"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/08/2012

PENGEMBANGAN SASTRA LOKAL


Pengembangan Sastra Lokal sebagai  Panasea bagi Pembentukan Karakter Bangsa
Oleh:
Rita Inderawati Rudy
JPBS FKIP Universitas Sriwijaya


Pendahuluan
Abad ke-21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lonjakan gejolak yang mewarnai persada ini tidak pernah surut memojokkan bangsa Indonesia. Berbagai kemelut yang melanda bangsa diharapkan mampu diatasi lewat jalur pendidikan. Pendidikan menjadi fenomena yang muncul sebagai sebuah kekuatan utama yang mampu mempengaruhi kualitas manusia. Dewasa ini, sering terjadi peristiwa yang kurang terpuji di kalangan pelajar. Siswa sekolah menengah melakukan tawuran dan perkelahian, sedangkan mahasiswa selain melakukan aksi perkelahian dan tawuran, mereka juga menunjukkan sifat anarkhis dan destruktif.
Ilustrasi di atas membuka lebar mata dan cakrawala berpikir SDM Indonesia yang kesehariannya bergelut dengan bahasa untuk turut mengambil bagian dalam membangun karakter bangsa. Landasan pembangunan nasional selayaknya tidak hanya bertumpu pada sains dan teknologi tetapi juga harus berlandaskan humaniora. Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat menjadi alternatif merajut tatanan kenegaraan dan menjadi alat pengendali arogansi iptek adalah sastra. Membaca karya sastra  tidak  hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan taqwa (Rudy, 2009). Sejalan dengan kenyataan ini, Husniah dan Arifani (2010) mengemukakan hal berikut.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti ialah sastra. Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang protagonis maupun yang antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya.

Sepakat dengan rincian Rosenblatt di atas, aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra. Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta, bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.
Manfaat pembelajaran sastra sudah sangat banyak dikemukakan para ahli sastra. Ironisnya, teori-teori yang membahas manfaat sastra belum menyentuh tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori tersebut harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya pembelajaran sastra yang estetik, pembelajaran yang mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pembelajaran sastra yang dapat mengembangkan ketiga aspek penting tersebut telah diteliti dan dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa apresiasi sastra dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra mahasiswa. Pada tahun 2005, Rudy meneliti bahwa kemampuan menulis siswa SD dapat meningkat dengan mengapresiasi karya sastra yang menggunakan respons pembaca dan simbol visual. Penelitian-penelitian selanjutnya merupakan penelitian pengembangan yang penulis lakukan agar pembelajaran sastra dengan kolaborasi respons pembaca dan respons simbol visual berkontribusi positif terhadap apresiasi sastra dengan memanfaatkan sastra lokal untuk turut melestarikan budaya lokal Indonesia. Talib (2010) turut memberikan penekanan mengenai hal itu sebagai berikut.
Dengan melihat pentingnya peranan bahasa dan sastra lokal dalam masyarakat, maka perlu dilakukan pelestarian sedini mungkin. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengaktifkan kembali kegiatan pewarisan budaya lokal atau leluhur yang mempunyai makna luhur baik melalui jalur keluarga, terutama jalur pendidikan.

Jejak penelitian yang mengangkat respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradigma baru apresiasi sastra yang mementingkan peran pembaca ketika bergaul dengan karya sastra diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya sebagai bukti bahwa kolaborasi kedua respons efektif meningkatkan kemampuan mengapresiasi karya sastra yang tidak hanya mencerdaskan kognisi  tetapi juga afeksi peserta didik. Selain itu, hasil penelitian tersebut diaplikasikan dalam pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan setidaknya oleh para peneliti lanjutan dan mahasiswa yang telah menjadi subjek penelitian. Dengan demikian, kolaborasi respons hasil penelitian  menjadi obat mujarap yang ampuh (panasea) bagi pembentukan karakter peserta didik karena unsur-unsur pembangun karya sastra bukan hanya diidentifikasi tetapi dieksplorasi tanpa takut terbelenggu dalam kata-kata.
Paparan di atas memberikan gambaran singkat mengenai pentingnya pembelajaran sastra diajarkan di seluruh jenjang pendidikan. Makalah ini lebih jauh membahas tentang peta penelitian (roadmap) mengapresiasi karya sastra dan pembelajaran apresiasi sastra sebagai mata kuliah tambahan atau muatan lokal (local content) atau terintegrasi ke dalam mata kuliah kepribadian dengan konsep literature for all di jurusan atau program studi non bahasa di fakultas keguruan agar mahasiswa dapat memperhalus budi pekerti dan mengembangkan watak dan kepribadian yang baik selama menekuni perkuliahan. Pada akhirnya, pembelajaran apresiasi sastra dapat diperkenalkan dan diimplementasikan pada fakultas-fakultas non kependidikan dengan mengeksplorasi karya sastra lokal atau karya sastra dengan genre novel atau karya sastra yang berlatar-belakang bidang keilmuan mahasiswa masing-masing dan mengapresiasinya dengan mengaplikasikan kolaborasi respons pembaca dan respons simbol visual.
Peta Penelitian Pembelajaran Apresiasi Sastra
Gagasan mengedepankan konsep Literature for All berawal dari penelitian-penelitan apresiasi sastra yang telah 12 tahun terakhir ini penulis teliti dan kembangkan dengan memanfaatkan teori respons pembaca (reader response strategy) yang dikenalkan oleh Beach dan Marshall (1990) dan teori respons simbol visual (visual symbol response) yang dikemukakan oleh Purves, dkk. (1991). Berikut ini dipaparkan beberapa penelitian yang dihasilkan oleh penulis melatar-belakangi pengenalan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra sebagai media bagi mahasiswa untuk mengidentifikasi dan mempertahankan budaya lokal, serta memperoleh manfaatnya dalam memperhalus budi pekerti, membentuk karakter dan mengembangkan kepribadian. Pertama, penelitian berlatar eksperimen terhadap siswa SD dengan hasil: (a) model respons nonverbal dan verbal dalam pembelajaran sastra secara keseluruhan dapat meningkatkan aspek keterampilan menulis siswa, (b) model respons nonverbal dan verbal dalam pembelajaran sastra mempunyai keunggulan dalam mengembangkan tiga ranah taksonomi yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, dan (c)  bentuk tes yang digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran sastra adalah tes subjektif (esei atau uraian) sehingga siswa dapat secara bebas mengekspresikan perasaan, pikiran, dan imajinasi mereka secara  tertulis. Penelitian ini memfalsifikasi temuan Mulyana (2000) bahwa apresiasi sastra mahasiswa dievaluasi dengan menggunakan tes objektif (pilihan ganda).
Kedua, penelitian dan pengembangan di prodi bahasa Inggris FKIP Universitas Sriwijaya dengan hasil penelitian sebagai berikut:
(a) Model pembelajaran sastra yang mengadopsi perspektif estetik dirancang atas tiga unsur pokok pembangun model yaitu: orientasi model, model pembelajaran, dan aplikasi model dengan mengolaborasikan respons pembaca dan visual simbol  berkontribusi positif terhadap pengembangan aspek-aspek penting dalam pembelajaran yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor dan mahasiswa sangat memerlukan model ini karena mereka adalah calon guru yang akan terjun ke lapangan pendidikan. Bila diterapkan di jenjang pendidikan di bawah tingkat universitas, model tersebut memfasilitasi siswa dalam mengolah otak, rasa, dan aksi. Model ini akan terus berkembang sejalan dengan pengetahuan dan teori yang dijadikan dasar menciptakan model pembelajaran karena bila dicermati masih dapat dikembangkan lagi model tersebut berdasarkan indikator-indikator yang terkandung dalam teori respons pembaca.
(b) Model pembelajaran sastra tidak terlepas dari penyeleksian materi ajar berupa cerita pendek yang tepat digunakan di prodi Bahasa Inggris. Media yang ditawarkan kepada mahasiswa adalah internet yang menyediakan ribuan cerita pendek dengan latar cerita beragam (sosial, politik, religi, budaya, dan ilmu pasti). Dari 30 cerpen yang dibrowsing oleh mahasiswa, sekitar 75% memenuhi kriteria yang baik dengan beragam latar cerita.
 (c) Model pembelajaran sastra hasil hibridasi dua respons yang berbeda dapat diaplikasikan ke berbagai jenjang pendidikan dengan menyediakan pertanyaan pemandu berdasarkan indikator yang dimiliki setiap respons. Penyusunan pertanyaan pemandu dilatihkan kepada mahasiswa setelah membaca karya sastra.
(d) Untuk kelengkapan model pembelajaran sastra tersebut, peneliti merancang skenario pembelajaran sastra berdasarkan pembelajaran yang telah dilakukan peneliti di prodi Bahasa Inggris JPBS FKIP Universitas Sriwijaya.
Kedua, ujicoba keefektifan model pembelajaran respons pembaca dan simbol visual dalam mengembangkan keterampilan menulis dan berbicara mahasiswa dilakukan dengan cara merespons karya sastra merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya (Rudy, 2008). Model pembelajaran ini secara keseluruhan dapat meningkatkan aspek keterampilan menulis dan berbicara. Hal ini dapat dibuktikan dari kemampuan menulis mahasiswa di kelas kuasi-eksperimen mengalami peningkatan dimulai dengan tes awal rata-rata 57,50 menjadi 73,98 pada nilai tes akhir. Sedangkan kemampuan berbicara mahasiswa sebelum mendapat perlakuan sebesar 3,4% mengalami peningkatan sebesar 69% menjadi 74,4% setelah menggeluti pembelajaran yang berbasis respons pembaca dan simbol visual. Hasil apresiasi sastra ditinjau dari kualitas merespons dapat disimpulkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor berkembang dari kurang jelas dan kurang tepat menjadi jelas, tepat, dan rasional berdasarkan gagasan tentang setiap tahap dari dua aspek pertama yang dikemukakan oleh mahasiswa.
            Keempat, penelitian dan pengembangan tentang model pembelajaran seni pertunjukan sastra lokal sebagai upaya mengembangkan pendidikan olah pikir, rasa, dan karsa serta mendukung industri kreatif di Sumatera Selatan dengan hasil sebagai berikut:
(a)    Model pembelajaran apresiasi sastra, di samping berubah dari pengenalan respons simbol visual menjadi pengenalan respons pembaca terlebih dahulu dengan argumen yang kuat yaitu aspek kognitif dan afektif harus dikembangkan lebih dahulu sebelum aspek psikomotor, mengalami pengembangan dalam beberapa aspek. Pada respons “merinci”, mahasiswa tidak hanya merinci unsur-unsur intrinsik, tetapi juga memberikan pendapat dan argumentasi tentang unsur-unsur intrinsik tersebut. Sementara itu, respons “menghubungkan” setelah teori respons pembaca ditelaah lebih dalam, dosen menambahkan indikator lainnya seperti kehidupan sosial, budaya, dan religi. Sedangkan respons simbol visual menambah satu kegiatan yang dapat mempertajam aspek psikomotor yaitu dengan memperagakan. Dengan demikian, skenario proses pembelajaran ini mengalami perbaikan dalam hal memulai pembelajaran dari respons pembaca diikuti dengan respons simbol visual, penambahan indikator-indikator utama yang penting setelah membaca kembali teori respons pembaca dan simbol visual, serta pengurangan atau pengefisienan waktu dengan cara menggabungkan beberapa respons yang dianggap tidak sulit dalam satu pertemuan. Di akhir pembelajaran, ada penambahan aktivitas motorik mahasiswa dengan cara mengolaborasikan simbol visual tablo dan sosiogram untuk menciptakan sebuah tampilan seni pertunjukan yang kreatif.
(b)   Berdasarkan hasil uji-t dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata postes mahasiswa di prodi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris mengalami peningkatan yang signifikan setelah mengikuti model pembelajaran seni pertunjukan sastra lokal dalam mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor untuk mendukung industri kreatif di Sumatra Selatan.
(c)    Untuk mengetahui aspek-aspek yang mempengaruhi mahasiswa dalam mengapresiasi sastra lokal digunakan angket khusus yaitu LRQ yang terdiri atas aspek-aspek berikut personal insight, non personal insight, insight combined, imagery vividness, empathy, leisure escape, concern with author, dan rejection of literary values. Dari ke tujuh aspek, yang sangat mempengaruhi mahasiswa bahasa Inggris adalah aspek empati.
(d)   Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner dapat disimpulkan bahwa respons yang digunakan sebagai paradigma baru apresiasi karya sastra tersebut sangat efektif dalam mengembangkan kemampuan penalaran, menajamkan emosional, dan memberikan warna baru dalam dunia apresiasi sastra.
Diteliti dan dikembangkannya strategi respons pembaca selama satu dekade ini dapat ditelusuri dari beberapa temuan penelitian yang sangat relevan dengan sintaksis atau rangkaian kegiatan pembelajaran yang mengaplikasikan model respons pembaca. Barr (1991) dalam bukunya Handbook of Reading Research mengedepankan banyak penelitian yang memfokuskan penelitiannya pada respons pembaca. Pertama, pada penelitian yang dilakukan Hansen ditemukan bahwa engaging “menyertakan” yang dilakukan pembaca lebih bersifat pasif responsif terhadap puisi optimis dan emosi isi teks sastra mempengaruhi emosinya. Sedangkan  Shedd menemukan bahwa sikap pembaca sangat mempengaruhi keikutsertaan emosinya pada strategi engaging. Oleh karena itu, pembaca dengan sikap positif terhadap teks sastra menunjukkan penyertaan emosi yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan sikap negatif. Sikap ketertarikan seorang pembaca terhadap teks sastra cenderung menghantarnya ke penerapan emosi dan daya intelektual yang lebih tinggi merupakan penelitian yang dilakukan oleh Purves.
Penelitian-penelitian lain yang turut mewarnai kegiatan engaging seperti yang dilakukan oleh Chasser (1977) dalam rangka menyelesaikan disertasinya dengan siswa SD sebagai subjek penelitiannya, Golden dan Guthrie (1986) meneliti siswa SD, dan Hansson (1986) meneliti proses emosional siswa dengan membaca puisi dan prosa. Ketiga abstrak penelitian ini dapat dilihat dalam Farrell dan Squire (1990:180).
            Sementara itu, hasil penelitian yang membahas strategi conceiving belum banyak dilakukan. Beach dan Wendler meneliti pemahaman mahasiswa terhadap perilaku tokoh dalam aspek psikologisnya, sementara siswa sekolah menengah memahami hal itu dari aspek fisik.
            Strategi connecting mengaitkan sikap, pengalaman, dan pengetahuan pembaca dengan teks sastra. Beach meneliti pembaca yang menyertakan pengalaman hidupnya dan Lipson menyertakan sikap budaya. Sementara itu, Beach dan Harstle menemukan persentase tinggi yang menghubungkan teks sastra yang dibacanya dengan pengalaman dan sikap pribadi mereka.
            Penelitian yang berhubungan dengan respons merinci (describing) dilaksanakan oleh Singer dan Donlan. Temuan mereka adalah pembaca yang telah belajar tentang cara bertanya dalam menghadapi teks sastra lebih mampu memahami cerita dibandingkan dengan pembaca yang tidak pernah belajar tentang cara bertanya dalam menghadapi teks sastra. Newkirk dalam penelitiannya menemukan bahwa pembaca lebih mampu membuat strategi pemecahan tentang kesulitan yang dihadapi ketika ia mampu mengartikulasi kesulitan dalam memahami teks.
Dalam respons menjelaskan (explaining), Black dan Seifert menemukan bahwa sikap terhadap kegiatan membaca tentang perilaku tokoh cerita, keyakinan, dan hubungan antar tokoh cerita melibatkan kemampuan pembaca dalam menjelaskan perilaku tokoh cerita. Sementara Bruce meneliti bahwa kecenderungan ciri teks sastra modern yang melepaskan atribut motif dan keyakinan tokoh cerita berkontribusi positif terhadap kesulitan siswa untuk menjelaskan perilaku tokoh cerita itu.
Hunt dan Vipond dalam penelitian mereka mengemukakan kegiatan interpreting bahwa sebagian besar pembaca muda dan dewasa sedikit sekali belajar tentang orientasi butir-butir petunjuk yang akan membekali mereka untuk menginterpretasi amanat pengarang dalam karya sastra tertentu. Penelitian yang dilakukan Svennson menghasilkan kesimpulan bahwa siswa yang lebih menaruh perhatian pada sastra di sekolah dan di rumah cenderung mampu melakukan kegiatan interpretasi. Sementara itu, Educational Commission of the States menyimpulkan bahwa menggeneralisasi atau menganalisis teks merupakan kegiatan yang paling sulit dibandingkan dengan kegiatan menceritakan kembali, menyertakan, dan mengevaluasi pada saat merespons. Sedangkan kesimpulan yang diperoleh Heath, Black, dan Seifert dalam penelitian mereka adalah bahwa pengalaman pembaca dalam membaca karya sastra sangat mempengaruhinya dalam berinterpretasi.
Kegiatan respons pembaca yang terakhir adalah judging. Parnell menyimpulkan bahwa penilaian tingkat estetik mahasiswa berkorelasi dengan tingkatan kedewasaan kognitif mereka. Peneliti lain seperti Binkney menemukan perbedaan yang signifikan antara penilaian orang dewasa dengan siswa sekolah menengah terhadap sebuah novel dalam hal kriteria, masalah, rekomendasi, dan penampilannya.
Konsep Literature for All Sebagai Muatan Lokal Mata Kuliah Kepribadian dalam Membentuk Karakter Bangsa
Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi karya sastra secara spontan penting penulis kemukakan setelah mendapatkan informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa masyarakat di mancanegara apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap membaca karya sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena membaca karya sastra telah mereka peroleh sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ada 9 pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal yaitu: 1) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih saying, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik melalui apresiasi karya sastra.
Dalam pengamatan penulis, selama ini apresiasi karya sastra hanya diberikan kepada siswa di seluruh jenjang pendidikan dan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra dengan pendekatan struktural. Gejolak dan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan pelajar menyudutkan dunia pendidikan yang gagal menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang berkarakter. Saat ini percarian terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan kepribadian dan menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa berupaya di bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif menghasilkan SDM yang bermental dan bermoral baik.
Penggalakan bentuk pembelajaran yang berkarakter  memotivasi penulis untuk menggagas konsep sastra untuk semua. Gagasan konsep ini terinspirasi dari istilah education for all yang telah dikumandangkan dalam satu dasawarsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional, diikuti dengan science for all yang digaungkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi tiga tahun terakhir. Secara spesifik, konsep literature for all belum pernah dikedepankan dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkarakter. Meskipun demikian, banyak juga kalangan yang menginginkan pendidikan yang berkarakter melalui pembelajaran sastra. Di antaranya, forumpurworejo.blogspot.com (2010) mengungkapkan:
Kerinduan generasi muda akan karya sastra, memang tidak mengglobal, akan tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia sastra kita. Ia semakin dijauhi saja. Padahal karya sastra dapat membentuk karakter generasi bangsa kita. Adalah besar harapan pembentukan karakter generasi bangsa, karakter masyarakat khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui Dewan Kesenian Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni semisal karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni pedalangan, seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas di Purworejo dapat tetap eksis dan terbina.

Kutipan di atas diperkuat juga oleh pendapat Kotller (1990) bahwa majunya suatu bangsa ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial dan berbangsa dimana kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang menjadi modal sosial (social capital)  merupakan kunci sukses keberhasilan sebuah negara yang ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut mempunyai budaya yang kondusif  untuk maju. Sementara itu, kalangan sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap pembelajaran sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa (Wijaya, 2007). Berbagai pendapat tersebut pada akhirnya memfasilitasi penulis untuk memberdayakan pembelajaran sastra berbasis respons pembaca dan simbol visual yang sudah teruji melalui beberapa penelitian yang telah penulis lakukan dalam kurun waktu 12 tahun ini untuk mengembangkan karakter bangsa sehingga sembilan pilar karakter bangsa dapat terwujud.
Masalah pokok yang muncul ketika gagasan akan diimplementasikan ke dalam pembelajaran adalah posisi yang tepat dari mata kuliah tersebut di dalam kurikulum dan tenaga pengajarnya. Di awal telah dipaparkan bahwa gagasan sastra untuk semua dapat menjadi muatan lokal atau terintegrasi dalam rumpun mata kuliah kepribadian. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikutip dari Bataviase.co.id berikut.
Dalam setiap perkembangan sastra ada rantai kerja sama simbiosis mu-tualisme yang harus terbangun antara Pemerintah, media massa, LSM, komunitas-komunitas seni dan sastra serta masyarakat. Di sinilah peranan setiap komponen untuk saling menjaga dan mendukung, melestarikan sastra dan kebudayaan Indonesia. Negara yang kaya akan kebudayaan dan suku. Kaya berbagai sudut pandang tapi satu tujuan. Pastinya kita sebagai arek Indonesia tidak ingin kecolongan. Upaya untuk mengenalkan kebudayaan kepada generasi penerus harus terus dilakukan. Mengembalikan muatan lokal. Namun, sebagian daerah di Indonesia menghapus muatan lokal dari kurikulum.
Ironisnya, muatan lokal di beberapa sekolah dihapuskan. Peniadaan muatan lokal dari kurikulum beberapa daerah disinyalir karena kekurangpahaman pendidik dan jajarannya terhadap esensi muatan lokal. Oleh karena itu, diharapkan makalah ini dapat memberi manfaat di bidang pendidikan dengan memasukkan pembelajaran apresiasi sastra ke dalam muatan lokal di perguruan tinggi fakultas pendidikan sebagai bekal bagi mahasiswa calon pendidik di seluruh jenjang pendidikan.
Implementasi Pembelajaran Apresiasi Sastra di Perguruan Tinggi

                Gagasan konsep literature for all dalam makalah ini dibatasi untuk mahasiswa keguruan non-kebahasaan. Pembelajaran apresiasi sastra yang dimaksud tidak akan dilakukan secara klasikal melainkan         secara praktis dengan memberikan seperangkat pertanyaan pemandu yang telah disusun berdasarkan teori respons pembaca dan simbol visual. Mahasiswa tidak perlu lagi diberi perlakuan model pembelajaran; mahasiswa dapat dengan segera mengapresiasi karya sastra dengan panduan pertanyaan tersebut.  Beach dan Marshall (1991:28) mengedepankan strategi respons pembaca terdiri atas tujuh strategi yaitu:  menyertakan, merinci, menjelaskan, memahami, menafsirkan, menghubungkan, dan menilai. Berikut ini penjelasan dan panduan merespons karya sastra.
1.      Menyertakan (engaging): Pembaca selalu berusaha mengikutsertakan perasaannya terhadap karya sastra yang dibacanya. Pembaca meleburkan diri ke dalam teks, membayangkan apa yang terjadi dan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita.
Purves, dkk. (1990) menambahkan definisi di atas bahwa ketika membaca karya sastra pembaca tidak hanya menyertakan perasaan tetapi menyertakan pikiran dan imajinasi juga sebagaimana yang dikutip dari pernyataan mereka “Literature and the arts exist in the curriculum as a means for students to learn to express their emotions, their thought, and their imaginations.”
 Menurut Kimtafsirah (2003:6) pembaca yang sedang “engaged” dengan teks, meleburkan diri dengan teks dalam istilah Rosenblatt sedang menerapkan aesthetic reading. Dalam aesthetic reading, pembaca seolah-olah masuk ke dalam teks dan hidup di sana agar dapat memahami tingkah laku para tokoh cerita. Dengan demikian, pembaca dapat merespons secara emosional dengan mudah sehingga pemahaman tercapai. Pertanyaan yang dapat memandu respons menyertakan  adalah:
a.      Can you feel what is felt by the character? What does he/she feel?
b.      Would you do the same thing if you were the character? Explain it.
c.       Can you imagine what happens? Explain it.
2. Merinci (describing): Pembaca merinci atau menjelaskan kembali informasi yang tertera di dalam teks. 
Pembaca merinci tokoh-tokoh cerita, penokohan, latar cerita, dan alur cerita. Artinya, pembaca menceritakan kembali cerita yang telah dibacanya dan merinci peristiwa-peristiwa yang dianggap penting untuk dipahami.  Ketika membaca sebuah teks sastra, akan ditemukan hal-hal yang berbeda dalam teks yang sama. Mahasiswa menceritakan bagian-bagian yang menarik perhatian mereka, setidaknya dalam tiga kalimat. Sebelumnya, mereka dapat merinci semua unsur pembangun karya sastra secara struktural seperti: tokoh dan penokohannya, latar, dan alur cerita. Mahasiswa merinci isi cerita dengan menjawab pertanyaan berikut.
a.      What do you think of the character of the story? Is he/she good or bad? Do you like or dislike? Explain your choice.
b.      Where does the story happen? Do you like the setting? Why?
c.       Does the story tell about good things?
d.      Is the story reasonable? Is the style of the story communicative of figurative? Explain it.
e.  What event in the story do you think is very important? Why?
Penerapan respons ini dapat memfasilitasi peserta didik dalam mencapai kejujuran, kasih sayang, dan kepedulian. Setelah membaca Malin Kundang, pertanyaan pertama diajukan kepada mereka. Malin Kundang sebagai tokoh yang durhaka dalam cerita itu menuai kritik yang tajam dari hasil apresiasi. Peserta didik tidak akan menyukai tindakan dan perilaku sang tokoh. Mereka belajar jujur, kasih sayang, dan peduli setelah mengapresiasi dan mengeksplorasi cerita tersebut.
3. Memahami (conceiving): Pembaca memahami tokoh, latar cerita, dan bahasa yang digunakan dalam sebuah cerita dan memaknainya.                           
Dalam kegiatan ini, mahasiswa memahami para tokoh cerita dengan menerapkan pengetahuan mereka tentang tingkah laku sosial dalam masyarakat dan latar belakang budaya. Pemahaman terhadap tokoh cerita tersebut didukung pula oleh pendapat Kimtafsirah (2003:7) bahwa pengetahuan tentang teks tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman social behaviour dan cultural background yang direfleksikan dari teks. Sebagai contoh, ketika mahasiswa membaca cerita dengan adat istiadat dan latar budaya yang berbeda dengan mereka maka mereka dapat memahami tingkah laku tokoh cerita tersebut bukan berasal dari budaya mereka. Pertanyaan yang dapat memandu pemahaman mereka adalah: Why does the character behave like what he/she does?
4. Menerangkan (explaining): Mahasiswa mencoba menjelaskan sebaik-mungkin mengapa tokoh cerita melakukan suatu tindakan.                                                   
a.      A character is extremely hated by someone but he/she keeps patient and obeys. What do you think of the character’s action?
b.      Do you agree or disagree  to the character(s)’ action? Why?

5. Menghubungkan (connecting): Mahasiswa menghubungkan pengalaman mereka dengan apa yang terjadi pada tokoh cerita.
            Kegiatan lain dalam strategi ini adalah menghubungkan cerita dengan cerita lain atau film pernah dibaca atau ditonton. Kimtafsirah (2003:8) mengilustrasikan seperti contoh berikut: setelah membaca karya Charles Dicken Oliver Twist, mahasiswa dapat membandingkannya dengan film Ari Hanggara. Begitu juga dengan Oemarjati (2005) yang menyarankan guru “menanyakan kepada para siswa, apakah ada yang pernah membaca kisah yang serupa, atau menonton film atau sinetron dengan persoalan dasar serupa dengan karya sastra yang sedang  dibahas yaitu Siti Nurbaya.
            Berdasarkan kegiatan-kegiatan dalam connecting tersebut, Penzenstadler (1999) mengingatkan bahwa  dengan segala sesuatu yang digunakan sebagai media pembelajaran, guru dapat menolong siswa menghubungkan apa yang mereka baca dengan dunia mereka (http://www.ade.org/ade/bulletin/n123/123036.htm).
a.      Do you have the same experience with the character? Your brother? Parents? Neighbor? Friend?
b.  Have you ever read book or watched film which is similar to the story read?  Tell the story and connect it.
c.       Can you connect this story to social life? Culture? Religion? How do you connect it?

6. Menafsirkan (interpreting): Siswa menggunakan reaksi, konsepsi, dan koneksi yang mereka bentuk untuk mengartikulasikan tema.
            Kegiatan interpreting melibatkan penentuan makna-makna simbolik, tema, atau peristiwa spesifik dari suatu teks. Dalam membuat penafsiran, biasanya yang didiskusikan adalah apa yang teks “ungkapkan.” Interpretasi melibatkan generalisasi, pernyataan yang dibuat bukan pernyataan yang ada di dalam teks melainkan terimplisit di dalam teks. Pertanyaan berikut memandu mahasiswa menafsirkan isi cerita:
a.      In your point of view, what does the story talk about?
b.      Choose one important and interesting word according to you, then explain it. Why do you choose it?

7. Menilai (judging): Mahasiswa memberikan pendapatnya tentang teks cerita, penulis cerita atau alur cerita. Kegiatan menilai dapat dilakukan oleh mahasiswa dengan menjawab pertanyaan berikut.
a.       Is the story interesting?
b.      Is the story valuable? What values do you get from reading the story?
c.       What do you think of the author? 

Ke tujuh respons pembaca tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menajamkan kognisi (merinci, menerangkan, memahami, dan menafsirkan) dan afeksi (menyertakan, menghubungkan, dan menilai).
            Kegiatan yang dapat mengembangkan aspek psikomotor adalah dengan cara menerapkan satu atau lebih dari empat dimensi simbol visual yang dikemukakan oleh Purves, dkk. (1990) berikut:
1.      Dimensi grafik: sosiogram, peta cerita, grafik, diagram, dan kartun.
2.      Dimensi ilustrasi: poster, gambar, foto, kolasi
3.      Dimensi film/video: naskah cerita, animasi, efek khusus, dan film.
4.      Dimensi seni pertunjukan: tablo, menari, pantomim, dan musik.
Dari ke empat dimensi visual, dimensi terakhir yang sangat tepat digunakan untuk penajaman aspek psikomotor.
Simpulan
            Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter bangsa (peserta didik) dapat diawali dengan kegiatan membaca karya sastra lokal dan juga modern diikuti dengan mengapresiasi karya tersebut dengan cara merinci isi cerita tentang apa dan bagaimana aspek intrinsik, menyertakan perasaan, imajinasi, dan pikiran mereka pada tokoh cerita, menjelaskan mengapa tokoh cerita berkarakter demikian, memahami apa yang telah dilakukannya dan memberikan persetujuan atau tidak, menafsirkan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut, menghubungkan dan membandingkan isi cerita dengan pengalaman, cerita dan film yang serupa, budaya, kehidupan sosial dan religi, serta menilai pengarang dan latar cerita.            Bila dihubungkan dengan 9 pilar karakter yang harus dikembangkan melalui pembelajaran sastra dengan konsep literature for all, yaitu respons merinci, menjelaskan, memahami, dan menafsirkan dapat membentuk karakter dalam hal penalaran kritis, sedangkan respons menyertakan, menghubungkan, dan menilai dapat memfasilitasi peserta didik dalam membangun karakter yang termasuk dalam pilar berikut: 1) kejujuran, 2) hormat dan sopan santun, 3) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 4) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 5) keadilan dan kepemimpinan, 6) baik dan rendah hati, 7) cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 8) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,  dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
DAFTAR PUSTAKA
forumpurworejo.blogspot.com.  Menggagas Pembentukan Karakter Generasi Muda melalui Karya Sastra. http://bloggerpurworejo.com/2010/03/menggagas-pembentukan-karakter-generasi-muda-melalui-karya-sastra/ diakses 9 mei 2010
Grose, Carolyn. 2010. Storytelling Across the Curriculum: From Margin to Center, from Clinic to Classroom. Diunduh tanggal 12 Maret 2010. http://www.youtube.com/watch?v=AgJXXo97D4c

Harmer, Jeremy. 2007. The Practice of English Language Teaching (4th ed). London: Pearson  Education, Ltd.

KAJIAN SASTRA


PARADIGMA KAJIAN SASTRA
DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN

Oleh Yoseph Yapi Taum
"All good poets, epic as well as lyric, compose their beautiful poems, not as works of art,
but because they are inspired or possessed" (Plato, dalam Gunsaulus, 1995).
1. Pengantar
Sub-tema yang sebenarnya diharapkan dari saya adalah “Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra”. Dalam TOR, diterangkan bahwa tema Dies Natalis XVI “Implementasi Aspek Humaniora” kali ini adalah kelanjutan dari tema Lustrum III tahun 2008 yang lalu, yaitu “Mereposisi Identitas Fakultas Sastra”. Secara lebih lengkap dijelaskan dalam TOR tersebut bahwa “Hasil seminar lustrum tersebut menyatakan bahwa hermeneutika merupakan landasan untuk membentuk identitas Fakultas Sastra. Karena Fakultas Sastra USD bergelut dalam bidang humaniora: bahasa, sastra, dan sejarah, maka permasalahan mengerucut menjadi bagaimana landasan hermeutika tersebut diimplementasikan dalam ilmu bahasa, sastra, dan sejarah.” Dengan kata lain, tema yang perlu dibahas di sini sesungguhnya adalah “Implementasi Hermeneutika dalam Kajian Sastra”.
Menghadapi masalah yang demikian, segera muncul pertanyaan-pertanyaan. Cita-cita humaniora seperti apakah yang diharapkan dari hermeneutika? Mengapa identitas Fakultas Sastra (USD) dibangun di atas dasar hermeneutika? Bukankah hermeneutika itu sebuah studi tentang teori dan praktik interpretasi? Bukanlah hermeneutika itu sebuah kajian metodologis tentang otensitas dan penafsiran teks? Mengapa identitas tidak dibangun di atas sebuah ‘teori,’ ‘ideologi,’ ‘konsep,’ atau sekurang-kurangnya sebuah ‘paradigma’ kemanusiaan tertentu? Dengan kata lain, mengapa identitas dibangun di atas sebuah proses?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, muncul dugaan bahwa sudah ada kegelisahan di kalangan stakeholders Fakultas Sastra mengenai semakin melemahnya intensitas dan kualitas riset yang dilakukan oleh (dosen dan) mahasiswa sehingga perlu ditanamkan sebuah tradisi pemikiran (khas barat) dengan menggunakan metodologi hermeneutika, sebuah bidang kajian yang seringkali dipandang sebagai sub-bidang teologi. Dugaan itu barangkali ada benarnya. Apabila kita mengamati peta kajian sastra di Jurusan Sastra Indonesia, terdapat dua kecenderungan (tradisi) pemikiran. Pertama, kecenderungan penelitian yang bersifat normatif-reproduktif. Tradisi ini berusaha mempertahankan warisan akademis yang berlaku sebelumnya. Apabila ada judul penelitian Tekanan Batin tokoh Saman dalam Novel Saman karya Ayu Utami: Kajian Psikologi Sastra maka akan muncul banyak reproduksinya dalam bentuk Tekanan Batin Tokoh Seto dalam Novel Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya: Kajian Psikologi Sastra atau Tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk; Tokoh Karman dalam Kubah, dst. Dengan reproduksi-reproduksi semacam itu, sumbangan kajian sastra pada masyarakat apalagi masa depan kemanusiaan menjadi kabur.
Kedua, kecenderungan penelitian yang bersifat hermeneutik-produktif. Model penelitian ini merupakan kebalikan dari corak pemikiran normatif-reproduktif. Penelitian hermeneutik-produktif berusaha mengambil cita-cita moral humanistik dan mengkajinya melalui karya-karya sastra. Mereka dibekali dengan nilai-nilai humaniora tertentu (meskipun tidak secara sistematis dan terencana) dan secara kreatif mengimplementasikan dan mengungkapnya dalam karya-karya sastra dengan menggunakan alat-alat analisis yang bisa beragam. Isu-isu seperti kesetaraan gender, kemiskinan, penggusuran, penindasan, pembodohan, diskriminasi dan ketidakadilan yang merupakan isu-isu humanistik lebih menarik perhatian mereka daripada sekedar mereproduksi model-model penelitian yang sudah ada. Karena itu, benarlah bahwa Hermeneutika diperlukan dalam membentuk identitas Fakultas Sastra, khususnya Jurusan Sastra Indonesia. Hermeneutika yang dikenal dalam tradisi pemikiran barat sebagai kerangka metodologi untuk memahami teks klasik dan Kitab Suci (Ridwan, 2008) dapat memicu iklim dan tradisi akademis yang lebih cemerlang.
Makalah ini tidak secara langsung membahas subtema Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra. Sebagaimana terlihat dalam judul di atas, pembahasan akan difokuskan pada paradigma kajian sastra dan masa depan kemanusiaan. Topik ini dipilih karena dua alasan. Pertama, disiplin ilmu sastra memiliki sejumlah masalah dan metode untuk menetapkan core disiplinnya, dengan menggunakan prosedur repertoirnya sendiri dengan vocabulary yang khas (Lefevere, 1977). Kedua, melalui subtopik ini, berbagai aspek humaniora dapat diimplementasikan dalam kajian sastra, yang akan diabdikan untuk masa depan kemanusiaan. Untuk itu, berturut-turut uraian ini yang membahas: (1) sebuah evaluasi tentang posisi studi sastra yang marginal; (2) meninjau paradigma kajian sastra, (3) masa depan kajian sastra dan kemanusiaan; (4) penutup.

2. Posisi Studi Sastra yang Marginal
Di dunia persekolahan dan di dalam masyarakat kita, ilmu sastra menduduki posisi yang sangat marginal. Di SMA, siswa-siswi yang pandai hampir secara otomatis dimasukkan ke dalam kelompok IPA; siswa-siswi yang kurang pandai ke dalam kelompok IPS; dan yang tidak pandai ke dalam kelompok Bahasa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua SMA memiliki jurusan Bahasa. Hanya sedikit SMA, baik swasta maupun negeri, yang membuka jurusan Bahasa. Karena itu, sudah sejak awal, ilmu sastra bukanlah sebuah bidang pilihan. Orang tua dan guru akan mendorong anak-anaknya mempelajari ilmu-ilmu pasti dan ilmu-ilmu sosial dan bukan ilmu-ilmu humaniora. Mereka seringkali merasa cemas bila anaknya memilih belajar bahasa dan sastra, terutama bahasa dan sastra Indonesia.
Masyarakat memang patut bertanya, apa yang dapat dipelajari dari karya sastra: puisi, cerpen, dan novel? Apa kaitan antara studi sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia? Apa kontribusi kajian sastra terhadap masalah genosida, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, korupsi, multikulturalisme? Jika tidak ada kontribusi dan relevansi studi sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia, lulusan sarjana sastra bisa bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang menguasai hermeneutika dan mempelajari puisi, cerpen, dan novel? (bdk. Salam, 2008).
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari adanya tiga asumsi yang keliru sebagai berikut. Pertama, belajar sastra adalah mempelajari keindahan kata dan keindahan alam yang bertujuan untuk mendapatkan hiburan. Sastra yang baik, dalam pengertian ini, tidak boleh berhubungan dengan atau dinodai oleh aspek-aspek ‘luar’ seperti politik, ekonomi, sosial. Kedua, sastra adalah karya fiksi, karya imaginatif, yang tidak memiliki hubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Kalaupun hendak dihubungkan dengan realitas kehidupan, diperlukan mediasi-mediasi teoretis yang rumit, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ketiga, ada keyakinan bahwa belajar sastra (cerpen/novel) hanyalah mempelajari tema, penokohan, alur, sudut pandang penceritaan, dan gaya bahasa. Keyakinan ini diperkuat dengan pengalaman pengajaran sastra di sekolah (SLTP/SLTA) yang tidak pernah bergerak dari penapisan stuktural (Salam, 2008).
Dengan dua keyakinan di atas, dapat dipastikan bahwa di mata masyarakat kajian sastra tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Bagaimana sesungguhnya paradigma kajian sastra itu sendiri? Bagaimana caranya agar kajian sastra dapat bermanfaat bagi kehidupan, dan dengan demikian menjadi bidang kajian yang menarik?
Sesungguhnya terpinggirnya studi sastra tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa dan Amerika Serikat yang memiliki tradisi dan inftrastruktur akademis yang kuat dalam bidang humaniora, kedududukan dan fungsi ilmu-ilmu humaniora secara umum semakin terpinggirkanl (lihat Rahmanto, 2008). Banyak jurusan ilmu-ilmu ini yang diperkecil, dipersempit, bahkan ditutup. Minat mahasiswa untuk studi humaniora semakin kecil. Salah satu alasan fundamental terpinggirnya ilmu-ilmu ini adalah tidak adanya kebutuhan pasar akan tenaga-tenaga yang ahli dalam bidang humaniora. Pasar tidak lagi membutuhkan lulusan ilmu-ilmu humaniora, termasuk lulusan sastra.


3. Paradigma Kajian Sastra
Sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang, kajian sastra menunjukkan pola-pola pemikiran (interpretasi) yang berbeda-beda. Mengikuti pandangan Abrams (1981), terdapat empat paradigma kajian sastra, yaitu pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik. Berikut ini secara singkat dikemukakan prinsip-prinsip utama masing-masing pendekatan itu.
Pendekatan Objektif. Pendekatan objektif berusaha menjauhkan hal-hal yang dianggap berbau subjektif (yang disebut sebagai hal-hal bersifat eksternal) dan menekankan studi sastra pada teks sastra itu sendiri (yang disebut sebagai aspek intrinsik). Pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang menekankan objektivitas dan netralitas keilmuan. Akibat pengaruh positivisme itu, pendekatan ini dipandang memenuhi tuntutan dan persyaratan keilmuan (Taum, 1997: 31) karena berhasil mengembangkan sistem dan metode keilmuan untuk memahami objek kajiannya, yaitu teks sastra itu sendiri. Mengingat kajian sastra hanya terfokus pada ‘dunia dalam kata’ yaitu struktur teks itu sendiri, maka salah satu kelemahan pokok pendekatan ini adalah sifatnya yang a-historis. Strukturalisme, sebuah aliran utama dalam pendekatan ini, menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun struktur universal yang menghapus pandangan individual. Sumber makna bukan pada pengalaman manusia pengarang atau pembaca, melainkan pada sistem yang menguasai individu. Dengan demikian, strukturalisme juga bersifat antihumanis (Selden dalam Taum, 1997: 46). Pendekatan yang semacam ini hampir tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan manusia dan masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Implikasinya, karya sastra dan kajiannya tidak memiliki relevansi dengan apalagi kontribusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa.
Pendekatan Ekspresif. Pendekatan ekspresif beranggapan bahwa karya sastra pertama dan terutama merupakan pernyataan atau ekspresi batin pengarangnya. Pendekatan ini adalah yang paling mapan dan cukup tua dalam sejarah studi sastra (Wellek dan Warren, 1993: 82). Pendekatan ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Teori ini menekankan data biografik dan historik dari pengarang karena dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan dan makna karya sastra. Pendekatan ini mendapat kritik yang sangat tajam dari Wimsatt dan Beardsley melalui buku mereka The Intentional Fallacy (Taum, 1997: 26). Mereka menegaskan bahwa adalah keliru apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks sastra orang berpedoman pada maksud (intensi) dan latar belakang pengarang. Intensi pengarang tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses atau gagalnya sebuah karya sastra.
Pendekatan Mimetik. Pendekatan mimetik beranggapan bahwa sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut. Pendekatan ini adalah yang paling tua karena dikembangkan orang sejak sebelum masehi tetapi sampai saat ini menjadi sebuah bidang ilmu yang masih muda berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih labil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra (Taum, 1997: 47-56).
Pendekatan Pragmatik. Pendekatan pragmatik mengutamakan aspek pembaca. Pendekatan yang mula-mula dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di Jerman ini menggeserkan fokus perhatian dari struktur teks ke arah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi (Ingarden), strukturalisme Praha (Mukarovsky), dan hermeneutika (Gadamer). Dalam membaca dan memahami karya sastra, horison harapan pembaca (Hans Robert Jauss) sangat menentukan. Teks sebenarnya sudah memiliki pembaca implisit (implied reader) (Wolfgang Iser) yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembaca (Taum, 1987: 57-66).
Kini tengah muncul sebuah paradigma baru penelitian sastra yang tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu paradigma Abrams di atas, yaitu pendekatan New Historicism, yang merupakan salah satu bidang dari Cultural Studies. Berbagai asumsi lama mengenai aspek instrinsik dan ekstrinsik, sastra serius dan populer, diruntuhkan. Fokus penelitian diarahkan pada bagaimana sebuah fenomena (misalnya kemiskinan, kebodohan) berhubungan dengan ideologi, ras, kelas sosial, atau gender. Makna dikait dengan praktik kehidupan sehari-hari.
New historicism dapat dipandang sebagai sebuah model interpretasi yang memusatkan perhatiannya pada relasi kekuasaan sebagai konteks yang paling penting dari berbagai macam teks (Brannigan, 1998: 6), dengan memasukkan tiga unsur pokok sekaligus yang sebenarnya berbeda sifatnya, yakni: trancendent (sastra), kontingent (sejarah), dan mere strategic (politik). Pendekatan ini berupaya mempertanyakan asumsi-asumsi ideologis dari kritik sastra dan merelativisasikan klaimnya terhadap universalitas (Belsey, 2002: 428). New historicism, seperti juga berbagai pendekatan poststruktural lainnya, menekankan dimensi politis-ideologis dari produk-produk budaya.
Pertanyaannnya sekarang adalah, kontribusi apakah yang dapat diberikan oleh berbagai perspektif kajian sastra terhadap manusia dan masyarakat? Dapatkah ilmu-ilmu humaniora umumnya dan ilmu sastra khususnya memberikan sumbangan yang nyata bagi masa depan kemanusiaan kita? Sumbangan nyata apa sajakah yang dapat diharapkan dari lulusan yang menguasai kajian sastra?

4. Sastra dan Ekonomi Kreatif
4.1 Landasan: HETLS dan Cetak Biru Ekonomi Kreatif
Sesungguhnya sejak berakhirnya perang dunia kedua (PD 2), sebenarnya orientasi pertumbuhan ilmu-ilmu cenderung mengarah pada pendekatan interdisipliner. Ciri lama perkembangan ilmu yang bercabang-cabang, majemuk, kompleks, menggurita dan banyak spesialisasinya mulai berkurang. Oleh karena ilmu menjadi tidak manageable lagi, orang mulai memikirkan pendekatan dan penataan interdisipliner dan komunikasi antara ilmu-ilmu. Orang menyadari bahwa ilmu bersifat evolutif atau menyejarah. Karena itu manusia berusaha dapat memikirkan bahwa membuat perencanaan (strategis) mengenai kemungkinan lebih lanjut dari evolusi ilmu itu sendiri. Selain kecenderungan pertumbuhan ilmu yang interdisipliner itu semakin kuat, ciri perkembangan keilmuan lain sejak berakhirnya perang dunia kedua adalah ilmu menjadi lebih pragmatik, dalam arti ilmu terkait dengan kepentingan politik, industri, dan militer (Pranarka, 1987: 174).
Model perkembangan ilmu yang semacam itu sesungguhnya sudah disadari pula oleh pemerintah Indonesia. Telah disebutkan di atas, bahwa terpinggirkannya fungsi dan kedudukan ilmu-ilmu humaniora terutama disebabkan karena tidak adanya kebutuhan pasar akan lulusan ilmu-ilmu tersebut. Jika hal ini dibiarkan, tidak dapat diharapkan adanya sumbangan yang dapat diperoleh dari ilmu-ilmu humaniora umumnya dan kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan. Karena itu, untuk dapat survive dalam persaingan pasar yang semakin ketat, tidak ada pilihan lain bagi ilmu sastra untuk memasuki bidang ‘ekonomi kreatif’ (yang akan diterangkan kemudian). Pemerintah melalui Dirjen Dikti juga secara eksplisit telah menekankan ‘relevansi’ ilmu dengan pembangunan perekonomian nasional, terutama dengan dunia industri.
Dalam perumusan Higher Education Long Term Strategy (HETLS) 2003-2010, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi merumuskan paradigma baru pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang yang difokuskan pada masalah “relevansi” ilmu dengan pengembangan daerah maupun pembangunan nasional. Dikatakan bahwa pembangunan perekonomian nasional di masa depan akan berbasis Ilmu Pengetahuan (lihat Pedoman Program Hibah Kompetisi A-3, Depdikbud, 2007). Perguruan tinggi tidak bisa lagi menutup diri dalam ‘menara gading’, tetapi perlu didorong untuk keluar dan melakukan kerjasama dengan dunia industri dan pemerintah. Untuk dapat menjalin kerjasama dengan dunia industri, diharapkan agar perguruan tinggi meningkatkan transferable skills dan soft skill lulusannya.
Perguruan tinggi perlu terlibat dalam membangun peradaban dan kesadaran baru (new consciousness) karena mereka yang ingin berhasil (survive) perlu mentransformasikan diri dan kebudayaannya (Toffler, 1980). Dalam bukunya The Third Wave, Alfin Toffler (1980) membentang perjalanan sejarah pradaban ummat manusia yang disebutnya telah melampaui tiga fase perkembangan.
Pertama, munculnya temuan-temuan baru di bidang pertanian, temuan-temuan ini secara berproses mengangkat derajat kehidupan umat manusia dengan menjadikan usaha pertanian sebagai penopang utama bagi kehidupan. Pertanianlah yang menjadi sentral kehidupan dan semua temuan-temuan barn pun ditujukan kepada upaya meningkatkan produktifitas di bidang pertanian. Kedua, munculnya peradaban baru yang lahir sebagai hasil Ciptaan Revolusi industri. Temuan-temuan baru berupa mesin yang berhasil melipat gandakan kerja otot dan bahkan secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja dengan cepat, tepat dengan hasil yang berlipat ganda. Ketiga, lahirnya sebuah era baru yang secara total di gerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era ini IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga melipat gandakan kemampuan otak dan kinerja nalarnya. Teknologi yang melipat gandakan kemampuan dan kinerja nalar yang dicapai umat manusia di era gelombang ke III, adalah berkat kemampuan IPTEK dalam bidang Computer, Komunikasi, dan Control yang kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan selanjutnya melahirkan satu tatanan masyarakat dunia yang baru yang di kenal dengan nama Masyarakat Informasi.
Saat ini kita memasuki fase perkembangan keempat di mana budaya menjadi komoditas utamanya. Kini, dalam fase keempat ini, fenomena peradaban umat manusia ditandai dengan apa yang disebut “ekonomi kreatif” . Dalam upaya menanggapi arus deras gelombang ekonomi keernpat ini Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia (lihat Paeni, 2008), yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Cetak biru tersebut akan memberi acuan bagi tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia sampai tahun 2030. Landasan utama industri kreatif adalah sumber daya manusia Indonesia, yang akan dikembangkan sehingga mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor produksi lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai sistem triple helix, yakni cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business), dan pemerintah (government).
Dalam cetak biro Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14 cakupan bidang ekonomi kreatif yakni 1) jasa periklanan, 2) arsitektur, 3) seni rupa, 4) kerajinan, 5) desain, 6) mode (fashion), 7) film, 8) musik, 9) seni pertunjukan, 10) penerbitan, 11) riset dan pengembangan 12) software, 13) TV dan radio, dan 14) video game.
Sangat disadari bahwa Ekonomi Kreatif atau Industri Budaya memerlukan keahlian khusus untuk mengolahnya. Memerlukan profesionalitas dan skill yang tepat untuk mengerjakanya dan juga diperlukan moralitas yang tinggi sebagai landasannya. Ekonomi Kreatif adalah sebuah karya yang betul-betul harus menjadi karya dunia, tanpa Landing, bermutu dan bernas, serta lahir dari imajinasi kreatif yang cemerlang, karena itu setiap kelahirannya ia harus segera dilindungi kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional.

4.2 Sastra dan Ekonomi Kreatif
Lulusan yang menguasai kajian sastra sesungguhnya dapat lebih berperan bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia, jika dia dipersiapkan secara lebih sengaja dan sistematis dengan memberhatikan aspek-aspek ekonomi kreatif. Dari keempat belas bidang cakupan ekonomi kreatif di atas, mahasiswa sastra sebenarnya dapat dipersiapkan untuk terlibat aktif dalam tiga bidang, yaitu: film, seni pertunjukan, TV dan radio, serta video game. Uraian berikut ini bukan penjelasan yang lengkap melainkan sekedar pancingan awal untuk memunculkan diskusi lebih lanjut.

Sinetron
Kebanyakan pengamat dan kritikus media memberikan penilaian yang negatif terhadap sinetron di berbagai televisi swasta di Indonesia. Selain bahasanya yang Betawi oriented, sinetron-sinetron Indonesia lemah dalam hal tema (apabila tema tertentu sedang diminati masyarakat, tema itu sajalah yang ditampilkan secara seragam di berbagai sinetron; biasanya tidak bergeser dari tema-tema percintaan) ; latar (latar sosial: pada umumnya menyangkut kelas menengah ke atas; latar waktu: sekarang, jarang mengungkap masa-masa sulit yang lalu –dark-past; latar tempat: Jakarta, umumnya tidak mencerminkan semangat nasional dan mondial); tokoh dan penokohan (tokoh pipih: hitam-putih dengan acting yang kebanyakan over); alur (alur yang mudah ditebak, penuh digresi yang dibuat-buat dan tidak terfokus karena mengikuti selera pasar).
Mahasiswa sastra, yang dibekali dengan pengetahuan yang memadai mengenai kekuatan alur, penokohan, latar, dan gaya bahasa dapat berperan dalam pembuatan sinetron Indonesia yang lebih bermutu. Mereka dapat dibekali dengan ilmu tentang kekuatan struktur cerita, pendalaman psikologis, relevansi cerita dengan kondisi kehidupan masyarakat, dan sebuah gambaran tentang masa depan kemanusiaan ‘orang Indonesia’ yang multikultural, terbuka, beradab, dan menghargai HAM.

Film Kartun dan Video Game
Sumbangan lulusan yang menguasai kajian sastra di bidang film dan video game terutama adalah pendalaman tema dan penulisan alur cerita yang memiliki pesan-pesan moral yang terselubung. Tema-tema cerita yang berasal dari kekayaan tradisi lisan nusantara dapat dieksplorasi dan dielaborasi dengan baik. Kisah-kisah heroik yang dapat dijadikan alur cerita yang sangat unik dan menarik untuk video game antara lain: Gadjah Mada, Ken Arok, cerita-cerita Panji, Wato Wele- Lia Nurat (Flores), Dewi Roro Kidul, Gatot Kaca, dll.

Penulisan Kreatif
Lulusan yang menguasai kritik dan studi sastra dapat menjadi fasilitator dalam berbagai pelatihan penulisan kreatif. Asumsinya adalah orang yang mampu memberikan kritik sastra (terhadap puisi, cerpen, novel) dengan argumentasi yang kuat dan memadai, mampu pula memberikan jawaban dan solusi bagi penciptaan karya sastra yang lebih baik.


4.3 Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra
Pokok diskusi dalam sub-bahasan ini adalah: aspek-aspek humaniora seperti apakah yang dapat diimplementasikan dalam kajian sastra? Bagaimanakah logika implementasinya? Masih relevankah perjuangan humanisme bagi masa depan kemanusiaan di tanah air kita?
Sumbangan terpenting dari Humanisme adalah asumsi dan sikapnya yang tegas tentang adanya ‘nilai intrinsik’ kemanusiaan. Perlu diperhatikan bahwa ‘nilai humaniora’ dalam bahasa Yunani disebut ‘axios’ (axia) yang memiliki makna ganda: nilai atau harga dan martabat atau kehormatan. Dalam bahasa Latin disebut ‘dignitas’. Ada dua pandangan yang berbeda tentang dignitas itu. Pandangan pertama mengatakan bahwa dignitas adalah apa yang harus ditampilkan oleh seseorang yang memiliki peran tertentu dan apa yang harus diberikan orang lain karena perannya itu. Pandangan ini didukung oleh dunia Romawi kuno dan filsuf politik Thomas Hobbes. Pandangan kedua menegaskan bahwa dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri. Pandangan ini didukung oleh Cicero, Immanuel Kant (lihat Kleden, 2006). Aliran humanisme (Humaniora) menganut pandangan yang kedua ini, yaitu bahwa nilai kemanusiaan tidak ditentukan oleh ‘nilai ekstrinsik’ atau nilai-nilai ‘luar’ yang ditempelkan pada manusia seperti memiliki bibit, bebet, dan bobot. Cita-cita humanisme adalah penghargaan yang tinggi terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri, sementara bibit, bebet, dan bobot hanyalah unsur-unsur yang sekunder. Martabat manusia tetap tinggi, sekalipun bibit, bebet, dan bobotnya tidak mengesankan.
Dengan demikian, dalam cita-cita kemanusiaan humaniora, nilai kemanusiaan Marsinah, Udin, Munir, manusia banci, waria, homoseks, lesbian, pemulung, eks tapol/napol, anak-cucu pengikut PKI, dll sama dengan nilai kemanusiaan seorang jenderal bintang empat, presiden, menteri pekerjaan umum, konglomerat, ataupun orang-orang dengan orientasi heteroseksual. Anak manusia tetap bernilai, apapun suku, agama, ras, golongan, dan orientasi seksualnya. Nilai-nilai Humaniora seperti ini masih relevan kita perjuangkan untuk masa depan kemanusiaan di bumi Indonesia ini.
Aspek humaniora yang coba diimplementasikan dalam kajian sastra dalam tulisan ini menjadi sangat konkret. Cita-cita kemanusiaan di Indonesia (yang berasaskan Pancasila dan berciri multikultural) dapat digali (melalui berbagai metode interpretasi, termasuk metode hermeneutik yang sudah dikenal) dari berbagai karya sastra. Bagaimanapun, potret carut marut kemanusiaan di Indonesia terekam pula di dalam berbagai karya sastra. Dari berbagai tragedi kehidupan seperti Tragedi 1965, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi Ambon, Tragedi Poso, Tragedi Bom Bali, Tragedi Pembagian Zakat, sampai krisis ekonomi global. Kemampuan menganalisis dan mengungkap aspek-aspek itu di dalam karya sastra memberikan pengalaman yang berharga bagi lulusan yang menguasai kajian sastra untuk mengaplikasikannya dalam penulisan skenario film/sinetron yang lebih bermanfaat bagi pembelajaran masyarakat kita.

Cita-cita Humanisme
‘nilai intrinsik kemanusiaan’ Implementasi Kajian Sastra Masa Depan Kemanusiaan di Indonesia
Dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Nilai ‘ekstrinsik’
manusia masih dinilai ‘berharga’ karena unsur-unsur yang dimilikinya, termasuk ukuran bibit, bebet, bobot. Struktur (alur, tema, latar, bahasa, penokohan)
Psikologi Sastra
Ideologi dan Kekuasaan (new historicism) Manusia Indonesia yang multikultural, terbuka (inklusif), cerdas, menghargai HAM, bermartabat




5. Penutup
Sampai saat ini terlihat bahwa ilmu sastra masih terus mengalami evolusi dan perkembangan. Berbagai paradigma kajian sastra telah dikembangkan dan menawarkan banyak alternatif dalam menggali dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan di dalam karya sastra.
Sumbangan ilmu-ilmu humaniora umumnya dan kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan dapat lebih dirasakan apabila ilmu-ilmu ini semakin mempertanyakan ‘relevansinya’ bagi manusia dan masyarakat. Masa depan kemanusiaan di Indonesia dengan karakteristik yang multikultur, terbuka, cerdas, menghargai HAM, dan bermartabat harus terus dan turut diperjuangkan oleh ilmu-ilmu humaniora di Indonesia. Pengalaman kajian sastra dengan berbagai perspektif, terutama yang dilandasi dengan kekuatan interpretasi hermeneutik yang kontekstual, dapat membuat lulusan yang manguasai kajian sastra memberikan kontribusi nyata bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia.


Daftar Pustaka

Abrams, M.H., 1981. A Glossary of Literary Terms. (Fourth Edition). New York: Holt,
Renehart and Winston.

Gunsaulus, Frank W., 1995. “Christ in Poetry” dalam The Biblical World, Vol. 6, No. 6, (Dec.,
1995), pp. 504-517 Chicago: The University of Chicago Press. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3140200. Accessed: 23/06/2008 01:45