"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/30/2011

CATUR MARGA


 
Berdasarkan dasar ajaran agama Hindu Panca Sradha, kita mengenal ajaran Moksa yang mempunyai makna kembalinya roh individu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga.
1. BHAKTI MARGA
Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Dengan menambah dan berdoa mohon perlindungan dan ampun atas dosa- dosanya yang pernah dilaksanakan serta mengucap syukur atas perlindungannya, kian hari cinta baktinya kepada Tuhan makin mendalam hingga Tuhan menampakkan diri (manifest) di hadapan Bhakta itu.
Tuhan memelihara dan melindungi orang yang beriman itu, supaya hidupnya tetap tenang dan tenteram. Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan bersembahyang hari suci lainnya.
2. KARMA MARGA
Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk.
Selain itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu mengarahkan segala usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan.
3. JNANA MARGA
Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin) melaksanakan dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahman atau Purusa.
Di dalam Upanishad dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa adalah sebagai sumber unsur- unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala benda yang terdapat di alam ini. Brahman sebagai sumber segala- galanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat, atau sifatnya yang menyebabkan Brahman berubah menjadi serba segala, rohaniah maupun jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi bahwa segala yang ada, rohani maupun jasmani, benda yang berwujud (Sthula) maupun abstrak (suksma) bersumber pada Brahman, maka para bijaksana (Jnanin) memandang bahwa semua benda jasmaniah (jasad) dan wujud rohani (alam pikiran dan sebagainya) yang timbul dari Brahman adalah benda dan wujud yang bersifat sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang sungguh- sungguh ada dan mutlak (absolut).
Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka dapat mencapai dharma yang memberikan kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam penjelmaan yang akan datang (Swarga Cyuta). Andaikata rahmat melimpah akhirnya mereka dapat menginjak alam Moksa yaitu kebahagiaan yang kekal, yang menyebabkan roh (Atma) bebas dari penjelmaan.
4. RAJA YOGA MARGA
Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada konsentrasi.
Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

Annaprasana Samskara


Annapatennasya no dehyanamivasya susminah,
Prappra datarantarisa urjan no dehi dvipade catuspade.
(Yajurveda: 11-83)
Oh Tuhan, sumber dari segala makanan, berikanlah (dehi) kami (nah) makanan (annasya) yang bergizi (susminah) dan tidak mengandung bibit penyakit. Jauhkanlah dari segala duka (tarisa) mereka yang membagi-bagi makanan (prapdatara). Berikanlah (dehi) kekuatan (urjam) kepada manusia dan semua hewan.
‘Oh Tuhan, Engkau adalah sumber dari segala makanan, berikanlah kami makan-makanan yang mengandung gizi dan tidak mengandung penyakit. Jauhkanlah kami dari segala duka dan berikanlah kekuatan kepada semua manusia dan hewan-hewan’.
Samskara ke tujuh adalah annaprasana samskara. Annaprasana samskara ini dilaksanakan saat anak berusia enam bulan, seperti disebutkan dalam Asvalayana Grhasutra 1-16-1: sasthe massi annaprasanam. Annaprasana, yang berarti makanan yang dimakan oleh anak pertama kali sejak kelahirannya. Dengan melaksanakan samskara tersebut, anak bisa disapih dari air susu ibu dan mulai diberi makanan yang lembut, misalnya bubur. Pada usia enam bulan biasanya anak sudah mulai tumbuh gigi sehingga makanan halus yang diberikan bisa dicerna dengan baik dan sedikit demi sedikit bisa disapih, karena bila ibu terus-menerus menyusui kesehatannya bisa terganggu.
Samskara tersebut perlu dilaksanakan karena dalam Veda ditulis: annam vai prana, yang berarti makanan adalah prana (napas) itu sendiri. Berkat makananlah pikiran dapat berkembang. Makanan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Makanan yang dimakan oleh seseorang berpengaruh terhadap pikiran. Jika dia seorang vegetarian (makanan sattvika), maka pikirannya juga sattvika (baik). Karena itu saat samskara tersebut dilaksanakan, anak yang berusia enam bulan bisa diberikan makanan sattvika dengan mengucapkan mantra dari Veda sehingga ia selalu makan makanan yang sattvika.
Di samping itu anak baik juga diberi madu dan susu. Dalam Ayurveda disebutkan bahwa madu dan susu penting bagi kesehatan anak. Dalam pelaksanaan upacara tersebut orang tua juga perlu mengucapkan mantra berikut: Om pranenannamasiya svaha, Om apanen gandhanasiya svaha, Om caksusa rupanyasiya svaha, Om srotrena yaso asiya svaha, (Paraskar 1-9-4), yang berarti semoga prana, apana, mata dan telinga selalu sehat dengan makan-makanan yang bergizi.
Dengan mengucapkan mantra di awal tulisan ini, makanan bisa diberikan kepada anak, mantra Annapate juga sebaiknya diucapkan oleh setiap orang sebelum makan. Menurut Veda, mantra yang perlu diucapkan sesudah makan adalah Om mo ghamannavam vindate apracetah satyam bravimi vadha itsa tasya, naryamanam pusyasti no sakhayam kevalagho bhavati kevaladi (Rg Veda 10-117-6), yang berarti orang yang makan sendiri tanpa membagi-bagikan kepada orang lain, berarti memakan dosa.

PSIKOLOGI DAN FILOSOFI HIDUP



Filosofi hidup hampir berkaitan dengan prinsip hidup. Semua
orang yang masih eksis mempunyai pegangan hidup, tujuan hidup,
prinsip hidup maupun filosofi hidup. Tentunya hal ini cukup berbeda
di antara satu dengan lainnya dalam menyikapinya. Karena, setiap
orang itu tidak sama, setiap orang itu unik, setiap orang merupakan
mahluk individualisme yang membedakan satu dengan lainnya.

Ada yang mempunyai tujuan hidup yang begitu kuat, namun
prinsip hidupnya lemah, atau sebaliknya ada orang yang mempunyai
tujuan hidup yang lemah, namun memiliki prinsip hidup yang kuat. Ini
tidaklah menjadi suatu permasalahan, yang penting seberapa baiknya
seseorang menyambung hidupnya dengan berbagai persoalan dunia yang
ada, atau dengan kata laiinya bagaimana kondisi psikologis/jiwa
seseorang dalam menjalani hidupnya.

Prinsip hidup masih jauh kaitannya dengan psikologi, namun
psikologi mau tau mau berhubungan langsung dengan prinsip hidup.
Karena, dengan menijau prinsip hidup seseorang dapat diketahui
kondisi jiwa seseorang. Prinsip hidup dan filosofi hidup sangat luas
cakupannya, tidak hanya ditinjau dari segi psikologi, tapi seluruh
cabang ilmu pengetahuan yang ada. Prinsip hidup seseorang dapat
diambil dari perspektif psikologi, agama, seni, literatural,
metafisika, filsafat dsb.

Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai
panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar.
Adapula sebagaian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup
dan filosofi hidup, ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir dan
sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi
hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras dan keras, Jadi,
kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi
hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang
keras.

Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau
prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha
mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang
baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang
yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya
dengan terlalu kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup
dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan
tidak melampaui, ia berada di tengah-tengah. Orang yang kuat adalah
orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya. Sehingga ia
mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh
filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa
lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang.
Jika ditinjau dari sisi psikologi. Orang-orang yang di atas juga
dapat dikategorikan, seperti orang yang mempunyai jiwa yang lemah,
jiwa yang sedang dan jiwa yang kuat. Namun, untuk yang berjiwa
sehat, seseorang tidak hanya dilihat dari jiwa lemah, sedang ataupun
kuatnya. Penerapan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari
itulah yang penting.

Pada dasarnya, tujuan dan prinsip hidup seseorang itu baik dan
bersih. Pada saat seseorang dalam keadaan tenang, ia membuat
berbagai tujuan dan prinsip dalam hidupnya, namun ketika diterapkan
timbul beberapa hambatan dari luar dirinya atau adanya pengaruh dari
lingkungan eksternalnya. Salah satu pengaruh terbesar dari luar
dirinya adalah panca indera. Panca indera yang tidak terjaga dengan
baik akan membuat seseorang terpeleset dari tujuan dan prinsip
hidupnya. Telinga bisa mendengar, mata bisa melihat, mulut bisa
berbicara. Semua itu harus dikendalikan dengan baik.
Sebagai contoh konkret, saya mempunyai tujuan hidup menjadi
seseorang yang berguna untuk menolong semua mahluk hidup sampai ajal
menemui dan filosofi hidupnya adalah bila ada orang baik kepada
saya, maka saya akan baik kepadanya, dan bila ada orang jahat kepada
saya, maka saya akan baik juga kepadanya. Dari filosofi hidup ini,
jika dilihat dari sisi psikologinya, orang tersebut mempunyai jiwa
yang sehat, tidak mendendam dan bahagia menerima hidup. Namun, itu
hanyalah sebuah filosofi hidup, yang terpenting adalah bagaimana ia
menerapkan dalam perilakunya, apakah bisa sesempurna dengan filosofi
hidupnya atau hanya sekedar membuat filosofi hidup tetapi tidak
dijalankannya ataupun ia membuat suatu filosofi hidup, namun ia
susah menjalannya karena tidak bisa menahan godaan atau hambatan
dari luar dirinya.

Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari seorang pemikir-pemikir
jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut
dianggap sebagai seorang filsuf, pelopor kebijakan. Masing-masing
negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan
filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang
kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam
berkarya. Terbukti begitu banyak para filsuf terkenal kebanyakan
dari bangsa Yunani, seperti Aristoteles, Plato dan Socrates.
Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu
pengetahuan, maka dia disebut Bapak Filsafat. Sedangkan, dari ilmu
psikologi, Bapak Sigmud Frued disebut-sebut sebagai Bapak Psikologi
yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan.
Kedua tokoh dunia ini sama-sama memiliki pemikiran yang luar biasa
untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan mengenai asal usul dari
segala sesuatu, meskipun cakupannya berbeda, namun, psikologi dan
filsafat tidak bisa dipisahkan dan sebaliknya. Banyak tokoh
psikologi yang semula mempelajari filsafat kemudian melanjutkan
pengetahuannya ke bidang psikologi.
Beberapa kata kutipan yang diambil da
ri kedua tokoh ini, yakni :

" Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan, itulah yang kau
sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana
orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi
(Socrates)".
Dan,

" Mereka yang percaya, tidak berpikir. Mereka yang berfikir, tidak
percaya (Sigmud Frued)".

Disini dapat dilihat, bahwa terjadi suatu studi banding antara kedua
ilmu tersebut, Masing-masing membicarakan asal asul segala sesuatu
menurut perspektif ilmunya. Namun, dari kedua ilmu tersebut
mempunyai suatu kesamaan, bahkan banyak kesamaan yang membahas
mengenai asal mulanya sesuatu yang pasti ada hubungannya dengan
manusia dan alam sekitarnya.

Seorang Socrates membicarakan kebahagiaan dan seorang Sigmund Frued
membicarakan pikiran, tentunya kedua hal ini mempunyai kaitan yang
cukup besar. Filosofi hidup yang diberikan oleh Socrates mengenai
kebahagiaan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan Ilmu
psikologi yang diberikan oleh Sigmund Frued mengenai pikiran (alam
sadar atau alam bawah sadar) dapat dijadikan landasan seseorang
untuk mencapai kebahagiaan.

Oleh sebab itu, seseorang yang mempelajari psikologi maupun
tidak, harus memiliki satu tujuan hidup atau filosofi hidup agar
bisa berkembang, dan seseorang yang mempelajari filsafat maupun
tidak, harus memperhatikan apakah dan bagaimanakah agar filosofinya
dapat diterapkan dengan baik dan benar sehingga mempunyai
psikologis/jiwa yang sehat untuk maju dan berhasil.

"Jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar tentang segala sesuatu,
maka itulah inti pengetahuan'.

Sejarah dan Makna Hari Raya Galungan

          

     Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan pada hari ini di Bali, maka saya akan membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.

     Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.
Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
        Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
          Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
         Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
         Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
        Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
            Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing).
Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
         Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
          Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”
         Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
            Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang मरका dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
(Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

6/29/2011

PIDARTA BASA BALI

(1)
BASA BALI PAMIKUKUH BUDAYA BALI

          Kaping ajeng, titiang ngaturang suksma ring pangénter parikrama antuk galah sané kapica ring titiang, sajeroning acara puniki.Ida dané sareng sami, pamekas para panuréksa saha angga sané dahat kusumayang titiang. Para panodya, pamilet, saha para siswa sané banget tresna sihin titiang .Sadurungé titiang nangiang atur, pinih riin ngiring sareng-sareng ngastiti bakti ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa kadulurin antuk panganjali,
                “Om Swastyastu”,
           mogi-mogi sangkaning sih pasuécan lan asung kerta wara nugrahan Ida, prasida titiang ngiring ida dané ipun ngmangguhang kerahayuan ring jagaté sekala yadian niskala. Ring galahé becik puniki titiang pacang ngaturang pidarta sané mamurda ”Basa Bali Pamikukuh Budaya Bali”.
Ida dané para atiti sareng sami sané wangiang titiang.
         Sadurungé titiang nunas pangampura pisan, duaning kadi prasangga purun titiang matur, mabah saparindik basa Bali pinaka silih tunggil pamikukuh budaya Baliné. Atur pawungu titiangé puniki waluya sakadi nasikin segara utawi nangiang sang sané sampun matangi. Ri antukan katambetan titiangé tur kantun wimuda pisan. Janten sampun atur titiangé puniki ”ngatak wayah” nongklang-nongklang, menawi nénten manut ring pakayunan ida dané sareng sami. Inggih asapunika meled taler manah titiangé ngamiletin pacentokan pidarta basa Bali sané kelaksanayang ring galah sané becik puniki.
Inggih pidaging titiang nawegang ring para atiti sareng sami.
Mungguing kawéntenan basa Baliné sampun lami pisan. Yan kaperang antuk undagannyané, basa Bali kepah dados tigang paletan; kapertama Basa Bali Kuno utawi Bali Aga, kaping kalih Basa Bali Tengahan utawi Kawi Bali, lan kaping tiga Basa Bali Kepara utawi Bali Baru, basa Bali sané tami iraga mangkin.
Yaning nganutin genahnyané, basa Bali punika kapérang dados kalih dialék, inggih punika, dialék Bali Aga utawi dialék pegunungan lan dialék Bali Dataran utawi dialék lumrah. Soang-soang dialek punika madué ciri sané matiosan.
           Madasar antuk wangsa lan linggih, basa Bali madué anggah-ungguhing basa. Anggah-ungguhing basa puniki nganutin wangsa utawi kasta para janané. Sané kabinayang antuk linggih sané kabaos Tri Wangsa (Brahmana, Ksatrya, lan Wésia) miwah linggih soroh jaba utawi sudra (jadma makéhan). Lian punika, anggah-ungguhing basa manut antuk linggih sakadi mangkin, metu golongan anyar sane sane kawangun madasar antuk linggih sosialnyane ring masyarakat modern, sekadi soroh pejabat miwah jadma sugih. Nganutin anggah-ungguhing basa, basa Bali kapérang antuk Basa Bali Alus, Basa Bali Madia, lan Basa Bali Kasar.
         Manut undagan basa puniki nyihnayang basa Bali madué akéh pariasi ring kahanan, sané sampun kanggén saking riin olih para panglingsir iragané ring Bali pinaka basa ngarahina, mabligbagan, ring pauman, ring genah makarya, ring soang-soang kulawarga, lan pangénter yadnya ring parhyangan. Gumanti akéh pisan kawigunannyané sané siosan.
Inggih pidaging titiang nawegang ring para atiti sareng sami.
Kasujatianipun, sapunapi paiketan basa kalawan budayané?
Basa pinaka piranti sané kanggén para janané maolah rasa berkomunikasi lan bekerja sama sareng jadma tiosan ring masyarakat. Lianan ring punika, basa pinaka sarana panglimbak budaya, kasuksmané tan pabasa kebudayan punika nénten ja sida ajeg lan lestari. Basa naler pinaka silih tunggil pahan saking kabudayan. Lianan ring basa wénten sistem mata pencarian, sistem peralatan, sistem masyarakat, sistem ilmu pengetahuan, agama, lan kesenian.
           Basa Bali pinaka pamikukuh budaya Bali. Raosé inucap prasida kaodar santukan kadi sane sampun kabaosang ring ajeng, tan pabasa nénten majanten budaya Baliné prasida ngalimbak lan sida ajeg ngantos mangkin. Yan umpamiang titiang budaya Baliné sakadi taru ageng. Basa Bali pinaka akah lan agama pinaka rohnyane. Kasenian, ilmu pengetahuan lan sane tiosan pinaka carang lan donnyané. Né mangkin yaning akahé usak, tuh, lan tan prasida ngalimbak, sapunapiang i taru punika sida maurip? Sinah sampun aas don miwah carang-carangnyané. Taler asapunika yan imbayang titiang ring budaya Bali iragané.
Napiké kayun ida dané yan budaya Bali iraga sané kabaos adi luhung puniki sirna? Sinah sampun sami nénten madué pikayun asapunika. Mangda nénten basa Baliné kebénjang pungkuran wantah dados basa ring lontar, ring sastra, ring sasuratan kémanten sakadi basa Kawiné. Ngiring ida dané sareng sami, égarang kayuné ngarajegang nganggén basa Bali pinaka basa iragané ngarahina. Yan ten iraga sira malih jagi ngajegang budayan iragané padidi. Ngiring sareng-sareng numbuhang jati diri pinaka nak Bali, mapan kadi baos panglingsiré dumun ”Basa ngantenang wangsa”. Sakadi tembang Baliné mangkin, ”Anak Bali, tiang nak Bali, mabasa Bali magending Bali. Dadi nak Bali, yen malali pasti mewali, mulih ka Bali,.......” . Asapunika kanti iraga gendingina, mangda éling iraga pinaka nak Bali.
Inggih pidaging nawegang ida dané para atiti sareng sami.
        Maosang indik nganggén basa Bali ring aab jagaté mangkin, sayuakti pisan sakadi sampun pada kauningin sareng sami. Napi malih sareng anom-anom rumasa kuno pisan. Nénten gaul kabaosang. Titiang néwék ngrasayang naler. Ri tatkala mapupul sareng timpal-timpal ring sekolah, satata nganggén basa Indonesia. Matakén nganggén basa Bali, kacawis nganggén basa Indonésia. Ngantos madué papineh maboya titiang ring kalanggengan basa Baliné riwekas. Rumasa sulit pisan, napi malih iriki ring kota, yan minabang ring désa-désa kantun anom-anomé mareraosan nganggén basa Bali. Nika naler basané wantah basa Bali andap, yan nikain mabaos nganutin anggah-ungguhing basa utawi masor-singgih sinah taler sampun kikuk, ngaku nénten bisa, jejeh, takut pelih ngaraos sareng anak lingsir. Makéh alasan ipuné.
        Nah, unduk sané baosang titiang ring ajeng iwawu mawinan titiang néwék mineh-minehang angga, ”Yan tusing iraga né mapauruk ngajak timpal-timpalé mabasa Bali, sinah ia tusing lakar nyak malajah basa Bali”. Jengah padéwékan titiangé mangda nénten kekaonang wangsa saking dauh tukad. Ipun ring Bali maburuh ngaruruh pangupa jiwa, yaning matemu sareng kantinnyané paturu wangsa, bangga pisan ipun magegonjakan nganggén basa ipuné. Nanging iraga ring Bali, paturu nak Bali mabaosan nganggén basa Indonésia. Indarang pinehin sareng sami.
         Punika mawinan, titiang prasangga purun ngentenin ida dané sareng sami, ngiring iraga bangga pinaka jadma Bali, kukuhang budayan iragané malarapan ngelestariang basa Bali pinaka pamikukuh budaya Baliné. Ida dané pinaka panglingsir ngiring mapauruk ring alit-alit duéné ring jero, ring gria, ring puri, mangda nganggén basa Bali pinaka basa ngarahina. Punika taler para anom-anomé sareng sami, ngiring mabasa Bali. Tumbuhang rasa banggan iragané nganggén basa Bali ring wangsa tiosan.
          Inggih, wantah asapunika atur pawungu titiang ring ida dane sinamian, dumogi wénten pikenoh ipun. Yan jagi pacang nyarca indik kawentenan basa Baline, gumanti akeh pisan. Atur titiange puniki wantah pinaka jalaran ngawetuang rasa banggan titiang, sutindih bakti ring wangsa antuk ngajegang kabudayan iragane. Menawi wénten atur titiang nénten manut ring arsa minakadi unjuk lungsur, anggah-ungguhing basa tan manut titiang nunas geng pangampura. Om hayu wredhi tatastu astu. Sineb titiang antuk parama santi.
        Om Santih, Santih, Santih, Om

 (2)
PIDABDAB NYANGGRA
"BALI CLEAN AND GREEN"
               Inggih, titiang ngaturang suksma banget ring pangénter parikrama acarané puniki, santukan sampun prasida  mapaica galah ring sikian titiangé, jagi matur-atur akidik ngeninin sapaindik pidabdab iraga krama Baliné nyanggra pikéling Sang Niti Praja utawi pemerintah pinaka Guru Wisésa, Sang Ngamong Rat jagat Baliné, pacang ngamargiang prongram: Bali Clean and Green sané sampun ngawit warsa kalih tali dasa (2010) puniki.
               Sadéréng titiang ngawit matur, lugrayang riin titiang ngaturang pangastuti ri jeng Ida Sang Hyang Widhi Wasa saha sembah panganjali,
Om Swastyastu !
Mogi-mogi sangkaning sih pasuécan lan asung kerta wara nugrahan Ida, prasida titiang ngiring ida dané ngemangguhang kerahayuan.
               Kaping ajeng atur titiang ring ratu para Niti Praja sané mapikarsain acarané puniki, taler para panuréksa, sané mustikayang titiang.
Guru Pengajian, sané dahat sungkemin titiang, para pamilet sané tan sidha titiang nyacah silih tunggil sané wangiang titiang, nénten luput taler para sisia sané sida ngrauhin, sané banget tresna sihin titiang.
Ring galahé becik puniki, titiang pinaka duta saking SMPN 2 Kuta Selatan, pacang ngaturang pidarta sané mamurda "Pidabdab Nyanggra Bali Clean and Green".
Ida dané para atiti sané wangiang titiang.
Sadurungé titiang matur indik daging parikraman titiangé puniki, titiang nunas pangampura pisan, duaning kadi prasangga purun titiang matur, mabah saparindik pemargi Sang Niti Praja ngamargiang program Bali clean and Green puniki. Umpamiang titiang atur pawungu titiangé puniki waluya sakadi nangiang sang sané sampun matangi. Ri antukan katambetan titiangé tur kantun wimuda twi, janten sampun atur titiangé puniki tuna pisan, menawi nénten manut ring pakayunan ida dané ipun.
Inggih pidaging titiang nawegang ring ida dané sareng sami.
Mawosang saparindik kawéntenan jagat Bali, tan ja telas-telas jagi kabligbagang ngarahina. Ngawit nyarca kaluihan ipun ngantos sekatah pikobet sané kekantenin.
Sira tan uning ring Bali? Sira sané tan meled malancaran ring Bali?
Sakadi sampun kauningin, kepariwisataan ring Bali sampun mawit saking riin daweg pemerintahan Welanda. Duk warsa siu sangangatus sasur (1935) ring Dénpasar kawangun Bali hotél, sané kantun rajeg kantos mangkin. Punika cihna tetamian kepariwisataan ring Bali. Taler kautaman kebudayaan Baliné sané rumaket ring agama Hindu, tur katampa antuk kaasrian gumi Bali, mawinan Bali puniki dados tatujon wisata sané sampun kaloktah ring dura negara. Akeh jejuluk sané kapicayang sakadi : "Pulau Seribu Pura", "Pulau Dewata", "Pulau Surga" muah sané siosan.
Sairing pamargi kepariwisataan ring Bali, pastika akéh pikenoh lan puaran ipun, wénten sané becik taler wénten sané kaon. Puara sané becik inggih punika ngruak genah makarya sané prasida ngirangin pangangguran, ngwéntenang genah makarya, mautsaha nincapang kawikanan, nincapang pikolih marupa artha, ngwerdiang tur madabdaban sahana seni lan budaya Bali. Puaran sané kaon, akéh para jana banjar utaminipun para daha truna maparisolah sané tan manut ring budaya utawi jati ragan wangsa, pangargan barang dados mael, lan sané pinih ngangenin ati makéh pisan tanah carik lan paabianan magentos dados sarana wisata.
Tan ja carik lan paabianan kémanten, ngantos abing, gunung lan alas kasuksuk, katlusuk, kakeruk dados genah wisata.  Lian punika, sairing ngalimbaknyané para janané, pastika sampun ngarincikang genah paumahan sané makéh. Ngancan cupek, ngancan kumel, ngancan panes, rasayang titiang genahé ring Bali. Napi malih ring perkotaan, sekadi Denpasar muah Badung. Lahan Hijau maruat dados paumahan, polusi udara nénten sida katambakin malih. Para janané masuksuk, maseluk, saling sikut, saling sunduk marebut genah sané tepuk.
Yan sampun sakadi asapunika pikobetnyané, napiké iraga pacang bengong nyaksiang kémanten?
Manut Réktor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD.(KHOM) sakadi sané kaketus saking koran Bali Post pinanggal telu likur (23) Pebruari kalih tali solas (2011), palemahan Bali sekadi wewidangan pesisi, danu, lan alas sané mangkin kahanannyané "memprihatikan". Gelisnyané panglimbak ekonomi sané nénten karencana pinaka wit uugnyané wewidangan iragané, tur ngawetuang sakatah pikobet ngeninin kalestarian jagat Baliné.
Menawita napi sané kabaosang olih Bapak Made Bakta punika madaging pisan, kirangnyané ulatian saking para janané mahawinan palemahan iraga ring Bali ngancan uug. Pamargi Tri Hita Karana, sané mapiteges tetiga pidabdab sane prasida ngametuang karahayuan jagat, inggih punika: Parahyangan, Pawongan, lan Palemahan. Utaminnyané sané mapaiketan ring pamargi Bali clean and Green puniki, inggih punika Palemahan, sané mapiteges janten wénten karang suwung, karang palemahan sané katandurin antuk wit-wit taru sané mapikenoh sajeroning kahuripan. Mangda nénten sami kagentosin antuk wewangunan beton, hotél, spa, ruko, saha pirantin ipun. Wewangunan kasidan magda kaanutang ring sejeroning pidabdab lan pangrencana sané sampun kasungkemin olih para jana Baliné, sajeroning peraturan daérah lan awig-awig désa adat. Pamarginé puniki nénten ja kanggén dasar malih ring ngalimbakang kahuripan. Sami mapaitungan magarangin ajengan asopan, ngantos lali ring swadarma ngalestariang jagat sané ngicénin mertha.
Nénten ja doh titiang ngarerehang wimba, sakadi ungkuran puniki, kirangnyané wewidangan sané ngisep toyan sabeh sawiréh eksploitasi hutan sané ngranayang nincapnyané toya ring danu Buyan. Taru-taru ageng makéh sané katebang, taler ngancan dakén danuné punika, santukan dasar danu makéh madaging mis (sampah) lan nyanyad sané kabakta olih toyan sabehé. Lian ring punika, wewangunan ring genahé inucap makéh timpas ring tata ruang Bali. Sakadi kawentenan vila, budi daya sané nénten nganggén terasering, lan pakaryan pertanian sané ngalanus ring pasisi danu. Napi malih wénten wicara sakadi ngaryanin piranti pariwisata ring duur danuné lan ring pasisi danu, sinah pacang ngawetuang uugnyané wewidangan irika. Sampunang sangkaning pariwisata sané ngawetuang jinah ngawé iraga lali ring palemahan.
Inggih pidaging titiang nawegang ring ida dané sareng sami.
Pidabdab Sang Niti Praja ngamargiang program Bali Clean and Green, provinsi sané bersih lan hijau puniki, gumanti patut junjung sareng sami. Mawit saking mangkin nincapang kalestariang jagat Bali iragané, saking patindak sané alit, sakadi nénten ngawag ngentungang mis (sampah) ring margi utawi ring telabah lan tukad, mangda nénten ngawetuang blabar rikala sabeh, mangda sida Bali iragané bersih. Taler majumu nandur tetaneman ring wewidangan pakarangan muah ring désa. Pamargi sané iwang sakadi penebangan hutan patut icalang. Ngiring sareng-sareng ngawéntenang reboisasi ring genah-genah sané gundul, turmaning yéning ngalaksanayang reboisasi utawi penghijauan, malarapan nandur tetaneman, mangdané kaplihara, kapreténin. Sampunang éling nandur kémanten. Sumangdané nénten nirguna utsahan iragané nandur. Yan sampun iraga sareng sami ngarencana, nénten ja sukil, sami pacang prasida mamargi dangan. Nénten dados iraga wantah ngandelang pamargi ring Sang Niti Praja utawi matunda sareng jadma tiosan kémawon.
Ring Sang Niti Praja, mangda kukuh ngamargiang PERDA (peraturan daerah) sané mapaiketan ring tata ruang Bali. Sampunang ulap ring jinah, mangda nénten sangkaning ngaptiang jinah pariwisata dados rusak palemahan iraga ring Bali. Punika taler para janané sami, mangda sareng-sareng celing nyagra pamargi Sang Niti Praja ngalaksanayang PERDA puniki, mangda nenten singsal ring raos lan laksana.
Inggih ida dané sareng sami.
Nyarca indik pidabdab nyanggra program  Bali Clean and Green puniki rumasa dahat akéh pisan. Sakéwaten titiang nguningayang i wawu wantah akidik, yan pupulang titiang inggih punika:
1.      Palemahan Bali sekadi wewidangan pesisi, danu, lan alas sané mangkin kahanannyané "memprihatikan".
2.      Pidabdab Sang Niti Praja ngamargiang program Bali Clean and Green, provinsi sané bersih lan hijau puniki, gumanti patut junjung sareng sami.
3.      Wewangunan kasidan magda kaanutang ring sejeroning pidabdab lan pangrencana sané sampun kasungkemin olih para jana Baliné, sajeroning peraturan daérah lan awig-awig désa adat.
               Pawungu punika pinaka jalaran anggén pinget gumanti ngulati pamargi sané becik, taler anggén pidabdab nincapang keasrian jagat Baliné kapungkur wekas sayan becik. Mogi-mogi rasa bakti, sutindih paramabéla ring wangsa, désa lan negara sayan-sayan nincap.
Sang Niti Praja, Para Panuréksa, guru-guru, miwah sisia sareng sami sané tresna sihin titing, asapunika atur titiang ngindikang minakadi Ngrajegang kasusilan, maka kirang langkung lan manawi wénten tan manut ring arsa, sekadi unjuk lungsur, anggah ungguhing basa, titiang nunas geng rena sinampura. Pinaka panguntat atur titiang antuk parama shanti,
Om Santih, Santih, Santih, Om!

KAKAWIN SMARA TANTRA

1B. Om awignam astu.
WIRAMA I
1. Sang sampun krta tattwa ning wisaya suddha tumĕmu-tĕmu sandhi ning smara,
ngkaneng Madhya ikang tilam ri huwus ing ulaha nekan i samprayojana,
kāma dĕha sinamādhi sakāla saha yoga dhāraka,
siddha mangguhaken rasa mrĕtta wisesa panggilanga wikalpa karana.
2. Ndon kwa ngastāwa krtti mūrti atanu sinūksma ring jinem,
tan sangkeng wruh sūksmaning anangga satatā kahanan raras hati,
anging lot pinaka srayeng hreddhya tan bsuran alangön umastana,
yogyan manggalaning hulun miketa laksana halā ayuning warāngganā.
3. Ring wwang yan pinakottameng kula widagdha satatā wagĕding smarāgama,
yapawan teki mālap wadhu jana samasta gati nika pariksā waswaseng,
solah sengĕh I kaywaten iman-iman halā ayuning ulahnya tinghali,
2a. yan dursīla susila laksana ikengetaken ika maweh kaśāśwatan.

WIRAMA II
1. Yan ring stri satatā pwa cancala tikang śrinininya nityaikihĕn,
ngkane nginggili guhya dĕha kumĕtĕk kapwa mulus kampita,
mwang yang wrttinikang alintang anutug nabhi pramāneng anak,
yan mangkanāng stri ya subhawa laksāna iki dursīlakaruwan tĕmun.

2. Yan sroni pwa maha wiwrddhi manulus sthīra pagĕh śobhita,
drawyaniārja māgeng mahottama tikang stri mangkāna kaweruhi,
len tang stri jagathananya mās ikara tan mwang madya mageng nika,
lūd mandita i roma manwam araras yan mangkānang striyottama.
3. Mangkā laksānaning wadhūttama māgeng srotinya malwa rata,
nitya kalā sukha swakaryāyu yadin nābhinya dalem,
yapwan nābhining anggana neka ri padma warnna diwya nulus,
2b. Ngkana ring wibaweki laksāna nika kwĕh jalwānaknya tĕmun.
4. Yan stri jeronika śuskasangkata pānutning roma wreddhaya nuker,
prāpta ing pwal-pwalan alpa māngsa makara durlaksāna jar nika,
mwang stri māyurapinda pniasahaja kesat i bāyuwanaput,
yan mangkā jar kāmini sama-samangde duhka durlaksāna.

WIRAMA III
1. Hana wanita lwir mahisa lakunya,
hana kadi lampah ningiba lakunya,
hana sumameng angsa gati lakunya,
hana manawang mahisa lakunya.
2. Hana mangirib go pati lakuning stri,
hana yan umimmbeng wihaga presadi,
hana yadi mangkottama sahananya,
hana tinemun laksāna nika dibya.

3. Muwa hana tang stri mademit i kuksi,
lituhayu sakweh wĕkas niarja,
hayata yusa ya ajar i kawi śuddha,
kinahananing bhoga lanā sukhanya.

WIRAMA IV
1. Sri yottwating wĕteng ika krĕpānanta lumrah,
Nirtusta kajaran ika pwa lāna daraidra,
Len mālit ing wĕteng anuti samātra metri,
Yekin ajarnya manemung sukha tan pakalā.
2. Mwang tang stri yāgeng stana nika ri tengenya,
Matralit ing salaya pungsa sutanya nitya,
Yan mambwat ing kiwa māgeng tanaya stri yānut kweh,
Tan sor samātra geng iki hana kājar.
3. Mahrit mālit dahat ikang stāna kājarnya.
Nirsuddha laksāna nika tiśayeng daridra,
lud mālit ing stāna tuwin salaya pādohan,
3a. Byakte kinasaweak naga sĕnĕngnya sigrha.
4. Yapwan nuroja sadā padha māgeng mabunder,
mahrit rupitnya mabuka twas ahos manojnya,
carma kila mrdu ya komala manwam arja,
darppa nĕmung sukha sadā nggĕh i laksānanya.

5. Malwa midhay gigir ikang wanita nirarja,
iyan tang lebak-lebak i keringan ing gigirnya,
ring madhyaning ngĕla hula nugĕla maner ya,
rweka swabhāwa nika dāsa dumadya chihna.
6. Stri ya ruhur ya ulah ular wiringannnya mandhap,
mĕnggal tininggal i sĕnĕngnya paratra kājar,
stri yotwatnya lumra ri gigirnya kumĕndĕng,
3b. Byakteki langgĕng hati dhuka sadā ajarnya.
7. Mwang stri hila krep i giginya wiwarnna makweh,
walanga wīrya nut i warnna-wiwarnna lumra,
yeka prihati kājar i laksānannya,
lot tan pakāla tinemunnya mahati dhuka.
8. Stri hretnya nirmalaja śudhha tekĕ dadanya,
tyanteng wulu prih i waknya maha ta śobha,
nghing sweda wurya ri jajanya samatra nitya,
kājar priyanya malulut winawan ta pangguh.

WIRAMA V
1. Stri waksa tiśaya dahat mahalba lwā,
mwang twasnya wihar iki len wini jaja lwā,
lūd suskang giri asubha pwa kājarnya,
karweka panas asĕnĕng sudus krittinya.

2. Dudwang stri hināyu ri hasta dika kalih sandhinya,
4a. Sandhinya dapĕta sawang sulur yata nwam,
wulwarsi karingĕt i sandhimatra nitya,
langgĕng tusta winawan ing sĕnĕngnya kajar.
3. Stri malwanya tadi ya lebat tengahnya,
paras weni yeringan aruhur waneh,
hanang stri nisteja kadāha tan dameringannya,
wulwānut rwat iki lānāti dhuka.
4. Wanten stri karāl pareka cihna padma,
lyan tang stri caranal lpārjja mangkā,
byaktāken samala sama laksānanya diwya,
stri mangkā jar ika pawitra lot sukhanya.

WIRAMA VI
1. Yadi talinga nikang stri yan gariten makandel,
linud i bitu-bitunya krutku carmanya pingga,
tuwi carana nika lwang lūd mārang lepa kajar,
acira yusanika wās yan ciralah priyanya.
2. Kuneng ajar ikana stri yar mapanjang irungnya,
ri tangan adawa len tang angguli mwang nakanya,
atisaya ri halānya tangkasa swami nitya,
wahu-wahu sakeha hyunnya lepa jiwanya kājar

3. 4b. Yadi yan ajĕng ikang stri śobhita hasta diwya,
tulis tarā nika rjja nindya rekhanya śuddha,
subhāga gati nikarjja langgeng angdhe sukhanya,
katemu sukha nika mwang swami tustanya nitya
4. Mwang ikang inajeng ĕndah pānining stri yārjja śobha,
wajah i lepa-lepanya sāstri suteja lilang,
alit ahĕning apanjang dibyana ri ajarnya,
saka wĕtuan ikang stri yogya raja stri ya peteng.

WIRAMA VII
1. Yan stri kartha lepa-lepa mīna rĕke subhaga rijja wibhawa kahajar,
len tang mabener anuti madhya jariji tang karabi kita laris,
prapteng wuri arah-arag ing swarĕkanika manerus amener i tengah,
śuddha jari kasubhaga madawan tinĕmu laksānanika rahayu.
2. Mwang tang karabi kita ning anggana tisaya katarātara geng ika,
panjang nirariji nila purana gengnya tamatar mālit asama-sama,
5a. Usna sĕnĕng ajar nika randa menggal ika len stri ya suba gati waneh,
yan angguli nika satatākrep ing wirupa nika kasugati.
3. Yan stri mālit-alit i jarijinya lĕmbatanamar tar ahudan alungid,
kajar pwa gatinika mahottama kaśuba laksānanika rahayu,
lyan teki sadā malem amanwam ing jariji gret niwuku-wuku mālus,
stri mangkā kājaran ika aranya uttama mahottama rahayu putus.

4. Ring stri bwat angucap eliki wacana diwya ta numuni tutur,
nghing kewalā winangun ika prahasana magywan i maeri hati,
nirbhita mawacana lawān jalujarika saguyu manapa-napa,
dursila kahajar ika tan swabhāwan ikanang wara jana wanita.
5. Stri danta mālit-alit apindkha dūra pajajar-jajar i waja sama,
yeka jar ika satatā dhuka teki hana dhikara dhana waneh,
5b. Suddha rata padulur-dulurnya ramya pinatut jaja ri waja sama,
Yar keng isa mani sawang jutu kahajarannya sukha nika lanā.
6. Yan stri ri wajanika mahalpa i kālit-alit ing salaya kang i ruhur,
ring sor salayanika wirupa warnna niwajanya wikala masugal,
kapwa geng-ageng anuti rehnya tan rahayu laksānanika mahala,
usna wwang atuha wanita unilangön iki bunyi kaya kahajar.
7. 5b. Yapwan darsanan ikanang angganomenga manut selann i waja sama,
cidran lanān i wekas i tungtung ing gisi-gisinya numa halā nugel,
bungkah ni waja kahawa kowera ngdani durgga ajar nika,
swamya dwa wacana bhagawan samudra mangajar subha-suba wanita.
8. Yan stri dasanaika masungken halep ika tanemnya manuker i dalem,
byakta panasa tanaya kājarnya wiphata tmajanika sahana,
sangka nwam ika satatā dhuka tan mahikas mala ning awak anut,
6a. bhoga ksayan i tekan i wreda bhoga nika matra tumekan i lanā.
9. Yan stri swara nika madalem manohanara ya komala malilang harum,
mwang wongkun lidah katar majimbar adawarddha malungid araras,

byakta manis I wacana jiwa nadra kagaway swari talinga nuti,
yeka metu-metu sukha bhagya bhoga winangunnya kahajaran ika.

WIRAMA VIII
1. Stri jihwa pinghayati śuddha putihnya mawas,
mawas helem patinikeng waya jarnya mangkā,
mangkā stri yageng dahat hilatnya dhana ksayeka,
yeka mangun lara lanā tisayeng kadhukan.
2. Stri ya melad-melad apes tipi sing hilatnya,
bwat buddhi rosa tukaran pwa kājar hina,
yapwan stri ya cĕndhek i lidahnya kadi pwa punggel,
tunggal mamahnya kājar tukaran makambĕk.
3. Lyan tang maha tisaya lon hilatnya nikang stri,
stri mangkānodata manahnya mahat i soka,
soka ngiwö kagaway ing hreddhaya nitya,
6b. Nitya pwa nisphala ta yang sukha matra kajar.
4. Stri yar kuning lidhah ika alpa ajarnya darppa,
darppa wicara tan apik musuha wisudha,
śuddha jaring lidhah awas yadi rakta warnna,
warnnanya marsik adhawa rjja mahottama.

WIRAMA IX
1. Mwang tekya jar ni wanita alpa cihna,
cihnanya ring talu karunggu lumra,
lumra putih nika ya mangde,
mangde lanā nir sukha lot daridra.
2. Stri tengeran ing talu kalenya warnna,
Wannanya yapwan hati kresna gatra,
Gatranya mangsiwaya ta wrareka,
Rekannya mangkajar ikat i dukha.
3. Kājar yadin talukan hilatangka,
tangkanikang taluka mangkā diwya,
diwya mangun kottama buddhi lila,
lilang manah swarga mawas kapangguh.

WIRAMA X
1. Kapangguh iling hayuning wara stri,
wara stri ya ajeng komala lūd sasohba,
saśobha dening wuwusnya,
wuwusnya himper kagha cakrawaka.

WIRAMA XI
1. 7a. Wakya lilang lwir kadi angsa moni,
mening wayyoneng masĕnĕng suramya,
ramya laloh towi sĕdhĕng saharsa,
harsa siwo wetnya saraga sasri.
2. Sasri lingling stri kadi soyya sabda,
sabdanya mangdĕha hayu lot wawanya,
wani ta nawang kokila nandhaning stri,
stri mangkāna jarnya samasta harjja.
3. Harjja mangun tusta sadā ngganostha,
histanya yapwan manipis tengahnya,
niyang pārśwa kalih hiringannya śobha,
sobha kila lwirnya makandhela bwat.
4. Bwat hīna ta stri yadin alpa lambe,
lambenya śuska tiśayeng makandhel,
kandhelnya tan byakta maha kuś ya,
yan mangkāna jarnya taman mānak ya.

WIRAMA XII
1. Kyati laksānann ikang wanita lpa,
alpha nasikanika tiśaya lit,
litnya tan sawawa warnnan i kendah,
nendah ambek ika nirgati yogya.

WIRAMA XIII
1. Yogyan ing swa gawaya lemeh tar ahyun,
hyunnya ring para gawe ginengnya tan liyan,
7b. tan liyan ātmanika daśa rehnya dadya,
dadyaning aśubha laksānanya kājar.
2. Kajar ring stri ya śubha teki nasikanya,
yadiyan ukurnya lintang,
lintang ing sikut ika milag rahinya,
hinā tustanika kopa abadi nitya.
3. Nitya sasring anangis ajarnya doyan,
yan stri ya panjang i hirung lebak ri madya,
madya ing liyang ika lud lungid ya cublek,
cublek anggurit anut badannya tan len.
4. Len winigrananika mapah-mapah pug,
pug papak pupak hirungnya nika mamĕpĕs,
pĕs-pĕpĕs lungid ika misĕk-pisĕk ya,
yan gelisah tekanikang sĕnĕngnya koni.
5. Koni kottama hirung ning angganārton,
tonnya tar mangenga tar mālit surupa,
rūpa pūrna sawaweng rahiwa soma,
mangkānang stri ya ajar nika mangun śudharma.

WIRAMA XIV
1. Makandhel aputih yadin tepining aksining stri wanĕh,
8a. wanĕh hana mābang ri pinggir i mata ngada wrāringan,
hingantya teki rehnya dinakala dhuka ngiwö,
iwĕh sukha kājarannya wĕkasan sĕnĕngnya tilar.
2. Larap-larap ing angganākasi yadiyan tan ya wās katon,
katonnya hati pinggala warnna manaput putihnya awuk,
awuk ni pamatanya mawra ri hiring-hiringnya tinut,
tinutan iki laksānanya mahalā-halā mbek nika.
3. Nala mbek ika dhira tapwan umidhĕp hidhĕpnya yayah,
yayah bibi ta yan idĕhpnya mayayah bibi mwang sĕnĕng,
sĕnĕngnya ta ya tonidhĕpnya masĕnĕng ta ya pwa weka,
wĕkanya ta ya tönidhĕpnya mawĕka kakanda kadang.
4. Kadang-kadang ika saha mara tuhan ta yekin idhĕp,
tayeki hinidhĕp wuwus ni ta kabĕh tan tinon,
tinon teki manahnya kewala tinut-tinutan lanā,
8b. lanājar nika mangkānang stri ya śobha citta i pangrasĕ.

WIRAMA XV
1. Kadi cakrawala sawang ing wanita aksi,
kadi sarppa caksa anawar i samāksi,
kadi kakak netra nakulopama ngaksi,
kadi mangkān laksanā i kottamang aksi.

WIRAMA XVI
1. Kadi tunjung aksining ikanang wadhūttama,
sahirib lĕwa-lĕwanika raras katon,
manis ing mata rjja majahit ya komala,
putih ing mata serat abang samatra ya.
2. Yadi cihna mangkāna ta aksi kottama,
tĕmah ing wiśesa sama ngangga dewati,
titahen pwa raja duhitā pwa tar wanĕh,
wanita diwakya Bhagawan Samudra ya.

WIRAMA XVII
1. Yapwan strīdhĕp ika lemes-lems alit makweh macĕndek katon,
mwang strīdhĕpnya waneh katon rwa telu long rangkepnya ring tunggalan,
warnnan yeka mālit-mālit sama-sama ngdhe tusta ring laksāna,
9a. langgĕng ring sukha karuwa teki yadiyan stri mangkāna jar nika.
2. Yan stri pwa lemes ing pālis-alisan rjja ngimban patra lungid,
panjangnya larasawri tang kuwal ya ngaksi suddha manis,
nirdukha jar ika mangun sukha sāda ngdhe danadhanya nuti,
tan wanten surud ing kasustan i manahnya wās manĕngkĕr hurip.
3. Yan stri kottama warnnaning stana nika tyanteng wiwrddhya annulus,
sor niyu danta kulitnya manwam araras matwas tuwunya makĕg,
śobha hrit marupit tanemnya mabuka jarnya sāda ngdhe sukha,
lūd swaminya maha yusanya madawa nggeng ramya nitya langö.
4. Mwang yan teki lalāta marpspi karupek tandĕs malus śobhita,
stri mangkā jar ika nemung sukha saad prapta nutug jiwita,
lawan yan mawĕlu sirahnya maresik tekang kapala raras,
himpĕr raja wadhu pwa laksāna nikang stri mangkenekin kajar.
5. 9b. Stri yan teki magöng parambutanika lwir duk sawangnya sugal,
yan teki mapanjang addhuta magöng rakwa mangun dur gati,
menggal randa ajarnya len tiki hangng stri kottama jar nika,
romanya dawa tar magong tar adhemit lwir megha mekel katon.
6. Stri kesa hireng asĕmu jihma janeng kwehnyottama jar ika,
yan kesa sĕmu himan drawela sawaneh warnnanya śsuddha hireng,
tungtungnya sĕmu matra gatran i kuningnya wās ajarnyottama,
yekin sadhana datu yogya yatika stri sādhu lūd ya lapen.
7. Stri kesan luwangnya ring saleran rangkep rwapat ri siki,
kojar kottama laksānanya tuwi yan sangkep wini jnyeng guna,
prajnyeng ing gita satakosala wagĕd sing stri guna wruh, manut,
raja stri gawayen sada ngdhani sukha ngdhe dirghya jiwa lapen.
8. Yapwan stri kara rakta warnna ri talanya wra mirah yar katon,
10a. ton tang paniruhannya rakta sumĕnö pang canggulin ya mirah,
rangkĕpnyan sawaweng sukunya sama warnannya mangun śobhita,
tan len pwa jar ika nemung sukha sada stri mangkā dirghya yusa.

WIRAMA XVIII
1. Yan stri mapanjang I rahinya sudirghya ngaksi,
aksinya tan sawawa lonnya maut mapanjang,
panjang ni waksa ya mānut pangawaknya ngodwad,
dhwas teki jiwani sĕnĕng saha wangśa dani.
2. Ndan mangkana jai ikanang wanita lepa deha,
dehāngsana lep jemu wanĕh saka ring lakunya,
kungnya sugak mreng angulat niya yadin tuminghal,
tinghal ika talinga sanglih hati ringannya.
3. Lud bingkakimban i lakunya kadi pwa jalwa,
jalwa dik haywa mangalap wanita kayeka,
nitya pwa laksāna ika muharāplpa kājar.
4. 10b. Kājar yadin halā I stri ya ruhur tumĕngha,
manghang putih-putih ing aksinika ruhurnya,
hanya tĕkap ing lemah hulat ni wadhu semwa surud,
runtag lakunya sama durgati laksānanya.

WIRAMA XIX
1. Stri yadiyan mapanjang i pupu liwati sikutnya,
kapwa macĕndek ing wetis ika ngurangi ukur ika,
kapwa ngukur ing aksi maciut madalem adarata,
tan mredu wakya sabdha matĕrĕh kadi gereh amuni.

2. Nitya ajarnya tan rahayu mangkāna gati wanita,
tan tuhu yogya kambila tekap sang umuni rahayu,
yukti maweh larangan ing manah gatinika mahalā,
langgenga sung ksaya ngurud i jiwa kagawayanika.
3. Skandaning anggana geng hana piwapunaken awelu,
lūd jaghana swama cantik sugal malina tanunika,
kājar halānya kasta tanayanya sahana tinĕmu,
mukya sĕnĕngnya sighra matilar pĕjah angalarāken.
4. 10b. Kedwa mangun halā jar ika yan stri subha tutuk ika,
kandel ika bupak bĕlah i sor ruhur i wajah makeb,
kondhur hilatnya denikang hestanika mulur adoh,
durahitannya tan tuhu manungkul i jalu sasiki.

WIRAMA XX
1. Stri caksu yar mahalāgatinika,
kapwa warnna abang hireng i hiring,
ring pontuan-untuanika wisama,
makweh warnanya tan asama-sama.
2. Mandeh lwirnya tan ajajar wawa,
rĕngganya arang miring hana ya wilut,
lūd mingkus munduku lāna ya lĕbak,
bangker wungkuk niwaja hana basing.

3. Sangkepnya halpang patĕngahan hana lemu,
mulwang guda krep i wulu satāta,
tan yogya kilapen i sahadika,
kangken pwalannya kahajaranika.
4. Stri guhya panjang i pulu sahana,
prapteng nabhi ringan angiket sĕnĕng,
sök-sök ajarnya mapanas asĕnĕng,
angdhe dhuka prati dina satāta.
5. Tanung ning wanita hireng asemu pegat,
11b. pegat ing ulah ing caphala mbek anut,
anugal pangawak tan agung katunan,
katunan pangadegnya tan yang kagungan.
6. Kagungannya masanjan sāda wring ujar,
wring ujar ning apet lingalan pangupet,
pangupet nika ring jana sing saparan.
Saparan mangucap wwang ujarnya titir.
7. Titirojar hulatnya ngiwön panengen,
panengen ika yan stri ya subha jar ika,
ri kadadyan i laksāna tan hana rah,
hana rahnya sudurggati tar parekan.

WIRAMA XXI
1. Parekna haywa yan asubha laksāna ning wanita,
hawan i tanunya tan rahayu yar mahalā jar ika,
ajar ika yan anarang-arang ing waja ring gariji,
jarini padha len buja yadin maharang dahaten.
2. Dahat anut ing hyun ing hati sĕnĕngnya tayen iringan,
iniring ulahnya ramya kalawan para jalwa sĕnĕng,
sĕnĕng ika tan kahisti hana ring graha tan tinaha,
tinahenan ing manahnya apacara ajarnya kedah.

WIRAMA XXII
1. 12a. Kedah halā jar i wanita halpa laksāna,
palaksānanya hana pipi lyan angen lebak,
lebak manuncab i tĕngahnya yan guyu,
guyunya nir manis i wajanya tar patut.
2. Patut ni laksānaniki kapwa tan hayu,
ayukti ling nira Bhagawan Samudra ya,
yadin wandhu lwir ika taman maweh sukha,
sukha sĕnĕngnya sakareng halpa jiwita.
3. Wit ing manohara wanita aksi yan liring,
liringnya sor saliring ing kidang maring,
maringkes ing tengah adhmit ya komala,
melah māngel gemuh ing payudara amakwa.
4. Bwat ing parambutan atetel ya ta hireng,
hireng nikang mangemu hudan sama,
samaptang angga ya mahijo waja rata,
ratanya ramya mamanis rjja yar katon.
5. Katon lit ing weteng ika nabhi ya dalem,
dalem pahinganan i pusernya halep,
halep ni tindak anuti angsa yar laku,
lakunya cihnani hati yan surupa ya.

TELAS
Lontar iki druwen I Dayu Made Jlantik, ring Griya Karangasem Sidemen.
Kasuratang antuk Padandha Gede Made Wanasari, ring Griya Taman Baru.
12b. Duk puput sinurat ring dina Kliwon, Coma, Wara Wariga, titi, tanggal ping,5
Sasih ka, 5, rah 5, tenggek 4,1 Caka 1854.

Puput

Terjemahan
Kakawin Smara Tantra
1b. OmAwignam astu
WIRAMA I
1. → Orang yang sempurna dalam ajaran bercinta nampak suci telah menemukan rahasia dalam bercinta,
→ selesai atas melakukan hubungan dan memperoleh kenikmatan di ranjang,
→ pengetahuan akan asmara memusatkan pikiran pada ketabahan atas penderitaan,
→ berhasil mencapai kepuasan yang tak terhingga yang mampu memusnahkan penyebab kesengsaraan.
2. → Tujuan seperti ini merupakan tindakan terpuji seolah berwujud tapi ternyata tidak bertubuh dan tidak dapat diraba,
→ tidak memandang dari mana asalnya, halus pemikiran, dan menjunjung semua peraturan sebagai wujud kecantikan hati,
→ hingga berani berkorban untuk pujaan hati tanpa perasaan egois terasa demikian indah,
→ itu sebabnya hamba mengarang tentang baik buruknya memilih wanita.
3. → Apabila seseorang itu mengutamakan keluarga berarti ia mengerti tentang kasih sayang,
→ begitu juga dalam memilih seorang istri halus teliti dan penuh pertimbangan,
→ semua tindakan dan cara bertingkah laku itu apakah memang benar-benar baik atua kah buruk segera akan dapat diketahui,
→ 2a. meskipun menilai baik buruk tingkah laku seseorang itu akan menjadi persoalan yang tak ada habisnya,

WIRAMA II
1. → Jika istri selalu menjaga dalam hal kecantikan luar dalam maka ia akan selalu diberkahi,
→ di sana lah terletak rahasia pribadi yang membuat jantung berdebar keras menyerupai goncangan yang dahsyat,
→ dan jika seseorang mengabaikan norma-norma itu sama saja merendahkan diri sendiri,
→ jika demikian wanitanya berarti ia akan benar-benar bertemu dengan kesengsaraan.
2. → Jika bagian kewanitaannya itu sempurna berarti ia sangat tulus dalam temukan kenikmatan bercinta,
→ Kemaluan wanita yang besar sangat berarti bagi seorang istri,
→ Beda pula wanita yang memiliki pinggul besar, hal itu merupakan kelebihannya apalagi disertai dengan bagian kewanitaan yang besar tadi,
→ begitu pula jika dihiasi oleh bulu maka akan tercipta keindahan demikian lah seorang wanita yang sempurna.
3. → Begini perumpamaan terpenting dari seorang wanita jika besar perhatiannya maka ia penuh rasa malu alam hal gairah seksual,
→ ia terus-menerus senang mempercantik diri sampai pada pusat kemaluannya,
→ sekalipun pusat kemaluan wanita bermacam-macam,
→ ia berusaha menjadikannya seperti warna bunga teratai surgawi yang sebenarnya,
→ 2b. karena disanalah pusat kewibawaan wanita terhadap lelaki yang senang bercinta.
4. → Jika wanita kemaluannya layu dan mengkerut dapat membuat berdiri bulu roma pertanda bertambah kesengsaraan,
→ untuk mencapai pangkal paha sulit karena kecil untuk disetubuhi ini ramalan bagi orang yang berbintang Capicorn,
→ banyak juga wanita yang seperti itu berusaha mempercantik diri dengan maksud agar nafas yang dihembuskan terasa menyegarkan.
→ Jika demikian adanya berarti perempuan itu masih memiliki rasa kasih sayang tapi sering juga bersedih ini adalah pertanda buruk.

WIRAMA III
1. → Ada wanita yang jalannya seperti kerbau,
→ ada yang jika berjalan seperti akan jatuh,
→ ada yang pikirannya putih bersih berarti indah perbuatannya,
→ ada yang seperti kerbau berarti ia suka bingung.
2. → Ada yang menyerupai lembu mati kelakuanya,
ada yang apabila bergerak seperti burung yang gesit,
→ jika begitu berarti ia mudah menghalalkan segala cara,
→ telah menjadi kenyataan bahwa itu sebuah keburukan wanita.
3. → Dan ada istri yang langsing perutnya,
→ menarik dari segala hal berarti ia pembawaannya baik,
→ usaha wanita di dalam merubah kehidupannya digambarkan sebagai pujangga suci,
→ agar ia dipenuhi oleh kenikmatan bercinta yang abadi sehingga membuat lelaki merasa senang.

WIRAMA IV
1. → Urat perut wanita itu pertanda kelembutan hati yang tercurah tanpa ada batasnya,
→ jika tanpa kebahagiaan hal ini merupakan penyebab kesedihan hati wanita,
→ lain pula jika kecil perut wanita biasanya dia dapat bersifat bijaksana baik dalam keadaan sedih maupun senang,
→ ya inilah maksudnya menemukan kebahagiaan tanpa batas waktu.
2. → Selain itu jika payudara wanita besar berarti ia banyak berbuatan kebenaran,
→ jika ukuran payudaranya sedang-sedang saja maka ia senantiasa dikaruniaani anak perempuan,
→ apabila wanita berbuat kesalahan maka ia adalah faktor yang memperbesar terjadinya kelahiran,
→ apabila wanita tidak memperhatikan hal itu maka dapat menyebabkan mala petaka.
3. → Jika buah dada wanita kecil dan mengkerut,
→ pertanda ia tidak perawan dan itu terasa menyedihkan,
→ selain kecil buah dadanya juga letaknya berjauhan satu dengan yang lain,
→ 3a. jelas bahwa perlakuannya kasar seperti naga sehingga kekasihnya akan meninggalkannya.
4. → Jika buah dada wantia sama besar dan bulat,
→ letaknya berdempetan selain itu juga bila membesar dan mengeras putingnya awh sangat indah kelihatannya,
→ bersinar berkilauan dan kehalusnya mempesona sangat menarik hati,
→ temukan gairah kenikmatan yang seolah-olah terasa agak melelahkan.
5. → Malu rasanya jika punggung wanita tidak halus,
→ banyak terdapat lubang-lubang kering pada pungguhnya,
→ di tengahnya ada garis-garis (selulit) yang memperburuk keadaan punggung,
→ dua hal itu merupakan petunjuk sepuluh sifat perubahan wanita untuk menjadi budak.
6. → Wanita yang tinggi kelakuannya seperti ular yang tak mau mengalah,
→ maka ia akan cepat ditingalkan oleh kekasihnya dan menyebabkan petaka bagi dirinya,
→ apalagi ditambah urat yang menyebar dipunggung wanita terlihat banyak,
→ 3b. maka jelas akan sengsara hatinya karena itu adalah hasil perbuatannya.
7. → Dan istri yang sering berpuasa maka giginya akan berkilauan,
→ penuh pertimbangan dalam berusaha akan terpancar dalam diri wanita,
→ hal itu menimbulkan kewaspadaan dalam berkata dan berbuat,
→ sekuat apapun wanita bertahan pada saatnya dia juga akan pernah mengalami kesedihan.
8. → Wanita yang dapat mengendalikan diri maka ia bersih dan tak ternoda terpancar dari dalam hatinya,
→ apalagi setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan itu maka tubuhnya akan berkilauan,
→ karena keringat yang telah melumuri dadanya,
→ sehingga membuat para lelaki mabuk kepayang jika ia telah menguasai wanitanya.

WIRAMA V
1. → Amat sangat mengagumkan bagaikan surga dada wanita,
→ dan bagian tengah yang keras ini lah kelebihan dari wanita yang berdada lebar,
→ dan apabila dada wanita itu layu maka akan jelek juga,
→jika kekasihnya berbuat kejahatan maka ia juga akan berdosa.
2. → Wanita yang berbintang aquarius bukanlah wanita yang cantik.
→ 4a. wanita demikian dilambangkan menyerupai tanaman tunas sulur yang saling menempel,
→ Badannya berbulu dan berish dari keringat untuk selamanya,
→ Ini pertanda kebahagiaan wanita itu akan direbut oleh kekasihnya.
3. → Ada juga wanita yang bagian tengah kemaluannya berbulu lebat,
→ dan juga model rambutnya digerai maka dia haus akan kepuasan,
→ tidak indah bagian kemaluannya maka wanita itu akan memperlakukan seseorang yang telah meninggalkannya dengan penuh cinta,
→ dan jika bulu kemaluannya itu tak beraturan berarti wanita ini akan mengalami kesengsaran.
4. → Ada wanita yang lubang kemaluannya besar seperti bentuk bunga teratai,
→ berarti mahkota perhiasannya itu cantik,
→ ia hanya memastikan kesucian dirinya berdasarkan budi luhur tingkah lakunya,
→ maka wanita yang demikian itu jika bercinta akan menimbulkan kenikmatan yang abadi.

WIRAMA VI
1. → Jika telinganya wanita itu menggurat tebal,
→ ditambah pula lekuk-lekuknya mengkerut dan kulitnya mencekung,
→ bahkan memiliki kaki yang cacat dan merenggang kecil,
→ pertanda wantia itu kekurangan kesehatan jasmani menyebabkan kekasihnya pergi.
2. → Ada juga ciri khas wanita jika hidungnya mancung,
→ tangannya panjang tidak beda ukuran jemari dan kukunya,
→ maka luar biasa keburukannya sehingga kekasihnya akan menjauh,
→ wanita yang demikian jarang mendesah karena nafsu birahinya kecil.
3. → 4b. Dikatakan cantik bila seorang wanita tangannya lentik sangat mengagumkan,
→ (kecantikan itu) terdapat pada istri Buddha yang bijaksana yang telah menghapus batas-batas kesucian (dalam bercinta),
→ tersiar pernyataan itu dan selalu dibenarkan oleh karena kenikmatannya,
→ jika lelaki bertemu dengan kenikmatan bercinta maka ia akan selalu merasa puas.
4. → dan dalam bercinta pun harus dikerjakan bersama-sama keindahan tangan sang istri,
→ raut tangan-tangannya terlihat indah bercahaya bersih pula,
→ halus perbuatannya amat mulia semau perkataan,
→ dari awalnya tubuh wanita memang bagus bercahaya didalam gelap.

WIRAMA VII
1. → Jika garis tangan wanita itu kaku berarti ia berbintang pisces yang terkenal kecantikan dan wibawanya,
→ berbeda jika lurus garis tangan wantia mengikuti ruas jemarinya dan nampak lentik,
→ dan hingga pasangan garis itu meninggalkan posisi yang sesungguhnya menuju arah tengah,
→ pertanda budi pekerti oleh karena sifat baik memperbesar kemungkinan temukan suatu gejala demi keselamatannya.
2. → Dengan demikians ebagai seorang wantia amat khawatir (terhadap hal tersebut di atas),
→ panjang jemarinya itu adalah kesempurnaan diukur dari besarnya kemampuan (bercinta) tidak sedikit melainkan seimbang,
→ 5a. kebuasan sang kekasih dapat menjadikan wanita sebagai seorang janda diakrenakan wanita itu telah merasa bosan,
→ jika jari-jari itu selalu dipenuhi oleh bulu yang berlebihan hal itu sudah umum.
3. → Jika jemari wanita kecil-kecil dan lembut tetapi tidak serupa dengan ketajaman hujan,
→ maka kondisi itu sangat bagus dan berguna sebab itu adalah (bagian dari) kenikmatan,
→ berbeda jika pada setiap malam tidak bersuara jemari itu dikarenakan lipatan ruas-ruasnya halus,
→ wanita yang demikian biasanya itu lebih mengutamakan kelebihan akan kecantikan agar terasa sempurna.
4. → Jika wanita senang membuat kata-kata mengganti pembicaraan hebatlah mengolah pikiran,
→ di lain sisi ia pandai ciptakan senda gurau dan tawa dengan penuh kasih sayang,
→ tetapi tidak baik berkomunikasi dengan laki-laki ditambah tertawa bersama serta saling ejek,
→ karena kelakuan buruk itu biasanya tidak menimbulkan wibawa, hal tersebut penting bagi wanita.
5. → Jika gigi wanita ukruannya kecil-kecil dan tak beraturan,
→ Pertanda dia itu biasanya selalu mengalami kebingungan dalam soal keuangan karena kikir,
→ 5b. jika para lelaki memuji dada wanita dan juga kebersihan pada semua giginya,
→ menyebabkan air mani laki-laki nampak cair dan biasanya kepuasan itu akan berlangsung lama.
6. → Kalau gigi bagian bawah wanita kecil-kecil dibanding bagian atas,
→ sehingga perbandingan itu dianggap gigi yang cacat atau gigi yang kasar,
→bila gigi wanita semua besar-besar ukurannya maka pekerjaannya dalam bercinta tidak bagus,
→jika ada orang tua yang bersuara merdu kaerna puber ini adalah akibat perbuatan wanita sudah yang bekerja keras.
7. → Jika wanita cepat ikuti hawa nafsu untuk bercinta maka giginya terlihat jelek,
→ ketidak puasan wantia akan bercinta berakhir dengan ruskanya gusi,
→ gusi merupakan penentu apakah seseorang itu telah menjanda atau menduda,
→maka dari itu lelaki percaya terhadap ucapan Bhagawan Samudra untuk dapat menghormati wantia.
8. →Jika wantia mudah dijadikan budak maka ia membungkuk menjadi kecil seolah tertanam dalam,
→ia jelas akan panas hatinya karena kodnisi itu mengganggu jiwanya,
→selebihnya ia juga akan menderita karena tubuhnya terasa hina,
→6a. kenikmatan bercinta akan terasa lama jika orang dapat bersikap bijaksana karena itulah tujuan keabadian hubungan.
9. →Jika cara bicara wanita itu pelan dan penuh kelembuatan maka ia akan sebarkan keharuman,
→ia dapat mengatur lidah dengan tanpa diwarnai oleh ketajaman perkataan membuat kesan yang baik,
→terlihat manis ucapan pertanda jiwa wanita itu cantik apalagi ia mudah memahami orang lain,
→wanita yang demikian akan wujudkan kebahagiaan dan kenikmatan melalui ucapannya.

WIRAMA VIII
1. →Jiwa wanita merupakan cerminan kesucian dan kebersihan pikiran,
→demikian adanya kelak jika ia sudah tiada akan terbukti kebenarannya,
→dmikian seharus wanita yang baik karena sesungguhnya lidah wantia adalah penentu kehancuran,
→yang dapat timbulkan kesengsaraan yang abadi dan teramat menyakitkan.
2. →Jika lidah wantia tipis, lebar dan panjang,
→susah untuk memahami sebuah kesalahan karena itu ia mudah marah,
→dan bila lidah wantia pendek seolah putus,
→mudah memahami bahwa kemarahan adalah penyebab pertengkaran.
3. →Lain pula wanita yang lidahnya beasr dan lembut,
→wanita itu perasaannya sangat sensitif,
→pertanda ia suka iri hati,
→6b. ia selalu tidak berhasil karena rasa puas dalam dirinya tak ada.
4. →Jika lidah wanita itu kecil dan kuning,
→pertanda jika berbicara menyenangkan hati tidak suka memojokkan lawan bicaranya,
→kejujuran ucapan wantia nampak pada lidahnya yang berwarna merah,
→warnanya bersih dan panjang asngat cantik dan indah.

WIRAMA IX
1. →Sesuai perbuatannya, wanita memiliki sifat tersendiri,
→sifat wanita jika kalah dalam bercinta maka ia akan pasrah,
→pasrah pad akesucian hubungan itu adalah sebuah kebanggaan,
→kebangaan yang abadi adalah tidak mengalami kekurangan.
2. →menandai kekalahan wanita dari cara berhubungan,
→jika warna hatinya gelap dan berpendirian,
→juga hitam tubuhnya maka akan menimbulkan permasalahan,
→sehingga menyebabkan pasangannya dirundung duka.
3. →Biasanya jika lidah wantia itu menempel hingga langit-langit mulut,
→maka jika berciuman akan terasa demikian indah,
→keindahannya munculkan rasa kedamaian,
→kedamaian hati serasa berada di surga.

WIRAMA X
1. →Menemukan kecantikan wanita adalah hal yang penting,
→wanita yang normal adalah wanita yang cantik, lemah lembut dan anggun,
→anggun karena ucapkannya yang indah,
→seperti seekor angsa.

WIRAMA XI
1. →Wanita yang bersih tampak seperti angsa yang tidak pernah kemana-mana,
→dalam kejernihan air yang tenang dan sedang bercinta segalanya akan terasa indah,
→keindahan pesona wantia terpancar apabila sedang dalam kepuasan,
→puas dalam permainan cinta sebabnya telah dikuasai nafsu yang bergelora.
2. →Indah cara pandang wantia penuh perhatian seperti sang surya yang berbicara,
→cara bicaranya sangat lah cantik dan penuh dengan kesabaran,
→wanita yang sabar tampak seperti burung elang yang berkicau,
→wanita yang demikian itu ucapannya sopan dan santun.
3. →Kecantikan kewanitaan yang menyebabkan kenikmatan bentuknya menyerupai bibir,
→meskipun pada bagian tengah bibir tipis,
→bibir tersebut terletak di tengah kedua sisi panggul yang indah,
→nampak indah bentuknya terasa tebal dan kenyal.
4. →Keras dan kasar sifat wanita yang berbibir kecil,
→bibirnya berkerut terkadang juga menebal,
→jika bibirnya menebal tidak tampak pucat,
→jika demikian bentuk bibirnya berarti peranakannya subur.

WIRAMA XII
1. →Jika wanita berparas pendek,
→maka rambutnya jarang tetapi sangat halus,
→halusnya tidak seperti warna rambutnya yang indah,
→tandanya hati wanita itu tidak dalam keadaan baik.

WIRAMA XIII
1. →Wanita yang baik jika berhubungan ia tidak berkeinginan untuk membenci,
→segala kemauannya ia wujdukan tanpa ada perbedaan,
→7b. tanpa perasaan untuk membeda-bedakan itu adalah bagian dari sepuluh sifatnya,
→Kenikmatan hubungan terjadi jika pelaksanaannya wajar-wajar saja.
2. →Jika wanita suka merawat rambutnya,
→meskipun ukurannya panjang,
→panjang hingga siku dan rambut itu menyikap raut wajahnya,
→maka ketidakpuasan menimbulkan amarah yang berlarut-larut.
3. →Jika wanita seringkali menangis,
→menyebabkan buklu hidungnya penuh di dalam,
→dan lagipula bulu bagian kemaluannya pun menusuk-nusuk karena tajam,
→dan jika sudah menusuk maka kulitnya ikut tertoreh.

4. →Lain halnya wanita yang bekerja kerja hingga jatuh,
→jatuh kesakitan sampai hidungnya patah hingga mengempis,
→kembang-kempisan hidung itu menusuk-nusuknya,
→pertanda akan merana dan gelisah hingga kekasihnya membisu.
5. →Ada rahasia terpenting tentang hidung wanita,
→ukurannya tidak besar juga tidak kecil terlihat normal,
→penuh kecantikan selaras dengan wajah bulan,
→demikian lah wanita yang berbudi luhur.

WIRAMA XIV
1. →Jika lingkar mata wanita tebal dan keputihan maka ia berpengalaman dalam bercinta,
→8a. jika lingkar mata wanita tampak merah,
→pertanda hatinya sedih setiap hari,
→maka jika lelakinya telah diberikan kepuasan tak lama ia akan pergi juga.
2. →Jika wanita senang melirik-lirik meskipun tak ada yang dilihat,
→maka perasaaannya terlihat berbinar sehingag menutup keburaman hatinya,
→keburaman tedapat pada lingkar mata dan pengelihatan,
→pertanda senang ia memikirkan hal yang tidak-tidak.
3. →Berkobat pikiran tentang lelaki membuatnya gelisah,
→jika wanita telah berkeluarga maka harus percaya terhadap pasangannya,
→pasti orang yang dicintai akan selalu setia,
→karena wanita diberi seorang lelaki bertujuan agar dijadikan pasangan hidup.
4. →Sehingga pasangan itu dapat hidup berdampingan bersama hadirnya anak,
→karena anak adalah tanggung jawab dari sebuah percintaan,
→pertanggung jawaban ini dapat dinilai dari ketelusan hati,
→8b. maka abadi lah wanita yang memiliki perasaan yang demikian itu.

WIRAMA XV
1. →Seperti burung elang pengelihatan wanita,
→seperti mata ular membuat luluh mata sang lawan,
→seperti mata gagak mirip cerpelai pengelihatannya,
→seperti itu lah perumpamaan pengelihatan wanita.

WIRAMA XVI
1. →Jika mata wantia indah seperti teratai,
→maka terlihat emosi dalam bercinta,
→terlukis manis, indah dan mempersona mata itu,
→matanya putih karena urat merahnya sedikit.
2. →Begini ciri khas mata wanita yang bagus,
→mata wanita yang bagus menyerupai mata Dewati,
→ maka dari itu mejadi seorang wanita bukan lah menjadi masalah,
→sebab menurut Bhagawan Samudra wanita adalah surga para lelaki.

WIRAMA XVII
1. →Apabila wanita itu lemah dalam bercinta maka dalam berhubungan hanya sejenak,
→beda dengan wanita yang berpengalaman akan memancarkan pesona bagi lelaki yang masih sendiri,
→warna pesoan itu adalah merupakan kepuasan tersendiri bagi wanita,
→9a. wantia yang seperti itu jika bercinta akan menimbulkan kepuasan.
2. →Wanita dikatakan memiliki bulu alis yang indah jika alisnya mirip pedang yang tajam,
→jika alisnya panjang dan lurus maka kelihatannya manis dan bersih,
→tanpa kesengsaraan dapat ciptakan kenikmnatan dan kekayaan dalam percintaan,
→tak akan sirna kepuasan di hatinya meskipun dunia berputar.
3. →Wanita yang demikian juga memiliki jenis payudara yang besar maka bertambah sempurna ia,
→sisi bagian bawah (vagina) kulitnya biasanya terlihat awet muda dan mempesona,
→sehingga dalam bersenggama akan timbulkan suara desahan yang keras,
terasa nikmat jika bagian itu menyempit sehingga susah memasukkannya (alat vital pria) dan jika membuka sedikit teramat sangat menyenangkan,
→ditambah pula alat vital prianya berdiri, sangat panjang dan membesar maka sangat menggairahkan.
4. →Jika wanita memiliki alis yang tersebar juga jarang-jarang tetapi berdekatan jadi satu nampak halus dan indah,
→maka wanita yang demikian biasanya tidak terlalu mementingkan kenikmatan berhubungan sepanjang hidupnya,
→apalagi dahinya lebar maka ia bersih dari pikiran emosi bercinta,
→demikianlah perumpamaan hubungan wanita dan pria,
5. →9b. Ada juga wanita yang rambutnya lebat bagaikan sapu duk terlihat kasar dan kaku,
→meskipun panjang nya terlihat bagus dan debat tetapi sifatnya buruk,
→sehingga ia akan cepat menjanda, berbeda dengan wantia yang pandai menjaga kelakuannya,
→rambut wanita yang demikian itu panjang, tidak lebat dan tidak jarang bagaikan awan yang bergulung.
6. →Wanita yang gila kekuasaan berarti auranya gelap dan kebanyakan adalah seorang pembohong,
→jika sedikit berkuasa auranya terselimuti kabut gelap karena hatinya terkadang hitam tapi terkadang putih,
→wanita yang tak mementingkan kekuasaan auranya dia kekuningan tubuhnya jelas terlihat bagus,
→wanita yang begitu dapat menaklukkan laki-laki sopan karena berbudi pekerti luhur dan lagi pula selalu merindukan kasih sayang.
7. →Wanita yang berkuasa lubang kemaluannya panjang tiadanya tandingannya dan rapat menjadi satu,
→dia juga merasa paling sempurna karena telah dilengkapi dengan ilmu,
→ia memiliki pengetahuan tentang nyanyian, tentang seratus kebaikan, dan hal-hal lain sehingga ia merasa diperlukan karena pengertiannnya dan kesetiaannnya,
→pria yang digauli setidaknya mau melakukan demi mendapatkan kepuasan dan agar ia panjang umur.
8. →Jika wanita itu terlukai hatinya maka terlihat memerah raut mukanya,
→10a. lihat lah penampakannya merah seperti disinari secerca sinar merha,
→kelihatannnya terpancar dari warna kakinya yang cerminkan keindahan,
→jika wantia itu bisa mengatur kelakuannnya maka ia akan temukan sedikit kepuasan dan paling tidak ia akan panjang umur.

WIRAMA XVIII
1. →Ada wanita yang oval wajahnya dan bagus matanya,
→matanya tidak dapat diperumpamakan dengan maut yang berkepanjangan,
→dada wanita yang panjangnya mengikuti perawakan tubuhnya,
→pertana perasaannya tumbang terhadap kekasihnya dan menyebabkan garis keturunan wanita itu jadi jelas (tetap).
2. →Walau demikian wanita seperti itu sering berpangku tangan,
→berpangku tangan di tempat duduk dengan penuh kebosanan karena perbuatannnya:
→merana karena cintanya dan keras cara pandang,
→melihat telinganya pertanda ketabahan hatinya menciut.
3. →Setiap laki-laki memiliki pembawaan,
→laki-laki yang hebat jangan suka menilai wanita berdasarkan kekayaan,
→sebab akan menimbulkan mala petaka yang abadi bagid irinya,
→oleh karena keabadiannya maka ia akan menjadi seorang pengecut.
4. →10b. Konon jika keburukan wanita adalah tinggi hati dan angkuh,
→tersirat putih-putih pada mata bagian atasnya,
→keberadaan batas-batas kelembuatan bercinta semua akan sirna,
→Tidak lembut pekerjaannya seolah seperti perampas cinta.


WIRAMA XIX
1. →Jika wanita panjang paha lebih panjang dari betisnya,
→kebanyakan betisnya lebih pendek dan lebih kecil,
→mata kakinya masuk kedalam dan tidak rata,
→pertanda tidak lembut cara bicara dan perkataannya tajam seperti gergaji,
2. →Ini adalah kondisi bicara wantia yang tidak baik,
→mudah menyeletuk dan memutus pembicaraan,
→wanita yang begitu patut memberi batasan perasaan,
→karena perbuatannya dapat menyebabkan jiwanya sengsara.
3. →Perselingkuhan wanita memperbesar kemungkinan terjadinya kesengsaraan,
→padahal bulan yang terlihat indah itu sebenarnya bertubuh kasar maka begitupun cinta,
→perselingkuhan muncul karena perbedaan status yang ada,
→menyebabkan kekasihnya cepat tinggalkan dinia karena sengsara.
4. →11a. Bersama-sama memperbaiki hubungan dengan menjaga kesucian mulut wanita
→jika bibir wanita tebal atas bawah hingga menutup gigi,
→serta lidahnya mundur karena bibirnya menjauh maju,
→pertanda wantia tersebut buruk rupa sehingga tidak mempesona bagi pria manapun.

WIRAMA XX
1. →Ini adalah kondisi mata wanita yang buruk,
→warna sisi-sisinya merah kehitaman,
→kondisi warna gusi wantia juga demikian,
→tetapi jenisnya berbeda-beda.
2. →Gusi wanita terlihat buruk jika tidak rata,
→giginya renggang karena jarang, membelok dan miring,
→juga tumpang tindih serta berlubang,
→berawal dari gigi turun ke perut.
3. →Dalam berhubungan ada bagian yang rahasia menusuk kemaluan wanita seperti kesempitan,
→bagian rahasianya itu dipenuhi oleh bulu,
→tidak baik jika keadaan itu hingga membuat kemaluan wanita haus akan nafsu,
→hingga ia memegang pangkal pahanya.
4. →Wanita merasa senang terhadap bagian rahasia yang berbulu itu
→hingga bagian pinggir kemaluan menyelubunginya,
→hanya rintihan yang dapat memanaskan gairah kekasihnya,
→besar rintihan wanita dalam setiap kali bercinta.
5. →11b. Tubuh wanita yang hitam nampak sempurna,
→sempurna oleh perbuatan nafsu yang penuh dengan ketamakan,
→tak terasa bahwa hal itu dapat merusak tubuh wanita,
→menyebabkan berdirinya penis pria tak lagi berguna.
6. →Ketidak bergunaannya akan meredupkan semau keegoisan,
→keegoisan karena segalanya tidakd ipikirkan dan dipertimbangkan terlebih dulu,
→penyesalan seperti itu memang akan datang terlambat,
→sehingga ia hanya dapat membicarakan orang lain saja.
7. →Ia akan terus-menerus membicarakan tanpa ada perwujudannnya,
→kebaikan wantia sangatlah penting saat ini,
→seolah wanita tak mempermasalahkan kekurangan pria,
→maka berbuatlah kebaikan tanpa adanya kesombongan.

WIRAMA XXI
1. →Dekat dan jangan menjauh dari kebaikan-kebaikan sifat wanita,
→jalan hidup wanita tidak akan lancar jika ia buruk dalam berbuat,
→dari situ juga terdapat kelainan pada bentuk jemarinya,
→warna jemarinya berbeda dengan tangan meskipun itu jarang ada.
2. →Bahasa tubuh wanita merupakan ungkapan perasaan untuk pendampingnya,
→berdampingan dengan kekasih yang dicintai kemudian bercinta maka terasa nikmat,
→niscaya kekasihnya tak akan pernah tinggalkan rumah,
→demikian perasaan wanita jika sedang merendah hatinya.

WIRAMA XXII
1. →12A. Merendah, mungkin karena pekerjaannya yang hina,
→pekerjaannya tersebtu dapat membuat pipinya kempot,
→pipi wanita itu kempot jika sedang berbicara maupun tertawa,
→tertawanya tak terlihat manis kaerna giginya tak nampak.
2. →Tak perlihatkan gigi kaerna ia merasa tidak cantik,
→seperti kecantikan senyuman Bhagawan Samdura,
→meskipun begitu wantia adalah tempat lampiaskan kepuasan pria,
→hal itu yang menyebabkan arti hidup wantia terasa kecil.
3. →Tetapi perasaan dan mata hati wantia akan tetap hidup,
→mata hatinya tajam seperti mata hati kijang,
→bagian kewanitaannya lembut, halus, dan berkilauan,
→apalagi payudaranya yang padat jarang ada.
4. →Rambut wanita tersebut biasanya lebat dan hitam,
→hitam hingga menyerupai mendung,
→bulu-bulu wanita semua hitam dan rata seperti rerumputan yang hijau,
→kerataannya terlihat indah dan manis.
5. →Terlihat kecil bagian tengah perut wanita,
→bentuk pusarnya cekung (masuk),
→seperti alur berputarnya angsa,
→pertanda hatinya sering redah.
Lontar ini milik I Dayu Made Jelantik, dari Geriya Sidemen, Karangasem Tersurat oleh Pedanda Gde Made Wanasari, di Geriya Taman Baru. Selesai ditulis pada hari Senin Kliwon, hari dalam Sepekan, hari ke 5 masa terang bulan, bulan ke 5, angka satuan 5, angka puluhan 4, tahun 1854 Caka.