"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

7/18/2011

SKRIPSI KEMAMPUAN MENCERITAKAN KEMBALI SATUA I BELOG MATU





KEMAMPUAN MENCERITAKAN KEMBALI SATUAI BELOG MANTU
 SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 DENPASAR 
TAHUN PELAJARAN 2010/2011





OLEH

I MADE JULIADI SUPADI

NIM: 2007.II.2.0019














PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH

BIDANG ILMU PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA BALI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
(IKIP) PGRI BALI
DENPASAR
2011

SURAT PERNYATAAN


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama               : I Made Juliadi Supadi

            NIM                : 2007.II.2.0019
            Program Studi : Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
            Bidang Ilmu    : Pendidikan Bahasa dan Sastra Dearah Bali
            Fakultas           : Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan dan mengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika keilmuan dalam skripsi saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian skripsi saya ini.





Mengetahui
Dekan




Drs. Pande Wayan Bawa,M.Si.
NIP 19580317 198303 1 002
Denpasar,     16 April 2011                    
Yang Menyatakan



I Made Juliadi Supadi


KATA PERSEMBAHAN



Sukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup, tapi dari kesulitan – kesulitan yang berhasil diatasi ketika berusaha meraih sukses” (Booker T. Washington).
Jika seseorang belum mengetahui pahit dan kerasnya perjuangan dalam menghadapi hidup, itu artinya mereka tidak akan mengenal apa yang namanya sebuah usaha,
Usaha serta kerja keras akan dikenal dan dilakukan seseorang adalah ketika mereka mengetahui pahit dan keras getirnya kehidupan yang dialami.
Ketika usaha itu dapat dirasakan oleh seseorang maka kesuksesan tersebut akan datang dengan sendirinya.
Hidup adalah sebuah perjuangan, usaha adalah jalan untuk menemukannya dan semangat adalah dukungan untuk meraihnya.





MOTTO


Mukta sango ’nahamwadi, Dhrtyusaha samanwitah, siddhya siddhyor nirwikarah

’Rungu ring raos anak lyan, pagêh mautsaha, ébêk ring kawruh, tan obah rikala mapikolih miwah pocol’

’Pelaksana yang terbatas dari keterikatan dan tidak egois dalam bicara, penuh dengan keteguhan hati, tidak tergoyahkan oleh keberhasilan maupun kegagalan’

(Çloka XVIII, 26. Bhagawad Gita 318-319)












PRAKATA

              Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), atas wara nugraha-Nya skripsi yang berjudul “ Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011”, dapat diselesaikan sesuai rencana. Disusunnya skripsi ini merupakan syarat akhir guna memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah Bali, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali.
              Keterbatasan pengetahuan  penulis, baik di bidang teori maupun kemampuan meneliti, sehingga banyak kesulitan yang dihadapi dalam penelitian ini. Berkat dorongan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak, akhirnya hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Berbagai pihak yang tidak terlupakan jasanya itu, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1)      Bapak Dr. I Made Suarta,S.H.,M.Hum, Rektor IKIP PGRI Bali yang memberikan kemudahan-kemudahan selama masa perkuliahan;
2)      Bapak Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si, Dekan FPBS  IKIP PGRI Bali, yang telah banyak memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini;
3)      Ibu Ida Ayu Agung Ekasriadi, S.Pd., M.Hum.,  ketua jurusan FPBS IKIP PGRI Bali, yang memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses perkuliahan;
       
4)      Bapak Drs. I Made Gede Putra Wijaya,S.H., M.SI sebagai Pembimbing I, yang dengan penuh kesabaran dan  ketelitian, memberikan bimbingan sehingga skripsi dapat terwujud;
5)      Ibu Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd., sebagai Pembimbing II dengan penuh kesabaran dan  ketelitian, memberi bimbingan sehingga skripsi dapat terwujud;
6)      Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu dosen dan staf administrasi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan  Daerah, atas segala bantuan serta masukannya sehingga    terwujudnya penyusunan skripsi ini; dan
7)      Keluarga, yang setia mendampingi dengan segala pengorbanan dan doanya sehingga skripsi ini dapat terwujud.
              Mudah-mudahan semua jasa dan budi baik yang bersangkutan mendapat pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya dengan segala keterbatasan serta kekurangan skripsi ini penulis persembahkan kepada para pembaca budiman pencinta karya sastra dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi dunia pendidikan khususnya dalam pembelajaran bahasa daerah Bali.


                                                                                      Denpasar,   Maret  2011
   Penulis,



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................      i
PERSETUJUAN  PEMBIMBING..................................................................     ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................................    iii
PERNYATAAN PANITIA UJIAN................................................................    iv
SURAT PERNYATAAN................................................................................     v
KATA PERSEMBAHAN...............................................................................    vi  
MOTTO............................................................................................................   vii
PRAKATA....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI....................................................................................................     x
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii
ABSTRAK.......................................................................................................   xv
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................     1
1.1 Latar Belakang................................................................................     1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................     5
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................     6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian..............................................................     8
1.6 Asumsi.............................................................................................    8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ..........................   10
2.1 Kajian Pustaka................................................................................   10
2.2 Landasan Teori...............................................................................   11
2.2.1 Apresiasi Sastra............................................................................   12
2.2.1.1 Manfaat Apresiasi Sastra....................................................   15
2.2.1.2 Tahapan-Tahapan Apresiasi................................................   16
2.2.2 Satua (Cerita)...............................................................................   20
2.2.2.1 Pengertian Satua.................................................................   20
2.2.2.2 Unsur-Unsur yang Membangun Satua................................   21
2.2.2.3 Jenis-Jenis Satua.................................................................   24
2.2.3 Retorika (Tutur dan Bertutur)................................................   27
2.2.4 Membaca......................................................................................   34
2.2.4.1 Tujuan Membaca.................................................................   35
2.2.5 Kreteria Penilain Aspek Menceritakan........................................   36
2.2.5.1 Ucapan................................................................................   37
2.2.5.2 Tekanan...............................................................................   37
2.2.5.3 Intonasi...............................................................................   38
2.2.5.4 Kelancaran..........................................................................   38
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................   40
3.1 Metode Penentuan Subyek Penelitian............................................   41
3.1.1 Populasi Penelitian.................................................................   42
3.1.2 Sampel Penelitian...................................................................   43
3.1.2.1 Random Sampling........................................................   43
3.2 Metode Pendekatan Subjek Penelitian...........................................   44
3.3 Metode Pengumpulan Data............................................................   45
3.3.1 Metode Tes............................................................................   45  
3.3.2 Metode Observasi..................................................................   46
3.3.3 Metode Wawancara...............................................................   46
3.4 Metode Pengolahan Data...............................................................   47
3.4.1 Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar....................   47
3.4.2 Menentukan Kreteria Predikat...............................................   51
3.4.3 Mengelompokkan Prestasi Siswa...........................................   52
3.4.4 Mencari Skor-Rata-Rata........................................................   52
3.4.5 Simpulan................................................................................   53
BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN..............................................   54
4.1 Hasil Pengumpulan Data Tes..........................................................   54
4.2 Analisis Data Tes............................................................................   59
4.2.1 Menkonversi Skor Mentah dan Skor Sandar.........................   60
4.2.2 Menetetukan Kriteria Predikat..............................................   64
........... 4.3 Prosentase Tingkat Kemampuan Siswa..........................................   69
........... 4.4 Skor Rata-rata................................................................................. 70
4.5 Simpulan Analisis Data Hasil Tes...................................................   71
4.6 Data hasil Wawancara....................................................................   71
4.7 Simpulan Analisis Data Hasil Wawancara......................................   74
BAB V  PENUTUP.........................................................................................   75
5.1  Simpulan .......................................................................................   75
5.2  Saran .............................................................................................   76
            DAFTAR PUSTAKA
            LAMPIRAN-LAMPIRAN


DAFTAR TABEL

Tabel                                                                                                              Halaman
3.1 ..... Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun     Pelajaran 2010/2011                42

3.2 ..... Skor Maksimal Ideal  “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu”              48

3.3...... Diskriptor Penilain “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu”                   48

3.4...... Pedoman Konversi “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu”                  51

3.5              Kreteria Predikat “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog
 Mantu”....................................................................................................   52

4.1              Hasil pengumpulan data “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua
            I Belog Mantu Oleh Siswa Kelas XI SMA Negri 8 Denpasar
Tahun Pelajaran 2010/2011”....................................................................   55

4.2...... Skor mentah dan skor standar yang   dicapai siswa kelas XI SMA N 8      Denpasar tahun pelajaran 2010/2011, dalam menceritakan kembali satua     ” I Belog Mantu”.......   60

4.3...... Kreteria Prdikat atau kemampuan Siswa Kelas XI SMA N 8 Denpasar
........... Tahun Pelajaran 2010/2011, dalam menceritakan Kembali Satua
........... “I Belog Mantu”......................................................................................   65

4.4              Persentase “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011.....................................................   69
           


ABSTRAK
KEMAMPUAN MENCERITAKAN KEMBALI SATUA ”I BELOG MANTU” OLEH SISWA KELAS XI  SMA NEGERI  8 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2010/2011

I Made Juliadi Supadi, Nim 2007.II.2.0019
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Bali

Penelitian ini mengenai “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011”. Penelitian ini dilakukan untuk memperkenalkan siswa terhadap karya sastra yang berbentuk cerita sehingga siswa dapat mengetahui makna yang tersirat di dalamnya.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah kemampuan menceritakan kembali satua “I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  tahun pelajaran 2010/2011? (2) kesulitan-kesulitan apakah yang dialami dalam menceritakan kembali satua “I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011?
Secara praktis manfaat penelitian ini adalah (1) bagi siswa, dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa khususnya dari segi aspek berbicara; (2) bagi guru, dapat memberi masukan atau umpan balik terhadap siswa dalam menerapkan metode pengajaran yang tepat; (3) bagi penyusun bahan ajar, dapat dipakai landasan untuk menyusun materi pembelajaran bahasa Bali sesuai kurikulum yang berlaku (KTSP/Mulok). (4) bagi pengembang kurikulum, dapat dijadikan sebagai pedoman meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan pelajaran berbicara bidang studi bahasa Bali khususnya.
Penelitian ini menggunakan teori: (1) apresiasi sastra, (2) satua (cerita), (3) retorika (tutur dan bertutur), (4) membaca, dan (5) kreteria penilain aspek menceritakan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) metode penentuan subjek penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian, (3) metode pengumpulan data, dan (4) metode pengolahan data. Dalam penentuan subjek penelitian digunakan populasi dengan jumlah siswa106 orang. Metode pendekatan subjek penelitian yang digunakan adalah metode empiris kuantitatif. Untuk mengumpulkan data digunakan metode tes (tes tindakan) dan metode wawancara. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik deskriptif.
Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa ”Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011”, tergolong kategori baik  dengan nilai rata-rata yang diperoleh siswa sebesar  87.
Akhirnya disampaikan saran yaitu, (1) guru bidang study bahasa Bali lebih mengintensifkan pembelajaran menceritakan kembali satua, (2) siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar, diharapkan lebih meningkatkan prestasinya, dan (3) Guru bahasa Daerah Bali harus lebih mengintensifkan pembelajaran menggunakan bahasa Bali serta melatih siswa supaya bisa bercerita di depan kelas menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi dalam berinteraksi melakukan aktivitas dalam menjalin suatu hubungan. Bahasa memiliki kekuatan pemersatu dan pembeda, di suatu tempat, kita akan merasa akrab dengan pengguna bahasa yang sama, sebaliknya kita juga merasa berbeda jika berada disekitar pengguna bahasa yang berbeda. Terlepas dari hal-hal tersebut, bahasa sebagai media ekspresi sastra memuat pemikiran penulis atau sastrawan, disampaikan kepada pembaca atau penikmat. Secara pragmatis pembaca kemudian memaknainya sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya. Bahasa Bali  merupakan bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakat bali dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai kehidupan masyarakat di Bali. Di samping itu Bahasa Bali juga merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang luas di Bali. Dalam kaitannya dengan politik bahasa nasional, bahasa Bali juga berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah (Bali), (2) lambang identitas bahasa nasional, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat, (4) pendukung bahasa nasional, (5) bahasa pengantar disekolah dasar pada tingkat permulaan, dan (6) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan Daerah Bali (Halim, 1981: 151).
Sejalan dengan itu pemerintah kota Denpasar Bali sudah menetapkan bahasa Bali sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum muatan lokal dari SD sampai dengan SMA/SMK. Bahasa Bali sebagai kurikulum muatan lokal di tetapkan melalui SK No. 22/119C/Kep/1.94 oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Bali. Berdasarkan keputusan pemerintah, maka disetiap jenjang pendidikan di Bali, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) wajib memberikan pengajaran bahasa, aksara, dan sastra Bali yang dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal. Dalam kurikulum muatan lokal Bahasa Bali tahun 2004 khususnya untuk SMA/SMK, mencantunkan standar kompetensi pengajaran Bahasa Bali yang meliputi semua aspek kebahasaan dan kesusastraan. Berkaitan dengan penelitian ini , aspek kesusastraan yang dimaksud adalah menceritakan kembali suatu cerita secara.
Keterampilan menceritakan kembali suatu isi cerita merupakan salah satu dari beberapa keterampilan mengapresiasikan bahasa yang memungkinkan pencerita terbawa dalam suasana dan gerak hati dalam karya sastra tersebut. Untuk itu seorang siswa perlu dituntut melakukan banyak latihan dan banyak membaca agar mampu meningkatkan apresiasi tentang sastra tersebut. Dimana siswa belajar bahasa pada dasarnya didahului dengan proses mendengar/menyimak, membaca, menulis dan berbicara kemudian berlanjut kepada pemahaman tentang apa yang telah didengar/disimak, ataupun yang dibaca.
Setelah terjadi suatu pemahaman baik dari yang disimak ataupun dibaca maka ketrampilan menceritakan kembali tentang apa yang didengar ataupun yang dibaca merupakan faktor penting bagi keberhasilan siswa dalam belajar memahami suatu cerita atau wacana. Siswa akan mampu menceritakan suatu cerita yang telah dibaca sesuai pemahamannya tentang keseluruhan isi atau unsur cerita tersebut. Ditinjau dari unsur-unsur yang membangunnya , maka cerita itu dibangun oleh dua unsur yaitu: unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur batin suatu karya sastra yang terdapat di dalam karya sastra yang membangun keberadaan karya itu, dalam hal ini adalah cerita. Unsur-unsur tersebut yaitu tema, amanat, alur, penokohan, sudut pandang, dan setting atau latar. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur pembangun yang ada diluar cerpen yang meliputi: latar belakang, proses kreatif pengarang, lingkungan sosial budaya pengarang dan sebagainya.
Menceritakan kembali suatu cerita juga merupakan faktor penting bagi keberhasilan siswa  dalam meningkatkan pemahaman padanan kosa kata yang mungkin jarang digunakan dalam kehidupan kesehariannya. Para penutur atau pencerita biasanya memodifikasi teknik penyampaiannya agar mudah dipahami, lebih indah dan lebih khas. Dari segi interaksinya juga terdapat perbedaan derngan sastra tulis, dalam proses penikmatan sastra secara lisan, penuturnya memiliki ciri khas cerita yang unik, roman wajah yang agak tegang ketika ceritanya sampai pada klimaks, gerakan tangan dan intonasi turut menuntun perasaan dan pemikiran penikmat atau pendengar.
Pengaruh cerita sebagai kisah misteri ditonjolkan dengan pilihan leksikal yang dibuat oleh pencerita, yang menggunakan istilah-istilah yang secara sistematis berkaitan. Misalnya, nomina yang sering digunakan, yang ternyata penting bagi pendengar, mengacu pada lingkungan fisik cerita itu. Disinilah seorang siswa/pencerita harus bisa menghayati atau memahami betul isi cerita sehingga bahasa yang dugunakan menjalin suatu cerita secara lisan mampu menarik simpati pendengar.
Pada kesempatan ini penulis akan meneliti dengan menggunakan objek satua Bali yang berjudul  ”I Belog Mantu”. Pemilihan satua ini sangat penting bagi penulis. Bila kita menyimak satua Bali tersebut sesungguhnya bukan saja merupakan satu hasil karya sastra yang tinggi akan tetapi lebih dari pada itu dengan satua Bali akan menjadi sumber filsafat hidup yang tidak habis-habisnya, ia juga akan menjadi pedoman hidup dalam membina kehidupan masyarakat Bali khususnya bagi anak-anak dan generasi muda tentang pemahaman nilai-nilai agama, etika, estetika dan juga dapat menjadi tuntunan hidup dalam pembentukan karakter pribadi serta budi pekerti. Dengan kehadiran satua-satua Bali ini nantinya diharapkan dapat memberikan hasil nyata terhadap perkembangan satua Bali dan dijadikan suatu bahan untuk menggalakkan  masatua Bali baik dikalangan masyarakat maupun disekolah-sekolah. Sehingga akan dapat pula membangkitkan minat siswa dan generasi muda untuk lebih mengenal sekaligus mencintai budaya masatua Bali.
Secara operasional menceritakan kembali satua merupakan keterampilan berbicara/bercerita menduduki posisi terpenting dalam tataran pemerolehan bahasa khususnya dalam berkomunikasi secara lisan. Oleh karena itu penguasaan keterampilan berbicara dengan berbagai bentuknya menjadi suatu yang penting untuk dikuasai, terutama bagi siswa dalam pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purwo dalam Kursus (2008:2) yang menyatakan bahwa dalam tujuan pembelajaran berbicara, siswa dituntut untuk trampil berbicara seperti mengajukan pertayaan atau pendapat, berpidato serta menceritakan kembali cerita secara lisan.
Berkaitan dengan hal tersebut penulis terdorong untuk mengambil judul penelitian yang berkaitan dengan keterampilan berbicara yaitu “Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa Kelas XI SMA Negri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011.

1.2              Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu:
  1. Bagaimanakah ”Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa   Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011?”
  2. Kesulitan-kesulitan apakah yang dialami dalam ”Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu  Siswa   Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011?”

1.3              Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011” dapat dibagi dua yaitu : (1) tujuan umum; dan (2) tujuan khusus.
1.3.1        Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pikiran kepada dunia pendidikan di tingkat SMA dalam bidang pengajaran bahasa daerah Bali khususnya dalam pengajaran dalam keterampilan berbicara.
1.3.2        Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data dan informasi untuk mengetahui:
1. Kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.
2.   Kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu”  siswa   kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.

1.4              Manfaat Penelitian
Adapaun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang berjudul ”Kemampuan Menceritakan Kembali Satua I Belog Mantu Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011” yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1        Manfaat Teoritis
1).   Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kependidikan,  literatur, dan ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengajaran bahasa daerah Bali pada khususnya.
2).   Sebagai informasi yang dapat digali dalam penelitian ini hendaknya dapat memperkuat dasar-dasar pengajaran kesusastraan Bali  di sekolah atas bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
3).   Menambah kasanah kesusastraan daerah dan memperkaya khasanah kesusastraan nasional.
1.4.2        Manfaat Praktis
1).   Bagi Siswa
       Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa khususnya dari segi aspek berbicara.
2).   Bagi Guru
       Melalui penelitian ini di harapkan dapat memberi masukan atau sebagai umpan balik  terhadap siswa dalam menerapkan metode pengajaran yang tepat.
3).   Bagi Penyusun Bahan Ajar
       Hasil penelitian ini di harapkan  bagi penyusun bahan ajar akan mampu menambah dan mengembangkan bahan ajar di dalam proses belajar mengajar khususnya dalam pelajaran bahasa Bali.
4).   Bagi Pengembang Kurikulum
Dapat dijadikan pedoman dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan pelajaran  berbicara bidang studi bahasa Bali khususnya.
1.5              Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memberikan arah  pembahasan dalam penelitian ini dipandang perlu diberikan kejelasan ruang lingkup penelitian. Mengingat dengan ruang lingkup bahasa Bali yang begitu luas dan keterbatasan kemampuan penulis maka penulis hanya meneliti untuk mengetahui kemampuan menceritakan kembali Satua I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  tahun pelajaran 2010/2011” serta untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu”  siswa   kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011, yang meliputi: (1) Ucapan, (2)  Tekanan , (3) Intonasi, dan (4)  Kelancaran.

1.6              Asumsi           
Asumsi adalah suatu kebenarannya diterima tanpa adanya pembuktian. Sebagaimana pendapat para ahli mengatakan bahwa : ”Suatu yang diasumsikan adalah suatu yang tidak diselidiki” (Ketut Rindjin, 1980: 19). Sedangkan The Liang Gie mengatakan bahwa : ”Asumsi adalah keterangan-keterangan yang kebenarannya diterima tanpa pembuktian lebih lanjut untuk dasar awal atau pegangan dalam suatu perbincangan” (The Liang Gie, 1980 : 27).
Sebagai landasan berpijak dalam hal penelitian, maka peneliti menggunakan asumsi sebagai berikut:
1.        Materi pembelajaran bercerita sudah sesuai dengan kurikulum bahasa Bali yang berlaku.
2.        Guru sebagai pengajar mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membuat perencanaan, untuk melaksanakan dan untuk menilai serta memberikan pertimbangan atas tingkat keberhasilan pembelajaran tersebut khususnya dalam meningkatkan mutu berbicara siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011.
3.        Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh dalam penelitian.
4.        Guru yang mengajar kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011 sudah memiliki kewenangan mengajar.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1       Kajian Pustaka
            Secara umum kajian pustaka memuat beberapa bahan pustaka baik berupa buku; majalah; makalah; dan laporan penelitian yang memuat kajian-kajian tentang kajian penelitian yang relevan isinya dengan penelitian yang baru di buat. Dengan melihat pustaka sebelumnya penulis dapat memaparkan persamaan dan perbedaan atas penelitian yang dilakukan. Dalam kajian pustaka ini akan dikemukakan beberapa penelitian sebatas yang berkaitan dengan kemampuan menceritakan satua ”I Belog Mantu”, yaitu:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Sundariati (2009), dengan judul  yaitu ”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng ”Rijal” Siswa kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD) Miftatul Ulum Denpasar tahun pelajaran 2008/2009”. Penenelitiannya mengkaji tentang dongeng ”Rijal”, dimana ceritanya berbahasa Indonesia dan bukan cerita berbahasa Bali serta penelitiannya itu menggunakan tes tulis.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Leksi Swadari, dengan judul ”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji Semirang Siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar Tahun Pelajaran 2008/2009”. Di dalam skripsi itu dipaparkan tentang cerita berbahasa Indonesia untuk tingkat SD bukan cerita berbahasa Bali untuk tingkat  SMA, dan  penelitiannya juga dilakukan dengan tes tulis.
Dari kedua penelitian di atas tampak jelas ada perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Perbedaannya tampak pada subjek maupun objek penelitian, yang mana peneliti pertama melakukan penelitian terhadap siswa  madrasah dan peneliti kedua di SD. Objek penelitian dari peneliti pertama adalah kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Rijal”, peneliti kedua tentang   kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Panji Semirang”. Kedua skripsi di atas instrumennya menggunakan tes tulis. Sementara penelitian ini  mengambil penelitian di SMA dengan objek penelitian kemampuan menceritakan kembali satuaI Belog Mantu” serta instrumennya adalah berupa tes tindakan. Sedangkan Persamaan kedua skripsi di atas  dengan penelitian ini sangatlah jelas yaitu sama-sama mengukur kemampuan siswa tentaang pemahaman cerita.
            Berdasarkan perbedaan dan persamaan yang di paparkan di atas, jelaslah bahwa penelitian ini bukan merupakan plagiat atau hasil jiplakan.

2.2       Landasan Teori
            Dalam setiap penelitian memerlukan suatu landasan teori, yaitu untuk mempelajari dan memahami fakta-fakta tertulis baik berupa buku, surat kabar, majalah, dan bulletin. Landasan teori merupakan seperangkat proposisi yang berhubungan secara logis dan sistematis, yang menggambarkan dan menjelaskan seperangkatdan gejala-gejala empiris, dimana landasan teori dalam hal ini digunakan untuk mendukung proses penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian menceritakan SatuaI Belog Mantu”.
Sehubungan dengan penulisan karya tulis ini menggunakan beberapa landasan teori untuk mempermudah dalam mengkaji suatu masalah. Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

2.2.1    Apresiasi Sastra
Sudjiman (1981:8) menyebutkan bahwa “Apresiasi adalah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan pada pemahaman”. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang yang mengalami (dari hasil sastra itu) pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya. Hal ini dapat terjadi oleh adanya daya simpati yang memungkinkan pembaca terbawa dalam suasana dan gerak hati dalam karya sastra itu. Jika dalam mengapresiasi sastra, kita mengenali nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dalam kegairahan simpati maka kita akan dapat merasakan kenikmatannya. Secara leksikal, istilah appreciation ‘apresiasi’ mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti 2000:3).
Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi dalam Aminuddin 2000:35). Kegiatan mengapresiasi sastra mempunyai manfaat yang lebih tinggi daripada hanya sekadar memahami. Kegiatan mengapresiasi bukan saja untuk menambah pengetahuan pembaca, melainkan sekaligus untuk memperpeka perasaan pembaca. Untuk mengapresiasi karya sastra yang sebenar-benarnya, pembaca harus mengerahkan seluruh daya yang ada pada dirinya, baik daya pikir maupun daya sentuh perasaan. Keterlibatan pembaca untuk meleburkan diri dalam jalinan cerita yang ada dalam karya sastra menjadikan apa yang dilukiskan oleh pengarang seolah-olah menjadi milik pembaca. Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa mengapresiasi karya sastra merupakan bentuk kegiatan menikmati dan memahami karya sastra secara mendalam terhadap gagasan-gagasan yang disampaikan pengarang lewat karya sastranya dengan tujuan untuk menumbuhkan kepekaan kritis dan penghargaan pembaca terhadap karya sastra itu sendiri.
Kegiatan apresiasi sastra sebagai suatu proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, (3) aspek evaluatif (Squire dan Taba dalam Aminuddin, 2000:34). Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam usaha memahami unsur-unsur sastra yang bersifat objektif. Unsur dalam karya sastra yang bersifat objektif disebut dengan unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca sehingga dapat memungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat sesuai dengan hakikatnya. Hakikat sastra adalah karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan (Wellek dan Warren dalam Sayuti, 2000:6). Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik, buruk, indah, tidak indah, sesuai atau tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal dimiliki oleh pembaca (Aminuddin, 2000:35). Dalam kegiatan apresiasi karya sastra yang dilakukan dengan sungguh sungguh, akan diperoleh kenikmatan.
Dengan menikmati karya sastra, kita akan memperoleh kepuasan karena kita dapat menikmati sesuatu yang bernilai dalam karya sastra yang kita baca. Untuk dapat menikmati karya sastra dengan sebenar-benarnya, terlebih dahulu kita mamahami keadaan apresiasi itu sendiri. Keadaan apresiasi pada kenyataannya bertingkat-tingkat, Baribin (1990:15-16) mengemukakan tingkat-tingkat apresiasi sastra, yaitu:
a). Apresiasi tingkat pertama terjadi bila seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya sastra. Ia terlibat secara intelektual, emosional, dan imajinatif dengan karya sastra itu.
b). Apresiasi tingkat kedua terjadi bila daya intelektual pembaca bekerja lebihgiat. Pada tingkat ini pembaca mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang makna pengalaman yang didapatnya dari karya sastra itu.
c). Pada tingkat selanjutnya pembaca menyadari bahwa suatu karya sastra adalah gejala yang bersifat historis. Karya sastra diciptakan tidak lepas dari faktor tempat dan waktu bahkan merupakan ungkapan dari jalinan pengaruh faktor itu berlaku terhadap jiwa dan kepribadian sastrawan.
Berdasarkan tingkat-tingkat apresiasi di atas, Baribin mendefinisikan apresiasi sastra sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sadar, dan bertujuan untuk mengenal dan memahami dengan tepat nilai sastra, untuk menumbuhkan kegairahan kepadanya dan memperoleh kenikmatan daripadanya (1990:16). Kegiatan apresiasi sastra dilakukan untuk memberikan bekal pengalaman berkenaan dengan sastra. Pengalaman dengan sastra itu menimbulkan perubahan dan penguatan tingkah laku. Jadi, kegiatan apresiasi akan memberikan pengalaman belajar apresiasi yang hasilnya terdapat perubahan atau penguatan tingkah laku terhadap nilai yang terkandung dalam karya sastra.
Aminuddin (2000:38) mengatakan bahwa untuk mengapresiasi cipta sastra, pembaca pada dasarnya dipersyaratkan memiliki bekal awal yaitu (1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa apresiasi sastra berupa prosa atau cerita adalah usaha atau kegiatan mengenal karya sastra berbentuk prosa atau cerita, dengan sungguh-sungguh dengan cara memahami isi cerita sehingga kita dapat menikmatinya. Berkaitan dengan apresiasi sastra tersebut cerita ”I Belog Mantu” merupakan salah satu apresiasi sastra yang merupakan karya sastrawan Bali yang mengungkap suatu cerita yang menarik dengan cerita yang berbaur dengan kritik etika dan lelucon.

2.2.1.1 Manfaat Apresiasi Sastra
            Menurut Aminudin (1987: 62), menyatakan bahwa manfaat apresiasi sastra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) manfaat secara umum, dan (2) manfaat secara khusus. Secra umum manfaat apresiasi sastra adalah untuk dapat mengisi diri dalam keadaan waktu luang, sehingga mampu mengurangi rasa jemu serta secara rohani dan batiniah akan  dapat merubah sikap/prilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sementara secara khusus apresiasi sastra bermanfaat: (a) menambah pengetahuan pembaca tentang kosa kata, (b) dengan membaca karya sastra yang baik sangat berguna untuk pembentukan, kepribadian/moral siswa, (c) memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, (d) memperdal;am wawasan atau pandangan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun nilai kehidu[pan manusia itu sendiri.

2.2.1.2 Tahapan-Tahapan Apresiasi Sastra
            Pelaksanaan apresiasi sastra bisa berlangsung dengan baik serta mendapatkan hasil  yang optimal bila kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap dan terpadu (Maidar G. Arsyad,1993:157-158). Berkaitan dengan itu apresiasi dapat dibagi menjadi lima tahapan, diantaranya:
a).        Tahap Penikmatan
Tahapan penikmatan tentang apresiasi sastra menurut Suroto (1993:197) menyatakan, seseorang baru dapat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton/mendangarkan suatu karya seni/sastra. Hal tersebut tidak jauh beda dengan pendapat yang dikemukakan Natawijaya (1980: 2) yang menyatakan, bahwa seseorang hanya bersifat seperti penonton yaitu merasakan kesenangan. Dimana rasa senang itu muncul dalam diri seseorang karena penikmatan tersebut.
Kedua pendapat di atas tentang penikmatan karya sastra,  dapat dilihat persamaannya yaitu sama-sama seperti penonton. Jika demikian, seseorang yang tergolong berada pada tahap penikmatanhanya dapat merasakan senang dan tidak senang. Dalam hal ini seseorang belum dapat memahami sepenuhya karya sastra tersebut. Sebagai contoh, jika menonton suatu film yang bahasanya tidak kita pahami, tetapi kita menyukai aktor film tersebut maka kita hanya bisa merasakan senang saja.
b).        Tahap Penghargaan
            Seseorang dalam tahapan  ini melakukan tidakan dengan meklihat kebaikan, manfaat atau nilai karya seni/satra itu. Sangat dimungkinkan sesudah membaca atau mendengar karya sastra, penikmat merasakan adanya manfaat seperti rasa senang, memberikan hiburan, kepuasan, ataupun mampu memperluas pandangan dan wawasan hidupnya (Suroto,1993:158).
            Antara (1985:10) menyatakan” Pada tahapan pengargaan ini siswa diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana menimbulkan rasa kekaguman dan rasa senang. Pemberian rasa pujian, kekaguman dan puasnya kepada karya sastra sempurna, bernilai, bermanfaat, dan telah merasuk dalam diri siswa. Kadang-kadang pada siswa timbul rasa ingin memiliki atau mempunyai dan menguasai karya sastra tersebut”.
Berdasarkan dari kedua pendapat di atas, dapat dikatakan pada tahapan pengargaan ini seseorang tidak lagi terbatas pada perasaan senang atau tidak senang, tetapi sudah mulai bertindak untuk memperoleh kebaikan, manfaat atau nilai karya sastra tersebut. Manfaat itu dapat berupa perasaan senang, memberi hiburan, kepuasan, atau memperluas pandangan /wawasan hidup.
c).        Tahapan Pemahaman
Pada tahapan pemahaman, menutut Suroto (1993:158) penikmat melakukan tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, serta berusaha menyimpulkannya. Disini penikmat sudah mulai aktif meneliti dan menganalisis setiap komponen yang membentuk karya tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu.
Berdasarkan  pemahaman terhadap karya sastra itu,  si penikmat betul-betul selektif meneliti unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu karya sastra sehingga ia mampu memahami dan mengerti akan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
d).        Tahap Penghayatan
            Tahapan penghayatan merupakan tahapan pembaca menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penapsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya. Penikmat berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya hasil analisis tersebut, mengapa alur dan unsur-unsur yang lain demikian. Alasan-alasan yang dikemukakan tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal sehat (Suroto, 1993:158).
            Sementara Antara (1985:10) mengatakan, bahwa timbulny rasa pemahaman terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik menimbulkan kemampuan menghayati dari aspek yang terkecil dari karya sastra tersebut misalnya: tema, bentuk, otograpi, mengkritik, dan membandingkan dengan lainnya.
            Sesuai dengan pendapat diatas, pada tahapan ini penikmat mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinyna, membuat penapsiran, menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya, menyakini apa dan bagaimana hakekat karya sastra itu.
e).        Tahap Implikasi atau Penerapan.
            Menurut Natawijaya( 1979:3), tahapan ini bersifat memperoleh daya yang tepat guna, bagaimana dan untuk apa karya sastra diarahkan kepada suatu manfaat praktis, sesuai dengan tingkat penghayatan terhadap suatu cipta sastra. Pada tahapan ini diperoleh maksud untuk membuka pandangan sehingga melahirkan hal-hal yang baru.
            Melalalui penghayatan tersebut, pada tahapan implikasi akan timbul kesadaran tentang kebenaran yang diungkapkan oleh sastrawan pada karya sastranya, kemudian menimbulkan ide-ide baru untuk mengasilkan sebuah kreativitas berupa penguasaan cipta sastra sehingga melahirkan  suatu yang baru. Karya sastra tersebut akan diarahkan untuk manfaat praktis berupa kepentingan sosial, politik dan budaya yang tepat guna.
Jika dilihat berdasarkan tahapan-tahapan apresiasi di atas, maka penelitian ini jelas termasuk dalam tahap Implikasi atau penerapan. Dalam hal ini siswa diminta menceritakan kembali suatu cerita yang telah dibaca, dimana siswa setelah membaca cerita ditutut bisa mengungkap cerita melalui menceritakannya kembali. Tentunya si pencerita tersebut menggunakan pemahaman, penghayatan dan penguasaan cerita sehingga tidak diragukan lagi, siswa akan mampu meceritakan cerita itu dengan menggunakan bahasanya sendiri.

2.2.2        Satua (Cerita)
2.2.2.1  Pengertian satua
Kata “satua” mengandung arti ”cerita” (Dinas Pendidikan dasar Provensi Dati I Bali, 1990:6160. Satua merupakan bagian dari prosa Bali tradisional yang disampaikan secara oral. Prosa Bali tradisioanal umumnya di kembangkan secara lisan dan tidak memiliki pengarang (anonim). Satua merupakan sastra bali Purwa yang di sampaikan secara oral dalam bahasa Balinya disebut dengan istilah “pegantian” dalam bentuk prosa (bagus,1997:2). Orang tua-tua di bali menggunakan satua sebagai media pendidikan terhadap keturunannya. Walaupun pendidikan yang dimaksud adalah non formal. Karya sastra ini diwariskan melalui oral secara turun-temurun. Dalam penyampaiannya dicirikan dengan kalimat awal seperti “ada reke satua” (ada konon cerita); ‘ada tutur katuturan satua” (ada petuah cerita). Berdasarkan proses penyampaiannya itu, satua ini mempunyai gaya khusus atau gaya bertutur cerita.

2.2.2.2  Unsur-Unsur yang Membangun Satua
Karya sastra cerita (satua) mengandung unsur-unsur karya sastra layaknya sastra modern. Secara garis besar satua juga dibangun dengan dua unsur penting, yaitu (1) Unsur interinsik; dan (2) Unsur Ekstrinsik.
1.                  Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yang membangun cerita (satua) antara lain: (a) Tema; (b) Insiden; (c) alur; (d) seting/latar; (e) Tokoh/karakter; dan (f) amanat (tarigan,1994:1276).
a).        Tema.
Tema merupakan gagasan, ide, pikiran utama atau pokok pembicaraan dalam  karya sastra (zaidan dkk, 2004: 203-204). Dengan kata lain tema adalah ide sebuah cerita yang disampaikan pengarang kepada penikmatnya melalui karya sastranya. Ide tersebut dapat berupa masalah kehidupan tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini.
b).     Insiden
Insiden adalah suatu kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam cerita, besar atau kecil. Secara keseluruhan insiden ini menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita (satua) (Sukada, 1987:57).
c).        Alur
Alur atau flot adalah struktur gerak dalam cerita, atau rangkaian kejadfian dalam cerita (satua) yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Antara, 1988: 270).
d).        Penokohan/Karakter
Kamus besar Indonesiamemuat penokohan merupakan proses, cara pembuatan penokohan atau penciptaan citra tokoh dalam karya susastra (depdiknas, 2005:1203). Sejalan dengan itu Esten (1984: 40) menyatakan bahwa penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh tersebut dalam sebuah cerita. Dari pendapat diatas dapat dikatakan penokohan/karakter adalah penekanan pada unsur perwatakan/karakter tokoh dalam cerita (satua) yang menonjol dan dominan yang disebabkan oleh perkembangan ilmu fisikologi atau Ilmu Jiwa. Mutu sebuah cerita (satua) banyak ditentukan oleh kepandaian sipengarang menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Setioap tokoh mempunyai kepribadian sendiri, tergantrung si-pengarang pada massa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, tempatnnya ia menetap dan pengalaman hidupnya.
e).        Latar
      Latar merupakan tempat, masa, dan lingkungan terjadinya cerita (satua). Lingkungan yang dimagsud adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, latar belakang alam (sumardjo: 1983: 50).
f).        Amanat
Amanat adalah pesan atau gagasan yang mendasar dituangkan pparkan pengarang dalam karyanya untuk menyelesaikan atau memecahkan peristiwa yang terjadi. Dalam Kamus Istilah Sastra karya panuti Sudjiman (1986:5) amanat diberi pengertian gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.

2.       Unsur Ekstrinsik
            Unsur ekstrinsik merupakan unsur luar sastra yang turut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tiap bentuk karya sastra sama sebab mencakup beberapa aspek kehidupan sosial yang melatar belakangi penyampain tema. Faktor-faktor yang termasuk unsur ekstrinsik yang terdapat pada cerita (satua) yaitu:
1).        Faktor Agama.
Faktor Agama sangat mempengaruhi pandangan hidup seorang pengarang dalam melakukan pemecahan masalah. Oleh sebab itu pengarang dalam membuat karya sastra yang bernafaskan Agama, haruslah mempunyai pengatahuan yang cukup tentang jajran-ajaran Agama yang dianutnya.



2).        Faktor historis.
            Pembuatan karya sastra seorang pengarang harus dapat menggambarkan faktor yang menunjukkan kapan terjadinya suatu peristiwa,dimana terjadinya, siapa pelakunya, dan bagaimana suasana atau terjadinya kisah tersebut.
3).        Faktor Sosial Budaya.
            Selaku pengarang karya sastra, seorang pengarang harus mengetahui budaya yang terdapat dalam masyarakat, seluk-beluk dan juga keunikan-keunikan yang dimiliki oleh masyarakat.
4).        Faktor Psikologis
            Seorang pengarang harus memiliki pengetahuan ilmu jiwa. Dengan ilmu yang cukup, pengarang dalam membuat sebuah karya sastra (Dongeng) akan menampilkan perwatakan dan menggambarkan tingkah laku yang cocok dengan gerak jiwa dan batin pengarang.

2.2.2.3  Jenis-Jenis Satua
            Menurut Jelantik (1006: 103) prosa (gancaran) adalah karya sastra yang tidak diikat oleh banyaknya baris  (larik), tidak diingat oleh banyaknya suku kata dalam satu larik, tidak diikat oleh labuh suara atau guru lagu. Prosa Bali memuat inti cerita yang diceritakan kepada pendengar atau pembaca.
               Prosa bali di bagi menjadi dua jenis, yaitu prosa Bali baru dan prosa Bali tradisional. Sehubungan dengan itu adapun jenis-jenis prosa Bali tradisional yang termasuk ke-dalam satua, diantaranya: (1) Dongeng; (2) Hikayat; (3) wiracarita; dan (4) Mitos).

a.         Dongeng
Dongeng merupakan suatu cerita (satua) yang isi dan jalan ceritanya bermacam-macam, umumnya tidak jelas pengarangnya atau anonim. Semantara isi dan tokoh pelakunya dapat di bagi menjadi lima, antaralain:
1.      Dongeng binatang, misalnya:
-          sang Lutung têkén Sang Kekua.
-          Kidang têkén Cecek, dan lain sebagainya.
2.      Dongeng binatang dengan manusia, misalnya;
-          Crukcuk Kuning,
-          Siap selem, dan lain sebagainya.
3.      Dongeng manusia dengan manusia, misalnya;
-          I Dempuawang,
-          Pan Baling Tamak,
-          I belog Mantu, dan lain sebagainya.
4.      Dongeng Dewa, Batara dengan Manusia, misalnya;
-          I Lengar,
-          I Bagus Diarsa, dan lain sebagainya.
5.      Dongeng manusia dengan raksasa, misalnya;
-          I tuwung Kuning,
-          I Bawang  têkén I Kasuna, dan lain sebagainya.
b.            Hikayat (Babad)
Hikayat (Babad) menceritakan tokoh yang ditinggal di Istana (Puri) mempunyai suatu kekuatan (kesaktian) disertai cerita peperangan, keadaan satria dan lain sebagainya. Misalnya: Babad Buleleng; Babad Blahbatuh; Babad Dalam; Babad Mengui; Babad Pasek; dan lain sebagainya.
c.             Wiracarita (Epos)
Wiracarita menceritakan tentang kepahlawanan, peperangan, kesaktian, seperti; Bratayuda; Ramayana; dan lain sebagainya.
d.            Mitos (Cerita Dewa-Dewa)
Mitos merupakan cerita (satua) yang mencritakan tentang Dewa-Dewa, Bhatara dan Bhatari, seperti: Prabu Watugunung; Sudamala; dan lain sebagainya.
Dari keempat jenis-jenis prosa Bali tradisional yang tergolong dalam cerita diatas, yang termasuk kedalam penelitian Penulis mengenai kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” yang di pakai sebagai interumen merupakan  jenis cerita dongeng, cerita manusia dengan manusia. Cerita/dongeng ”I Belog Mantu” merupakan cerita lucu, dan menarik sekali untuk disimak, dimana di sana mengisahkan seorang pemuda yang bernama ”I Belog” yang berupaya mendapatkan seorang perempuan yang bernama ”I Luh Sari” dengan segala tipu daya dan celotehannya sampai mendapatkan Luh Sari sebagai istrinya.
Satua ”I Belog Mantu” merupakan suatu salah satu media pendidikan untuk dapat merubah sikap mental dan tingkah laku yang buruk menjadi sikap mental dan tingkah laku yang baik. Sehingga satua ”I Belog Mantu” dapat menjadi cermin dalam kehidupan sehari-hari menuju arah kemajuan dalam bidang material maupun spiritual. Bertitik tolak dari tujuan tersebut di atas, maka terlihat adanya usaha pembinaan dan pengembangan akal serta budi pekerti anak, tentang pembinaan  sikap atau tingkah laku anak dan tentang rasa percaya diri. Sikap mental seperti itu tercermin bila seseorang mampu membina akalnya dan mampu mengendalikan akalnya sendiri. Pembinaan akal ini sangat perlu dilakukan, terutama terhadap anak-anak yang masih dalam perkembangan jasmani dan rohani dalam penentuan arah pikirannya.
Untuk itu kegiatan proses belajar mengajar disekolah yang dilakukan oleh para guru dapat menggunakan cerita rakyat atau satua Bali sebagai sarana untuk menanamkan pendidikan budi pekerti kepada siswa. Selain itu satua Bali yang memberikan kesan tradisional masih berperan penting dalam meningkatkan apresiasi belajar siswa melalui penuangan bahasa, imajinasi dan daya nalar siswa itu sendiri. Satua ini disampaikan secara oral, yang memiliki gaya tersendiri yang disebut dengan ” gaya tutur”. Dimana gaya tutur biasanya mencerminkan karakter atau sikap dari siswa itu sendiri.

2.2.3        Retorika (Tutur dan Bertutur)
 Retorika dulunya  dikenal sebagai Ilmu bicara. Retorika disini berarti seni untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Art bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik dan dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya dituntut berbicara lancer, namun lebih pada kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, padat, jelas dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat.
Dalam pemaknaannya, retorika diambil dari bahasa Inggris rhetoric bersumber dari perkataan latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Sedangkan Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren dalam bukunya Modern Rhetoric mendefenisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif. Hampir senada dengan hal tersebut Aristoteles mengartikan retorika sebagai The art of persuasion. Perspektif retorika tentang komunikasi antarpersonal menyatakan bahwa konsep dan prinsip tradisonal retorika untuk mempengaruhi masyarakat, sama baiknya diterapkan pada komunikasi yang akrab dan antarpersonal. Substansi retorika bertujuan fungsional. Menurut Harold Barrett (1996) bahwa pemakai retorika berusaha agar efektif, untuk mendapatkan jawaban, menjadi orang, dikenali, didengarkan, dishahihkan, dimengerti dan diterima. Tujuan interaksi retoris merupakan dasar bersama tempat menjalin hubungan secara sukses. Orang-orang dalam komunikasi antarpersonal, (masih menurut Barret) harus berusaha keras supaya efektif dan etis, setiap saat menunjukkan penghargaan terhadap keberadaan orang lain, penghargaan terhadap nilai intrinsic mereka sebagai manusia.
Secara substansial terdapat beberapa faktor situasional yang mempengaruhi proses komunikasi dan persepsi seseorang dalam interaksi antarpersonalnya yaitu pertama, deskripsi verbal adalah penggambaran secara langsung tentang seseorang. Ketika seseorang menceritakan bahwa “wanita itu tinggi, putih, cerdas, rajin, lincah dan kritis” maka sudah terbayang bahwa wanita itu cantik, bahagia, humoris dan pandai bergaul (pada saat membayangkan maka deskripsi verbal telah berlangsung).
Kedua, Proksemik yaitu studi tentang penggunaan jarak dalam penyampaian pesan. “ Ketika Saudara menghadap seorang pejabat lalu Ia mempersilakan saudara duduk pada kursi yang tersedia sementara Ia duduk jauh dari saudara bahkan dihalangi oleh meja lebar maka saudara mempersepsikan bahwa pejabat tersebut sebagai orang yang tidak begitu terbuka sehingga saudara lebih berhati-hati berbicara dengannnya.
Ketiga, Kinesik adalah ekspresi sikap dan gerak tubuh seseorang. Untuk memperjelas tentang kinesik, maka silakan pembaca jawab pertanyaan, bagaimana pendapat dan penilaian saudara ketika seseorang berbicara terpatah-patah, kedua telapak tangannya saling meremas dan diletakkan di atas kedua paha yang dirapatkan? (Jawaban pembaca merupakan persepsi yang didasarkan atas kinesik).
Keempat, paralinguistik yaitu cara bagaimana seseorang mengucapkan lambang-lambang verbal, meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara dan proses bagaimana menyampaikan pesan. Tempo bicara yang lambat, ragu-ragu, dan tersendat-sendat akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri atau “kebodohan”.
Kelima, artifaktual yaitu meliputi segala macam penampilan mulai dari potongan rambut, kosmetik yang dipakai, baju, tas, kendaraan dan atribut-atribut lainnya. Persepsi bahwa seseorang kaya karena Ia mengendari mobil mewah, potongan rambut yang rapi, menggunakan jas dan berbagai atribut parlente lainnya (padahal tahukah saudara bahwa ia hanya seorang supir!).
Semua orang merindukan bisa menjelaskan sesuatu dengan baik, namun tidak semua bisa melakukannya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dipelajari, keterbatasan kesungguhan untuk melatih diri, dan keterbatasan dari kegigihan serta semangat. Itulah hal yang terkadang membuat kualitas dalam penyampaian sesuatu tidak meningkat.
Kemampuan menyampaikan ide hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri. Artinya sebuah ide yang baik, menarik dan penting ternyata akan kurang bermakna jika disampaikan oleh seseorang yang kemampuan komunikasinya terbatas. Sebaliknya, ide yang sederhana bahkan kurang penting akan terkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik komunikasi yang baik. Peningkatan penyajian informasi dalam dialektika retoris-etis antarpersonal dapat dilakukan melalui pemaparan fakta yaitu pernyataan yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar. Ada tiga kriteria yang dijadikan tolak ukur yaitu pertama relevancy adalah fakta yang diungkapkan bermanfat atau relevan dengan kepentingan pembicara dan pendengar. Kedua, Sufficiency yaitu fakta dapat mendukung gagasan utama dalam pembicaraan. Ketiga atau yang terakhir adalah Plausibility yaitu sumber-sumber fakta harus dapat dipercaya nilai kebenarannya.
Sebagai refleksi akhir dalam tulisan ini mengingat kembali tentang seorang kopral kecil, veteran Perang Dunia II berhasil naik menjadi kaisar Jerman. Dalam bukunya Main Kampf dengan tegas Hitler mengatakan bahwa keberhasilannya disebabkan oleh kemampuannya berbicara.
Beberapa jenis sarana retorika yang dapat disampaikan secara singkat dalam bagian ini antara lain; Tautologi, Pleonasme, Retorik Retisense, Paralelisme, Enumerasi, Paradoks, Hiperbola, dan Kiasmus.
a. Tautologi
Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal secara berulang, setidaknya dua kali. Pengulangan ini dilakukan guna memperdalam arti kata atau keadaan terhadap pembaca atau pendengar. Meskipun secara fonologis pengulangan itu tidak terdengar atau terbaca sama, namun secara semiotis perulangan itu merujuk pada suatu hal atau arti yang sama, namun lebih mendalam. Misalnya: silih berganti tiada henti; tiada kuasa tiada daya, larinya cepat semakin cepat, dsb.
b. Pleonasme
Pleonasme ialah sarana retorika yang sekilas seperti Tautologi. Namun kata yang disebut kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Perulangan ini dimaksudkan agar maksud menjadi lebih jelas. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, dsb.
c. Retorik Retisense
Retorik Retisense ialah sarana retorika yang menggunakan banyak titik-titik. Penggunaan titik banyak ini untuk menggantikan perasaan yang tidak dapat diungkapkan. Contohnya: hatiku ini….. oh….., kasihku……, dsb.
d.         Paralelisme
Paralelisme ialah pengulangan isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana dalam Pradopo, 1990:97). Contohnya: Segala kulihat segala membayang, segala kupegang segala mengenang.
e. Enumerasi
Enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian, agar hal-hal tersebut terkesan lebih jelas dan detil. Contohnya: di dalam suka di dalam duka, waktu bahagia waktu merana, masa tertawa masa kecewa, kami terbuai dalam nafasmu.
f. Paradoks
Paradoks ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara bertentangan, tetapi sebenarnya bila sungguh-sungguh dirasakan, sama sekali tidak bertentangan. Contohnya: hidup yang terbaring mati, aku beku dalam kepanasan, dsb.
g. Hiperbola
Hiperbola ialah sarana retorika yang melebih-lebihkan suatu keadaan. Guna menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas. Contohnya: cinta ini setinggi langit, wajahmu seperti matahari, dsb. Paradoks ini ada yang menggunakan penjajaran kata yang berlawanan seperti pertentangan hidup-mati, dalam kalimat: kesusahanku membuat hidup serasa mati. Paradoks ini disebut oksimoron.
h. Kiasmus
Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya. Misalnya: diri mengeras dalam kehidupan, kehidupan mengeras di dalam diri.
Demikian sarana-sarana retorika yang seringkali digunakan untuk menciptakan sebuah karya sastra. Kebanyakan dari sarana retorika di atas adalah untuk memperdalam makna, memperjelas, mendetilkan dan menyangatkan makna agar pendengar atau pembaca bisa lebih mampu memahami maksud dan kondisi jiwa pengarang. Pengarang mewujudkan keinginan hatinya lewat pilihan kata dan rangkaian kata-kata tersebut sehingga karyanya melahirkan suatu medan semantis yang magnetis, yang begitu menarik perhatian dan membuat pembaca atau pendengar larut dalam kesyahduan isi karyanya.Oleh karenanya, agar tujuan pencapaian pemuasan estetis ini tercapai, demi pengutaraan maksud dan isi hati secara tepat, maka untuk itu haruslah dipilih kata-kata setepat mungkin. Pemilihan kata ini disebut diksi.
Menurut Barfield kata-kata yang dipilih itu menimbulkan imajinasi estetik, untuk mendapatkan kepuitisan atau nilai estetik. Dengan kata lain, kata-kata tersebut meghasilkan suatu renungan jiwa yang dalam, sehingga memungkinkan seorang pembaca atau pendengar mengalami kepuasan estetis. Menurut J. Elema, karya sastra harus meliputi keutuhan jiwa, Subagyo Sastrowardoyo menerjemahkan hal tersebut sebagai karya sastra yang mampu dijiwai secara utuh. Jika sebuah karya sastra dapat dijiwai, atau setidaknya dapat menghadirkan suatu kesadaran lain dalam perenungan jiwa, maka karya sastra tersebut dapat merubah jiwa seseorang menjadi lebih budiman, ini yang dimaksud oleh Aristoteles dengan proses penyucian jiwa lewat seni atau Katharsis.
Sementara I Gusti Ngurah Oka (1976) mengatakan, bahwa retorika pada hakekatnya dimanfaatkan oleh setiap manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya lewat kegiatan bertuturnya. Ia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang secara khusus memusatkan perhatian kepada tutur dan kegiatan bertutur. Sedangkan kegiatan bertutur tidak lain dari kehiatan membahas sesuatu yang dibahaskan ini dinamakan topik tutur. Selanjutnya I Gusti Ngurah Oka juga menekankan pada topik tutur dibahas menurut cara-cara tertentu sehingga berwujud ragam jenis tutur, seperti obrolan, lelucon, cerita, surat, keterangan,puisi, buku, pidato, khotbah, ceramah atau Dharma wacana, dan lain sebagainya, dan apapun jenis bentuk bahasa yang dipakai, setiap topik tutur yang sudah dibahasakan secara umum bisa disebut tutur. Orang yang menuturkan disebut penutur, sedangkan orang yang menghayati tutur disebut penanggap tutur. Termasuk kedalamnya adalah pendengar dan pembaca. Peristiwa komunikasi yang berlangsung antara penutur dengan penenggap tutur disebut peristiwa tutur.
Berkaitan dengan Menceritakan Kembali SatuaI Belog Mantu”, peristiwa menceritakan kembali satua tersebut merupakan suatu tindak tutur yang menuturkan kembali jalannya cerita secara lisan. Dimana orang yang menuturkan hal  tersebut sekaligus menghayati isi cerita sehingga ia mampu memahami keseluruhan isi cerita yang telah  ia baca.
Selain itu seorang penutur cerita atau yang menceritakan cerita/satua tersebut harus bisa mempengaruhi para pendengarnya tentunya dengan pemilihan bahasa yang tepat, pemakain argumen untuk memperjelas cerita, dan penampilan gaya khas penutur dalam menampilkan gagasan cerita itu. Sehingga penutur satu dengan yang lainnya berbeda-beda, walaupun cerita yang dituturkan itu sama.

2.2.4        Membaca
Membaca merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan Oleh pembaca untuk memproleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/ bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas dan agar makna kata-kata secara individual akan diketahui. Bila hal tersebut tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami sehingga proses membaca tidak terlaksana dengan baik (Hoodgson 1960: 43-44).
Landasan teori membaca peneliti gunakan sebagai dasar pengukuran  pemahaman siswa dalam memahami/menghayati cerita yang dibaca untuk diceritakan kembali dengan bahasanya sendiri.
2.2.4.1 Tujuan  Membaca
Tujuan utama dalam membaca adalah mencari dan memperoleh informasi, mencakup isi dan menyangkut pemahaman makna bacaan. Makna sebuah bacaan berhubungan erat dengan maksud, tujuan dan intensif kita dalam membaca. Berikut dikemukakan beberapa hal yang penting dalam membaca.
1). Membaca untuk menemukan mengetahui apa yang telah dilakukan, dibuat, apa yang terjadi, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang tokoh.
2). Membaca untuk mengetahui mengapa hal tersebut merupakan topic yang baik dan menarik, masalah yang terda[pat dalam cerita, apa yang dialami oleh sang tokoh dan hal-hal yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
3). Membaca untuk mengetahui apa yang hendak diperlihatkan oleh sang pengarang kepada para pembaca.
4). Mebaca untuk mengetahui apa yang wajar menganai seorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, dan apa cerita itu merupakan fakta atau fiksi belaka.
5). Membaca untuk menemukan apakah sang tokoh berhasil atau hidup dalam ukuran-ukuran tertentu, apakah prilaku sang tokoh patut ditiru atau tidak.
6).  Membaca untuk menemukan bagaimana caranya sang tokoh menghadapi permasalahan dalam rentangan cerita secara keseluruhan.
Sehubungan dengan penelitian menceritakan kembali satua I Belog Mantu” yang merupakan  keterampilan membaca adalah suatu dasar untuk pemahaman keterampilan berbahasa khusunya Menceritan suatu cerita. Berdasarkan hal itu dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara kedua keterampilan itu. Untuk menceritakan suatu cerita harus diawali dengan membaca teks ceritanya kemudian dipahami isinya, barulah siswa akan mampu menceritakn kembali isi dari cerita tersebut.

2.2. 5   Kreteria Penilaian Aspek Menceritakan
Adapun kreteria untuk aspek menceritakan, meliputi: Ucapan, Tekanan, Intonasi, dan  kelancaran dalam menceritakan kembali cerita yang sudah dibaca dengan tepat.
2.2.5.1 Ucapan
Menurut Goryis (1984: 53) cara mengucapkan sebuah kata dapat dimasukkan kedalam sebuah kamus. Gunanya untuk membantu para pemakai, agar dapat mengucapkan sebuah kata dengan benar dan tepat. Ucapan itu ditulis dengan simbol-simbol fonetis, yang bagi bahasa Indonesia boleh dikatakan sama dengan simbol ejaan resmi kecuali beberapa, misalnya dalam KUBI (Kurikulum Bahasa Indonesia) cetakan V dimasukkan keterangan mengenai ucapan agar tidak salah diucapkan misaalnya kata céngcéng (cêngcêng), dan pada saat berucap atau bertutur kata biasanya seorang peutur yang baik memiliki  kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan artikulator.
Berkaitan dengan penilain menceritakan kembali satua yang dinilai dalam ucapan yaitu Memiliki kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan artikulator.
2.2.5.2  Tekanan/Intonasi
Menurut Goryis (1984: 52) agar sebuah kata dapat diucapkan dengan benar, maka kata-kata dalam sebuah kamus dapat diberi tanda-tanda tekanan pada suku-suku kata yang patut mendapat tekanan. Bahasa-bahsa yang memiliki tekanan membedakan empat macam tekanan , yaitu tekanan paling keras, tekanan keras, tekanan lembut, dan tekanan paling lembut..
            Sesuai dengan paparan di atas maka yang dinilai dalam tekanan menceritakan kembali satua secara keseluruhan menyangkut ketepatan dalam bertutur cerita yang disesuaikan dengan tekanan suara baik tinggi rendahnya suara maupun keras lembutnya suara yang diucapkan. Serta suatu bahasa biasanya memiliki tekanan dinamik, tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi.
2.2.5.3  Intonasi
Menurut Samsuri (1981: 227) intonasi adalah suatu tanda untuk mengukur tinggi rendahnya suatu bahasa , misalnya intonasi pada saat mengucapkan kata yang berisi tanda seru {!}; tanda tanya {?}; tanda koma {,}; dan tanda titik {.}.
Dalam hal ini penilainnya jelas sekali dimana penilai intonasi yang diambil ketika menceritakan cerita dilihat dari segi tanda baca atau irama/jeda sesuai dengan kalimat yang dituangkan dalam bahasa cerita oleh siswa itu sendiri.
2.2.5.4  Kelancaran
            Menurut BSNP (2006) kata-kata yang diucapkan apakah sudah lancar tanpa hambatan dan tepat waktu sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dengan acuan seperti itu sudah jelas penilain tentang kelancaran menceritakan kembali suatu cerita, siswa selaku pencerita harus mampu bercerita tanpa adanya kesalahan karena gagap, ataupun semacam keragu-raguan.
 Siswa dituntut bisa menampilkan cerita secara keseluruhan dengan tepat memiliki kualitas suara yang baik, tidak gugup/ragu-ragu dalam bercerita serta diimbangi dengan ekspresi wajah,pandangan mata dan gerakan tangan berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita dengan penuh penghayatan ekspresiari olah vokal, penjiwaan dengan karakternya sendiri. Berkaitan dengan itu siswa juga harus bisa menguasai atau mampu menceritan cerita yang sudah dibaca dengan isi keseluruhan secara singkat dan padat tanpa adanya kekeliruan



BAB III
METODE PENELITIAN

Metode adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan (Netra, 1974: 1). Tercapai atau tidaknya suatu tujuan tergantung dari metode yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam suatu penelitian metode merupakan suatu syarat utama bagi seorang peneliti. Tujuan penelitian akan dapat tercapai, apabila penelitian tersebut dilaksanakan dengan menggunakan metode yang tepat. Dengan demikian jelaslah betapa besar peranan metode penelitian di dalam kegiatan penelitian. Sehingga hasil penelitian itu benar-benar dapat dipertanggung jawabkan.
 Penelitian adalah suatu aktivitas yang di lakukan secara mandalam. Motif dari suatu penelitian itu adalah masalah. Biasanya makin banyak komponen yang di teliti makin dalam penelitian yang di lakukan. Di samping menggunakan penelitian yang mendalam juga menggunakan rencana sistematis. Rencana sistematis merupakan langkah-langkah pokok dalam suatu penelitian.  Penelitian juga menggunakan metode ilmiah, sedangkan tujuan akhir dalam penelitian adalah mencari suatu kebenaran ilmiah.
Jadi Metode Penelitian adalah suatu aktivitas yang mengandung suatu masalah, rencana sistematis, metode-metode ilmiah, dan bertujuan unutuk mencari kebenaran ilmiah. Guna menunjang ke-ilmiahan penelitian kemampuan menceritakan kembali satua  ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA N 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011, digunakan metode: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek; (3)metode pengumpulan data; dan (4) metode pengolahan data.

3.1        Metode Penentuan Subjek Penelitian
            Metode penentuan subjek penelitian ini adalah suatu metode atau teknik yang dipakai dalam menentukan subjek yang akan diteliti. Ditinjau dari wilayah sumber data, maka dibedakan menjadi dua jenis penelitian yaitu penelitian populasi, dan penelitian sampel. Hasil penelitian sample berlaku bagi populasi, sedangkan hasil penelitian kasus berlaku bagi kasus itu sendiri (Arikunto, 1993: 104). Netra (1974: 22) menyatakan, bahwa subjek penelitiam adalah suatu metode yang digunakan dalam rangka mentukan subjek penelitian. Setiap suatu penelitian terlebih dahulu harus menentukan subjek penelitian terlebih dahulu harus menetukan subjek penelitian. Kedua unsur tersebut tidaklah sama, tetapi mempunyai hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah penentuan subjek penelitian ini meliputi subjek penelitian, objek penelitian, dan tempat penelitian. Subjek penelitian adalah setiap individu yang akan kita teliti, individu yang dimaksud adalah manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda (Netra, 1979 : 20).
Sesuai dengan dengan hal tersebut di atas, penulis mengambil penelitian sampel karena mengingat keterbatasan waktu dan keadaan tempat penelitian. Subjek penelitian yang diambil yaitu semua siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar. Objek penelitian adalah gejala atau peristiwa yang diteliti. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah tentang kemampuan menceritakan kembali satua ’I Belog Mantu”.
3.1.1    Populasi Penelitian
Suatu populasi harus dinyatakan dengan tegas batas-batasnya, karena generalisasi yang dilakukan harus jelas lebih dahulu batas-batasnya dan tidak berlaku untuk populasi yang lain (Netra, 1979 : 31).
Menyimak uraian tersebut, penulis menetapkan populasi penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Lebih jelasnya maka populasi akan dikemukakan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 3.1: Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011.


Kelas
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
2
3
4
5
XI IPS 1
28
12
40
XI IPS 2
26
12
38
XI IPS 3
27
12
39
XI IPS 4
26
9
35
XI IPA 1
24
23
47
XI IPA 2
23
24
47
XI IPA 3
24
24
48
XI IPA 4
26
22
48
XI IPA 5
25
23
48
XI IPA 6
9
27
36
JUMLAH
  426

3.1.2        Sampel Penelitian
Berdasarkan tabel diatas, jumlah populasi dalam penelitian adalah 426 oarang yang terdiri atas 238 putra dan 188. Mengingat banyaknya jumlah populasi yang akan diteliti serta diharapkan penelitian ini memperoleh hasil yang maksimal, maka akan ditetapkan sejumlah sample penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1993:107) yang mengemukakan sebagai berikut.
Untuk sekedar acer-ancer, maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%, tergantung setidak-tidaknya dari:
a).  Kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana.
b). Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data.
c). Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang resikonya besar, tentu saja jika sampel lebih besar, hasilnya akan lebih baik.

Berdasarkan pendapat Arikunto di atas, maka besarnya jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 25% dari populasi, yaitu 426 x 25% = 106,5 = 106 orang.    
Terkait dengan penelitian ini digunakan teknik sampling yaitu Random sampling. Berikut ini akan dijelaskan tentang penggunaan teknik Random sampling.
3.1.2.1  Random Sampling
Pengambilan sampel dengan teknik random merupakan pengambilan sampel tanpa pandang bulu atau secara acak. Menurut Marzuki (1983:43) pengambilan sampel dengan teknik random adalah teknik yang paling baik dalam pelaksanaan penelitian. Dalam teknik ini, semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Namun dalam penelitian ini pencarian sampel di bantu oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam teknik random:
1.      Menulis nomor subjek pada kertas-kertas kecil sesuai dengan jumlah siswa pada kelas yang bersangkutan;
2.      Menggulung kertas tersebut baik-baik;
3.      Mamasukkan gulungan tersebut ke dalam kaleng;
4.      Mengocok baik-baik keleng tersebut;
5.      Kertas tadi dikeluarkan satu persatu dari kaleng. Siswa yang nomernya nya keluar dari kaleng ditetapkan sebagai anggota sampel. Kemudian, kaleng itu terus dikocok dan kertasnya dikeluatkan satu persatu sampai jumlah sampel yang ditentukan di kelas tersebut terpenuhi.

3.2          Metode Pendekatan Subjek Penelitian
Metode pendekatan subjek penelitian merupakan metode yang khusus dipakai untuk mendekati subjek penelitian. Dalam penelitian ini, metode pendekatan subjek penelitian yang digunakan adalah metode empiris kuantitatif.
Metode empiris adalah suatu pendekatan di mana gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar (Netra 1974: 38). Penulis menggunakan metode ini karena gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar, yaitu kemampuan menceritakan kembali sebuah satua.
Gejala wajar yang dimaksud adalah materi pembelajaran mengungkapkan wacana dari membaca berupa satua Bali sudah di ajarkan  disekolah sesuai dengan kurikulum yang berlaku sehingga siswa sudah memiliki kemampuan mengungkapkan suatu wacana dan tidak perlu lagi mengadakan eksperimen.. Sementara itu analisis penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif karena pengkajiannya berdasarkan jumlah hitungan angka.


3.3  Metode Pengumpulan Data
Suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan data-data dengan menggunakan metode tertentu disebut metode pengumpulan data. Dalam rangka pengumpulan data mengenai kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 menggunakan tiga metode, yaitu (1) metode tes, (2) metode observasi, (3) metode wawancara.
3.3.1  Metode Tes
Nurkancana dan Sunartana (1981: 278) menyatakan bahwa tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk tugas yang harus dikerjakan oleh siswa atau sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku prestasi siswa tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai anak-anak lain atau nilai standar yang ditetapkan.
Untuk memperoleh data penelitian digunakan tes tindakan. Dalam penelitian ini tes dilaksanakan dengan cara menilai kemampuan siswa menceritakan kembali sebuah satua “I Belog Mantu”  di depan kelas dengan kriteria penilaian meliputi: Ucapan, Tekanan, Intonasi, dan kelacaran.
3.3.2        Metode Observasi
Menurut Subagyo (2006:63) menyatakan observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Dalam penelitian ini dokumen yang dicatat adalah buku-buku yang relevan dengan persoalan yang diteliti., seperti  buku kumpulan satua Bali, aneka paribasa Bali, silabus dan dokumen-dokumen lainnya yang dipandang menunjang kelancaran penelitian ini.
Narbuko (2005:70) menyatakan observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat gejala-gejala yang diselidiki. Selanjutnya Hadi (2000:151) menyatakan observasi adalah secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk melakukan pengamatan secara langsung tentang kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satua ke depan kelas disertai dengan teknik perekaman dengan menggunakan Handy Cam.
3.3.3        Metode Wawancara
Untuk memperoleh data tentang kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dilakukan dengan mengunakan  pedoman wawancara. Metode wawancara adalah suatu cara untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap langsung atau bertatap muka (Kuntjaraningrat, 1983: 124). Pendapat lain juga mengatakan, wawancara adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan melakukan tanya jawab yang sistematis (Netra, 1974: 53).
Dapat disimpulkan, wawancara adalah suatu metode untuk memperoleh data dengan cara wawancara maupun tanya jawab antara si peneliti dengan yang diteliti. Metode wawancara digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011  dalam menceritakan kembali satua “I Belog Mantu”.


3.4            Metode Pengolahan Data
Adapun langkah-langkah pengolahan data yang ditempuh dalam penelitian ini adalah (1) mengubah sekor mentah menjadi skor standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) mengelompokkan prestasi siswa, (4) mencari skor rata-rata, dan 5) menarik kesimpulan.
3.4.1    Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar
Dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar dipergunakan langkah langkah sebagai berikut.
1)            Menentukan Skor Maksimal Ideal (SMI)
      Skor maksimal ideal adalah jumlah skor tertinggi yang diperoleh berdasarkan pedoman penilaian. Berdasarkan jumlah aspek yang dinilai dan rentangannya, maka skor maksimal ideal dari menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”dalam penelitian ini adalah 16.

Tabel: 3.2 Skor maksimal Ideal Kamampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”.

No.
Aspek
Skor
1
2
3
1
2
3
4
Ucapan
Tekanan
Intonasi
Kelancaran
1-4
1-4
1-4
1-4
Jumlah SMI
16
Keterangan : I.

7/10/2011

Strategi dan Kebijakan Pemerintah dalam Menanggulangi Pengangguran

A.Latar Belakang

Salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia adalah masalah pengangguran. Pengangguran yang tinggi berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan, kriminalitas dan masalah-masalah sosial politik yang juga semakin meningkat. Dengan jumlah angkatan kerja yang cukup besar, arus migrasi yang terus mengalir, serta dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, membuat permasalahan tenaga kerja menjadi sangat besar dan kompleks.
Fenomena itulah yang menjadi keprihatinan Pakar Pendidikan Jatim Daniel M. Rosyid dan Ketua Departemen Ekonomi Syariah Universitas Airlangga Sri Kusreni yang menyatakan pengangguran di Indonesia pada tahun 2008 ini sudah mencapai 12 juta jiwa. (Jawa Pos:27/03/2008).
Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Hal ini akibat dari krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya biaya yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat.
Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir Desember 1997.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan ngkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang.
Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%.
(http:// www..indopubs.com/andreas_limongan@hotmail.com)
Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran dinegara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal.
Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Dari latar belakang diatas maka bisa dijadikan rumusan masalah sebagai berikut. “Bagaimanakah strategi dan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi masalah pengangguran?”.

B.PERSPEKTIF
1.Definisi Strategi
Strategi berasal dari kata Yunani Strategeia (stratos = militer, dan ag = memimpin), yang artinya seni atau ilmu untuk menjadi seseorang jenderal. Strategi bisa juga diartikan sebagai suatu rencana untuk pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material pada daerah-daerah tertentu untuk mencapai tujuan tertantu. (Fandy Tjiptono : 2002)
2.Definisi kebijaksanaan (Policy)
Kebijaksanaan (Policy) diberi arti yang bermacam-macam, menurut Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan (1970 : hal.71) arti kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.
Menurut Carl J. Friedrick (1963 : hal.79) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “…serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”).
Pengertian berikutnya menurut James E. Anderson (1979 : hal.3) bahwa kebijaksanaan itu adalah : (“serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertantu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”).
Menurut Amara Raksasataya (1976 : hal.5) mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena itu suatu kebijaksanaan memuat 3 elemen yaitu :
1.Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2.Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3.Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
3.Perencanaan SDM
Perencanaan SDM esensial bagi penarikan, seleksi, diklat dan pengembangan serta kegiatan-kegiatan personalia lainnya dalam organisasi. Perencanaan SDM merupakan serangkaian kegiatan untuk mengantisipasi permintaan-permintaan kebutuhan tenaga kerja yang tepat.
Bagian kepegawaian harus mengestimasi secara sistematik permintaan dan suplai tenaga kerja organisasi untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Sedangkan tujuan SDM adalah :
a)Memperbaiki penggunaan SDM.
b)Memadukan kegiatan-kegiatan personalia dan tujuan organisasi secara efisien.
c)Mengembangkan sistem informasi managemen personalia untuk membantu kegiatan unit-unit organisasi lain.
d)Mengkoordinasikan program-program manajemen personalia dengan kegiatan-kegiatan unit lainnya.
e)Pengendalian karyawan baru secara ekonomis.
4.Definisi Pengangguran
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan SMP, SMA, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan. (http://www.organisasi.org)
Setengah Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran dibagi menjadi dua kelompok :
Setengah Penganggur Terpaksa, yaitu mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain.
Setengah Penganggur Sukarela, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, misalnya tenaga ahli yang gajinya sangat besar. (http://www.datastatistik-indonesia.com).
C.PEMBAHASAN
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, listrik, air bersih dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan.
Oleh karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat 2. Sebagai solusi pengangguran berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, untuk itu diperlukan kebijakan yaitu :
1.Pemerintah memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis dan manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar. Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan andal bersaing di bidangnya.
Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan lingkungan usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil dan menengah yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan informasi pasar dan peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD, BUMS dan pihak lainnya.
2.Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia.
3.Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci.
4.Segera menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk menciptakan lapangan kerja.
5.Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah-daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
6.Melakukan program sinergi antar BUMN atau BUMS yang memiliki keterkaitan usaha atau hasil produksi akan saling mengisi kebutuhan. Dengan sinergi tersebut maka kegiatan proses produksi akan menjadi lebih efisien dan murah karena pengadaan bahan baku bisa dilakukan secara bersama-sama. Contoh, PT Krakatau Steel dapat bersinergi dengan PT. PAL Indonsia untuk memasok kebutuhan bahan baku berupa pelat baja.
7.Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru atau melancarkan sistem transmigrasi dengan mengalokasikan penduduk padat ke daerah yang jarang penduduk dengan difasilitasi sektor pertanian, perkebunan atau peternakan oleh pemerintah.
8.Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi secara ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil. Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
9.Segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para lulusan perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
10.Segera mengembangkan potensi kelautan dan pertanian. Karena Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim dan agraris. Potensi kelautan dan pertanian Indonesia perlu dikelola secara baik dan profesional supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif
D.KESIMPULAN
Pengangguran adalah problem yang terus menumpuk. Bertambah dari tahun ke tahun. Persoalan pengangguran bukan sekedar bertumpu pada makin menyempitnya dunia kerja, tetapi juga rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang kita punyai.
Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor komoditi, Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing (investasi), stabilitas keamanan, perilaku proteksionis (travel warning) sejumlah Negara-negara barat terhadap Indonesia, perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global yang menjadikan krisis pangan didunia, harga minyak dunia naik, pasar global dan berbagai perilaku birokrasi yang kurang kondusif atau cenderung mempersulit bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah buruh ditengah dunia usaha yang masih lesu.
Disamping masalah-masalah tersebut diatas, faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan karyawan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.
Semua permasalahan hal diatas tampaknya sudah dipahami oleh pembuat kebijakan (Decision Maker). Namun hal yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan atau pengangguran bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula.
E.REKOMENDASI
1.Pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan yang bisa terciptanya lapangan pekerjaan, serta menjalankan kebijakan yang konsisten tersebut dengan sungguh-sungguh sampai terlihat hasil yang maksimal.
2.Pemerintah memberikan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kerja kepada masyarakat untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya masing-masing untuk mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktifitas dan kesejahteraan. 

DAFTAR PUSTAKA
Tjipto, Fandy.2002. Strategi Pemasaran. Yogyakarta : andi.
Lasswell, D. Harold dan Kaplan, Abraham. 1970. Power and Society. New Heaven : Yale Univercity Press. Hlm. 71.
Friedrik, J. Carl. 1963. Man and His Government. New York : Mc Graw Hill. Hlm.79
Anderson, E. James. 1979. Public Policy Making. New York : Holt, Rinehart and Winston, 2ndec. Hlm. 3.
Drs. Tjokroamidjojo, Bintoro. M.A. 1976. Analisa Kebijaksanaan Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Nasional. Majalah Administrator.
Drs. Islamy, M. Irfan, MPA. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bina Aksara.
Jawa Pos. Kamis 27 Maret, 2008.Atasi pengangguran, Butuh Sinergi, Hlm.9.

PENGANGGURAN

MASALAH PENGANGGURAN DAN KONDISI KETENAGA KERJAAN DI INDONESIA

Jakarta, 13 Juli 2010 (Business News)
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam pembangunan ekonomi di negara ini pengangguran merupakan masalah yang rumit dan lebih serius daripada masalah perubahan dalam disribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan rendah. Keadaan di negara-negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang telah tercipta tidak sanggup menyediakan kesempatan kerja yang lebih cepat daripada pertambahan penduduk. Oleh karenanya masalah pengangguran yang mereka hadapi dari tahun ke tahun semakin serius.
Masalah pengangguran akan menimbulkan dampak yang negatif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dampak negatif dari pengangguran adalah kian beragamnya tindakan kriminal, makin banyaknya jumlah anak jalanan, pengemis, pengamen perdagangan anak dan sebagainya sudah menjadi patologi sosial atau kuman penyakit sosial yang menyebar bagaikan virus yang sulit di berantas. Penyakit sosial ini sangat berbahaya dan menghasilkan korban-korban sosial yang tidak bernilai. Menurunnya kualitas sumber daya manusia, tidak di hargainya martabat dan harga diri manusia yang merupakan korban sosial dari penyakit sosial. Oleh karena itu, persoalan pengangguran ini harus secepatnya di pecahkan dan dicari jalan keluarnya.
Namun demikian, perlu disyukuri karena kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dalam satu tahun terakhir atau hingga kuartal pertama tahun 2010 menunjukkan adanya sedikit perbaikan. Hal ini digambarkan dengan adanya peningkatan kelompok penduduk yang bekerja serta menurunnya angka pengangguran. Pada kuartal pertama tahun 2010 jumlah angkatan kerja mencapai 116 juta orang naik 2,26 juta orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya kuartal yang sama tahun 2009 yang sebesar 113,74 juta orang. Sedangkan penduduk yang bekerja juga terjadi peningkatan, pada kuartal pertama tahun 2010 mencapai 107,41 juta orang naik dari kuartal pertama tahun 2009 sebesar 2,92 juta orang yang sebelumnya 104,49 juta orang. Sementara itu, untuk jumlah pengangguran di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2010 mencapai 8,59 juta orang atau 7,41 persen dari total angkatan kerja, mengalami penurunan sekitar 670 ribu orang jika di bandingkan dengan tahun sebelumnya atau kuartal pertama tahun 2009 yang sebesar 8,14 persen.
Naiknya jumlah penduduk yang bekerja pada kuartal pertama tahun 2010 ini terutama di sektor jasa kemasyarakatan yakni sebesar 1,62 juta orang (11,52 %) dan di sektor pertanian sebesar 1,22 juta orang (2,92 %). Sedangkan sektor yang mengalami penurunan yakni sektor konsumsi sebesar 11,70 persen dan sektor transportasi sebesar 4,91 persen. Dengan demikian sektor jasa kemasyarakatan, industri dan perdagangan menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja pada kuartal pertama tahun 2010.Penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan.
Secara sederhana kegiatan formal dan informal dari penduduk yang bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan. Dari kategori status pekerjaan utamapekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada kuartal pertama tahun 2010 sebanyak 33,74 juta (31,42%) pekerja Indonesia bekerja pada kegiatan/sektor formal ada 73,67 juta orang (68,58%) bekerja pada sektor informal. Dari 107,41 orang yang bekerja pada waktu yang sama, status pekerja utama yang terbanyak sebagai buruh/karyawan yakni mencapai 30,72 juta atau sekitar 28,61 persen, kemudian diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap (buru harian/borongan) sebesar 21,92 juta orang atau 20,41 persen dan berusaha sendiri sejumlah 20,46 juta orang atau 19,05% sedangkan sisanya adalah berusaha dibantu buruh tetap.
Penduduk bekerja menurut pendidikan.
Jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami kenaikan, di mana pada kuartal pertama tahun 2009 pekerja yang bekerja dengan tamatan Universitas sebanyak 4,22 juta orang, untuk kuartal yang sama tahun 2010 meningkat menjadi 4,94 juta orang. Sementara untuk tenaga kerja yang bekerja dengan tamatan Diploma 1/11/ III pada kuartal pertama tahun 2009 sebanyak 2,68 juta orang pada kuartal yang sama tahun 2010 naik menjadi 2,89 juta orang sementara untuk pekerja dengan pendidikan terakhir sekolah menengah kejuruan juga terjadi peningkatan, pada kuartal pertama tahun 2009 sebanyak 7,19 juta orang untuk kuartal yang sama tahun 2010 meningkat menjadi 8,34 juta orang.
Sementara pada waktu yang sama, pekerja pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar ke bawah masih tetap tinggi yakni sekitar 55,31 juta orang, sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi masih relatif kecil. Pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 2,69 persen dan pekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 4,60 persen.Pemerintah pada tahun 2010 menargetkan angka pengangguran di Indonesia menjadi 8 persen, untuk memenuhi target tersebut pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5-6 persen dengan pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan bisa menciptakan 2,3 juta lapangan kerja baru. Namun pada waktu yang bersamaan juga akan masuk angkatan kerja baru sekitar 2,1 juta orang.
Dengan target pemerintah pada tahun 2010 angka pengangguran di Indonesia menjadi 8 persen, jika dilihat dari data yang ada di BPS pada kuartal pertama tahun 2010 sudah bisa dikatakan berhasil, sebab menurut data yang ada di mana angka pengangguran hanya sebesar 7,41 persen atau 8,59 juta orang.YanQ menjadi pertanyaan dengan keberhasilan kuartal 1/2010 apakah angka tersebut bisa di pertahankan hingga akhir tahun 2010 !.. , mengingat pada kuartal ketiga merupakan masa-masa lulusan sekolah dan pada waktu yang bersamaan akan menciptakan angkatan kerja baru yang mencapai 2,1 iuta orang.
Oleh karena itu, guna menanggulangi lonjakan angkatan kerja baru serta mengurangi angka pengangguran perlu dilakukan sebuah langkah/cara yang kongkrit. Salah satu cara yang realistis dalam jangka pendek yakni dengan memberdayakan sektor informal, padat karya dan menciptakan jiwa kewirausahaan bagi kaum muda sehingga akan bisa menciptakan pengusaha baru, di samping strategi jangka panjang seperti pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah melalui kebijakan desentralisasi. Sektor informal dinilai sangat membantu menyerap orang-orang yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi pereda di tengah pasar global. Namun bukan berarti sektor formal di abaikan. Jika ternyata sektor informal ternyata dapat menjawab sebagian dari masalah pengangguran yang di hadapi bangsa ini, maka sudah waktunya sektor informal didukung oleh pemerintah dengan menyiapkan anggaran. Anggaran ini bisa digunakan untuk dijadikan modal pengembangan usaha ekonomis produktif bagi pekerja-pekerja informal serta bisa dijadikan modal untuk merintis usaha baru.