"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

8/21/2011

Topeng Sidha Karya


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Dewasa ini unsur kebudayaan dipakai sebagai ujung tombak masyarakat Bali, kreatifitas berbagai jenis seni seperti seni lukis, seni ukir, seni tabuh dan hermacam-macam seni tari. Dalam masyarakat Bali tak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kesenian sangat kuat mengakarnya karena keterkaitannya sangat lekat dengan kehidupan keagamaan. Terbukti sangat menjamurnya pementasan kesenian sakral dalam setiap pelaksanaan upacara agama.
Dengan seringnya diadakan pementasan seni sakral pada setiap upacara keagamaan maka banyak pula generasi muda mengandrungi untuk mempelajari kesenian sakral. Namun perlu diwaspadai bahwa perkembangan seni yang bebas, suatu saat dapat saja merubah cara pandang umat. Karena pada suatu saat tertentu tidak tertutup kemungkinan seni sakral akan jarang dipentaskan pada upacara keagamaan karena dengan berbagai alasan. Oleh karena itu upaya­-upaya penyadaran harus dilakukan melalui berbagai wacana terutama dari pihak pemerintah, lembaga adat dan agama dengan memperankan pada pakar-pakar sang membidangi masalah seni sakral. Sehingga dengan demikian dampak negatif dari perkembangan zaman modern dapat dihindari.
Mengingat kandungan seni sakral di pandang dari beberapa dimensi sangat kaya akan nilai-nilai seperti estetika, filsafat agama dan sebagai media penerangan serta pendidikan pada masyarakat. Dengan pelaksanaan pentas yang berkelanjutan akan membuka kesadaran masyarakat bahwa mereka sangat membutuhkan peran seni sakral dalam kehidupan keagamaan. Sebaliknya jika kesenian tersebut tidak sering dipentaskan, maka akan terasa mengurangi kekusukan pelaksanaan ritual keagamaan tersebut. Kebiasaan inilah yang sangat perlu diterapkan dalam usaha untuk menjaga seni sakral dari amukan zaman modern ini sehingga terhindar dari kepunahan.
Pada kesempatan ini akan dibahas seni sakral Topeng Sida Karya. Tari Topeng berarti menari dengan menggunakan topeng atau tapel sebagai penutup muka. Topeng pada mulanya muncul tidak menggunakan lakon-lakon tertentu karena biasanya hanya merupakan wali dalam upacara agama di Bali yang biasanya disebut topeng pajegan yang hanya ditarikan oleh seorang penari. Kata pajegan berasal dari kata pajeg yang berarti “Barong” dalam bahasa Indonesia dengan mendapat sufiks-an sehingga menjadi kata pajegan berarti barongan.
Topeng berasal dari kata tup yang berarti “tutup” ditambah kata eng yang kemudian mejadi topeng. Topeng kemudian mengalami perusahaan sehingga menjadi topeng.

1.2.    Rumusan Masalah
a.    Bagaimanakah sejarah Topeng Sida Karya ?
b.    Apa fungsi Topeng Sida Karya ?
c.    Apa makna Topeng Sida Karya ?

1.3.    Tujuan Penulisan
a.    Untuk mengetahui sejarah Topeng Sida Karya.
b.    Untuk mengetahui fungsi Topeng Sida Karya.
c.    Untuk mengetahui makna Topeng Sida Karya.
d.   Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Seni Sakral.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Sejarah Topeng Sida Karya
Pada masa Dalem Waturenggong memerintah di Gelgel ketika beliau mengadakan upacara atau karya nangluk merana di Besakih datanglah Brahmana dari Keling. Beliau mencari saudaranya ke Bali dan yang diakui saudaranya adalah Dalem Waturenggong sendiri. Sudah tentu Brahmana ini dianggap gila oleh para pengayah segera diusir.
Disebut Brahmana Keling karena beliau berasal dari daerah Keling, Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman/pertapaan di Lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Dang Hyang Kayu Manis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Empu Bahula dan cicit dari Empu Baradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari Keling maka beliau disebut “Brahmana Keling”.
  Konon Keraton Madura pernah lalai untuk menunaikan saji pajegan yaitu merupakan tarian upacara persembahan kepada Sang Hyang Leluhur. Karena sang raja pada waktu itu kurang yakin akibat yang akan ditimbulkan, sehingga raja begitu juga rakyat Madura tidak memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadinya kekacauan pada kerajaan Madura. Mendengar peristiwa ini, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura. Sesampainya di Madura beliau di jamu selayaknya sebagai seorang Brahmana oleh sang raja. Beliau banyak memberikan nasehat terutama kepada sang raja agar upacara dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Mulanya Sang Raja tidak percaya akan nasehat yang diberikan Brahmana Keling, tetapi Sang Brahmana tidak putus asa karena beliau dapat membaca, menyelami perasaan sang raja yang selalu dihantui oleh ketidakpastian (bimbang).
Supaya Sang Raja merasa yakin akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya, dengan jalan :
-      Pisang yang sudah layu dan kering dihidupkan kembali dan terbukti menjadi hijau dan subur.
-      Benang yang hitam dengan sekejap dapat diputihkan.
-      Dan hal-hal yang aneh lainnya dapat ditunjukkan.
Sang Raja terpengaruh dan terpesona melihat keajaiban-keajaiban seperti ini. Akhirnya Sang Raja sangat taat memenuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling. Begitu pula selanjutnya beliau ditunjuk untuk memimpin upacara (wali) di Madura.
Dengan demikian dapatlah terselenggara upacara (wali) seperti “Saji pepajengan” dengan lancar dan sukses, keadaan kerajaan kembali aman dan tentram. Oleh karena itu beliau dijuluki Brahmana Wasaka yang artinya asal kata Wacika = upacara/perkataan dan satya = ksatria = kebenaran. Secara umum berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya (Sidhi ngucap Sidhi mandhi). Selanjutnya beliau kembali ke tanah Jawa (Jawa Timur).
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, tibalah beliau di suatu desa pesisir Pantai Desa Muncar. Beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat Bali. Tak disangka dihadapan beliau tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayu Manis), Sang Ayah bercerita panjang tentang keberadaan di Nusa Bali, bahwa di Bali sekarang ini dikerajaan Gelgel yang menjadi raja adalah Dalem Waturenggong dan dang Hyang Niratha yang mendampingi Dalem Waturenggong sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan upacara (karya Eka Dasa Rudra di pura Besakih).
Mendengar sang Ayah bercerita demikian, lalu pertemua Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Desa Muncar sudah selesai sekaligus merupakan pertemuan yang terakhir. Sang Ayah selanjutnya menuju ke pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedang Brahmana Keling selanjutnya menuju pulau Bali menuju Keraton Gelgel.
Tentang perjalanan Brahmana Keling menuju ke Bali kekeraton Gelgel tidak tahu apakah beliau menggunakan apa ? jejak-jejak perjalanan beliau di mana ? kemana ? dan sebagainya.
Lain halnya perjalanan Dang Hyang Niratha, beliau menuju Bali menggunakan Waluh luh (Labu) sedangkan anak istrinya memakai sampan bocor sampai tiba di perancak. Selanjutnya napak tilas perjalanan Dang Hyang Niratha dari barat ke timur, seterusnya cukup jelas sampai sekarang dengan bukti-bukti pelinggih / pura-paru yang ada dan sebagainya.
Perjalanan Brahmana Keling tak ada yang tahu. Tak berapa lama beliau sudah ada di keraton Gelgel. Namun sayang sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton dalam keadaan sepi, beliau lalu disapa oleh beberapa penua masyarakat yang ada di keraton.
Dalam keadaan lesu, lusuh dan pakaian yang serba kumal dan kotor Brahmana Keling menjawab, bahwa beliau bermaksud menemui saudaranya yang lain adalah sang prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Niratha, karena sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Niratha tidak ada di keraton maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju Pura Besakih, sebab Sang Prabu dan Dang Hyang Niratha ada disana sedang sibuk dengan para mengiringnya mempersiapkan pengadaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Sesampainya di pelataran pura lagi beliau disapa oleh masyarakat para pengayah yang ada di pura.
Brahmana Keling menjawab sama, bahwa beliau ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Niratha yang sedang ada di pura. Masyarakat tadipun belum berani menghadap Dalem karena ia beranggapan bahwa orang yang datang dalam keadaan begini tidak mungkin saudara sang prabu maupun Dang Hyang Niratha, bahwa masyarakat sangat tersinggung dengan pengakuan Sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalem junjungannya seolah-olah derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Niratha disamakan dengan dirinya yang dalam keadaan compang - camping selayaknya seorang pengemis.
Tetapi Brahmana Keling bersikeras dan karena suatu sebab rakyat tidak bisa menghalanginya, serta tidak ada yang melihat beliau menuju ke dalam. Akhirnya mungkin karena saking payahnya beliau dalam perjalanan panjang Brahmana Keling langsung menuju pelinggih Surya Candra, diatas sanalah beliau duduk beristirahat sejenak untuk melepas penatnya.
Tak berselang beberapa lama datanglah Sang prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh keatas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah berani duduk diatas sana. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi dilarang masuk, lebih-­lebih ia mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Niratha yang sangat ingin bertemu dengan Sang prabu. Tetapi entah mengapa orang itu tidak disangkanya sudah ada diatas pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya serta semua yang ada disana sangat terkejut dan keheranan.
Mendengar apa yang telah dilaporkan para prajurit dan para pengayah, bertambah murkanya lagi sang prabu, seketika itu dengan suara yang bergetar keras memerintahkan para prajurit, pengayah dan rakyat untuk segera menyeret keluar orang yang disangka gila itu. Serta merta prajurit dan masyarakat mengusir Brahmana Keling dengan suara sorak sorai
Karena saking murkanya hati Brahmana Keling sebab sama sekali beliau tidak mengadakan perlawanan apa-apa akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang sudah tidak mengakui lagi sebagai saudara.
Sebelum Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan kutuk Pastu yang isinya :
"Wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama membuat kehancuran (ngrubeda) di seluruh jagat (bumi) Bali".
Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar disiang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutip sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju Barat daya.
Dalam perjalanan beliau baik dari Keling ke Madura, dari Madura kembali ke Jawa (di Muncar) dari Muncar ke Bali (Gelgel dan Besakih) lanjut dari Besakih menuju Badanda Negara, semuanya tidak ada yang tahu secara persis seperti perjalanan petualang-petualang lainnya.
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berselang lama/beberapa hari suasana sejagat Bali terutama Kraton Gelgel dan sekitarnya mulai menampakkan situasi yang tidak mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana, semua tanaman-tanaman, pohon-pohon yang berguna bagi pelaksanaan penunjang karya seperti : Kelapa, pisang, padi, sayuran dan sebagainya semuanya layu, buah berguguran, wabah/hama seperti : ulat, tikus dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman para petani, bumi seketika kering kerontang, wabah penyakit meraja rela menyerang penduduk keadaan sangat mengerikan (gerubug) antara pengayah bertengkar tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau.
Sehingga jadwal pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti ini lalu Dang Hyang Niratha diperintahkan oleh Ida Dalem melakukan upakara pembasmian dengan melakukan tapa samadi juga tidak mempan, akhirnya Ida Dalem sendirilah yang turun tangan, memerintahkan Dang Hyang Nirartha untuk membuat upakara lanjut mengadakan tapa samadi.
Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Semadi di Puxa Besakih. Beliau mendapat pewisik petunjuk Ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala hanya Brahmana Keling-lah yang mampu melakukan hal itu.
Setelah mendapatkan petunjuk (pawisik) esok harinya langsung Ida Dalem memanggil perdana mentrinya Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan dan lain-lain termasuk para punggawa untuk mengadakan sidang. Dalam sidang tanpa agenda tersebut memutuskan agar secepatnya menjemput Brahmana Keling yang pernah diusirnya. Karena beliaulah yang dapat mengembalikan situasi kegeringan seperti ini serta beliau sekarang ada di Bedanda Negara (Pandan - Negara) di pesisir selatan Kabupaten Badung.
Pada waktu itu yang menjadi raja (anglurah) Bedanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori (Dinasthi Tegeh Kori). Namun disini tidak diketahui secara jelas siapakah senopati yang diutus menjemput Brahmana Keling.
Singkat cerita berangkatlah rombongan menjemput Brahmana Keling ke Bedanda Negara, pertama-tama menuju keraton Tegeh Kori di Badung untuk meminta petunjuk lebih lanjut akhirnya menuju pandan Negara (pesisir selatan kerajaan Badung = Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di pandan­negara bertemulah dengan Brahmana Keling lalu rombongan menghaturkan sembah sujud Mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangannya menghadap sang Brahmana. Sesuai dengan perintah Ida Dalem memohon agar Ida Brahmana Keling bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Begitu mendengar cerita dan permohonan utusan Dalem Waturenggong, Ida Brahmana Keling sudah mengerti dan menanggapi semuanya, selanjutnya mempersilahkan kepada utusan rombongan Dalem segera berangkat duluan, Brahmana Keling akan menyusul.
Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Besakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan dengan rombongan penjemputnya dihadapan Dalem Waturenggong di Pura Besakih. Setibanya Brahmana Keling di pura Besakih barulah beliau di sambut selayaknya tamu kebesaran dan diperlakukan dengan sangat hormat sopan dan ramah.
Dalam percakapan Dalem Waturenggong yang di saksikan juga oleh Dang Hyang Niratha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan kekeringan, kegersangan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti sedia kala maka Dalem Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui memang benar Brahmana Keling saudara Dalem Waturenggong. Mendengar sabda Ida Dalem sedemikian Brahmana Keling dengan senang hati menyanggupinya, seketika itu pula tanpa prasarana sesajen apapun beliau hening sejenak mengucapkan mantra-mantra dan dengan kekuatan bathin yang luar biasa terbuktilah :
-      Ayam hitam dikatakan putih, benar-benar menjadi putih.
-      Kelapa yang kekeringan, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan dengan buah yang sangat lebat, begitu juga pisang yang kuning dan layu dikatakan hidup kembali dan berbuah ternyata benar.
-      Hama tikus, walang sangit, wereng, ulat dan sebagainya yang menyerang tumbuh-tumbuhan dikatakan lenyap, langsung lenyap seketika.
-      Bumi subur menjadi subur
-      Masyarakat rakyat kegeringan seketika menjadi sehat walafiat.
Apa yang diucapkan Brahmana Keling betul-betul terbukti sehingga Ida Dalem, Dang Hyang Niratha serta hadirin semua yang menyaksikan dengan penuh keheran-heranan dan terpesona, karena dihadapannya terjadi hal-hal aneh yang menakjubkan. Akhirnya pada saat itulah juga Dalem Waturenggong mengakui bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.
Pelaksanaan karya di Pura Besakih, habis situasi tersebut, dapat dikembalikan seperti sedia kala dan bahkan keadaannya lebih baik dari hari-hari sebelumnya, sehingga karya dapat dilanjutkan kembali. Karya di pura Besakih pada saat itu sesungguhnya tingkat karya Eka Dasa Rudra, yang dilaksanakan purnamaning sasih kedasa ± tahun saka 1437 = 1515 masehi (abad ke - 16). Pada pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Niratha dan Brahmana Keling. Karena sebelumnya Bali (kerajaan Gelgel) pernah mengalami kegeringan, maka pada saat karya Eka Dasa Rudra juga dirangkaikan dengan karya nangkluk merana, jadi pada saat itu dilaksanakan dua rangkaian karya pokok di pura Besakih dan lumrah disebut "Karya Nangluh Merana".
Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang melimpah ruah sebagai sarana prasarana suksesnya pelaksanaan karya, sehingga karya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses/berhasil Sidakarya sesuai harapan Ida Dalem Waturenggong. Oleh karenanya Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Bramana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya.
Saking gembiranya Ida Dalem karena karya yang dilaksanakan betul-­betul berhasil (Sidakarya), selain gelar Dalem yang dianugrahkan atas nasehat dan anjuran Dang Hyang Niratha (disamping itu mungkin karena sabda Hyang pramawisesa) Dalem Waturenggong di pura Besakih dihadapan para menteri/patih/para arya di kiri kanan Dalem Waturenggong duduk Dang Hyang Niratha dan Dalem Sidakarya bersabda :
·      Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan karya wajib (wenang) nunas tirta penyida karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya. Supaya karya menjadi Sidakarya (pemuput karya) yang terletak di pesisir selatan jagat Badung (= di desa Sidakarya sekarang).
·      Pada setiap upakara wajib disebarkan sarana serba Sidakarya seperti
·      Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen ) dan jejaitan.
·      Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan )
·      Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan)
Tujuan supaya semua penunjang pelaksanaan karya serba Sidakarya = berhasil
·      Demi sempurnanya pelaksaYaan karya wajib mementaskan wali Topeng Sidakarya.
·      Wajib nunas catur Bija dan Panca Taru Sidakarya.
·      Itulah lebih kurang isi sabda dalem waturenggong pada saat itu yang sampai sekarang ini dan seterusnya wajib dipatuhi oleh umat Hindu sejagat.

2.2    Fungsi Topeng Sidakarya
Kesenian dapat difungsikan sesuai dengan para peminat seni. Mengenai sifat kesenian menurut Soedarsono bisa terdapat pada semua lapisan masyarakat, baik pada masyarakat yang tingkatannya sederhana maupun pada masyarakat yang tingkatannya super elit, biasanya dalam pertunjukan kesenian penonton tidak aktif, penonton hanya dilibatkan sebagai peserta. Disebutkan juga bahwa kesenian dipertunjukkan hanya ditopang oleh masyarakat lingkungannya oleh karena menyangkut kepentingan agama dan adat.
Topeng Sida Karya mempunyai fungsi sebagai fungsi ritual dan sebagai fungsi hiburan sendiri bagi peminat seni. Fungsi-fungsi dari Topeng Sidakarya adalah :
a.    Fungsi sebagai pelengkap sarana ritual
Dilihat dari fungsinya Topeng Sida karya berfungsi sebagai tari wali, oleh karena itu topeng Sida karya dipakai sebagai pengiring acara upacara yadnya bahkan sudah diyakini oleh umat Hindu di Bali khususnya bahwa Topeng Sida Karya identik dengan pemuput yadnya. Juga ada yang berkeyakinan bahwa tanpa adanya pertunjukan topeng Sida Karya seolah-olah upacara yadnya sepertinya belum selesai (puput). Yang menjadi dasar keyakinan tersebut adalah bahwa kalau dilihat dari sarana perlengkapan yang dibawakan oleh Tari Topeng Sida Karya yang berkaitan langsung dengan upacara yadnya masih sangat erat sekali hubungannya dengan rangkaian prosesi upacara yadnya.
b.    Fungsi Memupuk Bakat Seni
Topeng Sida karya diciptakan oleh penemunya sebagai sebuah karya seni yang diwujudkan dalam suatu bentuk pertunjukan lakon Topeng Sida Karya yang terdiri dari gabungan beberapa seni seperti seni rupa, seni suara, seni sastra, seni tari, dan lain-lainnya sebagai unsur-unsur pembentuknya.
Hubungan timbal - balik antara seni dengan masyarakat pendukungnya membuat seni menjadi suatu yang enak dibicarakan. Yang dibicarakan bukan hanya mengenai hal-hal yang indah, tetapin ada hal-hal yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat pendukung seni. Apabila seni di peruntukkan pada keindahan, maka yang berkaitan dengan keindahan yang nyata dapat dilihat dan di dengar seperti dalam bentuk kostum, pewarnaan, gerak, vokal dan lain­lainnya yang ditata sedemikian rupa akan menjadi suatu kesatuan bentuk yang dapat memikat dan menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi penciptanya.
c.    Fungsi Hiburan
Melalui pertunjukan Topeng Sidakarya disamping berfungsi sebagai tarian wali juga dapat berfungsi sebagai hiburan segar bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam pementasannya yang berhubungan dengan seni, akan dapat dirasakan oleh penontonnya sebagai hiburan segar. Hal ini dapat terjadi pada penyajian-penyajian melalui dialog-dialog yang diperankan oleh tokoh penakawannya (penasar, bondress) sebagai pembawa cerita.
Topeng Sida karya juga disebut dengan Topeng pajegan. Kata pajegan sama dengan memborong juga sama dengan matok atau diam, disebut juga pajegan yang berarti orang yang bertugas menjaga.
d.   Fungsi Menunjukkan Identitas Etnis
Dengan melihat sebuah kesenian akan dapat diterka bahwa suatu kesenian adalah kesenian dari etnis tertentu, sehingga ia dapat juga merupakan identitas etnis. Topeng Sida Karya merupakan tarian yang mencoba mengungkapkan identitas budaya masyarakat Bali khususnya. Identitas yang dapat di lihat dengan jelas dari topeng tersebut adalah vokal, sastra, kostum, gerak tari dan yang paling spesifik adalah dalam melakukan pelakonan Topeng Sida karya tepat pada saat melaksanakan upacara yadnya dengan memakai bentuk-bentuk sesajen yang tidak ada pada jenis jenis tarian lainnya.
e.    Fungsi Sebagai Penyelamat Budaya
Topeng Sida Karya merupakan asset budaya Bali yang masih eksis dipertunjukkan dalam upacara yadnya. Dengan demikian eksistensi tarian Topeng Sida karya juga dapat diselamatkan oleh masyarakat Bali, baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang, sebagai asset budaya bangsa pada umumnya, oleh karena budaya daerah adalah merupakan bagian dari budaya Nasional Bangsa Indonesia.
f.    Fungsi Pendidikan
Ditinjau dari segi pendidikan seni seharusnya menjadi dasar pendidikan, seni tidak hanya dipandang sebagai salah satu alat atau media, untuk memberikan keseimbangan antara rasionalitas dengan irasionalitas, akan tetapi juga memberikan pemahaman keseimbangan antara akal pikiran dengan kepekaan emosi manusia agar manusia dapat memanusiakan dirinya. Bahkan dipihak lain dalam batas-batas tertentu seni juga dapat menjadi arana untuk memperbaiki moral dan watak.
g.    Fungsi Ekonomi
Sekalipun Topeng Sida karya adalah tari yang disakralkan dan sampai saat ini belum ada yang mementaskan sebagai tari profan yang diperjual belikan, namun keberadaannya tidak kalah dengan jenis budaya yang lainnya dalam bidang memberikan kontribusi terhadap peningkatan tarap hidup khususnya bagi para seniman dan masyarakat Bali umumnya, oleh karena secara tidak langsung keberadaannya dapat memotifisti umatnya dalam berkreativitas dalam bidang seni sebagai pendongkrak perkembangan pariwisata daerah Bali yang dapat memikat para wisatawan untuk berkunjung ke daerah Bali dan akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya para seniman.

2.3       Makna Topeng Sida Karya
a.    Makna Religius
Topeng Sida Karya memiliki nilai religius yang tinggi. Hal ini dapat disimak dari rangkaian bentuk gerak tari, bentuk tapel, bentuk ucapan dan bentuk upacaranya, dapat diinterprestasikan sebagai manifestasi Tuhan menurut perspektif pencipta seni dan peminat atau pendukung seni tersebut.
Dengan demikian bagi para seniman di Bali pada hakekatnya mempunyai tujuan tidak semata-mata untuk mencari uang dalam berkesenian, melainkan adalah orang-orang seni yang mempersembahkan karya seninya dengan rasa iklas untuk mendapatkan kebebasan yang abadi dengan jalan mengabdi pada sang pencipta dengan tekad semangat ngayah (bahkti marga) dalam setiap ada kegiatan upacara yadnya.
b.    Makna Pembentukan Watak dan Moral
Dalam pementasan topeng penuh dengan bimbingan spiritual lewat simbol-simbol yang mengantarkan umatnya pada pemikiran yang religius sebagai penopang batinnya menuju jalan kebenaran. Dalam etika didasari oleh pemikiran sehat dan benar, dalam kesenian topeng ada estetika yang menyangkut cita rasa seni dan lainnya yang mempengaruhi watak dan moral dalam berprilaku sesuai dengan landasannya.
Di Bali dalam etika ada aturan-aturan yang semestinya di taati, seperti ada istilah Sor singgih, luan teben, boleh tidak dan lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar dari standar etika untuk dapat berpikir benar dari standar etika untuk dapat berpikir benar dan salah yang membimbing watak dan moral manusia. Sehingga dapat menjadi manusia yang etis dan bermoral, oleh karena itu manusia yang sejati Topeng Sida karya merupakan simbol proses mencari kebebasan (moksa). Disamping ada etika dari pengalaman pikiran benar dan salah, tetapi dalam Topeng Sida Karya ada lebih dari hal tersebut, didalamnya ada etika religius.
c.    Makna Kecerdasan Spiritual
Topeng Sida Karya dapat di interprestasikan maknanya sebagai peningkatan kecerdasan spiritual, yakni bahwa dalam pementasannya lebih banyak dimaknai sebagai simbol-simbol spiritual dan rohani. Penari Topeng Sidakarya kerap kali melakukan hal-hal yang berhubungan dengan spiritual (kebatinan).
Didalam melakoni Topeng Sida karya dilaksanakan proses yoga yaitu mulai dari proses penyucian diri dengan dilaksanakan upacara ritual (pawintenan ataupun upanayan) dengan maksud untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi wasa agar lebih melaksanakan wahyuNya. Berupa ajaran Weda, khususnya tentang ajaran Ketuhanan yang disebut ajaran "Brahma Rahasyam", supaya tidak mendapat halangan atau mendapat salah. Penari Topeng Sida Karya melaksanakan tahapan pembelajaran yoga melalui Astangga yoga yaitu melaksanakan Asana, yama brata, Nyama brata, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana san samadhi sebagai tujuan yoga tertinggi.
d.   Makna Apresiatif dan Refleksi
Beberapa kalangan menilai bahwa pergeseran tingkah laku dan budi pekerti masyarakat Bali akibat dari pengaruh global. Dalam kehidupan sehari-hari tingkah laku mereka sudah jauh meninggalkan nilai budi pekerti. Yang semula anak-anak itu penuh sopan santun dan penuh tatakrama dan terjadinya kemunduran moral seperti apa yang kita ketahui di dalam masyarakat, tidak sedikit anak-anak yang tidak menghiraukan nasehat orang tua, guru, dan lainnya. Prilaku yang seperti itu bagi masyarakat Bali pada zaman dahulu adalah merupakan hal yang ditabukan tetapi sekarang sudah dianggap hal biasa, oleh karena budi pekerti yang lepas kontrol dan sistem kendalinya terabaikan, semestinya kita tidak lengah oleh karena era komunikasi yang sudah terpampang di depan kita. Kita sadari bahwa untuk menangkal dan berkelit dari kenyataan ini sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Segala tindakan yang terkontrol etika moral ini mencerminkan bahwa telah terjadi erosi moral, hal ini perlu segera dicarikan solusi pencegahannya.
e.    Makna Estetis dan Pemupukan Hubungan Sosial
Pada dasarnya kehadiran kesenian adalah untuk dikomunikasikan, dengan maksud kesenian ditampilkan untuk ditonton, didengar, dinikmati dan diresapi, akhirnya direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu kehadiran pertunjukan Topeng Sidakarya bukan semata-mata hanya untuk hiburan dan sebagai ungkapan estetis para seniman, tetapi dia mempunyai fungsi dan makna serta tujuan tertentu bagi pendukungnya, yaitu pelestarian terhadap sosial budaya suatu bangsa. Oleh karena cakupan pengertian terhadap kesenian tradisional adalah sangat komplek yang mencakup seni sastra, rupa, suara, musik, gerak atau tari dan lainnya serta muatan yang tertanam di dalamnya bukan saja yang dapat dilihat dan di dengar akan tetapi juga ada hal-hal yang nelatar belakangi, berupa ide-ide dan gagasan yang dapat menjamur kelangsungan hidup suatu masyarakat.
f.    Makna Simbolik
Dalam penciptaan Topeng Sida Karya, diciptakan dengan kemampuan serta penuh kesadaran untuk dapat tercapainya tujuan-tujuan tertentu, dengan ungkapan simbolis. Begitu eratnya manusia dengan simbol­simbol, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai mahluk yang bersimbol.
Ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas manusia yang membedakannya manusia dengan hewan. Manusia tidak pernah menemukan atau mengetahui dan mengenal dunia secara langsung, akan tetapi dikenalinya melalui berbagai simbol-simbol tertentu. Disebut juga bahwa simbol-simbol tersebut tidak hanya sekedar fakta, tetapi mempunyai makna yang didalamnya mengandung unsur-unsur tertentu sebagai unsur pembebasan dan perluasan pandangan, oleh karena itu didalam menyampaikan sebuah ide manusia selalu mencari upaya-upaya agar idenya dapat dengan mudah dimengerti oleh orang lain.
Dalam pertunjukan Topeng Sidakarya, ngejuk atau mencari anak kecil hal ini dimaknai sebagai awal sesuatu pasti dimulai dari yang kecil atau muda, yang muda akan menjadi tumbuh dan berkembang. Pada saat mengambil anak kecil di beri uang yaitu berupa uang kepeng (pis bolong). Pis bolong adalah uang yang berbentuk bundar atau bulat di dalamnya berlubang. Pis bolong dipakai sarana upacara oleh karena dapat dimaknai mempunyai bentuk yang bulat sebagai lambang atau simbol Windu, Windu adalah merupakan awal dan akhir atau tanpa awal dan akhir. Dalam hal ini disamakan dengan matahari (energi Supranatural). Sebagai utpeti (sumber kehidupan dan pembangkit atau pencipta), sebagai stiti (pemelihara kehidupan seuai dengan Rta) dan sebagai pralina (mengembalikan pada sumbernya atau sangkan paran). Dalam hal ini Topeng Sida Karya adalah lambang, simbol lahir, hidup, mati (utpeti, Stiti dan pralina).
Oleh karena itu dalam kehidupan dipastikan dilalui oleh ketiga proses tersebut. Pada awalnya adalah lahir dalam artian adalah muda, setelah itu hidup, dalam hiduplah terjadi proses dengan segala fenomena suka dan akhirnya menuju kematian.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.      Pada masa kekuasaan Dalem Waturenggong di Gelgel, tepatnya ketika beliau mengadakan upacara atau karya "Nangluk Merana" di Pura Besakih. Tanpa diduga dan ditanya datanglah seorang Brahmana (walaka) dari Keling mencari saudaranya di Bali, yang bernama Dalem Waturenggong. Tentu saja Sang Brahmana tersebut dianggap gila oleh para pengayah (pelayan) sehingga dengan segera diusir.
         Karena bersikeras ingin bertemu dengan saudaranya, maka dengan paksa para pengayah karya mengusirnya. Sehingga Brahmana itu bersungut­-sungut sambil mengutuk agar rakyat Bali di serang gering (penyakit). Keadaannya benar demikian sehingga karya tak bisa dilaksanakan karena pengayah sakit, dan tanam-tanaman tidak berhasil (gagal panen).
         Atas petunjuk Sunya atau Ida Sang Hyang Widhi wasa dititahkan oleh dalem untuk mencari Brahmana Keling tersebut di Bandana Negara untuk dibawa menghadap dalem yang sedang berada di Pura Besakih. Dalam pada waktu itu, dalem memohon belas kasihan sang Brahmana Keling agar kesempurnaan pulau Bali dapat dikembalikan seperti sediakala. Dalem menerima sang Brahmana Keling sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidhakarya. Brahmana Keling meminta saksi pituhu yang membenarkan segala yang diucapkan.
         Ayam ini putih harus dijawab putih dan benar-benarlah ayam itu menjadi putih. Pohon kelapa ini berbuah dan benar-benar pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah menjadi berbuah. Setelah karya bisa dilaksanakan atau Sidha Karya maka Dalem Waturenggong menepati janjinya dengan memberi gelar pada Sang Brahmana Keling yaitu "Dalem Sidhakarya". Atas ketulusan sang Prabu waturenggong itu, dalem Sidhakarya mengaku sebagai Dewa segala merana (tikus, walang sangit dan lain-lainnya). Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka semenjak itu, Dalem Watu Renggong memerintahkan kepada seluruh rakyat di Bali apabila melaksanakan karya/yadnya, agar memohon jatu karya ke pura Dalem Sidhakarya yang berupa Catur Wija dan Panca Taru serta dinasehatkan pula agar rakyat jangan mematikan hama/merana dan demi sempurnanya pelaksanaan karya/yajna wajib mementaskan wali topeng Sidhakarya.
2.      Fungsi pertunjukan Topeng Sidakarya adalah sebagai pengiring upacara dan upacara di pura ataupun di luar pura seperti Dewa Yadnya, upacara, Rsi yadnya, upacara manusia yadnya, upacara pitra yadnya dan upacara Bhuta yadnya dan juga berfungsi untuk memupuk bakat seni, berfungsi sebagai hiburan, berfungsi penyelamat budaya, berfungsi sebagai pendidikan dan berfungsi sebagai ekonomi.
3.      Makna yang terkandung dalam pertunjukkan Topeng Sida Karya adalah makna Religius, makna pembentukan watak dan moral, makna kecerdasan spiritual, makna apresiatif dan reflektif, makna estetis dan pemupukan hubungan sosial dan makna simbolik.

3.2    Saran
           Sebagai umat Hindu sebaiknya kita memahami fungsi dan makna Topeng Sidakarya pada umumnya, dan kita harus bisa memanfaatkan seni tari tersebut dan menjaga kelestariannya. Umat Hindu semestinya mempercayai kesakralan dari suatu tari dan menjaga agar anak cucu kita dapat merasakan seni-seni yang telah ada dan ikut menjaganya.

DAFTAR PUSTAKA

1.   Bandem, I Made. Ensiklopedia Tari dan Musik Daerah Bali. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Dep. P dan K, Denpasar, 1997/1998.

2.   Kardji, I Wayan. 2001. Topeng Prembon Leluhur Orang Bali. Denpasar - Bali CV. Bali Media Adiliarsa.

3.   Yudabakti, I Made, dan Watra, I Wayan. 2007 Filsafat Seni sakral Dalam Kebudayaan Bali. Surabaya - Paramitha.

4.   Nada Atmaja, I Made. 2005. Sejarah Fungsi dan Makna Pementasan Topeng Sida Karya Dalam Upacara Agama Hindu Denpasar, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.






Topeng Sidha Karya


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Dewasa ini unsur kebudayaan dipakai sebagai ujung tombak masyarakat Bali, kreatifitas berbagai jenis seni seperti seni lukis, seni ukir, seni tabuh dan hermacam-macam seni tari. Dalam masyarakat Bali tak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kesenian sangat kuat mengakarnya karena keterkaitannya sangat lekat dengan kehidupan keagamaan. Terbukti sangat menjamurnya pementasan kesenian sakral dalam setiap pelaksanaan upacara agama.
Dengan seringnya diadakan pementasan seni sakral pada setiap upacara keagamaan maka banyak pula generasi muda mengandrungi untuk mempelajari kesenian sakral. Namun perlu diwaspadai bahwa perkembangan seni yang bebas, suatu saat dapat saja merubah cara pandang umat. Karena pada suatu saat tertentu tidak tertutup kemungkinan seni sakral akan jarang dipentaskan pada upacara keagamaan karena dengan berbagai alasan. Oleh karena itu upaya­-upaya penyadaran harus dilakukan melalui berbagai wacana terutama dari pihak pemerintah, lembaga adat dan agama dengan memperankan pada pakar-pakar sang membidangi masalah seni sakral. Sehingga dengan demikian dampak negatif dari perkembangan zaman modern dapat dihindari.
Mengingat kandungan seni sakral di pandang dari beberapa dimensi sangat kaya akan nilai-nilai seperti estetika, filsafat agama dan sebagai media penerangan serta pendidikan pada masyarakat. Dengan pelaksanaan pentas yang berkelanjutan akan membuka kesadaran masyarakat bahwa mereka sangat membutuhkan peran seni sakral dalam kehidupan keagamaan. Sebaliknya jika kesenian tersebut tidak sering dipentaskan, maka akan terasa mengurangi kekusukan pelaksanaan ritual keagamaan tersebut. Kebiasaan inilah yang sangat perlu diterapkan dalam usaha untuk menjaga seni sakral dari amukan zaman modern ini sehingga terhindar dari kepunahan.
Pada kesempatan ini akan dibahas seni sakral Topeng Sida Karya. Tari Topeng berarti menari dengan menggunakan topeng atau tapel sebagai penutup muka. Topeng pada mulanya muncul tidak menggunakan lakon-lakon tertentu karena biasanya hanya merupakan wali dalam upacara agama di Bali yang biasanya disebut topeng pajegan yang hanya ditarikan oleh seorang penari. Kata pajegan berasal dari kata pajeg yang berarti “Barong” dalam bahasa Indonesia dengan mendapat sufiks-an sehingga menjadi kata pajegan berarti barongan.
Topeng berasal dari kata tup yang berarti “tutup” ditambah kata eng yang kemudian mejadi topeng. Topeng kemudian mengalami perusahaan sehingga menjadi topeng.

1.2.    Rumusan Masalah
a.    Bagaimanakah sejarah Topeng Sida Karya ?
b.    Apa fungsi Topeng Sida Karya ?
c.    Apa makna Topeng Sida Karya ?

1.3.    Tujuan Penulisan
a.    Untuk mengetahui sejarah Topeng Sida Karya.
b.    Untuk mengetahui fungsi Topeng Sida Karya.
c.    Untuk mengetahui makna Topeng Sida Karya.
d.   Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Seni Sakral.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Sejarah Topeng Sida Karya
Pada masa Dalem Waturenggong memerintah di Gelgel ketika beliau mengadakan upacara atau karya nangluk merana di Besakih datanglah Brahmana dari Keling. Beliau mencari saudaranya ke Bali dan yang diakui saudaranya adalah Dalem Waturenggong sendiri. Sudah tentu Brahmana ini dianggap gila oleh para pengayah segera diusir.
Disebut Brahmana Keling karena beliau berasal dari daerah Keling, Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman/pertapaan di Lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Dang Hyang Kayu Manis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Empu Bahula dan cicit dari Empu Baradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari Keling maka beliau disebut “Brahmana Keling”.
  Konon Keraton Madura pernah lalai untuk menunaikan saji pajegan yaitu merupakan tarian upacara persembahan kepada Sang Hyang Leluhur. Karena sang raja pada waktu itu kurang yakin akibat yang akan ditimbulkan, sehingga raja begitu juga rakyat Madura tidak memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadinya kekacauan pada kerajaan Madura. Mendengar peristiwa ini, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura. Sesampainya di Madura beliau di jamu selayaknya sebagai seorang Brahmana oleh sang raja. Beliau banyak memberikan nasehat terutama kepada sang raja agar upacara dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Mulanya Sang Raja tidak percaya akan nasehat yang diberikan Brahmana Keling, tetapi Sang Brahmana tidak putus asa karena beliau dapat membaca, menyelami perasaan sang raja yang selalu dihantui oleh ketidakpastian (bimbang).
Supaya Sang Raja merasa yakin akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya, dengan jalan :
-      Pisang yang sudah layu dan kering dihidupkan kembali dan terbukti menjadi hijau dan subur.
-      Benang yang hitam dengan sekejap dapat diputihkan.
-      Dan hal-hal yang aneh lainnya dapat ditunjukkan.
Sang Raja terpengaruh dan terpesona melihat keajaiban-keajaiban seperti ini. Akhirnya Sang Raja sangat taat memenuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling. Begitu pula selanjutnya beliau ditunjuk untuk memimpin upacara (wali) di Madura.
Dengan demikian dapatlah terselenggara upacara (wali) seperti “Saji pepajengan” dengan lancar dan sukses, keadaan kerajaan kembali aman dan tentram. Oleh karena itu beliau dijuluki Brahmana Wasaka yang artinya asal kata Wacika = upacara/perkataan dan satya = ksatria = kebenaran. Secara umum berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya (Sidhi ngucap Sidhi mandhi). Selanjutnya beliau kembali ke tanah Jawa (Jawa Timur).
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, tibalah beliau di suatu desa pesisir Pantai Desa Muncar. Beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat Bali. Tak disangka dihadapan beliau tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayu Manis), Sang Ayah bercerita panjang tentang keberadaan di Nusa Bali, bahwa di Bali sekarang ini dikerajaan Gelgel yang menjadi raja adalah Dalem Waturenggong dan dang Hyang Niratha yang mendampingi Dalem Waturenggong sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan upacara (karya Eka Dasa Rudra di pura Besakih).
Mendengar sang Ayah bercerita demikian, lalu pertemua Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Desa Muncar sudah selesai sekaligus merupakan pertemuan yang terakhir. Sang Ayah selanjutnya menuju ke pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedang Brahmana Keling selanjutnya menuju pulau Bali menuju Keraton Gelgel.
Tentang perjalanan Brahmana Keling menuju ke Bali kekeraton Gelgel tidak tahu apakah beliau menggunakan apa ? jejak-jejak perjalanan beliau di mana ? kemana ? dan sebagainya.
Lain halnya perjalanan Dang Hyang Niratha, beliau menuju Bali menggunakan Waluh luh (Labu) sedangkan anak istrinya memakai sampan bocor sampai tiba di perancak. Selanjutnya napak tilas perjalanan Dang Hyang Niratha dari barat ke timur, seterusnya cukup jelas sampai sekarang dengan bukti-bukti pelinggih / pura-paru yang ada dan sebagainya.
Perjalanan Brahmana Keling tak ada yang tahu. Tak berapa lama beliau sudah ada di keraton Gelgel. Namun sayang sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton dalam keadaan sepi, beliau lalu disapa oleh beberapa penua masyarakat yang ada di keraton.
Dalam keadaan lesu, lusuh dan pakaian yang serba kumal dan kotor Brahmana Keling menjawab, bahwa beliau bermaksud menemui saudaranya yang lain adalah sang prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Niratha, karena sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Niratha tidak ada di keraton maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju Pura Besakih, sebab Sang Prabu dan Dang Hyang Niratha ada disana sedang sibuk dengan para mengiringnya mempersiapkan pengadaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Sesampainya di pelataran pura lagi beliau disapa oleh masyarakat para pengayah yang ada di pura.
Brahmana Keling menjawab sama, bahwa beliau ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Niratha yang sedang ada di pura. Masyarakat tadipun belum berani menghadap Dalem karena ia beranggapan bahwa orang yang datang dalam keadaan begini tidak mungkin saudara sang prabu maupun Dang Hyang Niratha, bahwa masyarakat sangat tersinggung dengan pengakuan Sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalem junjungannya seolah-olah derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Niratha disamakan dengan dirinya yang dalam keadaan compang - camping selayaknya seorang pengemis.
Tetapi Brahmana Keling bersikeras dan karena suatu sebab rakyat tidak bisa menghalanginya, serta tidak ada yang melihat beliau menuju ke dalam. Akhirnya mungkin karena saking payahnya beliau dalam perjalanan panjang Brahmana Keling langsung menuju pelinggih Surya Candra, diatas sanalah beliau duduk beristirahat sejenak untuk melepas penatnya.
Tak berselang beberapa lama datanglah Sang prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh keatas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah berani duduk diatas sana. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi dilarang masuk, lebih-­lebih ia mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Niratha yang sangat ingin bertemu dengan Sang prabu. Tetapi entah mengapa orang itu tidak disangkanya sudah ada diatas pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya serta semua yang ada disana sangat terkejut dan keheranan.
Mendengar apa yang telah dilaporkan para prajurit dan para pengayah, bertambah murkanya lagi sang prabu, seketika itu dengan suara yang bergetar keras memerintahkan para prajurit, pengayah dan rakyat untuk segera menyeret keluar orang yang disangka gila itu. Serta merta prajurit dan masyarakat mengusir Brahmana Keling dengan suara sorak sorai
Karena saking murkanya hati Brahmana Keling sebab sama sekali beliau tidak mengadakan perlawanan apa-apa akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang sudah tidak mengakui lagi sebagai saudara.
Sebelum Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan kutuk Pastu yang isinya :
"Wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama membuat kehancuran (ngrubeda) di seluruh jagat (bumi) Bali".
Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar disiang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutip sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju Barat daya.
Dalam perjalanan beliau baik dari Keling ke Madura, dari Madura kembali ke Jawa (di Muncar) dari Muncar ke Bali (Gelgel dan Besakih) lanjut dari Besakih menuju Badanda Negara, semuanya tidak ada yang tahu secara persis seperti perjalanan petualang-petualang lainnya.
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berselang lama/beberapa hari suasana sejagat Bali terutama Kraton Gelgel dan sekitarnya mulai menampakkan situasi yang tidak mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana, semua tanaman-tanaman, pohon-pohon yang berguna bagi pelaksanaan penunjang karya seperti : Kelapa, pisang, padi, sayuran dan sebagainya semuanya layu, buah berguguran, wabah/hama seperti : ulat, tikus dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman para petani, bumi seketika kering kerontang, wabah penyakit meraja rela menyerang penduduk keadaan sangat mengerikan (gerubug) antara pengayah bertengkar tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau.
Sehingga jadwal pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti ini lalu Dang Hyang Niratha diperintahkan oleh Ida Dalem melakukan upakara pembasmian dengan melakukan tapa samadi juga tidak mempan, akhirnya Ida Dalem sendirilah yang turun tangan, memerintahkan Dang Hyang Nirartha untuk membuat upakara lanjut mengadakan tapa samadi.
Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Semadi di Puxa Besakih. Beliau mendapat pewisik petunjuk Ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala hanya Brahmana Keling-lah yang mampu melakukan hal itu.
Setelah mendapatkan petunjuk (pawisik) esok harinya langsung Ida Dalem memanggil perdana mentrinya Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan dan lain-lain termasuk para punggawa untuk mengadakan sidang. Dalam sidang tanpa agenda tersebut memutuskan agar secepatnya menjemput Brahmana Keling yang pernah diusirnya. Karena beliaulah yang dapat mengembalikan situasi kegeringan seperti ini serta beliau sekarang ada di Bedanda Negara (Pandan - Negara) di pesisir selatan Kabupaten Badung.
Pada waktu itu yang menjadi raja (anglurah) Bedanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori (Dinasthi Tegeh Kori). Namun disini tidak diketahui secara jelas siapakah senopati yang diutus menjemput Brahmana Keling.
Singkat cerita berangkatlah rombongan menjemput Brahmana Keling ke Bedanda Negara, pertama-tama menuju keraton Tegeh Kori di Badung untuk meminta petunjuk lebih lanjut akhirnya menuju pandan Negara (pesisir selatan kerajaan Badung = Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di pandan­negara bertemulah dengan Brahmana Keling lalu rombongan menghaturkan sembah sujud Mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangannya menghadap sang Brahmana. Sesuai dengan perintah Ida Dalem memohon agar Ida Brahmana Keling bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Begitu mendengar cerita dan permohonan utusan Dalem Waturenggong, Ida Brahmana Keling sudah mengerti dan menanggapi semuanya, selanjutnya mempersilahkan kepada utusan rombongan Dalem segera berangkat duluan, Brahmana Keling akan menyusul.
Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Besakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan dengan rombongan penjemputnya dihadapan Dalem Waturenggong di Pura Besakih. Setibanya Brahmana Keling di pura Besakih barulah beliau di sambut selayaknya tamu kebesaran dan diperlakukan dengan sangat hormat sopan dan ramah.
Dalam percakapan Dalem Waturenggong yang di saksikan juga oleh Dang Hyang Niratha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan kekeringan, kegersangan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti sedia kala maka Dalem Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui memang benar Brahmana Keling saudara Dalem Waturenggong. Mendengar sabda Ida Dalem sedemikian Brahmana Keling dengan senang hati menyanggupinya, seketika itu pula tanpa prasarana sesajen apapun beliau hening sejenak mengucapkan mantra-mantra dan dengan kekuatan bathin yang luar biasa terbuktilah :
-      Ayam hitam dikatakan putih, benar-benar menjadi putih.
-      Kelapa yang kekeringan, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan dengan buah yang sangat lebat, begitu juga pisang yang kuning dan layu dikatakan hidup kembali dan berbuah ternyata benar.
-      Hama tikus, walang sangit, wereng, ulat dan sebagainya yang menyerang tumbuh-tumbuhan dikatakan lenyap, langsung lenyap seketika.
-      Bumi subur menjadi subur
-      Masyarakat rakyat kegeringan seketika menjadi sehat walafiat.
Apa yang diucapkan Brahmana Keling betul-betul terbukti sehingga Ida Dalem, Dang Hyang Niratha serta hadirin semua yang menyaksikan dengan penuh keheran-heranan dan terpesona, karena dihadapannya terjadi hal-hal aneh yang menakjubkan. Akhirnya pada saat itulah juga Dalem Waturenggong mengakui bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.
Pelaksanaan karya di Pura Besakih, habis situasi tersebut, dapat dikembalikan seperti sedia kala dan bahkan keadaannya lebih baik dari hari-hari sebelumnya, sehingga karya dapat dilanjutkan kembali. Karya di pura Besakih pada saat itu sesungguhnya tingkat karya Eka Dasa Rudra, yang dilaksanakan purnamaning sasih kedasa ± tahun saka 1437 = 1515 masehi (abad ke - 16). Pada pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Niratha dan Brahmana Keling. Karena sebelumnya Bali (kerajaan Gelgel) pernah mengalami kegeringan, maka pada saat karya Eka Dasa Rudra juga dirangkaikan dengan karya nangkluk merana, jadi pada saat itu dilaksanakan dua rangkaian karya pokok di pura Besakih dan lumrah disebut "Karya Nangluh Merana".
Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang melimpah ruah sebagai sarana prasarana suksesnya pelaksanaan karya, sehingga karya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses/berhasil Sidakarya sesuai harapan Ida Dalem Waturenggong. Oleh karenanya Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Bramana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya.
Saking gembiranya Ida Dalem karena karya yang dilaksanakan betul-­betul berhasil (Sidakarya), selain gelar Dalem yang dianugrahkan atas nasehat dan anjuran Dang Hyang Niratha (disamping itu mungkin karena sabda Hyang pramawisesa) Dalem Waturenggong di pura Besakih dihadapan para menteri/patih/para arya di kiri kanan Dalem Waturenggong duduk Dang Hyang Niratha dan Dalem Sidakarya bersabda :
·      Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan karya wajib (wenang) nunas tirta penyida karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya. Supaya karya menjadi Sidakarya (pemuput karya) yang terletak di pesisir selatan jagat Badung (= di desa Sidakarya sekarang).
·      Pada setiap upakara wajib disebarkan sarana serba Sidakarya seperti
·      Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen ) dan jejaitan.
·      Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan )
·      Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan)
Tujuan supaya semua penunjang pelaksanaan karya serba Sidakarya = berhasil
·      Demi sempurnanya pelaksaYaan karya wajib mementaskan wali Topeng Sidakarya.
·      Wajib nunas catur Bija dan Panca Taru Sidakarya.
·      Itulah lebih kurang isi sabda dalem waturenggong pada saat itu yang sampai sekarang ini dan seterusnya wajib dipatuhi oleh umat Hindu sejagat.

2.2    Fungsi Topeng Sidakarya
Kesenian dapat difungsikan sesuai dengan para peminat seni. Mengenai sifat kesenian menurut Soedarsono bisa terdapat pada semua lapisan masyarakat, baik pada masyarakat yang tingkatannya sederhana maupun pada masyarakat yang tingkatannya super elit, biasanya dalam pertunjukan kesenian penonton tidak aktif, penonton hanya dilibatkan sebagai peserta. Disebutkan juga bahwa kesenian dipertunjukkan hanya ditopang oleh masyarakat lingkungannya oleh karena menyangkut kepentingan agama dan adat.
Topeng Sida Karya mempunyai fungsi sebagai fungsi ritual dan sebagai fungsi hiburan sendiri bagi peminat seni. Fungsi-fungsi dari Topeng Sidakarya adalah :
a.    Fungsi sebagai pelengkap sarana ritual
Dilihat dari fungsinya Topeng Sida karya berfungsi sebagai tari wali, oleh karena itu topeng Sida karya dipakai sebagai pengiring acara upacara yadnya bahkan sudah diyakini oleh umat Hindu di Bali khususnya bahwa Topeng Sida Karya identik dengan pemuput yadnya. Juga ada yang berkeyakinan bahwa tanpa adanya pertunjukan topeng Sida Karya seolah-olah upacara yadnya sepertinya belum selesai (puput). Yang menjadi dasar keyakinan tersebut adalah bahwa kalau dilihat dari sarana perlengkapan yang dibawakan oleh Tari Topeng Sida Karya yang berkaitan langsung dengan upacara yadnya masih sangat erat sekali hubungannya dengan rangkaian prosesi upacara yadnya.
b.    Fungsi Memupuk Bakat Seni
Topeng Sida karya diciptakan oleh penemunya sebagai sebuah karya seni yang diwujudkan dalam suatu bentuk pertunjukan lakon Topeng Sida Karya yang terdiri dari gabungan beberapa seni seperti seni rupa, seni suara, seni sastra, seni tari, dan lain-lainnya sebagai unsur-unsur pembentuknya.
Hubungan timbal - balik antara seni dengan masyarakat pendukungnya membuat seni menjadi suatu yang enak dibicarakan. Yang dibicarakan bukan hanya mengenai hal-hal yang indah, tetapin ada hal-hal yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat pendukung seni. Apabila seni di peruntukkan pada keindahan, maka yang berkaitan dengan keindahan yang nyata dapat dilihat dan di dengar seperti dalam bentuk kostum, pewarnaan, gerak, vokal dan lain­lainnya yang ditata sedemikian rupa akan menjadi suatu kesatuan bentuk yang dapat memikat dan menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi penciptanya.
c.    Fungsi Hiburan
Melalui pertunjukan Topeng Sidakarya disamping berfungsi sebagai tarian wali juga dapat berfungsi sebagai hiburan segar bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam pementasannya yang berhubungan dengan seni, akan dapat dirasakan oleh penontonnya sebagai hiburan segar. Hal ini dapat terjadi pada penyajian-penyajian melalui dialog-dialog yang diperankan oleh tokoh penakawannya (penasar, bondress) sebagai pembawa cerita.
Topeng Sida karya juga disebut dengan Topeng pajegan. Kata pajegan sama dengan memborong juga sama dengan matok atau diam, disebut juga pajegan yang berarti orang yang bertugas menjaga.
d.   Fungsi Menunjukkan Identitas Etnis
Dengan melihat sebuah kesenian akan dapat diterka bahwa suatu kesenian adalah kesenian dari etnis tertentu, sehingga ia dapat juga merupakan identitas etnis. Topeng Sida Karya merupakan tarian yang mencoba mengungkapkan identitas budaya masyarakat Bali khususnya. Identitas yang dapat di lihat dengan jelas dari topeng tersebut adalah vokal, sastra, kostum, gerak tari dan yang paling spesifik adalah dalam melakukan pelakonan Topeng Sida karya tepat pada saat melaksanakan upacara yadnya dengan memakai bentuk-bentuk sesajen yang tidak ada pada jenis jenis tarian lainnya.
e.    Fungsi Sebagai Penyelamat Budaya
Topeng Sida Karya merupakan asset budaya Bali yang masih eksis dipertunjukkan dalam upacara yadnya. Dengan demikian eksistensi tarian Topeng Sida karya juga dapat diselamatkan oleh masyarakat Bali, baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang, sebagai asset budaya bangsa pada umumnya, oleh karena budaya daerah adalah merupakan bagian dari budaya Nasional Bangsa Indonesia.
f.    Fungsi Pendidikan
Ditinjau dari segi pendidikan seni seharusnya menjadi dasar pendidikan, seni tidak hanya dipandang sebagai salah satu alat atau media, untuk memberikan keseimbangan antara rasionalitas dengan irasionalitas, akan tetapi juga memberikan pemahaman keseimbangan antara akal pikiran dengan kepekaan emosi manusia agar manusia dapat memanusiakan dirinya. Bahkan dipihak lain dalam batas-batas tertentu seni juga dapat menjadi arana untuk memperbaiki moral dan watak.
g.    Fungsi Ekonomi
Sekalipun Topeng Sida karya adalah tari yang disakralkan dan sampai saat ini belum ada yang mementaskan sebagai tari profan yang diperjual belikan, namun keberadaannya tidak kalah dengan jenis budaya yang lainnya dalam bidang memberikan kontribusi terhadap peningkatan tarap hidup khususnya bagi para seniman dan masyarakat Bali umumnya, oleh karena secara tidak langsung keberadaannya dapat memotifisti umatnya dalam berkreativitas dalam bidang seni sebagai pendongkrak perkembangan pariwisata daerah Bali yang dapat memikat para wisatawan untuk berkunjung ke daerah Bali dan akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya para seniman.

2.3       Makna Topeng Sida Karya
a.    Makna Religius
Topeng Sida Karya memiliki nilai religius yang tinggi. Hal ini dapat disimak dari rangkaian bentuk gerak tari, bentuk tapel, bentuk ucapan dan bentuk upacaranya, dapat diinterprestasikan sebagai manifestasi Tuhan menurut perspektif pencipta seni dan peminat atau pendukung seni tersebut.
Dengan demikian bagi para seniman di Bali pada hakekatnya mempunyai tujuan tidak semata-mata untuk mencari uang dalam berkesenian, melainkan adalah orang-orang seni yang mempersembahkan karya seninya dengan rasa iklas untuk mendapatkan kebebasan yang abadi dengan jalan mengabdi pada sang pencipta dengan tekad semangat ngayah (bahkti marga) dalam setiap ada kegiatan upacara yadnya.
b.    Makna Pembentukan Watak dan Moral
Dalam pementasan topeng penuh dengan bimbingan spiritual lewat simbol-simbol yang mengantarkan umatnya pada pemikiran yang religius sebagai penopang batinnya menuju jalan kebenaran. Dalam etika didasari oleh pemikiran sehat dan benar, dalam kesenian topeng ada estetika yang menyangkut cita rasa seni dan lainnya yang mempengaruhi watak dan moral dalam berprilaku sesuai dengan landasannya.
Di Bali dalam etika ada aturan-aturan yang semestinya di taati, seperti ada istilah Sor singgih, luan teben, boleh tidak dan lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar dari standar etika untuk dapat berpikir benar dari standar etika untuk dapat berpikir benar dan salah yang membimbing watak dan moral manusia. Sehingga dapat menjadi manusia yang etis dan bermoral, oleh karena itu manusia yang sejati Topeng Sida karya merupakan simbol proses mencari kebebasan (moksa). Disamping ada etika dari pengalaman pikiran benar dan salah, tetapi dalam Topeng Sida Karya ada lebih dari hal tersebut, didalamnya ada etika religius.
c.    Makna Kecerdasan Spiritual
Topeng Sida Karya dapat di interprestasikan maknanya sebagai peningkatan kecerdasan spiritual, yakni bahwa dalam pementasannya lebih banyak dimaknai sebagai simbol-simbol spiritual dan rohani. Penari Topeng Sidakarya kerap kali melakukan hal-hal yang berhubungan dengan spiritual (kebatinan).
Didalam melakoni Topeng Sida karya dilaksanakan proses yoga yaitu mulai dari proses penyucian diri dengan dilaksanakan upacara ritual (pawintenan ataupun upanayan) dengan maksud untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi wasa agar lebih melaksanakan wahyuNya. Berupa ajaran Weda, khususnya tentang ajaran Ketuhanan yang disebut ajaran "Brahma Rahasyam", supaya tidak mendapat halangan atau mendapat salah. Penari Topeng Sida Karya melaksanakan tahapan pembelajaran yoga melalui Astangga yoga yaitu melaksanakan Asana, yama brata, Nyama brata, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana san samadhi sebagai tujuan yoga tertinggi.
d.   Makna Apresiatif dan Refleksi
Beberapa kalangan menilai bahwa pergeseran tingkah laku dan budi pekerti masyarakat Bali akibat dari pengaruh global. Dalam kehidupan sehari-hari tingkah laku mereka sudah jauh meninggalkan nilai budi pekerti. Yang semula anak-anak itu penuh sopan santun dan penuh tatakrama dan terjadinya kemunduran moral seperti apa yang kita ketahui di dalam masyarakat, tidak sedikit anak-anak yang tidak menghiraukan nasehat orang tua, guru, dan lainnya. Prilaku yang seperti itu bagi masyarakat Bali pada zaman dahulu adalah merupakan hal yang ditabukan tetapi sekarang sudah dianggap hal biasa, oleh karena budi pekerti yang lepas kontrol dan sistem kendalinya terabaikan, semestinya kita tidak lengah oleh karena era komunikasi yang sudah terpampang di depan kita. Kita sadari bahwa untuk menangkal dan berkelit dari kenyataan ini sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Segala tindakan yang terkontrol etika moral ini mencerminkan bahwa telah terjadi erosi moral, hal ini perlu segera dicarikan solusi pencegahannya.
e.    Makna Estetis dan Pemupukan Hubungan Sosial
Pada dasarnya kehadiran kesenian adalah untuk dikomunikasikan, dengan maksud kesenian ditampilkan untuk ditonton, didengar, dinikmati dan diresapi, akhirnya direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu kehadiran pertunjukan Topeng Sidakarya bukan semata-mata hanya untuk hiburan dan sebagai ungkapan estetis para seniman, tetapi dia mempunyai fungsi dan makna serta tujuan tertentu bagi pendukungnya, yaitu pelestarian terhadap sosial budaya suatu bangsa. Oleh karena cakupan pengertian terhadap kesenian tradisional adalah sangat komplek yang mencakup seni sastra, rupa, suara, musik, gerak atau tari dan lainnya serta muatan yang tertanam di dalamnya bukan saja yang dapat dilihat dan di dengar akan tetapi juga ada hal-hal yang nelatar belakangi, berupa ide-ide dan gagasan yang dapat menjamur kelangsungan hidup suatu masyarakat.
f.    Makna Simbolik
Dalam penciptaan Topeng Sida Karya, diciptakan dengan kemampuan serta penuh kesadaran untuk dapat tercapainya tujuan-tujuan tertentu, dengan ungkapan simbolis. Begitu eratnya manusia dengan simbol­simbol, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai mahluk yang bersimbol.
Ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas manusia yang membedakannya manusia dengan hewan. Manusia tidak pernah menemukan atau mengetahui dan mengenal dunia secara langsung, akan tetapi dikenalinya melalui berbagai simbol-simbol tertentu. Disebut juga bahwa simbol-simbol tersebut tidak hanya sekedar fakta, tetapi mempunyai makna yang didalamnya mengandung unsur-unsur tertentu sebagai unsur pembebasan dan perluasan pandangan, oleh karena itu didalam menyampaikan sebuah ide manusia selalu mencari upaya-upaya agar idenya dapat dengan mudah dimengerti oleh orang lain.
Dalam pertunjukan Topeng Sidakarya, ngejuk atau mencari anak kecil hal ini dimaknai sebagai awal sesuatu pasti dimulai dari yang kecil atau muda, yang muda akan menjadi tumbuh dan berkembang. Pada saat mengambil anak kecil di beri uang yaitu berupa uang kepeng (pis bolong). Pis bolong adalah uang yang berbentuk bundar atau bulat di dalamnya berlubang. Pis bolong dipakai sarana upacara oleh karena dapat dimaknai mempunyai bentuk yang bulat sebagai lambang atau simbol Windu, Windu adalah merupakan awal dan akhir atau tanpa awal dan akhir. Dalam hal ini disamakan dengan matahari (energi Supranatural). Sebagai utpeti (sumber kehidupan dan pembangkit atau pencipta), sebagai stiti (pemelihara kehidupan seuai dengan Rta) dan sebagai pralina (mengembalikan pada sumbernya atau sangkan paran). Dalam hal ini Topeng Sida Karya adalah lambang, simbol lahir, hidup, mati (utpeti, Stiti dan pralina).
Oleh karena itu dalam kehidupan dipastikan dilalui oleh ketiga proses tersebut. Pada awalnya adalah lahir dalam artian adalah muda, setelah itu hidup, dalam hiduplah terjadi proses dengan segala fenomena suka dan akhirnya menuju kematian.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.      Pada masa kekuasaan Dalem Waturenggong di Gelgel, tepatnya ketika beliau mengadakan upacara atau karya "Nangluk Merana" di Pura Besakih. Tanpa diduga dan ditanya datanglah seorang Brahmana (walaka) dari Keling mencari saudaranya di Bali, yang bernama Dalem Waturenggong. Tentu saja Sang Brahmana tersebut dianggap gila oleh para pengayah (pelayan) sehingga dengan segera diusir.
         Karena bersikeras ingin bertemu dengan saudaranya, maka dengan paksa para pengayah karya mengusirnya. Sehingga Brahmana itu bersungut­-sungut sambil mengutuk agar rakyat Bali di serang gering (penyakit). Keadaannya benar demikian sehingga karya tak bisa dilaksanakan karena pengayah sakit, dan tanam-tanaman tidak berhasil (gagal panen).
         Atas petunjuk Sunya atau Ida Sang Hyang Widhi wasa dititahkan oleh dalem untuk mencari Brahmana Keling tersebut di Bandana Negara untuk dibawa menghadap dalem yang sedang berada di Pura Besakih. Dalam pada waktu itu, dalem memohon belas kasihan sang Brahmana Keling agar kesempurnaan pulau Bali dapat dikembalikan seperti sediakala. Dalem menerima sang Brahmana Keling sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidhakarya. Brahmana Keling meminta saksi pituhu yang membenarkan segala yang diucapkan.
         Ayam ini putih harus dijawab putih dan benar-benarlah ayam itu menjadi putih. Pohon kelapa ini berbuah dan benar-benar pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah menjadi berbuah. Setelah karya bisa dilaksanakan atau Sidha Karya maka Dalem Waturenggong menepati janjinya dengan memberi gelar pada Sang Brahmana Keling yaitu "Dalem Sidhakarya". Atas ketulusan sang Prabu waturenggong itu, dalem Sidhakarya mengaku sebagai Dewa segala merana (tikus, walang sangit dan lain-lainnya). Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka semenjak itu, Dalem Watu Renggong memerintahkan kepada seluruh rakyat di Bali apabila melaksanakan karya/yadnya, agar memohon jatu karya ke pura Dalem Sidhakarya yang berupa Catur Wija dan Panca Taru serta dinasehatkan pula agar rakyat jangan mematikan hama/merana dan demi sempurnanya pelaksanaan karya/yajna wajib mementaskan wali topeng Sidhakarya.
2.      Fungsi pertunjukan Topeng Sidakarya adalah sebagai pengiring upacara dan upacara di pura ataupun di luar pura seperti Dewa Yadnya, upacara, Rsi yadnya, upacara manusia yadnya, upacara pitra yadnya dan upacara Bhuta yadnya dan juga berfungsi untuk memupuk bakat seni, berfungsi sebagai hiburan, berfungsi penyelamat budaya, berfungsi sebagai pendidikan dan berfungsi sebagai ekonomi.
3.      Makna yang terkandung dalam pertunjukkan Topeng Sida Karya adalah makna Religius, makna pembentukan watak dan moral, makna kecerdasan spiritual, makna apresiatif dan reflektif, makna estetis dan pemupukan hubungan sosial dan makna simbolik.

3.2    Saran
           Sebagai umat Hindu sebaiknya kita memahami fungsi dan makna Topeng Sidakarya pada umumnya, dan kita harus bisa memanfaatkan seni tari tersebut dan menjaga kelestariannya. Umat Hindu semestinya mempercayai kesakralan dari suatu tari dan menjaga agar anak cucu kita dapat merasakan seni-seni yang telah ada dan ikut menjaganya.

DAFTAR PUSTAKA

1.   Bandem, I Made. Ensiklopedia Tari dan Musik Daerah Bali. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Dep. P dan K, Denpasar, 1997/1998.

2.   Kardji, I Wayan. 2001. Topeng Prembon Leluhur Orang Bali. Denpasar - Bali CV. Bali Media Adiliarsa.

3.   Yudabakti, I Made, dan Watra, I Wayan. 2007 Filsafat Seni sakral Dalam Kebudayaan Bali. Surabaya - Paramitha.

4.   Nada Atmaja, I Made. 2005. Sejarah Fungsi dan Makna Pementasan Topeng Sida Karya Dalam Upacara Agama Hindu Denpasar, Universitas Hindu Indonesia Denpasar.