PARADIGMA KAJIAN SASTRA
DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN
Oleh Yoseph Yapi Taum
"All good poets, epic as well as lyric, compose their beautiful poems, not as works of art,
but because they are inspired or possessed" (Plato, dalam Gunsaulus, 1995).
1. Pengantar
Sub-tema yang sebenarnya diharapkan dari saya adalah “Implementasi
Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra”. Dalam TOR, diterangkan bahwa tema
Dies Natalis XVI “Implementasi Aspek Humaniora” kali ini adalah
kelanjutan dari tema Lustrum III tahun 2008 yang lalu, yaitu “Mereposisi
Identitas Fakultas Sastra”. Secara lebih lengkap dijelaskan dalam TOR
tersebut bahwa “Hasil seminar lustrum tersebut menyatakan bahwa
hermeneutika merupakan landasan untuk membentuk identitas Fakultas
Sastra. Karena Fakultas Sastra USD bergelut dalam bidang humaniora:
bahasa, sastra, dan sejarah, maka permasalahan mengerucut menjadi
bagaimana landasan hermeutika tersebut diimplementasikan dalam ilmu
bahasa, sastra, dan sejarah.” Dengan kata lain, tema yang perlu dibahas
di sini sesungguhnya adalah “Implementasi Hermeneutika dalam Kajian
Sastra”.
Menghadapi masalah yang demikian, segera muncul
pertanyaan-pertanyaan. Cita-cita humaniora seperti apakah yang
diharapkan dari hermeneutika? Mengapa identitas Fakultas Sastra (USD)
dibangun di atas dasar hermeneutika? Bukankah hermeneutika itu sebuah
studi tentang teori dan praktik interpretasi? Bukanlah hermeneutika
itu sebuah kajian metodologis tentang otensitas dan penafsiran teks?
Mengapa identitas tidak dibangun di atas sebuah ‘teori,’ ‘ideologi,’
‘konsep,’ atau sekurang-kurangnya sebuah ‘paradigma’ kemanusiaan
tertentu? Dengan kata lain, mengapa identitas dibangun di atas sebuah
proses?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, muncul dugaan bahwa sudah ada
kegelisahan di kalangan stakeholders Fakultas Sastra mengenai semakin
melemahnya intensitas dan kualitas riset yang dilakukan oleh (dosen dan)
mahasiswa sehingga perlu ditanamkan sebuah tradisi pemikiran (khas
barat) dengan menggunakan metodologi hermeneutika, sebuah bidang kajian
yang seringkali dipandang sebagai sub-bidang teologi. Dugaan itu
barangkali ada benarnya. Apabila kita mengamati peta kajian sastra di
Jurusan Sastra Indonesia, terdapat dua kecenderungan (tradisi)
pemikiran. Pertama, kecenderungan penelitian yang bersifat
normatif-reproduktif. Tradisi ini berusaha mempertahankan warisan
akademis yang berlaku sebelumnya. Apabila ada judul penelitian Tekanan
Batin tokoh Saman dalam Novel Saman karya Ayu Utami: Kajian Psikologi
Sastra maka akan muncul banyak reproduksinya dalam bentuk Tekanan Batin
Tokoh Seto dalam Novel Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya:
Kajian Psikologi Sastra atau Tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk;
Tokoh Karman dalam Kubah, dst. Dengan reproduksi-reproduksi semacam itu,
sumbangan kajian sastra pada masyarakat apalagi masa depan kemanusiaan
menjadi kabur.
Kedua, kecenderungan penelitian yang bersifat hermeneutik-produktif.
Model penelitian ini merupakan kebalikan dari corak pemikiran
normatif-reproduktif. Penelitian hermeneutik-produktif berusaha
mengambil cita-cita moral humanistik dan mengkajinya melalui karya-karya
sastra. Mereka dibekali dengan nilai-nilai humaniora tertentu
(meskipun tidak secara sistematis dan terencana) dan secara kreatif
mengimplementasikan dan mengungkapnya dalam karya-karya sastra dengan
menggunakan alat-alat analisis yang bisa beragam. Isu-isu seperti
kesetaraan gender, kemiskinan, penggusuran, penindasan, pembodohan,
diskriminasi dan ketidakadilan yang merupakan isu-isu humanistik lebih
menarik perhatian mereka daripada sekedar mereproduksi model-model
penelitian yang sudah ada. Karena itu, benarlah bahwa Hermeneutika
diperlukan dalam membentuk identitas Fakultas Sastra, khususnya Jurusan
Sastra Indonesia. Hermeneutika yang dikenal dalam tradisi pemikiran
barat sebagai kerangka metodologi untuk memahami teks klasik dan Kitab
Suci (Ridwan, 2008) dapat memicu iklim dan tradisi akademis yang lebih
cemerlang.
Makalah ini tidak secara langsung membahas subtema Implementasi Aspek
Humaniora dalam Kajian Sastra. Sebagaimana terlihat dalam judul di
atas, pembahasan akan difokuskan pada paradigma kajian sastra dan masa
depan kemanusiaan. Topik ini dipilih karena dua alasan. Pertama,
disiplin ilmu sastra memiliki sejumlah masalah dan metode untuk
menetapkan core disiplinnya, dengan menggunakan prosedur repertoirnya
sendiri dengan vocabulary yang khas (Lefevere, 1977). Kedua, melalui
subtopik ini, berbagai aspek humaniora dapat diimplementasikan dalam
kajian sastra, yang akan diabdikan untuk masa depan kemanusiaan. Untuk
itu, berturut-turut uraian ini yang membahas: (1) sebuah evaluasi
tentang posisi studi sastra yang marginal; (2) meninjau paradigma
kajian sastra, (3) masa depan kajian sastra dan kemanusiaan; (4)
penutup.
2. Posisi Studi Sastra yang Marginal
Di dunia persekolahan dan di dalam masyarakat kita, ilmu sastra
menduduki posisi yang sangat marginal. Di SMA, siswa-siswi yang pandai
hampir secara otomatis dimasukkan ke dalam kelompok IPA; siswa-siswi
yang kurang pandai ke dalam kelompok IPS; dan yang tidak pandai ke dalam
kelompok Bahasa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua SMA
memiliki jurusan Bahasa. Hanya sedikit SMA, baik swasta maupun negeri,
yang membuka jurusan Bahasa. Karena itu, sudah sejak awal, ilmu sastra
bukanlah sebuah bidang pilihan. Orang tua dan guru akan mendorong
anak-anaknya mempelajari ilmu-ilmu pasti dan ilmu-ilmu sosial dan bukan
ilmu-ilmu humaniora. Mereka seringkali merasa cemas bila anaknya
memilih belajar bahasa dan sastra, terutama bahasa dan sastra
Indonesia.
Masyarakat memang patut bertanya, apa yang dapat dipelajari dari
karya sastra: puisi, cerpen, dan novel? Apa kaitan antara studi sastra
dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia?
Apa kontribusi kajian sastra terhadap masalah genosida, kemiskinan,
kebodohan, ketidakadilan, korupsi, multikulturalisme? Jika tidak ada
kontribusi dan relevansi studi sastra dengan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia, lulusan sarjana sastra bisa
bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang
menguasai hermeneutika dan mempelajari puisi, cerpen, dan novel? (bdk.
Salam, 2008).
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari adanya tiga asumsi yang keliru
sebagai berikut. Pertama, belajar sastra adalah mempelajari keindahan
kata dan keindahan alam yang bertujuan untuk mendapatkan hiburan. Sastra
yang baik, dalam pengertian ini, tidak boleh berhubungan dengan atau
dinodai oleh aspek-aspek ‘luar’ seperti politik, ekonomi, sosial. Kedua,
sastra adalah karya fiksi, karya imaginatif, yang tidak memiliki
hubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Kalaupun hendak
dihubungkan dengan realitas kehidupan, diperlukan mediasi-mediasi
teoretis yang rumit, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ketiga,
ada keyakinan bahwa belajar sastra (cerpen/novel) hanyalah mempelajari
tema, penokohan, alur, sudut pandang penceritaan, dan gaya bahasa.
Keyakinan ini diperkuat dengan pengalaman pengajaran sastra di sekolah
(SLTP/SLTA) yang tidak pernah bergerak dari penapisan stuktural (Salam,
2008).
Dengan dua keyakinan di atas, dapat dipastikan bahwa di mata
masyarakat kajian sastra tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Bagaimana sesungguhnya paradigma kajian sastra itu sendiri? Bagaimana
caranya agar kajian sastra dapat bermanfaat bagi kehidupan, dan dengan
demikian menjadi bidang kajian yang menarik?
Sesungguhnya terpinggirnya studi sastra tidak hanya terjadi di
Indonesia. Di Eropa dan Amerika Serikat yang memiliki tradisi dan
inftrastruktur akademis yang kuat dalam bidang humaniora, kedududukan
dan fungsi ilmu-ilmu humaniora secara umum semakin terpinggirkanl (lihat
Rahmanto, 2008). Banyak jurusan ilmu-ilmu ini yang diperkecil,
dipersempit, bahkan ditutup. Minat mahasiswa untuk studi humaniora
semakin kecil. Salah satu alasan fundamental terpinggirnya ilmu-ilmu ini
adalah tidak adanya kebutuhan pasar akan tenaga-tenaga yang ahli dalam
bidang humaniora. Pasar tidak lagi membutuhkan lulusan ilmu-ilmu
humaniora, termasuk lulusan sastra.
3. Paradigma Kajian Sastra
Sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang, kajian sastra menunjukkan
pola-pola pemikiran (interpretasi) yang berbeda-beda. Mengikuti
pandangan Abrams (1981), terdapat empat paradigma kajian sastra, yaitu
pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik. Berikut ini
secara singkat dikemukakan prinsip-prinsip utama masing-masing
pendekatan itu.
Pendekatan Objektif. Pendekatan objektif berusaha menjauhkan hal-hal
yang dianggap berbau subjektif (yang disebut sebagai hal-hal bersifat
eksternal) dan menekankan studi sastra pada teks sastra itu sendiri
(yang disebut sebagai aspek intrinsik). Pendekatan ini sangat
dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang menekankan objektivitas dan
netralitas keilmuan. Akibat pengaruh positivisme itu, pendekatan ini
dipandang memenuhi tuntutan dan persyaratan keilmuan (Taum, 1997: 31)
karena berhasil mengembangkan sistem dan metode keilmuan untuk memahami
objek kajiannya, yaitu teks sastra itu sendiri. Mengingat kajian sastra
hanya terfokus pada ‘dunia dalam kata’ yaitu struktur teks itu
sendiri, maka salah satu kelemahan pokok pendekatan ini adalah sifatnya
yang a-historis. Strukturalisme, sebuah aliran utama dalam pendekatan
ini, menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun struktur
universal yang menghapus pandangan individual. Sumber makna bukan pada
pengalaman manusia pengarang atau pembaca, melainkan pada sistem yang
menguasai individu. Dengan demikian, strukturalisme juga bersifat
antihumanis (Selden dalam Taum, 1997: 46). Pendekatan yang semacam ini
hampir tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan manusia dan
masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Implikasinya, karya
sastra dan kajiannya tidak memiliki relevansi dengan apalagi kontribusi
terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa.
Pendekatan Ekspresif. Pendekatan ekspresif beranggapan bahwa karya
sastra pertama dan terutama merupakan pernyataan atau ekspresi batin
pengarangnya. Pendekatan ini adalah yang paling mapan dan cukup tua
dalam sejarah studi sastra (Wellek dan Warren, 1993: 82). Pendekatan
ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi
pengarang dan proses kreatifnya. Teori ini menekankan data biografik dan
historik dari pengarang karena dipandang dapat membantu memberikan
penjelasan tentang penciptaan dan makna karya sastra. Pendekatan ini
mendapat kritik yang sangat tajam dari Wimsatt dan Beardsley melalui
buku mereka The Intentional Fallacy (Taum, 1997: 26). Mereka menegaskan
bahwa adalah keliru apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah
teks sastra orang berpedoman pada maksud (intensi) dan latar belakang
pengarang. Intensi pengarang tidak dapat dijadikan norma untuk menilai
sukses atau gagalnya sebuah karya sastra.
Pendekatan Mimetik. Pendekatan mimetik beranggapan bahwa sastra
adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian
memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakat tersebut. Pendekatan ini adalah yang paling tua karena
dikembangkan orang sejak sebelum masehi tetapi sampai saat ini menjadi
sebuah bidang ilmu yang masih muda berkaitan dengan kemantapan dan
kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang
relatif masih labil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan
prinsip otonomi sastra (Taum, 1997: 47-56).
Pendekatan Pragmatik. Pendekatan pragmatik mengutamakan aspek
pembaca. Pendekatan yang mula-mula dikembangkan oleh mazhab Konstanz
tahun 1960-an di Jerman ini menggeserkan fokus perhatian dari struktur
teks ke arah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz
meneruskan penelitian fenomenologi (Ingarden), strukturalisme Praha
(Mukarovsky), dan hermeneutika (Gadamer). Dalam membaca dan memahami
karya sastra, horison harapan pembaca (Hans Robert Jauss) sangat
menentukan. Teks sebenarnya sudah memiliki pembaca implisit (implied
reader) (Wolfgang Iser) yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara
teks dan pembaca (Taum, 1987: 57-66).
Kini tengah muncul sebuah paradigma baru penelitian sastra yang tidak
dapat dikategorikan ke dalam salah satu paradigma Abrams di atas,
yaitu pendekatan New Historicism, yang merupakan salah satu bidang dari
Cultural Studies. Berbagai asumsi lama mengenai aspek instrinsik dan
ekstrinsik, sastra serius dan populer, diruntuhkan. Fokus penelitian
diarahkan pada bagaimana sebuah fenomena (misalnya kemiskinan,
kebodohan) berhubungan dengan ideologi, ras, kelas sosial, atau gender.
Makna dikait dengan praktik kehidupan sehari-hari.
New historicism dapat dipandang sebagai sebuah model interpretasi
yang memusatkan perhatiannya pada relasi kekuasaan sebagai konteks yang
paling penting dari berbagai macam teks (Brannigan, 1998: 6), dengan
memasukkan tiga unsur pokok sekaligus yang sebenarnya berbeda sifatnya,
yakni: trancendent (sastra), kontingent (sejarah), dan mere strategic
(politik). Pendekatan ini berupaya mempertanyakan asumsi-asumsi
ideologis dari kritik sastra dan merelativisasikan klaimnya terhadap
universalitas (Belsey, 2002: 428). New historicism, seperti juga
berbagai pendekatan poststruktural lainnya, menekankan dimensi
politis-ideologis dari produk-produk budaya.
Pertanyaannnya sekarang adalah, kontribusi apakah yang dapat
diberikan oleh berbagai perspektif kajian sastra terhadap manusia dan
masyarakat? Dapatkah ilmu-ilmu humaniora umumnya dan ilmu sastra
khususnya memberikan sumbangan yang nyata bagi masa depan kemanusiaan
kita? Sumbangan nyata apa sajakah yang dapat diharapkan dari lulusan
yang menguasai kajian sastra?
4. Sastra dan Ekonomi Kreatif
4.1 Landasan: HETLS dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif
Sesungguhnya sejak berakhirnya perang dunia kedua (PD 2), sebenarnya
orientasi pertumbuhan ilmu-ilmu cenderung mengarah pada pendekatan
interdisipliner. Ciri lama perkembangan ilmu yang bercabang-cabang,
majemuk, kompleks, menggurita dan banyak spesialisasinya mulai
berkurang. Oleh karena ilmu menjadi tidak manageable lagi, orang mulai
memikirkan pendekatan dan penataan interdisipliner dan komunikasi antara
ilmu-ilmu. Orang menyadari bahwa ilmu bersifat evolutif atau
menyejarah. Karena itu manusia berusaha dapat memikirkan bahwa membuat
perencanaan (strategis) mengenai kemungkinan lebih lanjut dari evolusi
ilmu itu sendiri. Selain kecenderungan pertumbuhan ilmu yang
interdisipliner itu semakin kuat, ciri perkembangan keilmuan lain sejak
berakhirnya perang dunia kedua adalah ilmu menjadi lebih pragmatik,
dalam arti ilmu terkait dengan kepentingan politik, industri, dan
militer (Pranarka, 1987: 174).
Model perkembangan ilmu yang semacam itu sesungguhnya sudah disadari
pula oleh pemerintah Indonesia. Telah disebutkan di atas, bahwa
terpinggirkannya fungsi dan kedudukan ilmu-ilmu humaniora terutama
disebabkan karena tidak adanya kebutuhan pasar akan lulusan ilmu-ilmu
tersebut. Jika hal ini dibiarkan, tidak dapat diharapkan adanya
sumbangan yang dapat diperoleh dari ilmu-ilmu humaniora umumnya dan
kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan. Karena itu, untuk
dapat survive dalam persaingan pasar yang semakin ketat, tidak ada
pilihan lain bagi ilmu sastra untuk memasuki bidang ‘ekonomi kreatif’
(yang akan diterangkan kemudian). Pemerintah melalui Dirjen Dikti juga
secara eksplisit telah menekankan ‘relevansi’ ilmu dengan pembangunan
perekonomian nasional, terutama dengan dunia industri.
Dalam perumusan Higher Education Long Term Strategy (HETLS)
2003-2010, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi merumuskan
paradigma baru pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang yang
difokuskan pada masalah “relevansi” ilmu dengan pengembangan daerah
maupun pembangunan nasional. Dikatakan bahwa pembangunan perekonomian
nasional di masa depan akan berbasis Ilmu Pengetahuan (lihat Pedoman
Program Hibah Kompetisi A-3, Depdikbud, 2007). Perguruan tinggi tidak
bisa lagi menutup diri dalam ‘menara gading’, tetapi perlu didorong
untuk keluar dan melakukan kerjasama dengan dunia industri dan
pemerintah. Untuk dapat menjalin kerjasama dengan dunia industri,
diharapkan agar perguruan tinggi meningkatkan transferable skills dan
soft skill lulusannya.
Perguruan tinggi perlu terlibat dalam membangun peradaban dan
kesadaran baru (new consciousness) karena mereka yang ingin berhasil
(survive) perlu mentransformasikan diri dan kebudayaannya (Toffler,
1980). Dalam bukunya The Third Wave, Alfin Toffler (1980) membentang
perjalanan sejarah pradaban ummat manusia yang disebutnya telah
melampaui tiga fase perkembangan.
Pertama, munculnya temuan-temuan baru di bidang pertanian,
temuan-temuan ini secara berproses mengangkat derajat kehidupan umat
manusia dengan menjadikan usaha pertanian sebagai penopang utama bagi
kehidupan. Pertanianlah yang menjadi sentral kehidupan dan semua
temuan-temuan barn pun ditujukan kepada upaya meningkatkan
produktifitas di bidang pertanian. Kedua, munculnya peradaban baru yang
lahir sebagai hasil Ciptaan Revolusi industri. Temuan-temuan baru
berupa mesin yang berhasil melipat gandakan kerja otot dan bahkan
secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja
dengan cepat, tepat dengan hasil yang berlipat ganda. Ketiga, lahirnya
sebuah era baru yang secara total di gerakkan oleh revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di era ini IPTEK tidak hanya menambah
kemampuan otot manusia, tapi juga melipat gandakan kemampuan otak dan
kinerja nalarnya. Teknologi yang melipat gandakan kemampuan dan kinerja
nalar yang dicapai umat manusia di era gelombang ke III, adalah berkat
kemampuan IPTEK dalam bidang Computer, Komunikasi, dan Control yang
kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan selanjutnya melahirkan satu
tatanan masyarakat dunia yang baru yang di kenal dengan nama
Masyarakat Informasi.
Saat ini kita memasuki fase perkembangan keempat di mana budaya
menjadi komoditas utamanya. Kini, dalam fase keempat ini, fenomena
peradaban umat manusia ditandai dengan apa yang disebut “ekonomi
kreatif” . Dalam upaya menanggapi arus deras gelombang ekonomi
keernpat ini Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi Kreatif
Indonesia (lihat Paeni, 2008), yakni konsep ekonomi baru yang
berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan
lingkungan. Cetak biru tersebut akan memberi acuan bagi tercapainya
visi dan misi industri kreatif Indonesia sampai tahun 2030. Landasan
utama industri kreatif adalah sumber daya manusia Indonesia, yang akan
dikembangkan sehingga mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor
produksi lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai sistem
triple helix, yakni cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business),
dan pemerintah (government).
Dalam cetak biro Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14
cakupan bidang ekonomi kreatif yakni 1) jasa periklanan, 2) arsitektur,
3) seni rupa, 4) kerajinan, 5) desain, 6) mode (fashion), 7) film, 8)
musik, 9) seni pertunjukan, 10) penerbitan, 11) riset dan pengembangan
12) software, 13) TV dan radio, dan 14) video game.
Sangat disadari bahwa Ekonomi Kreatif atau Industri Budaya memerlukan
keahlian khusus untuk mengolahnya. Memerlukan profesionalitas dan
skill yang tepat untuk mengerjakanya dan juga diperlukan moralitas yang
tinggi sebagai landasannya. Ekonomi Kreatif adalah sebuah karya yang
betul-betul harus menjadi karya dunia, tanpa Landing, bermutu dan
bernas, serta lahir dari imajinasi kreatif yang cemerlang, karena itu
setiap kelahirannya ia harus segera dilindungi kaidah-kaidah hukum yang
berlaku secara internasional.
4.2 Sastra dan Ekonomi Kreatif
Lulusan yang menguasai kajian sastra sesungguhnya dapat lebih
berperan bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia, jika dia
dipersiapkan secara lebih sengaja dan sistematis dengan memberhatikan
aspek-aspek ekonomi kreatif. Dari keempat belas bidang cakupan ekonomi
kreatif di atas, mahasiswa sastra sebenarnya dapat dipersiapkan untuk
terlibat aktif dalam tiga bidang, yaitu: film, seni pertunjukan, TV dan
radio, serta video game. Uraian berikut ini bukan penjelasan yang
lengkap melainkan sekedar pancingan awal untuk memunculkan diskusi
lebih lanjut.
Sinetron
Kebanyakan pengamat dan kritikus media memberikan penilaian yang
negatif terhadap sinetron di berbagai televisi swasta di Indonesia.
Selain bahasanya yang Betawi oriented, sinetron-sinetron Indonesia lemah
dalam hal tema (apabila tema tertentu sedang diminati masyarakat, tema
itu sajalah yang ditampilkan secara seragam di berbagai sinetron;
biasanya tidak bergeser dari tema-tema percintaan) ; latar (latar
sosial: pada umumnya menyangkut kelas menengah ke atas; latar waktu:
sekarang, jarang mengungkap masa-masa sulit yang lalu –dark-past; latar
tempat: Jakarta, umumnya tidak mencerminkan semangat nasional dan
mondial); tokoh dan penokohan (tokoh pipih: hitam-putih dengan acting
yang kebanyakan over); alur (alur yang mudah ditebak, penuh digresi yang
dibuat-buat dan tidak terfokus karena mengikuti selera pasar).
Mahasiswa sastra, yang dibekali dengan pengetahuan yang memadai
mengenai kekuatan alur, penokohan, latar, dan gaya bahasa dapat berperan
dalam pembuatan sinetron Indonesia yang lebih bermutu. Mereka dapat
dibekali dengan ilmu tentang kekuatan struktur cerita, pendalaman
psikologis, relevansi cerita dengan kondisi kehidupan masyarakat, dan
sebuah gambaran tentang masa depan kemanusiaan ‘orang Indonesia’ yang
multikultural, terbuka, beradab, dan menghargai HAM.
Film Kartun dan Video Game
Sumbangan lulusan yang menguasai kajian sastra di bidang film dan
video game terutama adalah pendalaman tema dan penulisan alur cerita
yang memiliki pesan-pesan moral yang terselubung. Tema-tema cerita yang
berasal dari kekayaan tradisi lisan nusantara dapat dieksplorasi dan
dielaborasi dengan baik. Kisah-kisah heroik yang dapat dijadikan alur
cerita yang sangat unik dan menarik untuk video game antara lain: Gadjah
Mada, Ken Arok, cerita-cerita Panji, Wato Wele- Lia Nurat (Flores),
Dewi Roro Kidul, Gatot Kaca, dll.
Penulisan Kreatif
Lulusan yang menguasai kritik dan studi sastra dapat menjadi
fasilitator dalam berbagai pelatihan penulisan kreatif. Asumsinya adalah
orang yang mampu memberikan kritik sastra (terhadap puisi, cerpen,
novel) dengan argumentasi yang kuat dan memadai, mampu pula memberikan
jawaban dan solusi bagi penciptaan karya sastra yang lebih baik.
4.3 Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra
Pokok diskusi dalam sub-bahasan ini adalah: aspek-aspek humaniora
seperti apakah yang dapat diimplementasikan dalam kajian sastra?
Bagaimanakah logika implementasinya? Masih relevankah perjuangan
humanisme bagi masa depan kemanusiaan di tanah air kita?
Sumbangan terpenting dari Humanisme adalah asumsi dan sikapnya yang
tegas tentang adanya ‘nilai intrinsik’ kemanusiaan. Perlu diperhatikan
bahwa ‘nilai humaniora’ dalam bahasa Yunani disebut ‘axios’ (axia) yang
memiliki makna ganda: nilai atau harga dan martabat atau kehormatan.
Dalam bahasa Latin disebut ‘dignitas’. Ada dua pandangan yang berbeda
tentang dignitas itu. Pandangan pertama mengatakan bahwa dignitas adalah
apa yang harus ditampilkan oleh seseorang yang memiliki peran tertentu
dan apa yang harus diberikan orang lain karena perannya itu. Pandangan
ini didukung oleh dunia Romawi kuno dan filsuf politik Thomas Hobbes.
Pandangan kedua menegaskan bahwa dignitas adalah sesuatu yang melekat
pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Pandangan ini didukung oleh Cicero, Immanuel Kant (lihat Kleden, 2006).
Aliran humanisme (Humaniora) menganut pandangan yang kedua ini, yaitu
bahwa nilai kemanusiaan tidak ditentukan oleh ‘nilai ekstrinsik’ atau
nilai-nilai ‘luar’ yang ditempelkan pada manusia seperti memiliki bibit,
bebet, dan bobot. Cita-cita humanisme adalah penghargaan yang tinggi
terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri, sementara bibit, bebet, dan
bobot hanyalah unsur-unsur yang sekunder. Martabat manusia tetap tinggi,
sekalipun bibit, bebet, dan bobotnya tidak mengesankan.
Dengan demikian, dalam cita-cita kemanusiaan humaniora, nilai
kemanusiaan Marsinah, Udin, Munir, manusia banci, waria, homoseks,
lesbian, pemulung, eks tapol/napol, anak-cucu pengikut PKI, dll sama
dengan nilai kemanusiaan seorang jenderal bintang empat, presiden,
menteri pekerjaan umum, konglomerat, ataupun orang-orang dengan
orientasi heteroseksual. Anak manusia tetap bernilai, apapun suku,
agama, ras, golongan, dan orientasi seksualnya. Nilai-nilai Humaniora
seperti ini masih relevan kita perjuangkan untuk masa depan kemanusiaan
di bumi Indonesia ini.
Aspek humaniora yang coba diimplementasikan dalam kajian sastra dalam
tulisan ini menjadi sangat konkret. Cita-cita kemanusiaan di Indonesia
(yang berasaskan Pancasila dan berciri multikultural) dapat digali
(melalui berbagai metode interpretasi, termasuk metode hermeneutik yang
sudah dikenal) dari berbagai karya sastra. Bagaimanapun, potret carut
marut kemanusiaan di Indonesia terekam pula di dalam berbagai karya
sastra. Dari berbagai tragedi kehidupan seperti Tragedi 1965, Tragedi
Tanjung Priok, Tragedi Ambon, Tragedi Poso, Tragedi Bom Bali, Tragedi
Pembagian Zakat, sampai krisis ekonomi global. Kemampuan menganalisis
dan mengungkap aspek-aspek itu di dalam karya sastra memberikan
pengalaman yang berharga bagi lulusan yang menguasai kajian sastra untuk
mengaplikasikannya dalam penulisan skenario film/sinetron yang lebih
bermanfaat bagi pembelajaran masyarakat kita.
Cita-cita Humanisme
‘nilai intrinsik kemanusiaan’ Implementasi Kajian Sastra Masa Depan Kemanusiaan di Indonesia
Dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Nilai ‘ekstrinsik’
manusia masih dinilai ‘berharga’ karena unsur-unsur yang dimilikinya,
termasuk ukuran bibit, bebet, bobot. Struktur (alur, tema, latar,
bahasa, penokohan)
Psikologi Sastra
Ideologi dan Kekuasaan (new historicism) Manusia Indonesia yang
multikultural, terbuka (inklusif), cerdas, menghargai HAM, bermartabat
5. Penutup
Sampai saat ini terlihat bahwa ilmu sastra masih terus mengalami
evolusi dan perkembangan. Berbagai paradigma kajian sastra telah
dikembangkan dan menawarkan banyak alternatif dalam menggali dan
mengungkapkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan di dalam karya sastra.
Sumbangan ilmu-ilmu humaniora umumnya dan kajian sastra khususnya
bagi masa depan kemanusiaan dapat lebih dirasakan apabila ilmu-ilmu ini
semakin mempertanyakan ‘relevansinya’ bagi manusia dan masyarakat.
Masa depan kemanusiaan di Indonesia dengan karakteristik yang
multikultur, terbuka, cerdas, menghargai HAM, dan bermartabat harus
terus dan turut diperjuangkan oleh ilmu-ilmu humaniora di Indonesia.
Pengalaman kajian sastra dengan berbagai perspektif, terutama yang
dilandasi dengan kekuatan interpretasi hermeneutik yang kontekstual,
dapat membuat lulusan yang manguasai kajian sastra memberikan
kontribusi nyata bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H., 1981. A Glossary of Literary Terms. (Fourth Edition). New York: Holt,
Renehart and Winston.
Gunsaulus, Frank W., 1995. “Christ in Poetry” dalam The Biblical World, Vol. 6, No. 6, (Dec.,
1995), pp. 504-517 Chicago: The University of Chicago Press. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3140200. Accessed: 23/06/2008 01:45
Kleden, Paul Budi, 2006. “Hukuman Mati: Antara Argumen HAM dan KAM” dalam Jurnal
Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan. Maumere: STFK Ledalero.
Lefevere, Andre, 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its
Nature, Growth, Relevance, and Transmission. Assen/Amsterdam: Van Gorcum.
Martin, James E., 2007. Cultural Criticism: New Historicism. Stable URL:
http://www.keconnect.co.uk/~vanloon/loonintrocultstuds.html. Accessed: 31/01/2007
11:05
Munns, Jessica and Gita, Rajan. Eds. 1995. A Cultural Studies Reader: History, Theory,
Practice. London :Longman.
Paeni, Mukhlis, 2008. “Tradisi Lisan: Deposit Ekonomi Kreatif” Makalah Seminar
Internasional dan Festival Tradisi Lisan. Wakatobi, 1 – 3 Desember 2008.
Permanasari, Indira, 2007. “Peringatan 50 Tahun Antropologi UI : Di Tengah Gaung yang
Kian Pudar,” dalam Kompas, September 2007.
Pranarka, A.M.W., 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan
Proklamasi Centre for Strategic and International Studies.
Rahmanto, B., 2008. Revitalisasi Humaniora dalam Rangka Pembangunan Moral Bangsa:
Sebuah Refleksi Sastrawi. Pidato Dies Natalis ke-53 Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Ridwan, Ahmad Hasan, 2008. “Jejak Hermeneutika dalam Islamic Studies” Stable URL:
http://ahasanridwan.wordpress.com/2008/02/23/jejak-hermeneutika-dalam-islamic-
studies/ Accessed: 23/03/2009 19:20
Riffaterre, Michael, 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Salam, Aprianus, 2008. “Kajian Sastra dalam Masyarakat Indonesia” dalam Harian Kendari Pos. Diunduh dari
http://www.kendaripos.co.id/index.php?
Taum, Yoseph Yapi, 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme,
Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa
Indah.
Taum, Yoseph Yapi, 2007. “Semiotika Riffaterre dalam Bulan Ruwah
Subagyo Sastrowardoyo” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol. 5
No. 1, Maret 2007.
Taum, Yoseph Yapi, 2008. “Pemaknaan Belenggu dengan Teori dan Metode
Semiotik” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol. 6 No. 2,
Oktober 2007