"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/24/2011

SASTRA INDONESIA I

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang penting didalam dunia pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus mempelajari ilmu pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Agar kita dapat belajar dan mengetahui bagaimana cara kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Terutama bagi calon pendidik, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dirasakan memang sangat penting. Karena ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak didiknya, ia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apabila seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, maka akan dicontoh oleh anak-anak didiknya.
Dewasa ini, dari sekian banyak orang, yang bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar amat sedikit. Bahkan yang lebih parahnya masi ada diantara mereka yang sama sekali tidak bisa membaca (buta hurup). Oleh karena itu anak-anak harus belajar membaca dari kecil karena membaca angat penting. Dengan membacalah kita dapat berbagai macam pengetahuan. Disinilah peran seorang guru/pendidik yang harus memberantas buta hurup.
B. Tujuan
Pendidikan di Sekolah Dasar mertujuan memberikan bekal kemampuan dasar “membaca, menulis dan menghitung”, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanpaat bagi siswa sesuai tingkat perkembangannya. Kemudian, tujuan pembelajaran sastra adalah
BAB II
MEMBACA DAN SASTRA ANAK
A. Proses Membaca
Secara keseluruhan mata prlajaran Bahasa Indonesia di SD berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan menggunakan pikiran juga perasaan, serta membina persatuan dan kesatuan bangsa. Di SD, khususnya di kelas 1 dan 2 diutamakan pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia sederhana melalui membaca, menulis, mengarang dan imla (dikte) dengan menggunakan bahasa Indonesia baku. Untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan dasar menggunakan bahasa, dalam kegiatan kegiatan belajar di kelas 1 dan 2 diberikan pengetahuan sederhana tentang lingkungan alam dan sosial.
Menurut Spodek dan Saracho, membeca merupakan proses mendapatkan makna dari barang cetak. Ada dua cara yang ditempuh dalam membaca untuk memperoleh makna dari barang cetak yaitu :
  1. Langsung, yakni menghubungkan ciri penanda visual dari tulisan dengan maknanya.
  2. Tidak langsung, yakni mengidentifikasi bunyi dalam kata dan menghubungkannya dengan makna.
Cara pertama digunakan oleh pembaca lanjut dan yang kedua digunakan oleh pembaca permulaan.
Combs memilah kegiatan membaca menjadi tiga tahap yaitu:
  1. Tahap persiapan
Anak mulai menyadari tentang fungsi barang cetak, konsep tentang cara kerja barang cetak, konsep tentang huruf dan konsep tentang kata.
  1. Tahap perkembangan
Anak mulai memahami pola bahasa yang terdapat dalam barang cetak. Anak mulai belajar memasangkan satu kata dengan yang lain.
  1. Tahap Transisi
Anak mulai mengubah kebiasaan membaca bersuara menjadi membaca dalam hati. Anak mulai dapat melakukan kegiatan membaca dengan santai.
Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam pengajaran membaca yaitu:
1. Pengembangan aspek sosial anak
2. Pengembangan fisik
3. Pengembangan kognitif
B. Kaitan Membaca dan Sastra
Sartra berpungsi menghibur dan sekaligus mendidik, sehingga paling sedikit yang diperoleh dari sastra yaitu memahami kebutuhan akan kepuasan pribadi dan pengembangan kemampuan bahasa. Kepuasan pribadi anak-anak setelah membaca karya sastra sangat penting, artinya selain mereka diminta menguasai keterampilan membaca selanjutnya karya sastra juga berfungsi mengembangkan wawasan.
Dalam fungsi karya sastra dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dapat disebut sebagai nilai pendidikan. Banyak hasil pendidikan yang menunjukan keefektipan karya sastra dalam mengembangkan kemahiran berbahasan. Misalnya: Sorolski dkk, menemukan bahwa buku bergambar yang baik dapat merangsang peningkatan pikiran dan perasaan anak secara lisan.
  1. Sastra anak-anak dan pengembangan kebewaraan
Kebewaraan adalah kemampuan membaca dan menulis dalam menunaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia kerja dan kehidupan diluar sekolah (Tompkins, 1991:81). Pengembangan membaca dan menulis telah diamanatkan di dalam kurikulum Pendidikan Dasar khususnya pendiikan dasar yang diselenggarakan di SD.
Pelajaran Bahasa Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan membeca dan menulis (Kurikulum Pendidikan Tahun 1994). Pengembangan keberwacanaan dapat dilaksanakan melalui pemanpaatan ini anak-anak sebagai media pembelajaran membaca dan menulis. Pemanpaatan ini didasarkan pada asumsi bahwa sastra dapat mengembangkan bahasa, sastra dapat mengembangkan bahasa anak (Huck, 1987: Ellis, 1989)
Istilah keberwacanaan merupakan terjemahan “Literacy” dari bahasa Inggris. Semula, literacy diartikan sebagai pengetahuan tentang cara membaca (keberaksaraan) tetapi kemudian karena tujuan yang diharapkan bukan sekedar mengenal aksara atau tulisan. Para guru memperkrnalkan komputer pada anak SD dan mengembangkan keberwacanaan komputer (computer literacy).
Bagaimanapun, keberwacanaan adalah suatu alat atau sarana yang dipakai untuk belajar tentang dunia dan untuk berperan penuh dalam masyarakat.
  1. Awal kebewaraan
Keberwacanaan adalah proses yang dimulai sebelum pendidikan dasar berlanjut kemasa dewasa. Keberwacanaan dilakukan pada anak berumur 5 tahun atau pada saat memasuki taman kanak-kanak. Sebagai “persiapan” untuk pembelajaran membaca dan menulis yang akan dimulai secara formal pada tingkat pertama.
Imflikasi dari hal ini adalah bahwa dalam perkembangan anak-anak ada saat-saat yang tepat untuk mengajari mereka membaca. Persfektif tentang cara anak menjadi anak itulah yang disebut awal keberwacanaan (emergency literacy).
Berdasarkan keberwacanaan ditentukan oleh 4 komponen, atau 4 elemen umum yaitu:
  1. Pesan tekstual (textual intent)
  2. Daya tawar (negotiability)
  3. Bahasa digunakan untuk meningkatkan bahasa (language use to tinetune language)
  4. Pengambilan risik (risk takinag)
  1. Fungsi sastra anak-anak dalam pengebangan keberwacanaan
Pada bagian awal tulisan ini dikemikakan bahwa keberwacanaan mnengacu pada kemampuan membaca dan menulis. Terkait dengan dua kemampuan inilah fungsi sastra anak-anak dalam pengembangan keberwacanaan dijelaskan dengan memanfaatkan informasi (Huck, 1987: 15-16) menyimak cerita dapat memperkenalkan anak pada pola-pola bahasa dan mengembangkan kosakata serta maknanya, peran membaca juga cukup signifikan dalam pengembangan menulis.
Smith mengetakan pengembangan komposisi dalam menulis tidak dapat dikembangkan dalam menulis saja tetapi menuntut aktifitas membaca dan kegemaran membaca. Hanya dari bahasa tulis orang lain anak-anak dapat mengamati dan memahami konvesi serta gagasan secara bersama-sama (Huck, 1987).
C. Sastra Sebagai Landasan Pengembangan Membaca
Program pembelajaran sastra yang berlandaskan sastra menggunakan berbagai endekatan dan strategi untuk membentu keterampilan berbahasa. Pembelajaran bersifat terpadu yang sudah diterapkan dalam situasi kelas yang bagaimanapun. Jadwal membaca tiap hari dapat digabarkan dengan cara, yaitu waktu dua jam dipandang sudah sesuai karena keterampilan berkomunikasi dalam bidang membaca, menulis, menyimak dan berbicara diajarkan secara terpadu.
Kegiatan membaca sastra dapat dilakukan dengan cara:
    1. Kegiatan teraran
Guru memerlukan waktu khusus untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu kepada kelompok anak atau seluruh anak di kelas. Dalam keseluruhan program pembelajaran bahasa kegiatan terarah kadang-kadang berwujud pembelajaran strategi membaca. Misalnya murid menanggapi ilustrasi cerita, membuat ilustrasi hasil karya sastra sendiri, mendemonstrasikan peristiwa dan sebagainya.
    1. Kegiatan bebas
Anak-anak perlu sekali diberikan kesempatan untuk memprakarsai kegiatan-kegiatan mereka sendiri dan bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk membuat keputusan, mengatasi masalah, dan bertanggung jawab atas kegiatan belajar, mereka sendiri dapat mempersiapkan anak-anak menghadapi tuntutan dunia kerja dalam kehidupan yang sebenarnya.
    1. Kegiatan murid-guru
Diadakan diskusi antara murid dan guru untuk menolng anak-anak yang memerlukan peningkatan dalam hal keterampilan khusus atau pemahaman. Melalui diskusi-diskusi, murid dengan guru dapat mengumpulkan informasi penting mengenai minat anak, sikap terhadap kegiatan membaca dan perkembangan dalam keterampilan membaca dan keterampilan berpikir.
Diskusi murid dan guru tersebut hendaknya mengandung hal-hal berikut:
  1. Diskusi dapat difokuskan pada unsur-unsur bacaan, konsep atau permasalahan yang ada dalam bacaan pengarang atau jenis karya sastra.
  2. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang menuju pada hal-hal tertentu sehingga murid yang bersangkutan terlihat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi (menganalisis, mensintesa dan mengevaluasi).
  3. Membaca nyaring bagian bacaannya dipilih sendiri oleh murid yaitu bagian yang dia sukai.
  4. Diskusi difokuskan pada proses pemilihan kegiatan, rencana untuk mengatasi hambatan penyelesaian tugas.
  5. Saran untuk kegiatan membaca selanjutnga dan petunjuk mengenai pengembangan ketermpilan.
    1. Karakteristik sastra sebagai bahan ajar kemampuan berbahasa
Sebagai bahasa ajar, sastra memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahan bahasa ajar yang lain, yaitu bahasa, struktur teks, isi pesan, asfek kejiwaan yang ditumbuhkembangkan dan strategi perangkapan isi teks yang diperlikan.
Bahasa teks sastra berciri kontatif atau kiasan, dilihat dari aspek semantis yang dikandungnya, bersifat informal bila dilihat dari segi bahasanya, banyak mengandumg majas, dan menonjolkan ciri wacana narasi dan deskrifsi. Dilihat dari isi, teks sastra mengandung pesan-pesan kemanusiaan, pesan-pesan ini bersifat tidak langsung.
Dilihat dari struktur teksnya, teks sastra mengandung karakter/tokoh, alur, peristiwa, setting, dan sudut penceritaan. Aspek kejiwaan meliputi daya nalar, kepekaan emosi, daya imajinasi, perluasan wawasan dan daya kreasi. Daya nalar ditumbuh kembangkan melalui pemahaman dan penghayatan terhadap permasalahan kemanusiaan dan lingkungan hidup. Emosi ditumbuh kembangkan melalui penghayatan karakter tokoh dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Daya imajinasi ditumbuh kembangkan melalui kegiatan berpikir asosiatif yakni mengasasikan peristiwa yang disuguhkan dalam teks sastra yang dibacanya dengan peristiwa sehari-hari. Daya kreasi ditumbuh kembangkan melalui kegiatan berpikir divergen (yang diarahkan untuk menumbuh kembangkan kebersamaan dan kemampuan anak mengemukakan pendapat), kegiatan berpikir rekreatif, dan kegiatan kreatif. Wawasan yang dimaksudkan disini adalah berkembangnya wawasan anak yang diakibatkan oleh aktifitas belajar yang telah dilakukannya.
Pembaca sastra memerlukan strategi baca yang berbeda dengan strategi membaca teks-teks nonsastra, itu disebabkan oleh bahasa sastra bersifat konotatif/kias, yang berarti pesan disajikan oleh pengarang secara terselubung. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, yaitu nilai keindahan dan nilai moral akan meresap dan berkembang dalam diri anak secara alami.
Karya sastra dapat menolong anak-anak memahami dunia mereka, membentuk sikap-sikap yang positif, dan menyadari hubungan dengan manusia. Lewat karya sastra anak-anak dapat mempelajari dan memaknai dunia mereka misalnya dengan membaca karya sastra yang melukiskan seorang anak yang sering menolong sehingga disayang oleh gurunya dan teman-temanya, anak akan mengerti bahwa mereka harus bersukap seperti itu agar banyak yang sayang.
D. Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca
Sebagaimana kita ketahui, bagi sebagian besar murid SD bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua. Dalam teori belajar bahasa Indonesia dikemukakan bahwa bahasa pertama (bahasa ibu) memiliki peran dalam keberhasilan belajar bahasa kedua, termasuk belajar membaca dan menulis.
Dulay dan Krahsen mengemukakan bahwa bahasa pertama dapat berpengaruh positif juga negatif terhadap proses belajar bahasa kedua.
    • Pengaruh positifnya adalah bahwa bahasa pertama yang dimiliki siswa dapat memperlancar proses belajar bahasa kedua.
    • Pengaruh negatif: Bahasa pertama yang telah dikuasai siswa dapat menghambat proses penguasaan bahasa kedua.
Ellis menggunakan istilah transfer untuk menamai pengaruh positif dari bahasa pertama terhadap belajar bahasa kedua, dan istilah interferensi untuk menamai pengaruh negatif dari bahasa pertama terhadap belajar bahasa kedua. Belajar bahasa Indonesia pada hakekatnya adalah belajar berkomunikasi, meningkatkan kemampuan berpikir, dan memperluas wawasan, maka bahan pengajaran harus diarahkan pada kepentingan tersebut. Bahan pengajaran bersifat terpadu dan berkesinambungan dan dapat dipadukan dengan pelajaran lain. Penyajian bahan pengajaran bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pengajaran.
Pengajaran membaca yang baik adalah pengajaran yang didasarkan pada kebutuhan anak dan mempertimbangkan apa yang telah dikuasai anak. Rubin (1993) mengemukakan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengajaran membaca yaitu:
  1. Peningkatan ucapan
  2. Kesadaran fonemik (bunyi)
Kemampuan yang di ajarkan dalam kesadaran fonemik meliputi:
    1. pembedaan bunyi
    2. pembedaan huruf
    3. konsonan awal dan akhir
    4. vokal
    5. huruf-huruf tertentu dan bunyinya
    6. suku kata
  1. Hubungan antara bunyi-huruf
  2. Membedakan bunyi-bunyi
Hasil pengujian klinik menunjukan hal-hal :
    1. setiap individu berkemampuan beda dalam membedakan bunyi
    2. umumnya kemampuan membedakan bunyi dikuasai anak dengan sempurna pada usia 8 tahun
    3. ada hubungan positif antara lambatnya penguasaan kemampuan membedakan bunyi dengan ketidak tepatan pengucapan
    4. ada hubungan positif antara rendahnya kemampuan membedakan bunyi dengan kemampuan membaca
    5. kemampuan membedakan bunyi tidak ditentukan oleh tingkat intelegensi
untuk itu anak butuh perhatian khusus dalam membedakan bunyi. Latihan perlu terus menerus pada pengucapan bunyi-bunyi sejenis dan searti juga yang berbeda arti.
  1. Kemampuan mengingat
  2. Membedakan huruf
  3. Orientasi dari kiri kekanan
Dalam bahas Indonesia membaga menggunakan sistem dari kiri kekanan. Biasanya lebih cenderung pada yang kidal karena hasil penelitian Rubin (1993) yang kidal lebih cenderung memiliki orientasi dari kanan kekiri.
  1. Keterampilan pemahaman
  2. Penguasaan kosakata
Pengenalan kata merupakan proses yang melibatkan kemampuan mengidentifikasi simbol tulis, mengucapkan dan menghubungkannya dengan makna. Ribin (1993: 149) mengemukakan beberapa strategi untuk memperkenalkan kata yaitu:
    1. strategi pengucapan
Strategi untuk mengenali cara pengucapan suatu kata yaitu:
  1. analisis dan sintesis fonik
  2. keseluruhan kata atau metode menatap dan mengucapkan
  3. meminta seseorang untuk mengucapkan kata untuk anda
  4. unsur konteks (kata-kata yang melingkupi kata), unsurnya berupa definisi, contoh, perbandingan/konteks penjelasan yang dapat menggambarkan makna kata
  5. SAS (Structural Analisis and Synthesis) caranya membelah kata kedalam unit pengucapan
  6. melihat pengucapan dari kamus
    1. strategi pengenalan makna kata
Untuk mengajarkan makna kata dapat digunakan beberapa strategi yaitu:
  1. konteks, memanfaatkan konteks untuk memahami kata
  2. SAS untuk makna
  3. bertanya kepada orang lain tentang suatu makna kata
  4. memanfaatkan kamus
Berikut ini contoh kegiatan pembelajaran membaca :
  1. Kegiatan membedakan bunyi-bunyi
    • perdengarkan percakapan kepada anak
    • setelah diperdengarkan murid mempelajari huruf dan bunyi, kegiatannya berupa:
• sajikan kepada murid 3 kata yang diawali konsonan yang sama dan satu kata diawali konsonan berbeda
• sajikan kata-kata yang diawali dengan konsonan yang sama atau berbeda
Kegiatan membedakan bunyi juga dapat dilakukan dengan menggunakan model permainan, contoh:
  1. Membedakan bunyi dalam kalimat
Ucapkan sebuah kalimat dan ulangi bunyi awal dari setiap kata yang ada dalam kalimat, tugaskan anak untuk menambahkan kata yang memiliki bunyi awal yang sama. Contoh: Adik suka permen
Pintu itu ditutup
  1. Saya melihat……
Ucapkan kalimat yang diawali kata saya melihat diikuti bunyi yang akan diajarkan! Saya melihat d……….
Nita makan n……….
  1. Kegiatan membedakan huruf
Untuk kepentingan ini digunakan kartu-kartu huruf atau permainan huruf.
  1. Konsentrasi dan mengikuti perintah.
Problem umum yang dihadapi anak dalam membaca
Berikut ini dikemukakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak dalam membaca:
Tabel Kategori
No.
Kategori
Wujud
1
Pramembaca
1) kurang mengenali huruf
2
Membaca
Bersuara
2) membaca kata demi kata
3) pemparafrasean yang salah
4) miskin pelapalan(kesalahan pengucapan)
5) penghilangan
6) pengulangan
7) pembalikan
8) penyisipan
9) penggantian
10) menggunakan gerak bibir, jari telunjuk, menggelengkan kepala
3
Pecahan
Kode (Decoding)
11) kesulitan kesamaan
12) kesulitan vokal
13) kesulitan kluster, diftong, digraf
14) kesulitsn menganalisis struktur kata
15) tidak mengenali makna kata dalam kalimat
E. Pemanfaatan Bahan Ajar Sastra Bagi Penumbuhkembangan Kemampuan Berbahasa
Pengajaran bahasa Indonesia dimaksudkan untuk menyiapkan agar anak mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pengajaran yang demikian pada hakekatnya adalah pengajaran yang dimaksudkan untuk membentuk kompetensi komunikasi. Kompetensi ini memiliki empat unsur pokok yaitu pengetahuan dan penguasaan kaidah tatabahasa baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun sematik. Pengajaran apresiasi sastra dengan bahan bahan ajar sastranya, berfungsi sebagai wahana penbentukan kompetensi komunikasi khusus kepada anak. Kompetensi yang dimaksud disini adalah kompetensi komunikasi sastra dan kompetensi komunikasi bahasa yang lain yang berarah emotif-imajinatif.
Pengajaran bahasa dengan bahan ajar sastra mengajak anak untuk memahami karakteristik bahasa sastra sebagai salah satu ragam bahasa Indonesia, dan karakteristik komunikasi sastra sebagai salah satu bentuk komunikasi tulis bahasa Indonesia. Karakteristik komunikasi astra antara lain:
1. komunikasi ini bersifat tidak langsung
2. kehadiran penulis tidak dapat menggantikan kedudukan teks sastra yang ditulisnya
3. konteks komunikasi sastra berdimensi ganda
4. ada jarak antara realitas dalam teks dalam realitas kehidupan nyata dan antara teks sastra dengan penulisnya.
Pengajaran sastra dewasa ini dibagi dua golongan besar yaitu:
a. pengajaran tentang sastra, pengajaran tentang sastra berisi teori-teori sastra.
b. pengajaran sastra beranggapan bahwa untuk mengapresiasi karya sastra siswa harus langsung dikenalkan dan diakrabkan dengan karya sastra.
Kegiatan mengenal meliputi melihat, mendengar, menyimak, dan membaca. Kegiatan memahami meliputi kegiatan menafsirkan, mengartikan, memproposikan, mencari hubungan, menemukan pola, menarik kesimpulan dan menggeneralisasi.
Kedudukan pengajaran sastra dalam kurikulum 1994, dalam kurikulum 1994, tujuan dibagi atas:
1). Tujuan umum pengajaran, yakni tujuan yang harus dicapai oleh pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.
2). Tujuan khusus pemahaman, yakni tujuan agarsiswa menguasai dan mengembangkan kemampuan-kemampuan reseptif.
3). Tujuan khusus penggunaan, yakni tujuan agar siswa menguasai dan mengembangkan kemampuan-kemampuan produktif.
Kemampuan apresiasi sastra tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan apresiasi itu sendiri, memahami dan dapat mengapresiasi karya sastra Indonesia serta dapat mengkomunukasikan secara lisan dan tulisan. Tetapi juga pengajaran lewat sastra, pengajaran sastra yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengembangkan kepribadian.
F. Pengembangan Pembelajaran Membaca Berdasarkan Karya Sastra
Menurut teori Schema, sering membaca buku dengan jumlah banyak memungkinkan anak mengembangkan pengetahuan, selanjutnya memudahkan mereka juga dapat bervariasi bacaannya. Mereka akan memiliki apresiasi terhadap karya sastra dan kemumgkinannya mereka menjadi pembaca sepanjang hidupnya (North, 1989: 426)
Model Pegembangan Keberwacanaan Melalui Sastra
  • Model perencanaan pengembangan
Komponen-komponen pembelajaran yang perlu direncanakan meliputi tujuan pembelajaran, bentuk dan sifat pembelajaran, bahan pembelajaran serta prosedur pembelajaran (Norton & Norton, 1994:7).
Untuk merumuskan tujuan pembelajaran dapat menemukannya dari tujuan umum pengajaran. Bentuk prmbelajaran dibedakan atas pembelajaran klasikal kelompok dan individu. Agar epektif dibutuhkan kerjasama antara murid dan guru meliputi kelompok kecil dan individu. Aktivitas ini dibedakan menjadi aktivitas jangka pendek, jangka lama, dan aktivitas pojok belajar.
Bahan pembelajaran meliputi nama-nama buku, referensi, gambar-gambar pendukung media.
  • Strategi pengembangan
Beberapa strategi pengembangan dengan teknik utama latihan yang didasarkan pada uraian Johnson (1987) dalam Literacy Through Literature, untuk mendukung agar penerapan strategi bisa dilakukan diperlukan buku-buku sederhana dan menarik agar anak mudah juga tertantang membacanya.
Dalam memilih dan mengembangkan latihan, peran guru adalah menjamin tersedianya bahan, yaitu menyajikan cerita secara lisan dan melalui latihan membimbing dan memberikan bimbingan individu pada siswa yang nerusaha menerapkan latihan pada buku latihannya.
Jenis strategi diantaranya yaitu:
Teknik Cloze
Ringkasan Model Burgs (RBM)
RBM dikembangkan dari prosedur klos yang sudah lajim melalui dua cara; pertama siswa belajar melalui ringkasan bukan dengan teks asli, kedua kata-kata terpilih digantikan kata kosong awal kata, RBM juga disajikan sebagai permainan. Agar aplikasi ini tetap mengembangkan keterampilan anak perlu prosedur klos yang terbimbing sebagaimana contoh berikut:
Pada suatu hari para p………….. berdatangan menembaki b…………….. dan satwa lainya. Kehidupan yang semula tentram dan tenang akhirnya berubah menjadi kacau karena kedatangan pemburu. Keluarga c…………… yang semula bersatu, akhirnya terpaksa berpisah akibat pemburu yang serakah. S……………. yang masih tertinggal merasa terancam.
Cendrawasih dan burung yang lainnya selalu memohon kepada Tuhan agar melindungi keseimbangan alam.
Tangga cerita (story ladders)
Tangga cerita dibciptakan dengan membuat ringkasan cerita yang bagian akhir kalimatnya dihapus. Contoh berikut didasarkan pada cerita malin kundang:
  1. Dalam cerita ini malin kundang adalah………………………………………………………….
  2. Dia merantau ke…………………………………………………
3. Akhirnya dia pulang dan tida mengakui ibunya terus ibunya…………………………………………………………..
Anak ditugaskan mengkreasikan sendiri lanjutannya tapi bukan kalimat aslinya. Anak akan senang memprediksi cerita sebelum membaca dan merevisinya setelah membaca.
1. Dalam cerita ini malin kundang adalah…..…..
a. …………………………………………(prediksi sebelum membaca)
b. …………………………………………(prediksi sesudah membaca).
Sejak kurikulum SD 1975, kurikulum SD 1984, maupun kurikulum SD 1994 seperti sekarang. Pelajaran sastra Indonesia selalu dimasukan kedalam pengajaran bahasa Indonesia, khususnya di SD. Fungsi pelajaran bahasa Indonesia adalah:
    1. sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa
    2. sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan bahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
    3. sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan bahasa Indoneia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetehuan teknologi dan eni.
Tujuam megenai sastra yaitu:
    • Siswa mampu mengenal dan mampu membedakan bentuk-bentuk puisi, prosa dan drama.
    • Siswa mampu membedakan ragam bahasa sastra dan ragam bahasa lainnya.
Yang diperlukan dalam pembelajar sastra dan bahasa:
  1. Isi materi pelajaran
    • materi pelajaran harus relevan terhadap tujuan intruksional yang jarus dipakai
    • materi pelakaran haru sesuai taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa
    • materi pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa
    • materi pelajaran harus membantu untuk melihat diri secara aktif, baik dengan berpikir atau dengan mengadakan kegiatan
    • msteri pelajaran harus sesuai dngan prosedur didaktik yang diikuti
    • materi pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran yang tersedia
Dengan demikian apabila peran guru dan penilaian isi materi pelajaran itu menyediakan bacaan yang bermutu, memberi kebenasan kepada anak untuk memilih bacaan yang disukainya.
  1. Guru
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan proses pengajaran satra di kelas, guru dituntut mempu melaksanakan tugasnya secara propesional. Guru harus memiliki 10 kopetensi yaitu:
    1. Kemampuan menguasai bahan materi bidang study.
    2. Kemampuan mengelola program belajar mengajar.
    3. Kemampuan mengelola kelas.
    4. Kemampuan menggunakan media dan sumber.
    5. Penguasaan landasan-landasan pendidikan.
    6. Kemampuan mengelola interaksi belajar megajar.
    7. Kemampuan menilai kemampuan siswa.
    8. Pengenalan fungsi dan program layanan dan bimbingan dan konseling di sekolah.
    9. Pengenalan dan penyelenggaraan admisistrasi sekolah.
    10. Pemahaman prinsip-prinsip dan penafsiran hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
  1. Siswa
Siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam pembelajaran sastra. Dalam pengajaran siswa di SD, problem yang berkaitan dengan siswa yang dapat di identifikasi antara lain motivasi minat belajar sastra, serta lingkungan belajar siswa. Timbulnya motivasi dan minat siswa belajar yang rendah tidak terlepas dari faktor lingkungan siswa, karena lingkungan merupakan sarana yang sangat mempengaruhi dalam belajar sastra. Tujuan utama pengajaran sastra hendaknya memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman bersastra baik secara reseptif maupun secara produktif. Siswa juga diberi pengetahuan tentang lukisan, lagu, melukis, selanjutnya bersastra.
  1. Bentuk kegiatan belajar mengajar
Kean & Personke (1976:341) mengarahkan bahwa sebaiknya disekolah dasar, sastra jangan dipandang sebagai suatu subjek yang harus di ajak terapi sebagai suatu wahana untuk mendapatkan pengalaman, yang menyenangkan, menyedihkan, lucu, menakutkan dan lainnya. Dalam kegiatan belajar ada 2 pendekatan; pertama bertitik tolak pada pandangan bahwa sastra mempunyai kedudukan yang sama dengan bidang study yang lainnya; kedua bertitik tolak pada pandangan bahwa sastra sebagai suatu yang kehadirannya untuk dinikmati dan memberikan kesenangan. Karena kedua pendekatan itu bertentangan untuk itu yang lebih sesuai adalah menggabungkan kedua pendekatan tersebut karena muara terakhir pengajaran sastra adalah terbunanya apresiasi & kegemaran terhadap sastra yang disadari oleh pengetahuan sastra dan keterampilan bersastra.
  1. Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana merupakan komponen pengajaran yang tak kalah penting. Perpustakaan dan kelengkapan koleksi buku-buku sastra sangat menunjang kelancaran pengajaran sastra. Demikian pula media dan alat-alat pengajaran yang lengkap sangat menentukan keberhasilan pembelajaran sastra. Problem yang dapat di identifikasi adalah sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah SD.
BAB III
PENUTUP
      1. Kesimpulan
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mempunyai arti yang cukup penting. Poin yamg lebih penting ladi di dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terutama adalah membaca. Karena ketika kita duduk dibangku SD, hal pertama yang harus kita pelajari adalah membaca, kemudian kita akan dapat menulis juga menghitung serta merangkai berbagai macam kalimat. Jika begitu kita akan dapat membacakan karya-karya sastra. Sastra juga sarana yng diberikan untuk mengembangkan kreatifitas anak di dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
      1. Saran
Sebagai seorang calon pendidik ada beberapa hal yang sapat kita lakukan diantaranya:
  1. Pendidik harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika memberikan pengajaran kepada anak didiknya.
  2. Pendidik harus memastikan bahwa anak-anak didiknya senang, suka, juga nyaman diajar oleh kita, agar mereka dapat menerima materi dengan baik dan tidak merasa terpaksa.
  3. Belajarlah terus agar menjadi guru yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Rusyana, Yus.1984. Bahasa dan sastra dalam gempitan pendidikan. Bandung: CV Dipenegoro
Rofi Uddin Ahmad dan Zuhri, Darmiyanti. 1998. Pendidikan Bahasa dan Sastra Inonesia dikelas Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi
http:/www.balipast.com/ balipastcetak/2004/12/12/apresiasi.html

Kesalahan Berbahasa

1.      Pengertian Kesalahan Berbahasa
Dalam bukunya yang berjudul “Common Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku. Hal ini sesuai dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-tama harus dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang berbagai pendekatan dan analisis kesalahan berbahasa adalah menetapkan standar penyimpangan atau kesalahan. Sebagian besar guru bahasa Indonesia menggunakan kriteria ragam bahasa baku sebagai standar penyimpangan.
Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S. Piet Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics. Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun sistem kaidah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau kriteria untuk menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem kaidah bahasa baku. Kodifikasi kaidah bahasa baku dapat kita lihat dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa baku antara lain adalah sebagai berikut.
1. Penggunaan konjungsi-konjungsi seperti bahwa, karena secara konsisten dan eksplisit.
  1. Penggunaan partikel kah dan pun secara konsisten.
    1. Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
    2. Penggunaan meN- dan ber- secara konsisten.
    3. Penggunaan pola frase verbal aspek+agen+verba secara konsisten, misalnya Surat ini sudah saya baca. Bandingkan dengan bentuk yang sudah baku Surat ini saya sudah baca.
    4. Penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya bandingkan dengan bentuk yang tidak baku dia punya mobil, membersiihkan bandingkan dengan bentuk tidak baku bikin bersih, memberi tahu bandingkan dengan bentuk tidak  baku kasih tahu.
    5. Terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap asing.
    6. Pengunaan popularitas tutur sapa yang konsisten, misalnya saya-tuan, saya-saudara.
    7. Pengunaan unsur-unsur leksikal yang baku, misalnya:
Leksikal baku Leksikal tidak baku
mengapa                                                           kenapa
begini                                                                gini
berkata                                                              bilang
tidak                                                                  nggak
tetapi                                                                 tapi
Senin                                                                 Senen
Rabu                                                                 Rebo
Kamis                                                               Kamis
Jumat                                                                Jum’at
Sabtu                                                                 Saptu
daripada                                                           ketimbang
senyampang                                                   mumpung
seperti                                                                 kayak
oleh karena itu                                                makanya
Kesalahan berbahasa tidak sama dengan kekeliruan berbahasa. Keduanya memang merupakan pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang. Kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis kerena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan. Kekeliruan berbahasa tidak terjadi secara sistematis, bukan terjadi karena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan, melainkan karena kegagalan merealisasikan sistem kaidah bahasa yang sebenarnya sudah dikuasai.
Kekeliruan pada umumnya disebabkan oleh faktor performansi. Keterbatasan dalam mengingat sesuatu atau kelupaan menyebabkan kekeliruan dalam melaflakan bunyi bahasa, kata, urutan kata, tekanan kata, atau kalimat, dsb. Kekeliruan ini bersifat acak, artinya dapat terjadi pada berbaga tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat diperbaiki sendiri oleh siswa bila yang bersangkutan, lebih mawas diri, lebih sadar atau memusatkan perhatian. Siswa sebenarnya telah mengetahui sistem linguistik bahasa yang digunakan, tetapi karena suatu hal dia lupa akan sistem tersebut. Kelupaan itu biasanya tidak lama.
Sebaliknya, kesalahan disebabkan oleh faktor kompetensi, artinya siswa memang belum memahami sistem linguistik bahasa yang digunakannya. Kesalahan biasanya terjadi secara  konsisten dan sistematis. Kesalahan itu dapat berlangsung lama apabila tidak diperbaiki. Perbaikan biasanya dilakukan oleh guru, misalnya melalui remedial, latihan, praktik, dsb. Sering dikatakan bahwa kesalahan merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya. Bila tahap pemahaman siswa tentang sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya ternyata kurang, kesalahan berbahasa tentu sering terjadi. Namun, kesalahan berbahasa akan berkurang apabila tahap pemahaman semakin meningkat. Perhatikan tabel berikut ini!
KATEGORI
Sudut pandang
KESALAHAN
KEKELIRUAN
  1. Sumber
  2. Sifat
  3. Durasi
  4. Sistem Linguistik
  5. Hasil
  6. Perbaikan
KompetensiSistematis Agak Lama
Belum Dikuasai
Penyimpangan
Dibantu oleh guru: latihan, pengajaran remedial
PerformansiTidak Sistematis Sementara
Sudah Dikuasai
Penyimpangan
Siswa Sendiri
Pemusatan Perhatian
2. Proses Terjadinya Kesalahan Berbahasa
Terjadinya kesalahan berbahasa di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa terutama belajarar bahasa kedua, merupakan femnomena yang mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk mempelajari kesalahan berbahasa. Dari studi tentang kesalahan berbahasa itu dapat diketahui bahwa proses terjadinya kesalahan berbahasa berhubngan erat dengan proses belajar bahasa. Kesalahan berbahasa merupakan gejala yang intern dengan proses belajar bahasa. Oleh karena itu, untuk memahami proses terjadinya kesalahan berbahasa, terutama di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa, diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep belajar bahasa.
Penguasaan bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua diperoleh melalui proses belajar. Sebagian para ahli pengajaran bahasa membedakan antara proses penguasaan bahasa pertama dan penguasaan bahasa kedua. Proses penguasaan bahasa pertama bersifat ilmiah dan disebut pemerolehan bahasa (language acquisition). Proses penguasaan bahasa perama ini berlangsung tanpa adanya suatu perencanaan terstruktur. Secara langsung anak-anak memperoleh bahasanya melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Setiap ada yang normal secara fisik, psikis, dan sosiologis pasti mengalami proses pemerolehan bahasa pertama. Proses ini berlangsung tanpa disadari oleh anak. Anak juga tidaak menyadari motivasi apa yang mendorongnya berada dalam kondisi pemerolehan bahasa pertama itu.
Selanjutnya, proses penguasaan bahasa kedua terjadi setelah seseoang menguasai bahasa pertama dan disebut belajar bahasa (language learning). Proses belajar bahasa kedua pada umumnya berlangsung secara terstruktur di sekolah melalui perencanaan program kegiatan belajar mengajar yang sengaja disusun untuk keperluan itu. Dalam proses ini, si pembelajar menyadari bahwa dia sedang belajar bahasa. Dia juga menyadari motivasi apa yang mendorongnya untuk menguasai bahasa kedua itu.
Perbedaan antara pemerolehan bahasa (language acquisition) dan pemerolehan bahasa (language learning) berdasarkan ada  atau tidaknya kesadaran pembelajar terhadap apa yang dilakukan sebenarnya bukanlah perbedaan yang sangat mendasar dan diskrit. Dalam kenyataannya, baik dalam proses penguasaan bahasa pertama maupun bahasa kedua, si pembelajar menyadari usahanya untuk mempelajari bahasa. Perbedaan tingkat perbedaan ini bersifat relatif saja. Demikian pula perbedaan penguasaan bahasa pertama dan bahasa kedua yang didasarkan pada terstruktur atau tidaknya proses belajar bahasa juga tidak selalu benar. Proses belajar bahasa juga bisa berlangsung secara alamiah. Artinya, si pembelajar belajar langsung bahasa kedua melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat.    
Proses belajar bahasa bersifat kompleks. Proses ini sangat berkaitan dengan aspek fisik danpsikis pembelajar. Sehubungan dengan aspek psikis, belajar bahasa adalah suatu proses mental yang di dalamnya berisi aktivitas psikologis, sedangkan sehubungan dengan aspek fisik, belajar bahasa berkaitan dengan perkembangan kematangan berbagai orrgan wicara. Proses terjadinya kesalahan berbahasa berkaitan erat baik dengan aspek psikis maupun dengan aspek fisik.
Ada dua aliran psikologis yang besar pengaruhnya terhadap teori belajar bahasa, yaitu psikologi kognitif dan psikologi behaviorisme. Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, jika manusia bersifat aktif dalam mengakumulasi dan menguasai pengetahuan dan mengorganisasikannya sehingga merupakan bagian dari keseluruhan pengetahuan yang  dimiliki oleh manusia. Dalam belajar bahasa, manusia telah memiliki kapasitas belajar bahasa yang bersifat innate. Kapasitas itu berada dala struktur psikologis yang bersifat laten dalam otak manusia. Noam Chomsky menyebut kapasitas belajar bahasa itu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD). Apabila seseorang belajar bahasa, kapasitas belajar bahasa dalam struktur dalam struktur psikologis itu akan teraktifkan.
Selanjutnya, untuk memahami proses terjadinya proses kesalahan berbahasa dalam kaitannya dengan belajar bahasa kedua menurut psikologi kognitif dapat diikuti pikiran-pikiran yang dikembangkan oleh Larry Salinker dalam tulisannya yang berjudul interlanguage. Menurut dia, apabila seseorang belajar bahasa kedua, ia memusatkan perhatiannya terhadap norma bahasa yang dipelajarinya. Selama membuat seperangkat tuturan dalam bahasa kedua yang tidak sama dengan tuturan yang diperkirakan dibuat oleh penutur asli bahasa tersebut untuk menyatakan maksud yang sama dengan apa yang dinyatakan oleh tuturan si pembelajar. Karena dapat diamati bahwa dua perangkat tuturan itu tidak sama dapatlah dibuat  suatu konstruk yang untuk teori belajar bahasa kedua. Konstruk itu adalah adanya sistem bahasa yang terpisah yang didasarkan atas output berwujud tuturan yang dihasilkan oleh si pembelajar dalam berusaha menghasilkan tuturan yang sesuai dengan norma bahasa kedua yang dipelarinya. Dengan kata lain apat dikemukakan bahwa selama dalam proses belajar bahasa kedua, si pembelajar menggunakan seperangkat tuturan dalam bahasa kedua yang merupakan sistem bahasa tersendiri. Sistem bahasa pembelajar ini disebut oleh Larry Salinker dengan nama interlanguage (bahasa antara). Istilah lain untuk menyebut interlanguage adalah ideosyncratic dialect (Piet Corder), approximative system (William Nemser). Sebagian dari unsur-unsur interlanguage ini sama dengan unsur bahasa kedua yang dipelajari dan sebagian yang lain tidak sama. Kesalahan berbahasa terjadi pada sistem interlanguage ini, yaitu unsur-unsur atau bentuk-bentuk tuturan pada interlanguage yang tiak sama dengan bentuk-bentuk tuturan pada bahasa kedua yang dipelajari. Secara teoretis, unsur-unsur sistem interlanguage itu terdiri atas pembauan antara unsur-unsur bahasa pertama dan bahasa kedua yang sedang dipelajari.
Menurut para ahli psikologi behaviorisme, proses belajar bahasa adalah proses yang bersifat empiris dalam jalinan hubungan antara stimulus daan respon. Belajar bahasa itu tdak lain adalah belajar menguasai  suatu jenis kebiasaan. Penguasaan ini akan dapat dicapai dengan memberikan latihan berulang-ulang berbagai maa pola kaidah bahasa. Oleh karena itu, pengajaran bahasa berdasarkan aliran behaviorisme ini sangat menekannkan pentingnya latihan-latihan secara intensif untuk menguasai bahasa. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid “dipaksa” selama berjam-jam mengahafalkan dialog, laitahan-latihan menguasai pola serta mempelajari semua jenis generalisasi gramatika. Anggapan yang menopang pentingnya diberikan latihan-latihan pola serta menghafalkan dialog tersebut dapat kita pahami dalam ungkapan yang terkenal, yaitu practice makes perfect.
3. Beberapa Pandangan terhadap Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa adalah suatu peristiwa yang bersifat inheren dalam setiap pemakaian bahasa baik secara lisan maupun tulis. Baik orang dewasa yang telah menguasai bahaasanya, anak-anak, maupun orang asing yang sedang mempelajari suatu bahasa dapat melakukan kesalahan-kesalahan berbahasa pada waktu mereka menggunakan bahasanya. Namun, jenis serta frekuensi kesalahan berbahasa pada anak-anak serta orang asing yang seedang mempelajari suatu bahasa berbeda dengan orang dewasa yang  telah menguasai bahasanya. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan penguasaan kaidah-kaidah gramatika (grammatical competence) yang pada gilirannya jga menimbulkan perbedaan realisasi pemakaian bahasa yag dilakukannya (performance). Di samping itu, perbedaan itu juga bersumber dari penguasaan untuk menghasilkan atau menyusun tuturan yang sesuai dengan konteks komunikasi (comunicative competence) .
Salah satu hambatan dalam proses komunikasi adalah kurangnya keterampilan berbahasa. Ujud kurangnya keterampilan berbahasa itu antara lain disebabkan oleh kesalahan-kesalahan berbahasa. Kesalahan-kesalahan berbahasa ini menyebabkan gangguan terhadap peristiwa komunikasi, kecuali dalam hal pemakaian bahasa secara khusus seperti dalam lawak, jenis ilan tertentu, serta dalam puisi. Dalam pemakaian bahasa secara khusus itu, kadang-kadang kesalahan berbahasa sengaja dibuat atau disadari oleh penutur untuk mencapa efek tertentu sepeti lucu, menarik perhatian dan mendorong berpikir lebih intens.
Dalam masyarakat bahasa tertentu, misalnya dalam masyarakat Jawa, kesalahan-kesalahan berbahasa baik kesalahan gramatika maupun kesalahan yang berkenaan dengan konteks pemakaian mempengaruhi pandangan orang lain terhadap status sosial orang yang berbuat kesalahan berbahasa tersebut. Termasuk kesalahan berbahasa yang berkaitan dengan konteks adalah kesalahan memilih ragam bahasa yang berkaitan dengan tingkat tutur yang terdapat dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan istilah unggah ungguh. Kesalahan berbahasa dalam masyarakat Jawa dianggap sebagai noda. Oleh karena itu, dengan sadar setiap pemakai bahasa berusaha untuk memakai bahasa sesuai dengan kaidah gramatika serta ketepatan pemilihan ragam tingkat tutur sesuai dengan konteksnya. Dalam masyarakat Jawa, identifikasi seseorang antara lain dapat dilihat dari pemakaian bahasanya. Hal ini sesuai dengan tinjauan fungsi bahasa dari pandangan Sosiolinguistik.
Dalam dunia pengajaran bahasa perhatian terhadap kesalahan berbahasa baru berkembang selama waktu yang relatif belum lama. Buku-buku pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa Inggris, telah banyak disusun, tetapi hanya sedikit perhatian penulis terhadap kesalahan berbahasa. Walaupun perhatian terhadap kesalaahan berbahasa belum begitu banyak, tetapi pikiran-pikiran tentang kaitan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar bahasa dalam waktu yang relatif singkat telah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan pemikiran yang berkenaan dengan hubungan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar bahasa tersebut sejalan dengan tumbuhnya pandangan baru dalam pengajaran bahasa pada umumnya.
Selama dasawarsa lima puluhan dan enam puluhan, pandangan pendekatan pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa asing, yang berkembang pesat adalah pendekatan audiolingual (audiolingual approach). Pendekatan ini menekankan pentingnya latihan-latihan untuk menguasai bahasa yang dilaksanakan secara intensif. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid dipaksa selama berjam-jam menghafalkan dialog, latihan-latihan menguasai pola serta, mempelajari semua generalisasi gramatika. Anggapan dasar yang menopang pentingnya diberikan latihan-latihan pola serta menghafalkan dialog tersebut dapat kita pahami dalam ungkapan yang erkenal, yaitu practice makes perfect (latihan praktik membuat sempurna) yang benar-benar diperhatikan oleh penganjur-penganjur pendekatan audiolingual. Makna dari ungkapan tersebut erat dengan pengajaran-pengajaran bahasa menurut pendekatan audiolingual sebagaimana yan dikemukan oleh Robert Lado dalam bukunya yang berjudul Language Teaching. Dikemukakan oleh Robert Lado 17 prinsip pengajaran bahasa. Salah satu prinsip itu adalah pentingnya latihan pola-pola, dan menghafalkan kalimat-kalimat percakapa dasar dalam model dialog-dialog. Dengan cara itu, kaidah-kaidah bahasa dalam berbagai pola akan menjelma menjadi kebiasaan dan kalimat-kalimat dalam berbagai dialog dapat digunakan sebagai model untuk pemakaian bahasa serta serta belajar  bahasa lebih lanjut.
Para pengajur pendekatan audiolingual memandang kesalahan berbahasa dengan perspektif yang bersifat puritanistis. Nelson Brooks, misalnya, memandang kesalahan berbahasa sebagai dosa yang harus dihindari dan pegaruhnya harus dibatasi, tetapi kehadirannya tidak dapat dielakkan. Dikemukakannya pula metode untuk menghindari terjadi kesalahan dalam berbahasa adalah dengan melatihkan kepada si pembelajar model-model yang benar dalam waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi kesalahan berbahasa, cara yang prinsipil adalah memperpendek jarak waktu antara respon yang tidak tepat (kesalahan berbahasa tersebut) dengan bentuk yang benar.
Pada akhir dasawarsa enam puluhan dan menginjak dasawarsa tujuh puluhan, dunia pengajaran bahasa megalami perkembangan pesat. Hal ini ditandai oleh timbulnya pandangan-pandangan yang baru terhadap proses penguasaan bahasa yang bersumber dari hasil studi ahli-ahli psikologi kognitif dan gramatika generatif transformasi. Pengajaran bahasa yang bersifat mekanistis dalam pendekatan audiolingual bergeser ke arah pengajaran bahasa yang lebih lebih manusiawi serta kurang mekanistis. Kegiatan berbahasa lebih ditekankan pada pembentukan kemampuan berkomunikasi daripada latihan-latihan pola dan hafalan dialog. Oleh karena itu, si pelajar lebih didorong keberaniannya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya. Sebagai pendukung, perlu diciptakan situasi yang memungkinkan  si pelajar bebas dari ketakutan berbuat salah.
Sehubungan dengan perkembangan yang terakkhir itu, pandangan terhadap kesalahan berbahasa juga mengalami perubahan. Kesalahan berbahasa tidak lagi dipandang sebagai dosa, tetapi sebagai hal yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak d mana pun juga. Dalam proses penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak pasti membuat kesalahan berbahasa, teapi kesalahan tersebut diterima oleh orang tua mereka (orang dewasa di lingkungannya).
Aliran behaviorisme memandang kesalahan berbahasa sebagai suatu yang semata-mata harus dihindari dan diusahakan menghilangkan pengaruhnya. Pembelajar bahasa tidak boleh menggunakan kesalahan berbahasa. Apabila terjadi kesalahan berbahasa, kesalahan itu harus secepatnya diperbaiki agar tidak menjadi kebiasaan. Apabila suatu kesalahan berbahasa terlanjur menjadi kebiasaan, perbaikan kesalahan itu akan sangat sulit dilakukan.
Aliran psikologi kognitif memandang kesalahan  berbahasa sebagai suatu yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak di mana pun. Dala proses penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak membuat kesalahan berbahasa, tetapi kesalahan berbahasa itu diterima oleh orang tua mereka serta orang dewasa di lingkungannya sebagai suatu yang wajara terjadi.
4. Tujuan dan Manfaat Analisis Kesalahan Berbahasa
4.1 Tujuan Analisis Kesalahan
Analisis kesalahan merupakan usaha membahas kebutuhan-kebutuhan praktis guru kelas. Secara tradisional, analisis kesalalahan bertujuan menganalisis kesalahan-kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh pembelajar bahasa kedua. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu guru dalam hal menentukan urutan bahan pengajaran, memutuskan pemberian penekanan, penjelasan dan praktik yang diperlukan, memberikan remidi dan latihan-latihan, dan memilih butir-butir bahasa kedua untuk keperluan tes profisiensi pembelajar (Sudiana, 1990:103).
4.2 Tujuan dan Metode Analisis Kesalahan
Menganalisis kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa jelas memberikan manfaat tertentu karena pemahaman kesalahan itu merupakan umpan balik yang sangat berharga pengevaluasian dan perencanaan penyesuaian materi dan  strategi pengajaraan di kelas. Analisis kesalahan berbahasa antara lain bertujuan untuk:
(1)    menentukan urutan penyajian butir-butir yang diajarkan dalam kelas dan buku teksmisalnya urutan mudah sukar,
(2)    menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan berbagai butir bahan yang diajarkan,
(3)    merencanakan latihan dan pengajaran remedial,
(4)    memilih butir-butir bagi penngujian kemahiran siswa (Tarigan, 1990: 69).
5. Data Kebahasaan Analisis Kesalahan Berbahasa
Yang menjadi data utama dalam analisis kesalahan berbahasa adalah wacana yang dibuat oleh pembelajar, baik secara lisan maupun tertulis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik mengambil data mempengaruhi hasilnya baik jenis kesalahan  yang ditemukan maupun urutan unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian analisis. Oleh karena itu, dalam memilih jenis data untuk diananlisis kita perlu mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan hasil yang akan diperoleh.
Data untuk analis kesalahan berbahasa bisa diambil dari wacana yang diproduksi oleh pembelajar tanpa alat pemancing dan pembelajar tidak tahu bahwa wacana yang dibuat olehnya akan dianalisis. Data jenis ini disebut data spontan (spontaneous data), misalnya percakapan atau pidatoyang direkam atau karangan tertulis(surat, uraian tentang suatu hal, makalah, tesis, dsb.). Jenis kedua adalah data pancingan (elicitated data) yaitu data yang dikumpulkan dari subjek dengan alat pemancing seperti tes, petunjuk mengarang, dan gambar. Data jenis ini dikumpulkan atau dipancing karena sengaja akan dianalisis. Data inibisa  bervariasi. Hal ini tergantung pada jenis alat pemancingnya dan titik perhatian subjek ketika melakukan tugas.
Dari segi alat pemancingnya, ada dua jenis data kesalahan berbahasa, yaitu data tak terstruktur dan data terstruktur. Data tak terstruktur adalah data yang diperoleh dengan cara menyuruh subjek berbicara atau mengarang tanpa petunjuk yang ketat. Dalam data itu, jenis kesalahan atau frekuensi masing-masing unsur kesilapan tidak dikontrol. Kemunculannya dalam data semata-mata karena kebetulan, tidak menurut kehendak pemancing data. Dalam data terstruktur, unsur-unsur bahasa yang menjadi fokus perhatian peneliti direncanakan kemunculannya baik jenis maupun frekuensinya. Misalnya, subjek diminta menjawab pertanyaan “What are this?” dengan berpedoman pada tiga buah gambar rumah. Harapan peneliti, subjek akan memunculkan kata houses. Titik perhatian penelitian adalah plural dalam bahasa Inggris. Bisa pula instrumen itu berbentuk tes penyempurnaan kalimat atau isian seperti “He…to school every day (go)”. Jadi, tingkat kestrukturan data itu berbeda-beda.   
Selain itu, data dapat dibedakan berdasarkan besarnya perhatian subje terhadap bentuk (form) (Dulay dkk., 1982). Dalam data spontan, subjek tidak begitu memperhatikan bentuk wacana. Pusat perhatian subjek terletak pada isi dan pesan yang disampaikan.Demikian pula data tak terstruktur yang diambil  dengan alat pemancing walaupun mungkin tingkat perhatian subjek terhadap bentuk sedikit lebih banyak daripada dalam data spontan. Data seperti ini diambil dengan tugas komunikasi alami (natural communication task). Dalam data yang diperoleh dengan alat pemancing yang disertai kontrol ketat terhadap unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian peneliti. Alat pemancing bisa  berupa terjemahan, atau isian dan penyempurnaan kalimat. Alat pemancing itu mendorong subjek cenderung memberikan perhatian yang banyak terhadap bentuk bahasa. Data seperti ini dikumpulkan dengan tugas manipulasi linguistik (linguistik manipulation task). Jenis tugas yang dikerjakan oleh subjek dalam pengumpulan data ini mempengaruhi jenis dan frekuensi kesilapan. Data yang dikumpulkan secara bebas (data spontan atau data tak terstruktur) memberi kesempatab banyak kepada subjek untuk menghindari kesalahan. Subjek dapat mengatakan dengan cara lain bila ditemukan keraguan terhadap suatu bentuk sehingga frekuensi kesalahan bisa berkurang. Sebaliknya, data yang dikumpulkan dengan alat pemancing, terlebih-lebih yang ketat kontrolnya, subjek tidak  bisa lagi menghindari  bentuk yang meragukan. Oleh karena itu, subjek sering melakukan kesalahan.
6.      Data dan Metode Anakes
Pit Corder mengatakan bahwa anakes pada dasarnya merupakan cabang linguistik komparatif. Hal ini didasarkan pada data dan metode anakes. Tugas anakes adalah menjelaskan serta mendeskripsikan sistem lingistik bahasa siswa dan membandingkannya dengan sistem linguistik B2 yang dipelajarinya.
Penyimpangan dalam penggunaan bahasa yang sedang dipelajari oleh siswa, B2 atau bahasa asing disebabkan oleh kesalahandan kekeliruan. Kekeliruan bersifat sementara, tidak konsisten, dan perbaikannya dapat dilakukan oleh siswa sendiri. Kesalahan bersifat agak permanen, sistematis, dan perbaikannya memerlukan bantuan guru. Kesalahan itu sendiri terbagi atas kesalahan yang tidak jelas terlihat dan kesalahan yang jelas  terlihat. Kedua jenis kesalahan ini tidak semata-mata melukiskan atau menandakan siswa benar atau salah, tetapi juga menyatakan penggunaan sistem bahasa yang salah atau benar.
Kekeliruan kurang tepat dijadikan sebagai sumber data anakes karena sifatnya yang tidak konsisten dan terjadinya hanya sementara. Oleh karena itu, bila siswa lebih sadar dan mawas diri, kekeliruan berbahasa tersebut dapat diperbaiki oleh siswa yang bersangkutan. Sumber data Anakes yang paling cocok adalah kesalahan berbahasa baik kesalahan yang dapat diamati dengan jelas maupun tidak. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kekeliruan tidak fungsional bagi pengajaran bahasa.
Penafsiran secara tepat ujaran siswa merupakan aspek yang paling rawan dalam penerimaan linguistik siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merekonstruksi ajaran bahasa secara tepat, menjodohkan ujaran yang salah dengan pandangannya dalam bahasa ibu siswa. Bila hal itu dilakukan dengan meminta siswa mengutarakan maksudnya dengan bahasa ibu, cara ini disebut cara rekonstruksi otoritatif. Apabila karena sesuatu siswa tidak dapat berkonsultasi dan peneliti hanya menyandarkan pemahamannya kepada maksud atau sistem linguistik siswa, cara ini disebut rekonstruksi akal sehat.
Bahan-bahan yang terkumpul melalui kedua cara itu diolah kembali. Hasil pengolahan itu menghasilkan deskripsi linguistik  siswa. Kemudian, deskripsi linguistik itu dilengkapi dengan penjelasan yan bersifat psikologis, misalnya menjelaskan bagaimana startegi belajar yang digunakan oleh siswa, bagaimana proses belajar bahasa secara secara umum. Hasil rekonstruksi linguistik yang digunakan oleh siswa dapat dibandingkan denga sistem linguistik bahasa sasaran atau bahasa yan dipelajari oleh siswa.
7. Prosedur Analisis Kesalahan Berbahasa
Prosedur analisis kesalahan berbahasa terdiri atas empat langkah, yaitu identifikasi, deskripsi, penjelasan, dan kuantifikasi. Tiga langkah pertama saling berkaitan dan langlah terakhir bersifat statistik.
Identifikasi Kesalahan. Dalam mengidentifikasi  kesalahan berbahasa yang dibuat oleh pembelajar, tidak selalu apa yang terbaca secara ekspilisit (baik melalui tulisan maupun hasil transkripsi wacana lisan)menunjukkan kesalalahan. Ada bentuk dalam bahasa antara pembelajaran yang sempurna, dalam arti sesuai dengan aturan dalam bahasa sasaran, tetapi ternyata bentuk tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara. Misalnya, seorang pembelajar mengatakan “My uncle had beautiful houses”. Bentuk ini sempurna, betul, tidak ada penyimpangan ejaan atau gramatika. Namun, ketikan lihat konteks pembicaraan, yang sebenarnya  dimaksudkan adalah “Paman saya mempunyai sebuah rumah yang bagus”. Dia tidak bermaksud mengatakan bahwa pamannya mempunyai banyak rumah. Boleh jadi dia tidak ingat bentuk-bentuk jamak dan tunggal untuk kata yang berarti rumah. Pikirannya kacau pla dengan adanya penjamakan yang tidak teratur seperti houses dan children. Dalam keraguan ini, dia memilih salah satu bentuk dan kebetulan benar secara gramatikal walaupun secara semantik tidak.
Jadi, pada tahap identifikasi kesalahan, yang penting adalah melakukan interpretasi terhadap yang dimaksud oleh pembelajar. Interpretasi itu dapat dilakukan dengan melihat konteks munculnya wacana itu atau dengan melakukan dialog dengan pembelajar. Konteks itu  dapat pula dilihat secara kecil yang meliputi sebagian dari kalimat-kalimat yang mendahului atau mengikuti kalimat atau frasa yang sedang dianalisis itu, atau dengan melihat isi keseluruhan wacana itu. Bisa jadi dalam kasus pembelajar yang belum menguasai suatu struktur dengan sempurna itu menguji hipotesisnya (tentang bentuk yang betul). Dari sekian ujiannya itu, satu bentuk benar dan bentuk-bentuk yang lain salah.
Deskripsi Kesalahan. Kegiatan utama dalam melaukan deskripsi kesalahan adalah membandingkan wacana pembelajar dengan rekonstruksi yang sahih. Pada tahap ini, langkah yang diikuti mirip dengan analisis kontarstif. Dari perbandingan kedua bentuk itu (bentuk dari bahasa anatara pembelajar dan bentuk yang sempurna dalam bahasa sasaran yang dimaksud pembelajar dapat ditemukan pola-pola kesilapan.
Tujuan utama langkah ini adalah memberikan keterangna tentang kesilapan itu s ecara linguistik. Oleh karena itu, dalam membuat perbandingan dan deskripsi, perlulah diterapkan suatu model tata bahasa tertentu  yang dipakai membuat deskripsi itu, misalnya Tata Bahasa Struktural atau Tata Bahasa Transformasi Generatif. Adapun pola-pola kesalahan itu dapat diklasifikasikan menurut tataran dan jenis perubahan dari bentuk dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tataran bahasa bisa meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Penjelasan Kesalahan. Tahap deskripsi kesalahan menekankan proses kesalahan dari segi linguistik, se dangkan tahap penjelasan memeberikan deskripsi tentang mengapa kesilapan itu terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Dengan kata lain, pada tahap ini kita mencari sumber kesalahan itu dan proses terjadinya kesalahan dari sumbernya sampai dengan kemunculannya dalam bahasa sumber.
Kuantifikasi Kesalahan. Kuantifikasi kesalahan dilakukan dengan menghitung kemunculan masing-masing kesalahan berbahasa dan kemudian bisa pula dihitung persentase kesalahan berbahasa itu. Langkah terakhir ini tidak wajib dikerjakan, tetapi diperlukan dalam menarik kesimpulan dalam melakukan perbandingan. Perbandingan dapat dilakukan antara frekuensi jenis kesalahan dalam satu kasus (sampel) atau membandingkan dengan sampel lain. Oleh karena itu, langkah ini berkaitan erat dengan langkah deskripsi kesalahan.
Ada pakar pengajaran bahasa mengemukan bahwa Anakes mempunyai langkah-langkah yang meliputi:
(1)   pengumpulan data,
(2)   pengidentifikasian kesalahan,
(3)   penjelasan kesalahan,
(4)   pengklasifikasian kesalahan,
(5)   pengevaluasian kesalahan.
8.      Jenis Kesalahan Berbahasa
Berdasarkan komponen bahasa, kesalahan berbahasa dikomponenkan menjadi:
(a)    kesalahan pada tataran fonologi,
(b)   kesalahan pada tataran morfologi,
(c)    kesalahan pada tataran sintaksis,
(d)   kesalahan pada tataran semantik,
(e)    kesalahan pada tataran leksikal,
(f)    kesalahan pada tataran wacana.