"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/11/2011

Kupasan Mantra-mantra Tri Sandya



Kupasan Mantra-mantra Tri Sandya
kenapa mantra trisandya begitu penting untuk diucapkan dan dihayati?
inilah secara singkat penjelasan untuk hal tersebut,
semoga bermanfaat....
 Mantram Pertama
Puja Trisandhya terdiri atas 6 mantram.
Mantram pertama disebut gayatri mantram, menurut nama iramanya, yaitu gayatri. Irama-irama lain misalnya:
  • anustup
  • tristup
  • canustup
  • pragathah
  • jagati, dan sebagainya
Di dalam Rg Veda III. 62. 10, kata bhur bhuvah svah tidak ada pada mantram ini.
Tambahan bhur bhuvah svah itu terdapat pada Yajur Veda Putih 36. 3.
Gayatri mantram adalah mantram yang paling mulia di antara semua mantra. Ia adalah ibu mantram, dinyanyikan oleh semua mantra. la adalah ibu mantram, dinyanyikan oleh semua orang beragama Hindu waktu sembahyang.
Mengapa mantram ini yang paling mulia, ibu dari semua mantram?
Inilah keterangannya:
One reason why the gayatri is considered to be the most representative prayer in the Vedas is that is capable of possesing "dhi", higher intelligence which brings him knowledge, material and transendental. What the eye is to the body "dhi" or intelligence is to the mind. (The Call of Vedas, p. 108-109).
Suatu sebab mengapa gayatri dipandang dan yang mewakili segala di dalam Veda ialah karena ia adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah: "dhi" yaitu kecerdasan yang tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikian “dhi” atau kecerdasan untuk pikiran.
Wijaksara
Wijaksara Om adalah huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu.
Biasanya tiap-tiap mantram mulai dengan huruf ini. Pada gayatri mantram Om adalah lambang dari semua ini, alam semesta yaitu bhur loka, bhuvah loka dan svah loka.
Aum ity etad aksaram idam sarvam, tasyopavyakhayanam, bhutam bhavad bhavisyad iti sarvam aum kara eva. (Mandukya Upanisad 1)
Aum, suku kata ini adalah semua ini. Keterangan tentang ini adalah demikian: semuanya, masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, ini semuanya hanyalah suku kata aum. Dan apapun pula yang lain di luar tiga waktu itu, tiadalah lain hanya suku kata aum saja.
Aum iti brahma, aum itidam sarvam, aum ity etad anukrtir ha sma va apyo sravayetyasravayanti aum iti samani gayanti, aum Somiti sastrani samsanti, aum ity adhvaryuh, pratigaram pratigrhati,, aum iti brahma prasauti, aum ity agnihotram anujanati, aum iti brahmanah pravaksyanmaha, brahmopapnavaniti brahmanaivopapnoti (Taittiriya Upanisad. 1.8.1)
Aum adalah Brahma. Aum adalah semua ini. Aum sesungguhnya ini adalah persetujuan. Dalam mengucapkan "lafalkan" mereka mengucapkan. Dengan Aum, mereka menyanyikan nyanyian saman. Dengan aum, som, mereka mengucapkan doa-doa. Dengan aum pendeta mengucapkan puji-puji pengantar. Dengan aum, sescorang mempersembahkan sajian-sajian pada api.Dengan aum seorang Brabmana mulai mengucapkan, "semoga saya sampai pada Brahman"; demikianlah karena ingin iapun sampai pada Brahman.
Isana tu ma karo'bhud, A madhyam mordhvam eva ca, Ukaro' dhas ca, Om karam iti tad viduh (Jnanasiddhanta 18.5)
Isana adalah suara Ma,A ada di tengah-tengah, Ma di bagian atas, Dan suara U di bawah, Kesatuannya disebut suara Om.

Mantram Kedua
Pada mantram ini pemuja memuja Tuhan seru sekalian alam, yang suci tak ternoda. Beliau hanya tunggal tidak ada yang kedua. Mantram ini adalah salah satu dari suatu rangkaian mantram yang panjang disebut Catur Veda Sirah (Empat Veda Kepala).
Catur Veda Sirah ini adalah salinan Narayana Upanisad, sebuah Upanisad kecil. Di sini dinyatakan bahwa Tuhan adalah segalanya yang luput dan segala noda. Tuhan itu hanya Esa belaka.

Mantram Ketiga
Oleh pemuja Tuhan yang Tunggal disebut dengan banyak nama. Beliau disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu dan Rudra. Masih banyak lagi sebutan-Nya. Di dalam kitab-kitab suci agama Hindu kila dapati sebutan beliau berpuluh-puluh banyaknya. Tuhan dipuja orang dalam berbagai-bagai perwujudan-Nya.
Mantram Keempat
Pemuja mengatakan dirinya serba hina serba kurang serba lemah. Hina kerjanya, hina diri pribadinya, hina lahirnya. Karena itu ia mohon kepada Tuhan untuk dilindungi dan dibersihkan dari segala noda. Tuhanlah pelindung tertinggi dan Tuhanlah melimpahkan kesucian untuk dia yang setia mengamalkan ajaran-Nya. Dalam mantram ini pemuja mengatakan pengakuannya bahwa ia adalah mahluk yang lemah.
>>Mantram Kelima
Pemuja mohon ampun kepada Tuhan, penyelamat semua makhluk. Ia mohon dibebaskan dari semua papa, semua kehinaan dan dosa. Ia mohon untuk dijaga, karena beliaulah penjaga semua makhluk di manapun dan kapanpun juga. Tuhan adalah kuasa tertinggi atas segala yang ada ini.
Mantram Keenam
Apa saja dosa anggota badan, apa saja dosa kata-kata dan apa saja dosa pikiran, pemuja memohon kepada Tuhan untuk diampuni. Manusia tidak dapat bebas dari dosa karena ia diselubungi oleh khilaf dan lalai. Bila seseorang dapat membersihkan diri dengan amal kebajikan maka kabut kekhilafan yang menyelubungi sang Pribadi akan menipis dan akan memancarkan cahaya kesucian dari Sang Pribadi yang mengantar seseorang ke alam kesadaran. Atas dasar ini kelepasan akan lebih mudah diperoleh.

Makna Universal Om Swastyastu

Makna Universal Om Swastiastu


UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu.

Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut. Umat Hindu di India umumnya mengucapkan Namaastu kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat. Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah.

Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti. Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.
  • Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya.
  • Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia.
  • Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati.

Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.

Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap.
  1. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti.
  2. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika. Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing.
  3. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.
Kata astu sebagai penutup ucapan Swastyastu itu berarti semoga. Dengan demikian Om Swastyastu berarti: Ya Tuhan semoga kami selamat. Tentu, tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini.

Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

 

Om Swastiastu - salam sekaligus doa

Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.

Photobucket

adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa.
Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya. Rsi Dharmakertipun mulailah:
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya?
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi.
Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut.
Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan.
Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.
Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos).
Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa:
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar dmeikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti:
Memanglah demikian tingi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya.

Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?Rsi Dharmakerti:
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi”

Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat. Hanya yang lebih tua patut memakai. Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa:
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba.
Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri.

Tentang Gayatri Mantram

m Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

tentang Gayatri Mantra

Stuta maya varada vedamata pracodayantam pavamani dvijanam.
Ayuh pranam prajam pasum kirtim dravinan brahmawarcasam
Mahyam dattwa vrajata brahmalokam.

Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.

Mantra tersebut adalah mantra dari Atharwaveda. Di situ dijelaskan Gayatri mantra. Gayatri mantram juga disebut dengan guru mantra Savita mantra, dan Maha mantra Gayatri mantra terdapat dalam veda dan mantra ini adalah paling suci diantara mantra. Veda, Upanisad, purana dan Bhagawad gita, selalu mengatakan bahwa gayatri mantra paling suci dan penting, mantra ini perlu dan harus diucapkan setiap orang yang ingin mendapatakan kebahagiaan dunia dan moksa, begitu pentingnya gayatri mantra sehingga tuhan menurunkan mantra dalam atharwaveda untuk penjelasan gayatri.

Dalam mantra di atas dijelaskna bahwa mantra yang berakhir dengan kata “Prachodayat” yang berarti Tuhan Selalu memberikan KaruniaNYA dan selalu melindungi. Jadi mantra denagn akhir Prachodayat yang terdapat dalam Gayatri mantra adalah Mantra Pokok, dalam seluruh Weda. Untuk itu ditetapkan bahwa Gaytri Mantram adalah ibu ke empat Weda, dimana seluruh Weda itu berisikan atau lahir untuk memberikan penjelasan tentang Gayatri Mantram. Hal demikian juga terdapat dalam cerita Ramayana. Rsi Walmiki mengambil Gaytri Mantram dari Weda terdapat 24 aksara Gayatri Mantram. Ke 24 aksara tersebut dijelaskan dalam keseluruhan cerita Ramayana.

Dalam mantram tersebut dijelaskan bahwa “Jika seseorang selalu mengucapkan Gaytri Mantarm dengan baik segala keinginan yang baik akan selalu dipenuhi.” Hal tersebut terbukti dengan adanya kata “Warhadah” yang berarti seluruh keinginan baik bisa dipenuhi melalui dengan Gaytri Mantram tersebut. Gayatri mantram juga menjadi penebus dosa-dosa seseorang yang pernah dilakukan dengan sadar maupun tidak. Sehingga untuk menebus semua dosa bisa dengan berjapa Gaytari Mantram.

Demikian juga para Dwija akan menjadi suci dengan ucapan Gayatri Mantram. Dwija juga berarti lahir yang kedua kali, yaitu pertama dari Ibu dan yang kedua kali dari guru. Karena sang guru “Melahirkan” kita dengan memberikan kita pengetahuan untuk mencapai Moksa. Lebih lanjut dijelaskan jika seseorang setiap hari mengucapkan Gayatri Mantram, maka dia akan mendapatkan umur panjang, Prana yang sehat, keturunan yang cerdas dan sehat, tidak akan mendapat gangguan dari mahluk lain, mendapat nama baik (berkenalan dalam masyarakat), diberkati kekayaan, dan selalu akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirnya kan mendapatkan Moksa.

Puja Tri Sandhya bukan karangan

Puja Tri Sandhya bukan karangan

Tri Sandhya, tepatnya bukan "dikarang" tetapi "disusun". Menurut Svami Sathya Narayana, guru kerohanian Weda di India, Trisandhya adalah persembahyangan tiga kali sehari yaitu pagi hari disaat matahari terbit disebut "Brahma Muhurta" bertujuan menguatkan "guna Sattvam" menempuh kehidupan dari pagi hingga siang hari. Siang hari sebelum jam 12 sembahyang bertujuan untuk mengendalikan "guna Rajas" agar tidak menjurus ke hal-hal negatif. Sore hari sebelum matahari tenggelam sembahyang bertujuan untuk mengendalikan "guna Tamas" yaitu sifat-sifat bodoh dan malas. Jadi Puja Trisandhya adalah persembahyangan pada saat pergantian waktu (pagi-siang-malam) yang bertujuan untuk menghilangkan aspek-aspek negatif yang ada pada manusia.

Puja Trisandhya terdiri dari enam bait. Bait pertama atau sebagai Sandya Vandanam (awal) diambil dari Gayatri atau Savitri Mantram (Rg Veda, Sama Veda dan Yayur Veda).

Gayatri Mantram terdiri dari tiga unsur mantram yaitu :

Pranawa (OM), Vyahrti (BHUR BHUVAH SVAH), dan Tripada (TAT SAVITUR VARENYAM, BHARGO DEVASYA DIMAHI, DHYO YONAH PRACODAYAT).

Pranama mantra adalah lambang kesucian dan kemahakuasaan Hyang Widhi. Vyahrti mantra untuk pencerahan lahir-bathin, dimana pengucapan "Bhur" bermakna sebagai Anna Sakti memproses sari-sari makanan bagi kekuatan tubuh. Pengucapan "Bhuvah" bermakna sebagai Prana Sakti yaitu menggunakan kekuatan tubuh bagi kesehatan jasmani dan rohani. Pengucapan "Svah" atau "Svaha" bermakna sebagai Jnana Sakti yaitu memberikan kecerahan pada pikiran dan pengetahuan menjadi cemerlang. Berjapa dengan mengucapkan "Svaha" akan bermanfaat menghilangkan "avidya" (kegelapan) menuju kepada "vidya" yaitu kesadaran pada hakekat kesucian dan kemahakuasaan Hyang Widhi.

Bait kedua diambil dari Narayana Upanisad (Sruti) bertujuan untuk memuja Narayana, manifestasi Hyang Widhi, agar manusia senantiasa dibimbing menuju pada Dharma.

Bait ketiga diambil dari Siva Stava (Smrti) yang melukiskan Tuhan dengan berbagai sebutan : Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, Wisnu, Rudra, Purusa.

Bait keempat, kelima dan keenam diambil dari Veda Parikrama berisi pernyataan bahwa keadaan manusia di bumi disebabkan oleh kepapaan, dan kehinaan dari sudut pandang spiritual. Oleh karena itu maka manusia wajib mohon maaf dan mohon agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan trikaya parisudha.

Ucapan OM - Santi - Santi - Santi - OM
bermakna sebagai berikut :Santi yang pertama, memohon agar manusia terhindar dari sifat/sikap tidak bijaksana (Avidya). Santi yang kedua memohon agar manusia terhindar dari bencana yang berasal dari mahluk ciptaan Hyang Widhi : manusia, binatang, tetumbuhan (Adi Bhautika). Santi yang ketiga memohon agar manusia terhindar dari bencana alam (Adi Dhaivika)

Mantra dan Do’a

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.


Mantra dan do’a sering sekali agak bingung umat kita. Sering ada pertanyaan umat yang seperti ini
  • Apakah pengertian manta dan do’a sama?
  • Bila kita hendak maturan atau sembahyang, apakah harus mengunakan mantra atau do’a?
  • Bagaimana kalau tidak tahu mantra/do’a, apa bisa dengan menggunakan bahasa sehari – hari?
mungkin memalui artikel ini dapat memberikan penjelasan mengenai mantra dan do’a tersebut.

kalau dilihat dari asal katanya, kata mantra dari kata “man” (manana) yang berarti “berpikir/pikiran” dan “tra” (trana) yang artinya bebas dari keterikatan. Menilik asal – usul katanya, maka istilah mantra memiliki makna bahwa dengan mengucapkan mantra berarti seseorang telah memikirkan tenteang Hyang Widhi dengan pengharapan agar dirinya terbebas dari segala keterikatan yang membuat dirinya menderita.

Memantra (mengucapkan mantra) sering juga disebut Maweda/ngweda, karena yang diucapkan sebagai mantra itu umumnya adalah ayat – ayat suci yang tersurat di dalam kitab weda. Mantra juga dapat dikatakan sebagai do’a. sebab mantra itu sendiri adalah do’a – do’a yang dilafalkan dengan mengambil sumber dari weda. Hanya saja seperti sudah menjadi pemahaman umum, memantralebih mengacu pada bahasa hati. Tetapi tentu akan lebih baik jika dapat sembahyang/maturan dengan mantra /do’a sesuai dengan jenis yadnya yang dihaturkan. Kalau memang tidak mengetahui/hafal dengan mantra tersebut, mengunakan bahasa sehari – hari juga tidak dilarang. Bukankah Hyang Widhi maha mengetahui. Dan apabila ada rasa janggal atau kaku dalam mengunakan mantra/doa, tanpa berucap sepatah kata pun asal tetap dengan niat bakti, sembahyang/maturan dapat dilakukan.
Malah sebagaimana disuratkan di dalam kitab manawadharmasastra II.85 menyebutkan justru mantra/do’a dalam hati atau batin itu lebih tinggi nilainya. Selengkapnya dinyatakan sebagai berikut:
pengucapan do’a mantra dengan suara terdengar, 10 kali kebaikannya. Do’a/mantra yang diucapkan tanpa terdengar oleh orang lain 100 kali kebaikannya. Dan pengucapan do’a mantra dalam hati/batin tanpa mengeluarkan kata-kata dari bibir, 1000 kali kebaikannya”.

Sebagaimana diketahui ada empat cara pengucapan mantra yaitu;
  1. Waikhari japa, mengucapkan mantra sampai terdengar 
  2. Upamsu japa, mengucapkan mantra dengan cara berbisik 
  3. Likhita japa, dengan menuliskan berulang – ulang diatas kertas 
  4. Manasika japa, mengucapkan mantra didalam hati.

Dari empat cara itu, mengucapkan mantra di dalam hati yang dipandang memiliki nilai paling tinggi. Namun tentu ini bukan berarti umat tidak perlu mengenal atau menghafal bahasa mantra/do’a. dan yang pasti, dengan cara apapun mantra/do’a dilantumkan, kesemuanya terpulang pada kesungguhan, ketulus-ikhlasan, dan kesucian diri lahir batin yang dijiwaioleh sikap iman dan takwa kepada Hyang Widhi.

Wariga dan Dewasa, merupakan Ilmu astronomi ala Bali

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.

Wariga dan Dewasa, merupakan Ilmu astronomi ala Bali

Friday, April 30, 2010 at 11:58 PM
Wariga dan dewasa adalah dua istilah yang paling umum diperhatikan oleh umat hindu khususnya di bali bila ingin mencapai kesempurnaan dan keberhasilan. Kedua ilmu itu merupakan salah satu cabang ilmu agama yang dihubungkan dengan ilmu astronomi atau “Jyotisa Sastra” sebagai salah satu wedangga. Walaupun kedua ilmu tersebut sebagai salah satu cabang ilmu weda, namun pendalamannya tidak banyak diketahui kecuali untuk tujuan praktis pegangan oleh para pendeta dalam memberikan petunjuk baik buruknya hari dalam hubungannya untuk melakukan usaha agar supaya berhasil dengan mengingat hari atau waktu dalam sistim sradha hindu yang dipengaruhi oleh unsur kekuatan tertentu dan planet-planet itu.

Dalam lontar yang disebut “Keputusan Sunari” mengatakan bahwa kata wariga berasal dari dua kata, yaitu “wara” yang berarti puncak/istimewa dan “ga” yang berarti terang. Sebagai penjelasan dikemukakan “….iki uttamaning pati lawan urip, manemu marga wakasing apadadang, ike tegesing wariga”. dari penjelasan ini jelas bahwa yang dimaksud dengan wariga adalah jalan untuk mendapatkan ke’terang’an dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari.

Disamping masalah itu, penentuan hari baik berdasarkan perhitungan menurut wariga disebut padewasan (dewasa). Jadi dewasa tidak lepas dari ilmu wariga dimana di dalam wariga, urip hari telah terperinci secara baku. Ini harus dipegang sebagai keyakinan kepercayaan. Dasarnya adalah percaya adan inilah agama.

Kata “dewasa” terdiri dari kata; “de” yang berarti dewa guru, “wa” yang berarti apadang/lapang dan “sa” yang berarti ayu/baik. Dengan demikian jelas bahwa dewasa adalah satu pegangan yang berhubungan dengan pemilihan hari yang tepat agar semua jalan atau perbuatan itu lapang jalannya, baik akibatnya dan tiada aral rintangan.

Masalah wariga dan dewasa mencakup pengertian pemilihan hari dan saat yang baik, ada perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang menyangkut masalah “wewaran, wuku, tanggal, sasih dan dauh” dimana kedudukan masing-masing waktu itu secara relative mempunyai pengaruh .
didalilkan sebagai berikut:
  •  Wewaran dikalahkan oleh wuku 
  • Wuku dikalahkan oleh tanggal panglong 
  • Tanggal panglong dikalahkan oleh sasih 
  • Sasih dikalahkan oleh dauh 
  • Dauh dikalahkan oleh de Ning (keheningan hati).

Untuk dapat memahami hubungan kesemuanya itu perlu mempelajari arti wewaran dan hubungannya dengan alam ghaib.

Wuku
Disamping perhitungan hari berdawarkan wara sistim kalender yang dipergunakan dalam wariga dikenal pula perhitungan atas dasar wuku (buku) dimana satu wuku memilihi umur tujuh hari, dimulai hari minggu (raditya/redite).
1 tahun kalender pawukon = 30 wuku, sehingga 1 tahun wuku = 30 x 7 hari = 210 hari.
Adapun nama-nama wukunya sebagai berikut;
Sita, landep, ukir, kilantir, taulu, gumbreg, wariga, warigadean, julungwangi, sungsang, dunggulan, kuningan, langkir, medangsia, pujut, Pahang, krulut, merakih, tambir, medangkungan, matal, uye, menial, prangbakat, bala, ugu, wayang, klawu, dukut dan watugunung.

Wewaran
Wewaran berasal dari kata “wara” yang dapat diartikan sebagai hari, seperti hari senin, selasa dll. Masa perputaran satu siklus tidak sama cara menghimpunnya. Siklus ini dikenal misalnya dalam sistim kalender hindu dengan istilah bilangan, sebagai berikut;
  1. Eka wara; luang (tunggal) 
  2. Dwi wara; menga (terbuka), pepet (tertutup). 
  3. Tri wara; pasah, beteng, kajeng. 
  4. Catur wara; sri (makmur), laba (pemberian), jaya (unggul), menala (sekitar daerah). 
  5. Panca wara; umanis (penggerak), paing (pencipta), pon (penguasa), wage (pemelihara), kliwon (pelebur). 
  6. Sad wara; tungleh (tak kekal), aryang (kurus), urukung (punah), paniron (gemuk), was (kuat), maulu (membiak). 
  7. Sapta wara; redite (minggu), soma (senin), Anggara (selasa), budha (rabu), wrihaspati (kamis), sukra (jumat), saniscara (sabtu). Jejepan; mina (ikan), Taru (kayu), sato (binatang), patra ( tumbuhan menjalar), wong (manusia), paksi (burung). 
  8. Asta wara; sri (makmur), indra (indah), guru (tuntunan), yama (adil), ludra (pelebur), brahma (pencipta), kala (nilai), uma (pemelihara). 
  9. Sanga wara; dangu (antara terang dan gelap), jangur (antara jadi dan batal), gigis (sederhana), nohan (gembira), ogan (bingung), erangan (dendam), urungan (batal), tulus (langsung/lancar), dadi (jadi). 
  10. Dasa wara; pandita (bijaksana), pati (dinamis), suka (periang), duka (jiwa seni/mudah tersinggung), sri (kewanitaan), manuh (taat/menurut), manusa (sosial), eraja (kepemimpinan), dewa (berbudi luhur), raksasa (keras)

Disamping pembagian siklus yang merupakan pembagian masa dengan nama-namanya, lebih jauh tiap wewaran dianggap memiliki nilai yang dipergunakan untuk menentuk ukuran baik buruknya suatu hari. Nilai itu disebut “urip” atau neptu yang bersifat tetap. Karena itu nilainya harus dihafalkan.

Tanggal dan Panglong
Selain perhitungan wuku dan wewaran ada juga disebut dengan Penanggal dan panglong. Masing masing siklusnya adalah 15 hari. Perhitungan penanggal dimulai 1 hari setelah (H+1) hari Tilem (bulan Mati) dan panglong dimulai 1 hari setelah (H+1) hari purnama (bulan penuh).

Sasih
Sasih secara harafiahnya sama diartikan dengan bulan. Sama sepertinya kalender internasional, sasih juga ada sebanyak 12 sasih selama setahun, perhitungannya menggunakan “perhitungan Rasi” sesuai dengan tahun surya (12 rasi = 365/366 hari) dimulai dari 21 maret. adapun pembagian sasih tersebut adalah;
  • Kedasa = Mesa = Maret – April.
  • Jiyestha = Wresaba = April – Mei.
  • Sadha = Mintuna = Mei – Juni.
  • Kasa = Rekata = Juni– Juli.
  • Karo = Singa = Juli –Agustus.
  • Ketiga = Kania = Agustus – September.
  • Kapat = Tula = September – Oktober.
  • Kelima = Mercika = Oktober – November.
  • Kenem = Danuh = November – Desember.
  • Kepitu = Mekara = Desember – Januari.
  • Kewulu = Kumba = Januari – Februari.
  • Kesanga = MIna = Februari – Maret.

Dauh/dedauhan
Merupakan pembagian waktu dalam satu hari. Sehingga dedauh ini berlaku 1 hari atau satu hari dan satu malam. Berdasarkan dedauhan maka pergantian hari secara hindu adalah mulai terbitnya matahari (5.30 WIB). Inti dauh ayu adalah saringan dari pertemuan panca dawuh dengan asthadawuh, antara lain;
  • Redite = Siang; 7.00 – 7.54 dan 10.18 – 12.42, malam; 22.18 – 24.42 dan 3.06 - 4.00 
  • Coma = Siang; 7.54 – 10.18, malam; 24.42 – 3.06 
  • Anggara = Siang; 10.00 – 11.30 dan 13.00 – 15.06, malam; 19.54 – 22.00 dan 23.30 - 1.00 
  • Buda = Siang; 7.54 – 8.30 dan 11.30 – 12.42, malam; 22.18 – 23.30 dan 2.30 – 3.06 
  • Wraspati = Siang; 5.30 – 7.54 dan 12.42 – 14.30, malam; 20.30 – 22.18 dan 3.06 – 5.30 
  • Sukra = Siang; 8.30 – 10.18 dan 16.00 – 17.30, malam; 17.30 – 19.00 dan 24.42 – 2.30 
  • Saniscara = Siang; 11.30 – 12.42, malam; 22.18 – 23.30