"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

7/04/2011

AKSARA BALI


Aksara Bali
Aksara Bali.png















Aksara Bali adalah aksara tradisional masyarakat Bali dan berkembang di Bali. Aksara Bali merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.
Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal (aksara suara). Huruf konsonan (aksara wianjana) berjumlah 33 karakter. Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.
Meski ada aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan aksara wianjana Bali. Misalnya, aksara dirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca seperti aksara hresua (pengucapan pendek).

Daftar isi


Warga aksara

Osthya Dantya Murdhanya Talawya Kanthya
Labiaal.JPG
Dental.png
Retroflex.png
Palataal.JPG
Velaar.JPG
Dalam aksara Bali, terdapat suatu sistem pengelompokkan huruf menurut dasar pengucapannya yang disebut warga aksara. Dalam bahasa Bali, warga berarti "jenis"/"kelompok" dan aksara berarti "huruf"/"lambang penulisan", bukan sistem tulisan. Dalam aturan menulis aksara Bali, ada 5 warga aksara yang utama, yaitu:[1]
  • Kanthya. Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara. Yang termasuk warga kanthya adalah konsonan langit-langit belakang/guttural dan celah suara (glotal). Huruf konsonan yang termasuk warga kanthya terdiri dari: Ka (k), Ga (g), Ga gora (gh), Nga (ng). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga kanthya adalah A.
  • Talawya. Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit mulut. Yang termasuk warga talawya adalah konsonan langit-langit/palatal. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Ca (c), Ca laca (ch), Ja (j), Ja jera (jh), Nya (ny), Sa saga (sy). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah I.
  • Osthya. Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir atas dan bawah. Yang termasuk warga oshtya adalah konsonan dwibibir/labial. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Pa (p), Pa kapal (ph), Ba (b), Ba kembang (bh), Ma (m), Wa (w). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah U.

Aksara suara (vokal)

Aksara suara disebut pula huruf vokal/huruf hidup dalam aksara Bali. Fungsi aksara suara sama seperti fungsi huruf vokal dalam huruf Latin. Jika suatu aksara wianjana (konsonan) diberi salah satu pangangge (tanda diakritik) aksara suara, maka cara baca aksara wianjana tersebut juga berubah, sesuai dengan fungsi pangangge yang melekati aksara wianjana tersebut. Berikut ini adalah aksara suara dalam aksara Bali:
Warga aksara Aksara suara hresua
(huruf vokal pendek)
Nama Aksara suara dirgha
(huruf vokal panjang)
Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional
Kantya
(tenggorokan)
Bali A-Kara.png
A [a] A kara
Bali A-Kara Dirgha.png
Ā [ɑː]
Talawya
(langit-langit lembut)
Bali I-Kara.png
I [i] I kara
Bali I-Kara Dirgha.png
Ī [iː]
Murdhanya
(langit-langit keras)
Bali Rarepa.png
[ɹ̩] Ra repa
Bali Rarepa matedung.png
[ɹ̩ː]
Dantya
(gigi)
Bali 2, Lalenga.png
[l̩] La lenga
Bali Lalenga dirgha.png
[l̩ː]
Osthya
(bibir)
Bali U-Kara.png
U [u] U kara
Bali U-Kara Dirgha.png
Ū [uː]
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut)
Bali 6, E.png
E [e]; [ɛ] E kara (E)
Airsanya (Ai)
Bali Jha, Ai.png
E; Ai [e]; [aːi]
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir)
Bali 3, O.png
O [o]; [ɔ] O kara
Bali O-Kara Dirgha.png
O; Au [o]; [aːu]

Aksara wianjana (konsonan)

Aksara wianjana disebut pula konsonan atau huruf mati dalam aksara Bali. Meskipun penulisannya tanpa huruf vokal, setiap aksara dibaca seolah-olah dibubuhi huruf vokal /a/ atau /ə/[3] karena merupakan suatu abugida. Selama aksara wianjana tidak dibubuhi pangangge aksara suara (tanda huruf vokal: i, u, é, o, ě, ai, au), maka aksara tersebut dianggap dibubuhi vokal /a/ atau /ə/.[3] Jika menulis dengan huruf latin, kata "na" merupakan gabungan dari huruf konsonan /n/ dan vokal /a/. Dalam aksara Bali, kata "na" disimbolkan dengan satu huruf saja, bukan gabungan dari huruf konsonan "n" dan huruf vokal "a".
Dalam bahasa Bali, huruf Ha tidak dibaca saat digunakan pada permulaan kata. Biasanya, meskipun dalam penulisan kata menggunakan huruf Ha, bunyi konsonan /h/, yang diucapkan hanya vokalnya saja. Contohnya, dalam penulisan kata "hujan", dipakai huruf Ha di depan kata. Namun pada saat membaca kata "hujan", orang Bali lebih memilih tidak mengucapkan /hu/, melainkan hanya mengucapkan /u/. Jadi yang diucapkan adalah /ud͡ʒan/.[4]
Aksara ardhasuara adalah semivokal. Kata ardhasuara (dari bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti "setengah suara" atau semivokal. Dengan kata lain, aksara ardhasuara tidak sepenuhnya huruf konsonan, tidak pula huruf vokal. Yang termasuk kelompok aksara ardhasuara adalah Ya, Ra, La, Wa. Gantungan-nya termasuk pangangge aksara (kecuali gantungan La), yaitu nania (gantungan Ya); suku kembung (gantungan Wa); dan guwung atau cakra (gantungan Ra). Kata-kata yang diucapkan cepat, seolah-olah vokalnya dipangkas, menggunakan gantungan aksara ardhasuara. Contoh kata: "pria" (bukan "peria"); "satwa" (bukan "satuwa"); "satya" (bukan "satiya"); "proklamasi" (bukan "perokelamasi").

Warga aksara Pancawalimukha Ardhasuara
(semivokal)
Usma(desis) Wisarga
(desah)
Tajam
(bersuara)
Lembut
(nirsuara)
Nasal/
sengau
Alpaprana Mahaprana Alpaprana Mahaprana
Kanthya
(tenggorokan)
Bali Ka.png
(Ka)
Ka
Bali Kha.png
(Kha)
Ka mahaprana
Bali Ga.png
(Ga)
Ga
Bali Gha.png
(Gha)
Ga gora
Bali Nga.png
(Nga)
Nga

Bali Ha.png
(Ha)
Ha
Talawya
(langit-langit lembut)
Bali Ca.png
(Ca)
Ca
Bali Calaca.png
(Cha)
Ca laca
Bali Ja.png
(Ja)
Ja
Bali Jha, Ai.png
(Jha)
Ja jera
Bali Nya.png
(Nya)
Nya
Bali Ya.png
(Ya)
Ya
Bali Sha.png
(Śa)
Sa saga

Murdhanya
(langit-langit keras)
Bali Tta.png
(Ṭa)
Ta latik
Bali Ttaa.png
(Ṭha)
Ta latik[5]
Bali Dda.png
(Ḍa)
Da madu m.[6]
Bali Ddaa.png
(Ḍha)
Da madu m.[7]
Bali Nna.png
(Ṇa)
Na rambat
Bali Ra.png
(Ra)
Ra
Bali Ssa.png
(Ṣa)
Sa sapa
Dantya
(gigi)
Bali Ta.png
(Ta)
Ta
Bali Tha.png
(Tha)
Ta tawa
Bali Da.png
(Da)
Da
Bali Dha.png
(Dha)
Da madu
Bali Na.png
(Na)
Na
Bali La.png
(La)
La
Bali Sa.png
(Sa)
Sa danti
Osthya
(bibir)
Bali Ba.png
(Ba)
Ba
Bali Bha.png
(Bha)
Ba kembang
Bali Pa.png
(Pa)
Pa
Bali 8, Pha.png
(Pha)
Pa kapal
Bali Ma.png
(Ma)
Ma
Bali Wa.png
(Wa)
Wa

Pangangge

Pangangge (lafal: /pəŋaŋge/) atau dalam bahasa Jawa disebut sandhangan, adalah lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu aksara wianjana maupun aksara suara dan memengaruhi cara membaca dan menulis aksara Bali. Ada berbagai jenis pangangge, antara lain pangangge suara, pangangge tengenan (lafal: /t̪əŋənan/), dan pangangge aksara.

Pangangge suara

Bila suatu aksara wianjana (konsonan) dibubuhi pangangge aksara suara (vokal), maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf Na dibubuhi ulu dibaca Ni; Ka dibubuhi suku dibaca Ku; Ca dibubuhi taling dibaca Cé. Untuk huruf Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak. Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.
Warga aksara Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional Letak penulisan Nama
Kanthya
(tenggorokan)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali Pepet.png
e; ě [ə] di atas huruf pepet
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali Tedong.png
ā [aː] di belakang huruf tedung
Talawya
(langit-langit lembut)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali Ulu.png
i [i] di atas huruf ulu
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali Ulu-Sari.png
ī [iː] di atas huruf ulu sari
Murdhanya
(langit-langit keras)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali G. Rarepa.png
re; ṛ [rə] di bawah huruf guwung macelek
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali Guwung Macelek matedung.png
[rəː] kombinasi di belakang dan bawah huruf guwung macelek matedung
Dantya
(gigi)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali G. La mapepet.png
le; ḷ [lə] kombinasi di atas dan bawah huruf gantungan La mapepet
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali G. La mapepet matedung.png
[ləː] kombinasi di atas, bawah, dan belakang huruf gantungan La mapepet lan matedung
Osthya
(bibir)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali Suku.png
u [u] di bawah huruf suku
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali Suku-Ilut.png
ū [uː] di bawah huruf suku ilut
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali Taleng.png
e; é [e]; [ɛ] di depan huruf taling
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali Taleng-Detya.png
e; ai [e]; [aːi] di depan huruf taling detya
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir)
Suara hresua
(vokal pendek)
Bali Taleng-Tedong.png
o [o]; [ɔ] mengapit huruf taling tedung
Suara dirgha
(vokal panjang)
Bali Taleng-Detya-Tedong.png
o; au [o]; [aːu] mengapit huruf taling detya matedung

Pangangge tengenan

Pangangge tengenan (kecuali adeg-adeg) merupakan aksara wianjana yang bunyi vokal /a/-nya tidak ada. Pangangge tengenan terdiri dari: bisah, cecek, surang, dan adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara Dewanagari, tanda bisah berfungsi sama seperti tanda wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.
Simbol Alfabet Fonetis
Internasional
Letak penulisan Nama
Bali Bisah.png
[h] di belakang huruf bisah
Bali Surang.png
[r] di atas huruf surang
Bali Cecek.png
[ŋ] di atas huruf cecek
Bali Adeg-Adeg.png
- di belakang huruf adeg-adeg

Pangangge aksara

Pangangge aksara letaknya di bawah aksara wianjana. Pangangge aksara (kecuali La) merupakan gantungan aksara ardhasuara. Pangangge aksara terdiri dari:
Simbol Alfabet Fonetis
Internasional
Nama
Bali G. Ra, Cakra.png
[r] guwung/cakra
Bali G. Wa, Suku-Kembung.png
[w] suku kembung
Bali G. Ya, Nania.png
[j] nania

Gantungan

Karena adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar aksara wianjana bisa "mati" (tanpa vokal) di tengah kalimat dipakailah gantungan. Gantungan membuat aksara wianjana yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan dengan huruf "a", misalnya aksara Na dibaca /n/; huruf Ka dibaca /k/, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada vokal /a/ pada aksara wianjana seperti semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki gantungan tersendiri. Untuk "mematikan" suatu aksara dengan menggunakan gantungan, aksara yang hendak dimatikan harus dilekatkan dengan gantungan. Misalnya jika menulis kata "Nda", huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf Na dilekatkan dengan gantungan Da. Karena huruf Na dilekati oleh gantungan Da, maka Na diucapkan /n/.
Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama, namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu huruf yang sama disebut tumpuk telu (tiga tumpukan). Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[8]

Pasang pageh

Dalam lontar, kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak ditemukan berbagai aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa. Penulisan aksara seperti itu disebut pasang pageh, karena cara penulisannya memang demikian, tidak dapat diubah lagi.[9] Aksara-aksara tersebut juga memiliki nama, misalnya Na rambat, Ta latik, Ga gora, Ba kembang, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap aksara harus diucapkan dengan intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara tersebut. Namun kini ucapan-ucapan untuk setiap aksara tidak seperti dulu.[10] Aksara mahaprana (hembusan besar) diucapkan sama seperti aksara alpaprana (hembusan kecil). Aksara dirgha (suara panjang) diucapkan sama seperti aksara hrasua (suara pendek). Aksara usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak dihiraukan lagi dalam membaca, namun dalam penulisan, pasang pageh harus tetap diperhatikan.
Pasang pageh berguna untuk membedakan suatu homonim. Misalnya:
Aksara Bali Aksara Latin
(IAST)
Arti
Asta Bali.png
asta adalah
Astha Bali.png
astha tulang
Ashtha Bali.png
aṣṭa delapan
Pada Bali.png
pada tanah, bumi
Paada Bali.png
pāda kaki
Padha Bali.png
padha sama-sama

Aksara maduita

Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya orang Bali menyerap kata-kata dari bahasa Sanskerta dan Kawi untuk menambah kosakata. Contoh penggunaan aksara maduita:
Aksara Bali Aksara Latin
(IAST)
Arti
Buddha Bali.png
Buddha Yang telah sadar
Yuddha Bali.png
Yuddha perang
Bhinna Bali.png
Bhinna beda
Dengan melihat contoh di atas, ternyata ada huruf konsonan yang ditulis dua kali. Hal tersebut merupakan ciri-ciri aksara maduita.

[sunting] Angka

Aksara Bali Aksara Latin Nama (dalam bhs. Bali)
Aksara Bali Aksara Latin Nama (dalam bhs. Bali)
Bali 0.png
0 Bindu/Windu
Bali 5.png
5 Lima
Bali 1.png
1 Siki/Besik
Bali 6, E.png
6 Nem
Bali 2, Lalenga.png
2 Kalih/Dua
Bali 7.png
7 Pitu
Bali 3, O.png
3 Tiga/Telu
Bali 8, Pha.png
8 Kutus
Bali 4.png
4 Papat
Bali 9.png
9 Sanga/Sia
Menulis angka dengan menggunakan angka Bali sangat sederhana, sama seperti sistem dalam aksara Jawa dan Arab. Bila hendak menulis angka 10, cukup dengan menulis angka 1 dan 0 menurut angka Bali. Demikian pula jika menulis angka 25, cukup menulis angka 2 dan 5. Bila angka ditulis di tengah kalimat, untuk membedakan angka dengan huruf maka diwajibkan untuk menggunakan tanda carik, di awal dan di akhir angka yang ditulis.
Di bawah ini contoh penulisan tanggal dengan menggunakan angka Bali (tanggal: 1 Juli 1982; lokasi: Bali):

Aksara Bali Transliterasi dengan Huruf Latin
Bali, 1 Juli 1982.
Bali, 1 Juli 1982.

Pada contoh penulisan di atas, angka diapit oleh tanda carik untuk membedakannya dengan huruf.

Tanda baca dan aksara khusus

Ada beberapa aksara khusus dalam aksara Bali. Beberapa di antaranya merupakan tanda baca, dan yang lainnya merupakan simbol istimewa karena dianggap keramat. Beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut:
Simbol Nama Keterangan
Bali Carik1.png
Carik atau Carik Siki. Ditulis pada akhir kata di tengah kalimat. Fungsinya sama dengan koma dalam huruf Latin. Dipakai juga untuk mengapit aksara anceng.
Bali Carik2.png
Carik Kalih atau Carik Pareren. Ditulis pada akhir kalimat. Fungsinya sama dengan titik dalam huruf Latin.
Bali Pamungkah.png
Carik pamungkah. Dipakai pada akhir kata. Fungsinya sama dengan tanda titik dua pada huruf Latin.
Center Pasalinan. Dipakai pada akhir penulisan karangan, surat dan sebagainya. Pada geguritan bermakna sebagai tanda pergantian tembang.
Bali Panti.png
Panten atau Panti. Dipakai pada permulaan suatu karangan, surat dan sebagainya.
Bali Pamada.png
Pamada. Dipakai pada awal penulisan. Tujuannya sama dengan pengucapan awighnamastu, yaitu berharap supaya apa yang dikerjakan dapat berhasil tanpa rintangan.
Bali Omkara.png
Ongkara. Simbol suci umat Hindu. Simbol ini dibaca "Ong" atau "Om".

Font Aksara Bali

Font Aksara Bali untuk komputer pertama kali dibuat adalah Bali Simbar. Font ini dibuat oleh I Made Suatjana dengan memanfaatkan alokasi dari kodifikasi ASCII untuk dikamuflasekan ke dalam bentuk karakter Aksara Bali. [11]. Namun, font ini memiliki kelemahan yaitu hanya terbatas dalam keperluan pengetikan menggunakan templat untuk Microsoft Word.
Sejak tahun 2006, Aksara Bali telah masuk ke dalam standar Unicode dan memiliki kodifikasi U+1B00–U+1B7F. Dengan adanya standar Unicode ini, karakter-karakter Aksara Bali bisa digunakan untuk berbagai keperluan yang lebih luas seperti penulisan halaman internet, surat elektronik, blog, dsb. Namun karena implementasi yang sangat rumit, penggunaan Unicode dari Aksara Bali masih terbatas dalam sistem operasi Linux dan keluarganya saja. Sistem operasi BlankOn Linux merupakan distribusi Linux pertama yang menyediakan font dan sistem input untuk Aksara Bali semenjak versi 6.0 (Ombilin). [12]

Catatan kaki

  1. ^ Surada, hal. 6-7.
  2. ^ Susungguhnya Sa termasuk konsonan alveolar, namun secara tradisional dimasukkan ke dalam konsonan dental.
  3. ^ a b Dibaca /ə/ bila tertulis di akhir kata/pada suku kata terakhir.
  4. ^ Tinggen, hal. 16.
  5. ^ Disamakan saja atau diberi tedung.
  6. ^ disebut Da madu murdania.
  7. ^ Jarang ditemukan dalam aksara Bali. Disamakan saja dengan Da madu murdania, hanya diberi tedung.
  8. ^ Tinggen, hal. 27.
  9. ^ Simpen, hal. 44.
  10. ^ Tinggen, hal. 7
  11. ^ Situs resmi font Bali Simbar, diakses tanggal 5 Maret 2011
  12. ^ Catatan rilis BlankOn 6.0, diakses tanggal 5 Maret 2011

Referensi

  • Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
  • Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
  • Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Pranala luar

7/02/2011

Asal Mula Terjadinya Burung Ruai

Konon pada zaman dahulu di daerah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat tepatnya di pedalaman benua Bantahan sebelah Timur Kota Sekura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat yang dihuni oleh Suku Dayak, telah terjadi peristiwa yang sangat menakjubkan untuk diketahui.

Menurut informasi orang bahwa di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan yang kecil, letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Tidak jauh dari kedua gunung dimaksud terdapatlah sebuah gua yang bernama ”Gua Batu”, di dalamnya terdapat banyak aliran sungai kecil yang di dalamnya terdapat banyak ikan dan gua tersebut dihuni oleh seorang kakek tua renta yang boleh dikatakan ”sakti”.
Cerita dimulai dengan seorang raja yang memerintah pada kerajaan di atas dan mempunyai tujuh orang putri, raja itu tidak mempunyai istri lagi sejak meninggalnya permaisuri atau ibu dari ketujuh orang putrinya. Di antara ketujuh orang putri tersebut ada satu orang putri raja yang bungsu atau si bungsu. Si bungsu mempunyai budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong dan taat pada orang tua, oleh karena itu tidak heran sang ayah sangat menyayanginya. Lain pula halnya dengan keenam kakak – kakaknya, perilakunya sangat berbeda jauh dengan si bungsu, keenam kakaknya mempunyai hati yang jahat, iri hati, dengki, suka membantah orang tua, dan malas bekerja. Setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain – main saja.
Dengan kedua latar belakang inilah, maka sang ayah ( raja ) menjadi pilih kasih terhadap putri – putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak si bungsu dimarah oleh ayahnya, sedangkan si bungsu sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan inilah maka keenam kakak si bungsu menjadi dendam, bahkan benci terhadap adik kandungnya sendiri, maka bila ayahnya tidak ada di tempat, sasaran sang kakak adalah melampiaskan dendam kepada si bungsu dengan memukul habis – habisan tanpa ada rasa kasihan sehingga tubuh si bungsu menjadi kebiru – biruan dan karena takut dipukuli lagi si bungsu menjadi takut dengan kakaknya.
Untuk itu segala hal yang diperintahkan kakaknya mau tidak mau sibungsu harus menurut seperti : mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan yang paling mengerikan lagi, sibungsu biasa disuruh untuk mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk teman/menemani kakaknya yang enam orang tadi. Semua pekerjaan hanya dikerjakan si bungsu sendirian sementara ke enam orang kakaknya hanya bersenda gurau saja.
Sekali waktu pernah akibat perlakuan keenam kakaknya itu terhadap sibungsu diketahui oleh sang raja ( ayah ) dengan melihat badan ( tubuh ) si bungsu yang biru karena habis dipukul tetapi takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah, dan bila sang ayah menanyakan peristiwa yang menimpa si bungsu kepada keenam kakaknya maka keenam orang kakaknya tersebut membuat alasan – alasan yang menjadikan sang ayah percaya seratus persen bahwa tidak terjadi apa – apa. Salah satu yang dibuat alasan sang kakak adalah sebab badan sibungsu biru karena sibungsu mencuri pepaya tetangga, kemudian ketahuan dan dipukul oleh tetangga tersebut. Karena terlalu percayanya sang ayah terhadap cerita dari sang kakak maka sang ayah tidak memperpanjang permasalahan dimaksud.
Begitulah kehidupan si bungsu yang dialami bersama keenam kakaknya, meskipun demikian sibungsu masih bersikap tidak menghadapi perlakuan keenam kakaknya, kadang – kadang si bungsu menangis tersedu – sedu menyesali dirinya mengapa ibunya begitu cepat meninggalkannya. sehingga ia tidak dapat memperoleh perlindungan. Untuk perlindungan dari sang ayah boleh dikatakan masih sangat kurang. Karena ayahnya sibuk dengan urusan kerajaan dan urusan pemerintahan.
Setelah mengalami hari – hari yang penuh kesengsaraan, maka pada suatu hari berkumpullah seluruh penghuni istana untuk mendengarkan berita bahwa sang raja akan berangkat ke kerajaan lain untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan diantara mereka selama satu bulan. Ketujuh anak ( putrinya ) tidak ketinggalan untuk mendengarkan berita tentang kepergian ayahnya tersebut. Pada pertemuan itu pulalah diumumkan bahwa kekuasaan sang raja selama satu bulan itu dilimpahkan kepada si bungsu, yang penting bila sang raja tidak ada di tempat, maka masalah – masalah yang berhubungan dengan kerajaan ( pemerintahan ) harus mohon ( minta ) petunjuk terlebih dahulu dari si bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakaknya terkejut dan timbul niat masing – masing di dalam hati kakaknya untuk melampiaskan rasa dengkinya, bila sang ayah sudah berangkat nanti. Serta timbul dalam hati masing – masing kakaknya mengapa kepercayaan ayahnya dilimpahkan kepada si bungsu bukan kepada mereka.
Para prajurit berdamping dalam keberangkatan sang raja sangat sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka pada keesokan harinya berangkatlah pasukan sang raja dengan bendera dan kuda yang disaksikan oleh seluruh rakyat kerajaan dan dilepas oleh ketujuh orang putrinya.
Keberangkatan sang ayah sudah berlangsung satu minggu yang lewat. Maka tibalah saatnya yaitu saat-saat yang dinantikan oleh keenam kakaknya si bungsu untuk melampiaskan nafsu jahatnya yaitu ingin memusnahkan si bungsu supaya jangan tinggal bersama lagi dan bila perlu si bungsu harus dibunuh. Tanda-tanda ini diketahui oleh si bungsu lewat mimpinya yang ingin dibunuh oleh kakanya pada waktu tidur di malam hari.
Setelah mengadakan perundingan di antara keenam kakaknya dan rencanapun sudah matang, maka pada suatu siang keenam kakak di bungsu tersebut memanggil si bungsu, apakah yang dilakukannya ?. Ternyata keenam kakanya mengajak si bungsu untuk mencari ikan ( menangguk ) yang di dalam bahasa Melayu Sambas mencari ikan dengan alat yang dinamakan tangguk yang dibuat dari rotan dan bentuknya seperti bujur telur ( oval ). Karena sangat gembira bahwa kakaknya mau berteman lagi dengannya, lalu si bungsu menerima ajakan tersebut. Padahal dalam ajakan tersebut terselip sebuah balas dendam kakaknya terhadap si bungsu, tetapi si bungsu tidak menduga hal itu sama sekali.
Tanpa berpikir panjang lagi maka berangkatlah ketujuh orang putri raja tersebut pada siang itu, dengan masing – masing membawa tangguk dan sampailah mereka bertujuh di tempat yang akan mereka tuju ( lokasi menangguk ), yaitu gua batu, si bungsu disuruh masuk terlebih dahulu ke dalam gua, baru diikuti oleh keenam kakaknya. Setelah mereka masuk, si bungsu disuruh berpisah dalam menangguk ikan supaya mendapat lebih banyak dan ia tidak tahu bahwa ia tertinggal jauh dengan kakak-kakanya.
Si bungsu sudah berada lebih jauh ke dalam gua, sedangkan keenam kakaknya masih saja berada di muka gua dan mendoakan supaya si bungsu tidak dapat menemukan jejak untuk pulang nantinya. Keenam kakaknya tertawa terbahak – bahak sebab si bungsu telah hilang dari penglihatan. Suasana gua yang gelap gulita membuat si bungsu menjadi betul – betul kehabisan akal untuk mencari jalan keluar dari gua itu. Tidak lama kemudian keenam kakaknya pulang dari gua batu menuju rumahnya tanpa membawa si bungsu dan pada akhirnya si bungsupun tersesat.
Merasa bahwa si bungsu telah dipermainkan oleh kakaknya tadi, maka tinggallah ia seorang diri di dalam gua batu tersebut dan duduk bersimpuh di atas batu pada aliran sungai dalam gua untuk meratapi nasibnya yang telah diperdayakan oleh keenam kakaknya, si bungsu hanya dapat menangis siang dan malam sebab tidak ada satupun makhluk yang dapat menolong dalam gua itu kecuali keadaan yang gelap gulita serta ikan yang berenang kesana kemari.
Bagaimana nasib si bungsu ? tanpa terasa si bungsu berada dalam gua itu sudah tujuh hari tujuh malam lamanya, namun ia masih belum bisa untuk pulang, tepatnya pada hari ketujuh si bungsu berada di dalam gua itu, tanpa disangka – sangka terjadilah peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu, suara gemuruh menggelegar-gelegar sepertinya ingin merobohkan gua batu tersebut, si bungsupun hanya bisa menangis dan menjerit-jerit untuk menahan rasa ketakutannya, maka pada saat itu dengan disertai bunyi yang menggelegar muncullah seorang kakek tua renta yang sakti dan berada tepat di hadapan si bungsu, lalu si bungsupun terkejut melihatnya, tak lama kemudian kakek itu berkata, ” Sedang apa kamu disini cucuku ? ”, lalu si bungsupun menjawab, ” Hamba ditinggalkan oleh kakak – kakak hamba, kek ! ”, maka si bungsupun menangis ketakutan sehingga air matanya tidak berhenti keluar, tanpa diduga-duga pada saat itu dengan kesaktian kakek tersebut titik-titik air mata si bungsu secara perlahan-lahan berubah menjadi telur-telur putih yang besar dan banyak jumlahnya, kemudian si bungsupun telah diubah bentuknya oleh si kakek sakti menjadi seekor burung yang indah bulu-bulunya. Si bungsu masih bisa berbicara seperti manusia pada saat itu, lalu kakek itu berkata lagi, ” Cucuku aku akan menolong kamu dari kesengsaraan yang menimpa hidupmu tapi dengan cara engkau telah kuubah bentukmu menjadi seekor burung dan kamu akan aku beri nama ” Burung Ruai, apabila aku telah hilang dari pandanganmu maka eramlah telur-telur itu supaya jadi burung – burung sebagai temanmu ! ”. Kemudian secara spontanitas si bungsu telah berubah menjadi seekor burung dengan menjawab pembicaraan kakek sakti itu dengan jawaban kwek … kwek … kwek … kwek …. kwek, Bersamaan dengan itu kakek sakti itu menghilang bersama asap dan burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan pada saat itu pula burung-burung itu pergi meninggalkan gua dan hidup di pohon depan tempat tinggal si bungsu dahulu, dengan bersuara kwek … kwek …. kwek … kwek …. kwek, Mereka menyaksikan kakak – kakak si bungsu yang dihukum oleh ayahnya karena telah membunuh si bungsu.

Satua I PUCUNG

Kacrita di Banjar Kawan, wewenangkon Koripan ada anak pacul ngelah pianak muani adiri madan I Pucung. Gegaenne I Pucung sing lenan teken mapikat dogen di umane, nanging ke nyalah utu pesan tangkepne mapikat, di masan padine mara embud. Dadi sing pesan kone ia taen maan kedis, dening tusing ada kedis ngalih amah, krana padine nu puyung. Dening keto, med kone ia mapikat. Jani demen kone ia teken kuluk. Nanging masih keto, sabilang nagih ngidih konyong sig pisaganne begbeg konyong ane mara lekad dogen nagih idiha. Dening konyongne ane nagih idiha nu cerik buina tonden ngedat, kadena konyongne ento buta, dadi buung dogen ia ngidih konyong. Dening keto undukne I Pucung gedeg kone ia, dening makejang kehenne tuara ada misi. Uli sekat ento tusing pesan kone ia taen kija-kija buin, begbeg nyingkrung dogen jumahne. Ping kuda-kuda kaden suba bapanne nglemekin, apanga ia nulungin ka carik, nanging masih ia tusing nyak. Dening keto gedeg kone bapanne, nanging ia tusing bani nigtig wiadin ngwelin I Pucung, krana ia suba kelih. Depina dogen kona ie jani pragat nengnenga dogenan.
Makelo-kelo demen kone ia tekan anak luh, nanging gede kone kenehne, nget putran Ida Sang Prabu Koripan kone demenina. Budi morahan teken bapanne sing kone ia juari, dening ia suba ngasen teken dewek gedeganga. Dadi ibuk pesan kehenne I Pucung ngenehang Ida Raden Galuh, mabudi ngalih ka puri tusing bani. Jani ngae kone ia daya, mangdena ia nyidaang makatang Raden Galuh.
Sedek dina anu, ka puri kone ia tangkil ring Ida Sang Prabu. Di mara ia neked di bancingah, ada kone parekan tepukina ditu lantas ia ngomong, “Ih jero parekan, nawegang tiang nunas tulung ring jerone, wekasang tiang ngapuriang, aturang jagi tangkil ring Ida Sang Prabu!”
Masaut parekane, “Inggih mangda becik antuk tiang ngaturang ring Ida Sang Prabu, jerone sapasira?”
“Aturang titiang I Pucung saking Bnajar Kawan!” Majalan lantas parekane ento ngapuriang matur ring Ida Sang Prabu, “Nawegang titiang mamitang lugra ring Palungguh Cokor I Dewa, puniki wenten kaulan Palungguh Cokor I Dewa saking Banjar Kawan, ipun jagi tangkil ring Palungguh Cokor I Dewa.” Ngandika Ida Sang Prabu, “I Pucung ento apa kone ada buatanga ia tekan nira?”
“Matur sisip tiang Ratu Dewa Agung, antuk punika tan wenten titiang uning.”
“Nah lamun keto, tunden suba ia mai!” Ngajabaang lantas parekane ngorahin I Pucung tundena ngapuriang. Majalan lantas I Pucung ngapuriang. Sasubanne neked ditu, lantas ia mamitan lugra ring Ida Sang Prabu.
“Ih to iba Pucung, apa ada buatang iba mai?”
Matur I Pucung, “Inggih matur sisip titiang Ratu dewa Agung, wenten tunasang titiang ring Cokor I Dewa.”
“Nah apa Pucung?”
“Inggih sapunapi awinan ipun pantune sane wau embud dados ipun puyung, kalih asune wau lekad dados ipun buta?”
Ngandika Ida Sang Parbu, “ento kenken nyen kaden nira awinanne, nira sing pesan nawang. Men yan cai, kenken awananne dadi keto?”
“Antuk punika tan kamanah antuk titiang. Nanging yang banggayang Cokor I Dewa asapunika kewanten, kamanahan antuk titiang gelis jaga rusak jagat druene.”
“Men jani kenken baan madaya, mangdene gumine tusing uug?”
“Inggih yan manah titiang saking tambet, becik mangkin karyanang banten peneduh aturang ring Ida Betara Dalem. Manawi wenten kasisipan Palungguh Cokor I Dewa, mangda sampunang Ida Betara banget menggah pamiduka.”
“Nah lamun keto ja keneh caine, kema tegarang neduh ka pura Dalem. Sing ada kapo pakayunan Ida Betara teken nira, nira lakar ngiring dogenan. Nah antiang dini malu akejep, nira nu nunden panyeroane ngae banten. Apang nyidaang maturan dinane jani, kadonga jani tumpek. Yan suba pragat bantene, cai men ngaturang ajak I Mangku Dalam ka Pura!”
“Inggih,” keto aturne I Pucung.
Gelisang satua, sasubane pragat bantene, majalan lantas I Pucung nyuun banten, ngojog kumah pamangkune.
“Jero Mangku, Jero Mangku, tiang nikaanga mriki ring Ida Sang Prabu, ring pura Dalem. Samalahipun banten puniki jerone kandikaang makta ka pura. Tiang mapamit dumun abosbos jaga kayeh,” aketo baana melog-melog Jero Mangku teken I Pucung, lantas ia ngenggalang ke pura Dalem tur ngenggalang macelep sig gedonge ane tanggu kelod. Sawatara ada suba apanginangan ia nongos ditu, rauh lantas Jero Mangku makta banten tur ngojog sig jalan I Pucungne ngoyong. Ditu lantas Jero Mangku ngaturang banten tur nunas teken Ida Betara mangdene gumine di Koripan karahayuan.
Sasubanne Jero Mangku suud ngantebang, ngomong lantas I Pucung uli jumahan gedonge. Mapi-mapi ia dadi Betara, kene kone munyinne, “Ih iba Bapa Mangku, nyen nunden iba mai maturan, nunas kaluputan teken nira?”
Masaur Jero Mangku, “Inggih titiang kandikaang antuk pramas Palungguh Betara, Ida Sang Prabu nunas kaluputan ring Palungguh Betara, dening pantune wau embud puyung kalih asune wau lekad ipun buta.”
Buin ngomong I Pucung, “Ih iba Bapa Mangku, nira ngiangin lakar kaluputan nanging yan Ida ngaturang okane Ida Raden Galuh.” Dening keto munyin I Pucunge kadena pangandikan Ida Betara, dadi budal lantas dane. Teked di jabaan purane mreren lantas dane di batan punyan bingine, sambilanga dane ngantiang I Pucung.
Buin akejepne pesu lantas I Pucung uli gedonge tur jagjagina Jero Mangku lantas ia matakon, “Men, sapunapi Jero Mangku, wenten minab wacanan Ida Betara?”
“Nah melah suba cai ka puri ngaturang teken Ida Sang Prabu pangandikan Ida Betara. Bapa sing ja bareng kema, reh jumah ada tamiu ngantiang.” Dening keto pangandikan Jero Mangku, dadi kendel pesan I Pucung, dening guguna pamunyin gelahne teken Jero Mangku, tur lantas ia majalan ngapuriang.
Sasubanne I Pucung nganteg di purian, ngandika raris Ida Sang Prabu, “Men kenken Pucung, ada pawecanan Ida Betara tekening iba, tegarang tuturang apang nira nawang?”
Matur I Pucung, “Inggih wenten Ratu Dewa Agung. Asapuniki wewacan Ida Betara ring titiang. Ih iba Pucung, kema aturang wecanan gelahe teken gustin ibane buatne nira ledang lakara ngicenin Ida kaluputan, mangdene gumine karahayuan, nanging yan Ida kayun ngaturang okane, Ida Raden Galuh teken nira. Asapunika pangandikan Ida Betara ring titiang. Inggih sane mangkin asapunapi pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, dening asapunika pakayunan Ida Betara?”
“Nah yan keto pakayunan Ida Betara, anake buka nira sing ja bani tulak teken pakayunan idane. Sakewala gumine karahayuan, nira dong ngaturang dogen. Da buin mara abesik panak nirane karsaanga, kadong makadadua, nira lakar ngaturang.” Ditu ngendelang dogen kenehne I Pucung dening lakar kaisinan idepne nganggon Raden Galuh kurenan.
Matur buin I Pucung, “Inggih yan asapunika pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, margi rahinane mangkin ratu, aturang Ida, anak Cokor I Dewa ring Ida Betara mangda gelis Ida rauh, titiang ja ngiringang Ida, jaga aturang titiang ring Ida Betara Dalem.” Ditu lantas Ida Sang Prabu ngandikain parekane ngandikaang ngaturin okane lanang Ida Raden Mantri, kandikaang ngapuriang. Ida Raden Mantri sedek kone di jabaan. Majalan lantas i parekan ka jabaan ngaturin Ida Raden Mantri. Ida Raden Mantri raris ngapuriang tangkil ring ajine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Cening Bagus, nah ne jani bapa ngorahin cening, buate arin ceninge karsaanga tekan Ida Betara Dalem. Bapa ngaturang i anak Galuh teken Ida Betara, dening bapa tuara bani tekening anak tuara ngenah, buina pang gumine karahayuan. Yan bapa tusing ngaturang i anak Galuh, pedas rusak gumine. Men cening kenken kayune?”
Matur Ida Raden Mantri, “Inggih yan sampun asapunika pakayunan Gur Aji, titiang tan panjang atur malih. Ledang te pakayunan Guru Aji kewanten.”
Dening aketo aturne Raden Mantri, lantas I Patih kandikaang nuunang peti lakar genah I Raden Galuh. Sasubanne Ida Raden Galuh magenah di petine, lantas petina kancinga tur seregne tegulanga di duur petine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Ih iba Pucung, nah ne suba pragat i anak Galuh mwadah peti, kema suba tegen petine aba ka pura Dalem aturang i anak Galuh teken Ida Betara. Ne serege di duur petine mategul. Da pesan iba nyemak serege ne, depin dogen dini, setonden ibane nganteg di pura. Buin ingetang pabesen nirane, singa iba Makita manjur nyen di jalan pejang petine di duur pundukanne tur seregne depang masih ditu mategul.”
“Inggih,” keto aturne I Pucung tur lantas ia majalan negen petine misi Ida Raden Galuh.
Beh magregotan kone ia negen petine ento. Ban kendelne bes sanget lakar maan kurenan okan Ida Sang Prabu, dadi sing kone asena baat. Di jalan nepukin lantas ia tukad ditu ia mreren di duur tukade, dening ia makita manjus. Petine pejanga kone di duur pundukane tur seregne depina masih ditu. Di makirenne ia tuun lakar kayeh, matur kone ia teken Raden galuh, “Ratu Raden Galuh Cokor I dewa driki tumun, kenakang kayune driki. Titiang ngaonin Cokor I Dewa ajebos, titiang jaga tuunan manjus, dening ongkeb pesan tan dugi antuk titiang naanang kebuse.” Dening Ida Raden Galuh mwadah peti dadi sing kone pirenga atur I Pucunge.
Suud I Pucung matur keto, tuunan lantas ia ka tukade kayeh baan klangenne maan yeh ning. Ditu rauh lantas Ida Raden Mantri sameton Ida Raden Galun nandan macan pacang anggen Ida ngentosin sametone. Sasubane Ida Raden Mantri rauh sih tongos petine ento, ngelisang raris Ida Raden Mantri nyereg petine tur kamedalang arine. Sasubanne Ida Raden Galuh medal, jani macane kone celepang Ida tur kakancing, seregne buin kone dudur petine genahang Ida. Ngelisang raris Ida Raden mantri malaib sareng Ida Raden Galuh budal ka Koripan. Buat isin petine kasilurin tusing kone tawanga teken I Pucung.
Sasubanne ia suud kayeh lantas ia menekan. Teked ba duuran dingeha kone krasak-krosok di tengah petine. Ngomong lantas I Pucung, “Inggih Ratu Raden Galuh, menggah menawi Cokor I Dewa dados krasak-krosok wau kaonin titiang manjus. Margi mangkin Cokor I Dewa budal kumah titiange, drika mangkin Cokor I Dewa mlinggih sareng titiang. Cokor I Dewa pacang anggen titiang kurenan. Samalihipun titiang sampun ngadianang Cokor I Dewa who-wohan luir ipun: buluan, salak, croring, miwah manggis. Pacang rayuan Palungguh Cokor I Dewa sampun wenten jumah titiang kagianang antuk panyeroan Palungguh Cokor I Dewa, tiang maderbe meme. Sampunang te kenten menggah Cokor I Dewa, mangkin iringa ja Cokor I Dewa budal.”
Gelisang satua majalan lantas ia I Pucung ngamulihang negen petine. Sasubanne neked jumahne, kauk-kauk lantas I Pucung ngaukin memenne, “Meme, Meme, ampakin tiang jlanan, tiang ngiring Ida Raden Galuh mulih. Tiang anak suba icena nunas Ida Raden Galuh teken Ida Sang Prabu. Matelahtelah men meme ditu jumahan icange apang kedas, krana tiang lakas nglinggihang Ida ditu, uli semengan Ida tonden ngrayunang.” Memenne tusing ja ia nawang keneh panakne, selegagan kone mara ia ningeh pamunyin panakne buka keto. Dadi ampakina dogen jlanan tur I Pucung ngenggalang macelep kumah meten, tur lantas ia ngancing jlanan uli jumahan petine pejanga kone di pasareane.
Critayang jani suba tengah lemeng tur meme bapanne suba melah pulesne pada, ditu lantas ia buing ngomong ngrumrum isin petine, “Inggih Ratu Raden Galuh, matangi Cokor I Dewa, niki sampun wengi, mriki mangkin Palungguh Cokor I Dewa merem sareng titiang!” Suud ia ngomong keto, lantas petine ento serega tur ungkabanga. Mara petine ento ungkabanga, tengkejut pesan I Pucung dening petine misi macam. Ditu lantas I Pucung sarapa teken macane. Mati lantas I Pucung.
Buin mani semenganne, dunduna lantas ia teken memenne uli diwangan, dening suba tengai ia tonden bangun. Kadena panakne sajaan ngajak Raden Galuh. Kanti ping telu kone memenne makaukan, masih sing kone sautine, lantas tinjaka kone jlananne. Ya mara mampakan jlanane, ya magroeng lantas macane jumahan. Beh apa kaden tengkejut memenne tur ia buin ngenggalang ngubetang jlanan. Ditu lantas ia gelur-gelur ngidih tulungan teken pisagane ditu. Liu pada anake nyagjagin ia tur makejang pada ngaba sikep. Ditu matianga lantas macane totonan. Sasubanne I Macan mati, mulihan lantas memenne, dapetanga panakne suba mati tur nu tulang-tulangne dogen.

Satua I PUCUNG


Kacrita di Banjar Kawan, wewenangkon Koripan ada anak pacul ngelah pianak muani adiri madan I Pucung. Gegaenne I Pucung sing lenan teken mapikat dogen di umane, nanging ke nyalah utu pesan tangkepne mapikat, di masan padine mara embud. Dadi sing pesan kone ia taen maan kedis, dening tusing ada kedis ngalih amah, krana padine nu puyung. Dening keto, med kone ia mapikat. Jani demen kone ia teken kuluk. Nanging masih keto, sabilang nagih ngidih konyong sig pisaganne begbeg konyong ane mara lekad dogen nagih idiha. Dening konyongne ane nagih idiha nu cerik buina tonden ngedat, kadena konyongne ento buta, dadi buung dogen ia ngidih konyong. Dening keto undukne I Pucung gedeg kone ia, dening makejang kehenne tuara ada misi. Uli sekat ento tusing pesan kone ia taen kija-kija buin, begbeg nyingkrung dogen jumahne. Ping kuda-kuda kaden suba bapanne nglemekin, apanga ia nulungin ka carik, nanging masih ia tusing nyak. Dening keto gedeg kone bapanne, nanging ia tusing bani nigtig wiadin ngwelin I Pucung, krana ia suba kelih. Depina dogen kona ie jani pragat nengnenga dogenan.
Makelo-kelo demen kone ia tekan anak luh, nanging gede kone kenehne, nget putran Ida Sang Prabu Koripan kone demenina. Budi morahan teken bapanne sing kone ia juari, dening ia suba ngasen teken dewek gedeganga. Dadi ibuk pesan kehenne I Pucung ngenehang Ida Raden Galuh, mabudi ngalih ka puri tusing bani. Jani ngae kone ia daya, mangdena ia nyidaang makatang Raden Galuh.
Sedek dina anu, ka puri kone ia tangkil ring Ida Sang Prabu. Di mara ia neked di bancingah, ada kone parekan tepukina ditu lantas ia ngomong, “Ih jero parekan, nawegang tiang nunas tulung ring jerone, wekasang tiang ngapuriang, aturang jagi tangkil ring Ida Sang Prabu!”
Masaut parekane, “Inggih mangda becik antuk tiang ngaturang ring Ida Sang Prabu, jerone sapasira?”
“Aturang titiang I Pucung saking Bnajar Kawan!” Majalan lantas parekane ento ngapuriang matur ring Ida Sang Prabu, “Nawegang titiang mamitang lugra ring Palungguh Cokor I Dewa, puniki wenten kaulan Palungguh Cokor I Dewa saking Banjar Kawan, ipun jagi tangkil ring Palungguh Cokor I Dewa.” Ngandika Ida Sang Prabu, “I Pucung ento apa kone ada buatanga ia tekan nira?”
“Matur sisip tiang Ratu Dewa Agung, antuk punika tan wenten titiang uning.”
“Nah lamun keto, tunden suba ia mai!” Ngajabaang lantas parekane ngorahin I Pucung tundena ngapuriang. Majalan lantas I Pucung ngapuriang. Sasubanne neked ditu, lantas ia mamitan lugra ring Ida Sang Prabu.
“Ih to iba Pucung, apa ada buatang iba mai?”
Matur I Pucung, “Inggih matur sisip titiang Ratu dewa Agung, wenten tunasang titiang ring Cokor I Dewa.”
“Nah apa Pucung?”
“Inggih sapunapi awinan ipun pantune sane wau embud dados ipun puyung, kalih asune wau lekad dados ipun buta?”
Ngandika Ida Sang Parbu, “ento kenken nyen kaden nira awinanne, nira sing pesan nawang. Men yan cai, kenken awananne dadi keto?”
“Antuk punika tan kamanah antuk titiang. Nanging yang banggayang Cokor I Dewa asapunika kewanten, kamanahan antuk titiang gelis jaga rusak jagat druene.”
“Men jani kenken baan madaya, mangdene gumine tusing uug?”
“Inggih yan manah titiang saking tambet, becik mangkin karyanang banten peneduh aturang ring Ida Betara Dalem. Manawi wenten kasisipan Palungguh Cokor I Dewa, mangda sampunang Ida Betara banget menggah pamiduka.”
“Nah lamun keto ja keneh caine, kema tegarang neduh ka pura Dalem. Sing ada kapo pakayunan Ida Betara teken nira, nira lakar ngiring dogenan. Nah antiang dini malu akejep, nira nu nunden panyeroane ngae banten. Apang nyidaang maturan dinane jani, kadonga jani tumpek. Yan suba pragat bantene, cai men ngaturang ajak I Mangku Dalam ka Pura!”
“Inggih,” keto aturne I Pucung.
Gelisang satua, sasubane pragat bantene, majalan lantas I Pucung nyuun banten, ngojog kumah pamangkune.
“Jero Mangku, Jero Mangku, tiang nikaanga mriki ring Ida Sang Prabu, ring pura Dalem. Samalahipun banten puniki jerone kandikaang makta ka pura. Tiang mapamit dumun abosbos jaga kayeh,” aketo baana melog-melog Jero Mangku teken I Pucung, lantas ia ngenggalang ke pura Dalem tur ngenggalang macelep sig gedonge ane tanggu kelod. Sawatara ada suba apanginangan ia nongos ditu, rauh lantas Jero Mangku makta banten tur ngojog sig jalan I Pucungne ngoyong. Ditu lantas Jero Mangku ngaturang banten tur nunas teken Ida Betara mangdene gumine di Koripan karahayuan.
Sasubanne Jero Mangku suud ngantebang, ngomong lantas I Pucung uli jumahan gedonge. Mapi-mapi ia dadi Betara, kene kone munyinne, “Ih iba Bapa Mangku, nyen nunden iba mai maturan, nunas kaluputan teken nira?”
Masaur Jero Mangku, “Inggih titiang kandikaang antuk pramas Palungguh Betara, Ida Sang Prabu nunas kaluputan ring Palungguh Betara, dening pantune wau embud puyung kalih asune wau lekad ipun buta.”
Buin ngomong I Pucung, “Ih iba Bapa Mangku, nira ngiangin lakar kaluputan nanging yan Ida ngaturang okane Ida Raden Galuh.” Dening keto munyin I Pucunge kadena pangandikan Ida Betara, dadi budal lantas dane. Teked di jabaan purane mreren lantas dane di batan punyan bingine, sambilanga dane ngantiang I Pucung.
Buin akejepne pesu lantas I Pucung uli gedonge tur jagjagina Jero Mangku lantas ia matakon, “Men, sapunapi Jero Mangku, wenten minab wacanan Ida Betara?”
“Nah melah suba cai ka puri ngaturang teken Ida Sang Prabu pangandikan Ida Betara. Bapa sing ja bareng kema, reh jumah ada tamiu ngantiang.” Dening keto pangandikan Jero Mangku, dadi kendel pesan I Pucung, dening guguna pamunyin gelahne teken Jero Mangku, tur lantas ia majalan ngapuriang.
Sasubanne I Pucung nganteg di purian, ngandika raris Ida Sang Prabu, “Men kenken Pucung, ada pawecanan Ida Betara tekening iba, tegarang tuturang apang nira nawang?”
Matur I Pucung, “Inggih wenten Ratu Dewa Agung. Asapuniki wewacan Ida Betara ring titiang. Ih iba Pucung, kema aturang wecanan gelahe teken gustin ibane buatne nira ledang lakara ngicenin Ida kaluputan, mangdene gumine karahayuan, nanging yan Ida kayun ngaturang okane, Ida Raden Galuh teken nira. Asapunika pangandikan Ida Betara ring titiang. Inggih sane mangkin asapunapi pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, dening asapunika pakayunan Ida Betara?”
“Nah yan keto pakayunan Ida Betara, anake buka nira sing ja bani tulak teken pakayunan idane. Sakewala gumine karahayuan, nira dong ngaturang dogen. Da buin mara abesik panak nirane karsaanga, kadong makadadua, nira lakar ngaturang.” Ditu ngendelang dogen kenehne I Pucung dening lakar kaisinan idepne nganggon Raden Galuh kurenan.
Matur buin I Pucung, “Inggih yan asapunika pakayunan Palungguh Cokor I Dewa, margi rahinane mangkin ratu, aturang Ida, anak Cokor I Dewa ring Ida Betara mangda gelis Ida rauh, titiang ja ngiringang Ida, jaga aturang titiang ring Ida Betara Dalem.” Ditu lantas Ida Sang Prabu ngandikain parekane ngandikaang ngaturin okane lanang Ida Raden Mantri, kandikaang ngapuriang. Ida Raden Mantri sedek kone di jabaan. Majalan lantas i parekan ka jabaan ngaturin Ida Raden Mantri. Ida Raden Mantri raris ngapuriang tangkil ring ajine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Cening Bagus, nah ne jani bapa ngorahin cening, buate arin ceninge karsaanga tekan Ida Betara Dalem. Bapa ngaturang i anak Galuh teken Ida Betara, dening bapa tuara bani tekening anak tuara ngenah, buina pang gumine karahayuan. Yan bapa tusing ngaturang i anak Galuh, pedas rusak gumine. Men cening kenken kayune?”
Matur Ida Raden Mantri, “Inggih yan sampun asapunika pakayunan Gur Aji, titiang tan panjang atur malih. Ledang te pakayunan Guru Aji kewanten.”
Dening aketo aturne Raden Mantri, lantas I Patih kandikaang nuunang peti lakar genah I Raden Galuh. Sasubanne Ida Raden Galuh magenah di petine, lantas petina kancinga tur seregne tegulanga di duur petine.
Ngandika Ida Sang Prabu, “Ih iba Pucung, nah ne suba pragat i anak Galuh mwadah peti, kema suba tegen petine aba ka pura Dalem aturang i anak Galuh teken Ida Betara. Ne serege di duur petine mategul. Da pesan iba nyemak serege ne, depin dogen dini, setonden ibane nganteg di pura. Buin ingetang pabesen nirane, singa iba Makita manjur nyen di jalan pejang petine di duur pundukanne tur seregne depang masih ditu mategul.”
“Inggih,” keto aturne I Pucung tur lantas ia majalan negen petine misi Ida Raden Galuh.
Beh magregotan kone ia negen petine ento. Ban kendelne bes sanget lakar maan kurenan okan Ida Sang Prabu, dadi sing kone asena baat. Di jalan nepukin lantas ia tukad ditu ia mreren di duur tukade, dening ia makita manjus. Petine pejanga kone di duur pundukane tur seregne depina masih ditu. Di makirenne ia tuun lakar kayeh, matur kone ia teken Raden galuh, “Ratu Raden Galuh Cokor I dewa driki tumun, kenakang kayune driki. Titiang ngaonin Cokor I Dewa ajebos, titiang jaga tuunan manjus, dening ongkeb pesan tan dugi antuk titiang naanang kebuse.” Dening Ida Raden Galuh mwadah peti dadi sing kone pirenga atur I Pucunge.
Suud I Pucung matur keto, tuunan lantas ia ka tukade kayeh baan klangenne maan yeh ning. Ditu rauh lantas Ida Raden Mantri sameton Ida Raden Galun nandan macan pacang anggen Ida ngentosin sametone. Sasubane Ida Raden Mantri rauh sih tongos petine ento, ngelisang raris Ida Raden Mantri nyereg petine tur kamedalang arine. Sasubanne Ida Raden Galuh medal, jani macane kone celepang Ida tur kakancing, seregne buin kone dudur petine genahang Ida. Ngelisang raris Ida Raden mantri malaib sareng Ida Raden Galuh budal ka Koripan. Buat isin petine kasilurin tusing kone tawanga teken I Pucung.
Sasubanne ia suud kayeh lantas ia menekan. Teked ba duuran dingeha kone krasak-krosok di tengah petine. Ngomong lantas I Pucung, “Inggih Ratu Raden Galuh, menggah menawi Cokor I Dewa dados krasak-krosok wau kaonin titiang manjus. Margi mangkin Cokor I Dewa budal kumah titiange, drika mangkin Cokor I Dewa mlinggih sareng titiang. Cokor I Dewa pacang anggen titiang kurenan. Samalihipun titiang sampun ngadianang Cokor I Dewa who-wohan luir ipun: buluan, salak, croring, miwah manggis. Pacang rayuan Palungguh Cokor I Dewa sampun wenten jumah titiang kagianang antuk panyeroan Palungguh Cokor I Dewa, tiang maderbe meme. Sampunang te kenten menggah Cokor I Dewa, mangkin iringa ja Cokor I Dewa budal.”
Gelisang satua majalan lantas ia I Pucung ngamulihang negen petine. Sasubanne neked jumahne, kauk-kauk lantas I Pucung ngaukin memenne, “Meme, Meme, ampakin tiang jlanan, tiang ngiring Ida Raden Galuh mulih. Tiang anak suba icena nunas Ida Raden Galuh teken Ida Sang Prabu. Matelahtelah men meme ditu jumahan icange apang kedas, krana tiang lakas nglinggihang Ida ditu, uli semengan Ida tonden ngrayunang.” Memenne tusing ja ia nawang keneh panakne, selegagan kone mara ia ningeh pamunyin panakne buka keto. Dadi ampakina dogen jlanan tur I Pucung ngenggalang macelep kumah meten, tur lantas ia ngancing jlanan uli jumahan petine pejanga kone di pasareane.
Critayang jani suba tengah lemeng tur meme bapanne suba melah pulesne pada, ditu lantas ia buing ngomong ngrumrum isin petine, “Inggih Ratu Raden Galuh, matangi Cokor I Dewa, niki sampun wengi, mriki mangkin Palungguh Cokor I Dewa merem sareng titiang!” Suud ia ngomong keto, lantas petine ento serega tur ungkabanga. Mara petine ento ungkabanga, tengkejut pesan I Pucung dening petine misi macam. Ditu lantas I Pucung sarapa teken macane. Mati lantas I Pucung.
Buin mani semenganne, dunduna lantas ia teken memenne uli diwangan, dening suba tengai ia tonden bangun. Kadena panakne sajaan ngajak Raden Galuh. Kanti ping telu kone memenne makaukan, masih sing kone sautine, lantas tinjaka kone jlananne. Ya mara mampakan jlanane, ya magroeng lantas macane jumahan. Beh apa kaden tengkejut memenne tur ia buin ngenggalang ngubetang jlanan. Ditu lantas ia gelur-gelur ngidih tulungan teken pisagane ditu. Liu pada anake nyagjagin ia tur makejang pada ngaba sikep. Ditu matianga lantas macane totonan. Sasubanne I Macan mati, mulihan lantas memenne, dapetanga panakne suba mati tur nu tulang-tulangne dogen.