dapat membentuk sebuah alinea yang logis.

c)     Tes Kemampuan Menulis Tingkat Penerapan
Tes tingkat ini telah menuntut siswa untuk benar-benar menghasilkan karya tulis. Atau jika dilihat dari pihak guru, guru telah menugasi siswa untuk berpraktik menulis, menerapkan pengetahuannya tentang tugas menulis. Dalam tugas ini, siswa telah diminta untuk mengemukakan gagasan sendiri sekaligus dengan bahasa sebagai sarananya, misalnya:
·        Susunlah dua buah alinea argumentatif yang isinya kurang lebih sama, sebuah bersifat deduktif dan yang lain induktif.
·        Buatlah sebuah karangan pendek yang bersifat naratif.

d)     Tes Kemampuan Menulis Tingkat Analisis ke atas
       Tes kemampuan menulis pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi, sesuai dengan tingkatannya yang di atas penerapan, juga menghendaki siswa untuk praktik menghasilkan karya tulis. Dalam kegiatan menulis, baik berdasarkan rangsang visual, suara, buku, mapun yang lain, ketiga aktivitas kognitif tersebut akan sama-sama terlibat dan tidak mudah dibedakan. Data karya tulis yang dihasilkan merupakan data yang padu yang secara garis besar hanya dapat dibedakan berdasarkan bahasa dan isi yang dikemukakan.
       Pemberian tugas yang berupa pembuatan laporan buku dan atau timbangan buku, misalnya, akan memaksa siswa utnuk melakkukan kerja analisis, sintesis, dan penilaian. Untuk menulis timbangan buku, di samping harus memahami isi buku yang bersangkutan, siswa harus melakukan analisis baik bahasa maupun isi, membuat generalisasi, dan akhirnya melakukan penilaian. Jadi ketiga tingkatan kognitif tersebut dalam karangan seperti di atas akan saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan. Jika penekanan pada tingkat analisis, tugas yang diberikan hendaklah sesuai yang lebih banyak memaksa siswa untuk menganalisis suatu kasus atau masahal.
Untuk mengajar bahan menulis sebagaimana yang dituntut Kurikulum,  guru tidak hanya cukup menyiapkan rencana mengajar saja melainkan harus selalu siap memperbaiki rencana mengajarnya manakala ia berdiri di depan kelas. Guru yang senantiasa siap menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebutuhan siswa di kelas dan guru yang tidak asal saja secara mati langkah-langkah yang sudah ia siapkan sebelumnya akan tampil sebagai seorang seseorang pendidik yang akan membuat pembelajaran bahasa Indonesia menjadi pelajaran menarik bagi siswa. Pekerjaan seperti ini sungguh memberikan tantangan  yang besar kepada guru. Dengan demikian , tidak asal orang yang dapat berbicara bahasa Indonesia mampu mengajar bahasa Indonesia.