"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/11/2011

Belenggu Tindakan — Kenikmatan




Krti maho dadhau patarla karanam
Phalam asasvatam gati nirodhakam
(Upadesa sara 2)
Dalam lautan kerja tanpa tepi, hasil yang tidak permanen adalah penyebab kejatuhan manusia dan hal tersebut merupakan rintangan untuk berkembang.
TUHANLAH sesungguhnya yang bertanggung jawab atas hasil perbuatan kita. Kita dapat menikmati hasil kerja karena Tuhanlah yang memberinya bukan semata-mata karena kita bekerja. Biasanya dalam hal ini kita melupakan Tuhan dan
melakukan tindakan lalu merasa bahwa kita melakukan kerja tersebut sendiri dan
mendapat hasil. Ini akan memberikan kesempatan ego kita melonjak. Kekeliruan akan ‘keakuan’ ini memunculkan keinginan yang egosentris yang juga memunculkan tindakan yang pamrih. Hasil dari tindakan tersebut adalah penderitaan dan rintangan.
Kejatuhan manusia disebabkan oleh hasil tidak permanen tindakan yang pada akhirnya merusak kemajuan dan bahkan menghalangi dia untuk mencapai tujuan. Keinginan untuk menikmati hasil dan tindakannya sendiri membuat orang bertindak. Dia menginginkan kenikmatan yang tidak pernah berakhir. Tetapi masalahnya adalah baik tindakan duniawi, religius, maupun berdasarkan kitab suci tetap mendatangkan hasil yang tidak permanen. Hasil tindakan ini tetap tidak permanen apakah itu uang, nama besar, dan bahkan surga. Seluruh tindakan terbelenggu oleh ruang dan waktu dan orang yang bekerja dalam ruang dan waktu tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan abadi.
Sesuatu yang abadi berada di atas ruang dan waktu. Kita sejak semula dibelenggu oleh ruang dan waktu sehingga badan kita sendiri tidak permanen. Badan kita tidak permanen karena berada dalam ruang dan waktu, lalu badan ini juga bekerja dalam ruang dan waktu sehingga hasil pekerjaan kita pun selalu tidak permanen. Manusia sebagian besar tidak beruntung karena mendapat pengalaman nikmat yang sementara yang dia peroleh dari hasil yang tidak permanen. Saat hasil tindakan berakhir maka kegembiraan juga berakhir.
Sehingga meskipun surga hasil tindakan kita, tetap hasil itu tidak permanen, karena ketika punia sebagai hasil dan tindakan itu habis, maka surga pun tidak akan ada lagi. Lalu orang ditekan untuk melakukan thndakan lagi sehingga mendapat kenikmatan/surga lagi.
Tekanan untuk melakukan tindakan lagi disebut vasana. Tekanan vasana ini menciptakan sebuah keinginan untuk mendapatkan kenikmatan. Sekali pikiran seseorang mendapat belenggu dari keinginan, dia tidak akan bisa duduk tenang.
Dia ditekan untuk melakukan kerja sehingga dia memperoleh hasil dan keinginannya. Dengan cara ini, seseorang bertindak untuk kenikmatan dan keterikatan akan hasil akan membuat orang untuk bertindak lagi dan lagi. Maka dari itu dia terjebak dalam arus tindakan/kerja — kenikmatan, tindakan — kenikmatan. Arus yang demikian dalam teks ini dibandingkan seperti lautan tanpa tepi. Lautan ini sangat berbahaya dan sulit sekali diseberangi.
Sebagian besar manusia terjebak dalam lingkaran ini sehingga tidak mampu progress secara mental atau spiritual. Pikirannya tetap terkondisikan secara total oleh keinginannya dan dia menemukan dirinya yang tidak mungkin keluar dari kebiasaan pemikiran dan tindakan yang keliru ini. Kemajuan hanya mungkin apabila seseorang mampu membuang keterikatan dan kebiasaan tersebut.
Orang yang bekerja keras akan lebih banyak gembiranya karena hasil yang dia peroleh dari kerjanya lebih banyak. Hal ini terjadi karena dia berpikir untuk memperoleh kenikmatan, dia harus menikmati sesuatu dan sesuatu itu didapat dan hasil kerja, sehingga dia terbelenggu untuk terus-menerus bekerja agar sesuatu yang membuat dia nikmat itu terus ada. Tapi apa pun hasil itu tetaplah tidak permanen, ia akan habis cepat atau lambat. Hasil tindakan tersebut tidak menyebabkan orang menjadi bahagia abadi. Lalu bagaimana agar seseorang mendapatkan kebahagiaan abadi? Inilah yang harus ditemukan oleh setiap orang. Setiap orang pada prinsipnya ingin bahagia atau gembira abadi, tetapi hanya sedikit yang dapat menemukan jalannya agar kebahagiaan abadi itu datang padanya

Dahsyatnya Doa




Selain lebih mendekatkan diri pada Ida Sang Hyang Widhi, rajin berdoa juga mampu meningkatkan keimanan. Bibit sifat baik akan berkembang dan keseimbangan hidup pun terjadi.Dengan berdoa, batin tenang, timbul rasa damai, lebih bijaksana, tentram, dan keberuntungan pun mewarnai kehidupan. Sayangnya, sadar atau tidak, kita sering lalai atau lupa berdoa. Entah apa alasannya.
Berdoa merupakan cara manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Intinya, kita ingin lebih mendekatkan diri, mengucap syukur, berterima kasih, memohon bimbingan, keselamatan, dan berkah. Mungkinjuga, berdoa digunakan sebagai sarana memohon pengampunan atas dosa yang masih membelenggu diri.
Tak jarang pula, doa yang disampaikan diperuntukkan bagi orang-orang yang dikasihi, memohonkan pengampunan bagi mereka yang telah berbuat jahat, semena-mena, melakukan ketidakadilan terhadap diri kita. Coba bayangkan, ternyata kita berdoa untuk berbagai atau begitu banyak keperluan.
Apapun tujuan atau wujud doa yang disampaikan, berdoa sebenarnya upaya kita memperbaiki serta memperkokoh hubungan batin dengan Tuhan. Jika berdoa hanya untuk simbolis atau angan-angan, ini dapat diibaratkan seperti sehelai tali plastik tipis sehingga tinggal menunggu waktu rusak dan akhirnya putus. Tetapi bila berdoa dijadikan suatu kewajiban bagian utama bagi kehidupan, tali plastik tipis dan rentan itu pun perlahan-lahan dan pasti berubah menjadi tali baja yang kokoh dan kuat.
Apa yang didapatkan usai berdoa? Kedamaian atau ketenangan hati yang tak dapat dibayar atau dibeli dengan uang. Dengan demikian, kedamaian atau ketenangan hati merupakan kondisi karena kita berdoa. Hanya itu saja? Tentu tidak.
Kedamaian atau ketenangan hati yang kita dapatkan setelah berdoa tidak akan hilang atau lenyap begitu saja. Sebaliknya, ia menetap dan bersemayam di lubuk hati paling dalam. Bila diibaratkan dengan menanam pohon, berapa kali kita berdoa setiap han berarti telah tertanam sekian banyak pohon. Dan waktu ke waktu, jumlahnya semakin banyak dan akhirnya mampu menjadi pohon peneduh kedamaian dan ketenangan batin bagi diri kita.
Dalam beberapa kitab suci dinyatakan, doa Gayatri Mantra itu sebagai “Ibu” Mantra. Mengapa? Menurut lontar Bisma Parwa, penerima wahyu pertama Gayatri Mantra adalah Maha Rsi Wiswamitra. Gayatri Mantra merupakan mantra weda yang sangat mulia. Mantra ini berjumlah 24 huruf.
Ada 19 kategori tentang sesuatu atau benda yang bergerak maupun tidak bergerak di dunia ini. Jika ditambahkan dengan lima unsur panca maha butha maka terbentuklah 24 huruf Gayatri Mantra yang mencakup seluruh Alam Semesta. Sewaktu teijadi pertempuran Tri Pura Dahana, pertempuran antara para Dewa dengan raksasa, Dewa Siwa menggantungkan bait-bait suci ini di atas keretanya untuk dipakai sebagai pelindung (kober).
Tertera pada lontar Nawama Skandha Dewi Bhagawatha, jika seseorang melantunkan doa Gayatri Mantra secara terus-menerus, dia akan dibebaskan dari semua dosa-dosanya. Mekanisme cara pengucapannya dengan menggunakan karamala (hand rosary) yang terbuat dan biji bunga teratai putih.
Pada zaman Adi Parwa, ada danawa (asura) bernama Aruna memiliki kerajaan Patala (bumi bawah). Dia melakukan tapa sangat berat. Sewaktu bertapa, mantra yang selalu diucapkan adalah Gayatri Mantra dengan waktu sangat lama. Begitu khusyuk ia bertapa sehingga Dewa Brahma menganugerahkan kesaktian. Aruna tidak bisa mati di medan peperangan.
Karena diberi kesaktian tersebut, Aruna menjadi sombong dan arogan. Dia pergi meninggalkan kerajaannya yang berada di bumi bawah, lalu muncul ke permukaan bumi dan menantang kesaktian Dewa Indra. Para Dewa mengutus Rsi Brhaspati (pendeta para dewa) meminta atau menarik Gayatni Mantra yang merupakan kesaktian Aruna.
Akhirnya Dewi Gayatri mengirimkan ribuan tawon buat menyerang membinasakan Aruna. Aruna pun terbunuh bukan dengan senjata, melainkan karena serbuan tawon.
Satya Narayana berpesan: “biasakanlah bangun pagi dengan mengingatkan pikiran pada motto: “Tidur lebih awal dan bangun lebih pagi membuat manusia sehat, makmur, dan bijaksana”. Bangunlah pada saat Brahma muhurtham (jam 03.00 – 06.00 pagi) untuk berdoa. Ini dianggap sebagai waktu Brahma dan waktu paling suci.
Satya Narayana menambahkan lagi, siapa pun yang mengingat Tuhan pada saat menjelang ajal dengan napas terakhir, siapa pun yang mengucapkan nama Tuhan di bibirnya sesaat sebelum mati, akan mencapai Brahman. Ia akan menyatu dengan-Nya. ini pernyataan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita.
Seorang manusia yang lebih terikat pada dunia materi daripada Ilahi, tidak akan pernah menyebut nama Tuhan dengan napas terakhirnya. Untuk mengucapkan nama suci Tuhan, seluruh hidup kita harus menjadi sadhana yang disiplin dan pemuja yang baik, bukan hanya sesaat menjelang ajal.
Mulailah pada saat masih muda. Mulailah dari sekarang, jangan ada waktu terbuang percuma.

Dari Simbol Menuju Aktualisasi Diri




Sampai saat ini masih ada beberapa desa tua di Bali tidak pernah melaksanakan perayaan Galungan karena mereka menganggap Galungan sebagai peringatan jatuhnya Bali ke tangan bala tentara Majapahit. Sedangkan, menurut isi lontar Purana Bali Dwipa, perayaan Galungan pertama kali di Bali pada Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804(902 M); jauh sebelum jatuhnya Bali ke tangan Majapahit pada tahun 1265 Saka (1343 M). Dengan demikian, alasan untuk tidak merayakan Galungan seperti tersebut di atas hanyalah kesalahtafsiran. Di sisi lain, perayaan Galungan akhir-akhir ini sering ditandai dengan kreativitas budaya anak-anak muda yang semakin mengarah keluar dan zona Dharma. Kondisi ini terjadi karena ketidaktahuan, dan tuntutan yang meledak-ledak dari dalam. Sebagai generasi yang ada dalam tingkat energi paling prima, sesuai dengan Hukum II Termodinamika, mereka memiliki kecendrungan untuk sulit mengatur diri, yang lebih lanjut menurut Hukum Murphy, lebih dominan untuk berbuat salah.
Pelaksanaan bazar, sebagai sebuah contoh, yang hampir seutuhnya melibatkan peran anak muda, sering melenceng menuju kawasan adharma, misalnya : mabuk-mabukan, kenikmatan seksual, dan perkelahian. Semua kejadian itu, yang biasa ditemukan dalam pelaksanaan bazar, sesungguhnya merupakan pintu gerbang menuju neraka (Bhagawadgita, XVI: 210). Di sisi lain, tradisi ngelawang barong dan wayang wong, yang secara ekonomis memang kurang memberi keuntungan, semakin tidak kelihatan. Kedua gambaran tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran kreativitas budaya agama dan nuansa spiritual menuju libido-materialitas. Lalu, masih layakkah kita menyebut Galungan sebagai hari kemenangan Dharma atas adharma, tidakkah sebaliknya menjadi keprihatinan Dharma atas adharma?
Makna Simbolik
Agar mendapat gambaran yang jelas tentang makna perayaan Galungan, dan ada kontribusinya bagi umat untuk mengenali dirinya, maka akan dipaparkan rangkaian rerahinan menuju Galungan. Perayaan Galungan dinyatakan berhasil jika telah terjadi perubahan tingkah laku umat menuju kondisi yang dilambangkan dalam rangkaian rerahinan tersebut.
Tumpek Pengatag : Penyerasian diri dengan Alam
Beberapa sumber menyatakan, persiapan perayaan Galungan dimulai pada Tumpek Pengatag (hari otonan tumbuh-tumbuhan), yang dilaksanakan pada hari Sabtu Kliwon Wariga. Menurut lontar Sundari Bungkah, wariga mengandung makna wewarah ring raga. Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan atau pohon (kayu) merupakan simbol dan pikiran (kayun). Dengan demikian, dibalik prosesi memberitahukan (ngatag) tumbuh-.tumbuhan, yang paling penting sesungguhnya adalah mengingatkan diri sendiri.
Apakah tindakan ngatag tumbuh-tumbuhan tidak termasuk semangat animisme dan dinamisme? Ajaran Veda menyatakan di dalam tumbuh-tumbuhan terdapat jiwa, dan jiwa itulah yang menyebabkan mereka dapat bernafas dan tumbuh Mahad brahma, yena prananti virudhah (Atharvaveda I. 32.1). Sebagai bukti, percobaan dengan Marigold (bahasa Bali : gemitir) di universitas Chulalongkorn, Bangkok, pada tahun 1969, menunjukkan bahwa bunga yang dirawat dengan cinta kasih tumbuh lebih subur dibandingkan yang tanpa cinta kasih, bahkan tanaman yang dijadikan sasaran untuk menumpahkan sumpah serapah, kemarahan, dan kebencian, secara perlahan layu, dan akhirnya mati. Hal yang sejenis juga dilakukan dengan memakai musik keras dan lembut. Selanjutnya, percobaan komunikasi yang bersifat melindungi, oleh Burbank (seorang ahli botani), dapat mengubah pohon kaktus menjadi tidak berduri. Semua itu membuktikan, bahwa di dalam tumbuhan juga terdapat jiwa. IƧvarah sarva bhutanam. Karena memiliki jiwa, maka mereka pun merindukan kasih sayang.
Dalam kaitan dengan wewarah ring raga, salah satu pertanyaan mendasar yang dapat kita tanyakan pada diri sendiri, sebagaimana juga dikemukakan oleh Socrates adalah “Siapa sesungguhnya saya?”. Secara fisik, badan kita dibentuk oleh atom-atom. Dalam tingkat atom, partikel-partikel subelementer (proton, elektron, dan netron) yang menyusun atom dipisahkan oleh jarak yang sangat besar dibandingkan ukuran partikel-partikel subelementer tersebut. Deepak Chopra menyatakan, 99,999% bagian atom adalah ruang kosong (akasa). Segala sesuatu yang kita sentuh, termasuk badan kita, tersusun dari atom-atom kosong itu. Demikian juga tubuh kita terdiri dari rongga-rongga kosong, meskipun secara kasar kelihatannya
padat dan berbentuk. Kenyataannya, kita sama kosongnya dengan ruang angkasa di antara gugusan bintang-bintang. Atas dasar itu, sesungguhnya kita adalah ruang kosong, yang secara religius merupakan stana dari Dia yang tanpa wujud (atma). Dapat disimpulkan, sesungguhnya kita bukan badan ini, kita adalah atma.
Jika kita belum mampu memandang tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai sahabat dalam hidup ini, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih, belum mampu memulai dan mengisi hari-hari dengan kasih, serta belum menyadari bahwa sesungguhnya kita bukan badan, maka perayaan Tumpek Ngatag belum bisa dinyatakan berhasil.
Sugihan: Penyucian Alam dan Diri
Lontar Sundarigama menyebutkan bahwa Sugihan Jawa merupakan hari penyucian bhuwana agung, sedangkan Sugihan Bali untuk menyucikan bhuwana alit. Lalu bagaimana caranya? Dari aspek upacara, penyucian bhuana agung dilakukan dengan mengadakan Bhuta Yajna yang bertujuan untuk menyeimbangkan kembali unsur-unsur alam. Bhuwana agung yang menjadi tempat kita hidup dan menyediakan segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan kita, dapat disucikan dengan karma yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan. Dengan demikian, segala tindakan yang menyebabkan terjadinya pemusnahan sumber daya hayati dan sumber daya mineral, serta segala hal yang menyebabkan teqadinya polusi lingkungan, baik polusi oleh bahan-bahan kimia, polusi budaya, mental, pada prinsipnya merupakan tindakan yang menyebabkan penyakit bhuwana agung semakin kronis. Dan, semua tindakan itu tergolong adharma. Dalam tradisi budaya Bali, hubungan antara manusia dengan alam, bhuwana alit dengan bhuwana agung digambarkan seperti janin dalam rahim ‘kadi manik ring cecupu’. Dalam konteks itu, jika manusia merusak alam, maka merekalah yang akan menerima akibatnya.
Semasih bhuwana agung diliputi oleh berbagai macam pencemaran, maka sulit untuk mendapatkan kesucian bhuwana alit. Kesadaran ini semestinya dibangun secara global, sehingga masalah lingkungan menjadi urusan semua orang. Kita tidak mungkin melakukan penyucian di suatu tempat, karena bumi dan atmosfer kita satu. Di sisi lain, aspek akasa (sunya) bhuwana agung dan seluruh bhuwana alit sesungguhnya adalah tunggal. Ruang sunya tersebut tidak benar-benar kosong, tetapi dipenuhi dengan berbagai gelombang, dan yang paling suci sampai dengan yang paling maksiat. Manusia tinggal mengakses jenis gelombang yang diperlukannya, dan bisa jadi yang diinginkannya.
Mengenai penyucian Bhuana Alit, Manavadarmasastra V: 109, menyebutkan tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata, serta kecerdasan dengan pengetahuan yang benar. Kitab Manusmrti itu mensejajarkan air, kebenaran, dan ilmu pengetahuan sama-sama sebagai alat “pembersih”. Air adalah pembersih fisik, sedangkan kebenaran untuk menyucikan pikiran yang bersifat abstrak. Pikiran sebagai gelombang dapat dibersihkan dengan gelombang kebenaran. Mengingat frekuensi gelombang pikiran tidak konsisten, maka pikiran perlu dilatih agar vibrasinya sesuai dengan vibrasi pikiran orang-orang suci, dan vibrasi tarian kosmis Sang Jagatnata.
Akhirnya dapat disimpulkan, pelaksanaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali dapat disebut sukses jika manusia semakin menyibukkan dirinya dengan aktivitas yang membuat alam semakin lestari, dan pikirannya semakin tenang, karena tidak akan pernah ada kesucian tanpa ketenangan.
Penapean: pengendalian indria
Penapean berasal dan kata tapa yang berarti pengendalian hawa nafsu, barulah manusia dapat dibedakan dengan binatang. Upaya pemanusiaan manusia, secara mandiri dapat dilaksanakan dengan menjalankan tapa, yang dalam kehidupan sehari-hari dilakukan dengan pembatasan keinginan. Binatang dapat menikmati kebebasan sesuai dengan dharmanya masing-masing. Manusia juga selayaknya mendapatkan kebebasan sesuai dengan dharmanya sebagai manusia. Manusia tidak dapat menyatakan diri sebagai manusia, jika mereka meniru pola hidup binatang.
Keampuhan kekuatan tapa dapat dianalogikan dengan proses metamorfosis yang dialami oleh kepompong. Sebelumnya, dia berupa ulat yang sangat menjijikkan serta merusak tumbuh-tumbuhan. Tetapi, setelah proses tapanya terlewati, dia akan menjelma menjadi seekor kupu-kupu dengan sayap yang sangat indah dan menarik. Aktivitasnya pun berubah, termasuk giat mengumpulkan madu.
Disimpulkan, pelaksanaan penapean berhasil jika telah terjadi transformasi din, dalam bentuk kemampuan untuk membatasi keinginan. Keinginan muncul pada pikiran karena rangsangan alat indra. Jika alat indranya rnasih liar, maka pikiran tidak akan pernah tenang. Tetapi, jika pikiran bisa dijinakkan, maka alat indra dengan sendirmnya akan ikut terkendali. Atas dasar itu, pikiranlah yang seharusnya dikendalikan.
Penyajaan; kesungguhan hati Dalam kaitan dengan penyajaan Galungan, lontar Sundari Gama menyebutkan : pengastawaning sang ngamong yoga semadhi. Yoga menyangkut komunikasi personal antara individu dengan Brahman atau dengan dirinya sendiri (Atman). Komunikasi Atman dengan diri sendiri dalam hidup keseharian kita dikenal sebagai “mendengar” bisikan hati. Atas dasar itu, dalam segala aktivitas, semestinya jangan sampai mengingkari bisikan suara hati, karena hati hanya akan bicara kebenaran. Kesungguhan hati harus dipraktekkan secara perlahan berbarengan dengan jalur evolusi spiritual yang dilalui oleh pelakunya. Dia mudah dibicarakan, tetapi sedemikian sulit dalam melaksanakannya. Harus juga dipahami, kegagalan dalam melaksanakan “brata” kesungguhan hati, sesungguhnya lebih banyak berasal dari dalam diri, bukan dari luar. Disimpulkan, pelaksanaan penyajaan dinyatakan berhasil jika dalam hidup sehari-hari mampu berlaku tulus, punya pendirian, dan kokoh dalam mempertahankan Dharma.
Penampahan : pembantaian sifat kebinatangan Penampahan mengandung makna pembunuhan sifat-sifat kebinatangan yang ada di dalam diri. Dalam kosa kata spiritual, hewan berarti kesadaran raga, dan inilah yang seharusnya dibantai. Bila manusia tidak menelaah perbedaan antara proses dan tujuan setiap tindakan, namun hanya melakukannya, maka tidak akan memberikan manfaat apa-apa. Suatu ketika, “Karena membinasakan egoisme sangatlah sulit, maka manusia memilih jalan yang lebih mudah, yakni membunuh hewan dungu sebagai penggantinya.” Pengorbanan hewan merupakan manifestasi tamoguna (guna tamas), sebaliknya pengorbanan hewan egoisme adalah yajna yang sattvik, yang berada dalam jalan pembebasan menuju Tuhan.
Penyembelihan babi, yang biasa dilakukan di Bali untuk menyambut Galungan, merupakan simbol dari pengendalian nafsu-nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, khususnya sifat tamas yang dilambangkan dan memang dimiliki oleh babi. Seekor babi dalam kesehariannya hanya tidur dan makan. Kecendrungan makan dan tidur adalah sifat pemalas (guna tamas), dan sifat-sifat itulah yang harus dibunuh. Dengan demikian, walau pun seluruh babi yang ada di muka bumi ini dikurbankan, kalau tidak disertai dengan pengurbanan sifat-sifat babi yang ada di dalam diri, maka semua itu tidak ada gunanya, bahkan bisa menyuburkan sifat-sifat kebinatangan dan kemunafikan yang ada di dalam diri. Perlu juga diketahui, penggunaan daging untuk persembahan kepada roh leluhur merupakan salah satu bentuk larangan pada zaman Kali (Kali Yuga) menurut kitab Brahma Vaivarta Purana. Larangan ini dimunculkan untuk memotong keterikatan roh dengan kenikmatan duniawi, utamanya keterikatan terhadap rasa makanan, yang menghambat perjalanannya menuju alam kelepasan.
Disimpulkan, penampahan dinyatakan sukses jika telah berhasil membunuh nafsu-nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri ini pekerjaan sulit. Sebagaimana dinyatakan dalam Hukum I Newton, semua benda, termasuk manusia, bersifat lemban, sehingga sedemikian sulit untuk mengubah din, apalagi untuk meninggalkan kebiasaan yang selama ini dipandang mengenakkan.
Galungan: Kemenangan Dharma
Lontar Sundarigama memberikan petunjuk, bahwa hakekat Galungan adalah pemusatan spiritual untuk memperoleh pikiran dan sikap yang terang sebagai wujud Dharma di dalam diri, serta menghilangkan kekacau-balauan pikiran yang merupakan bentuk adharma. Dan sinilah dapat disimpulkan bahwa hakekat Galungan adalah perayaan kemenangan Dharma atas adharma, yang secara mitologi dilambangkan dengan kemenangan melawan godaan Sang Kala Tiga Wisesa, yaitu : Bhuta Galungan (sifat cendrung membikin pertengkaran, prilaku kasar). Bhuta Dungulan (sifat ingin menang sendiri), dan Bhuta Amangkurat (sifat haus akan kekuasaan dan suka mengatur orang lain). Jika ketiga sifat buruk tersebut dapat dikalahkan, maka dalam diri seseorang akan muncul sikap santun, welas asih, dan kesenangan untuk berbuat baik kepada orang lain, sebagai dasar untuk menegakkan dharma di dalam diri dan lingkungannya.
Perayaan kemenangan Dharma atas adharma mengandung makna penghormatan kepada sifat dasar segala yang ada. Semua yang ada mengandung makna dan fungsi tertentu, dan itulah Dharma. Jika makna dan fungsinya diselewengkan, maka tindakan itu tergolong adharma, yang secara perlahan mengantarkan kita kepada keadaan ketidak-harmonisan. Sebagai contoh, dharma air adalah membasahi dan melarutkan senyawa polar; dharma api adalah panas dan membakar, dharma udara mengeringkan, dan dharma tumbuhan adalah berfotosintesis untuk menghasilkan zat-zat makanan dan oksigen. Jika dharma-dharma itu tidak berjalan, maka kekacau-balauan pasti akan terjadi.
Dalam Mahabharata, Rsi Bhisma menyatakan kepada Yudhistira, bahwa segala sesuatu yang mengembangkan cinta kasih Tuhan adalah Dharma, sebaliknya yang dapat menimbulkan ketidakselarasan dan kebencian adalah adharma. Dharmalah yang akan menyebabkan manusia memiliki sifat ketuhanan, karena Dharma adalah Tuhan itu sendiri ”Ingkang dharma ingaranan Widhi “.
Disimpulkan, perayaan Galungan dinyatakan sukses jika tingkah laku kita semakin menunjukkan, bahwa kita adalah makhluk yang penuh cinta kasih dan berkontribusi terhadap upaya-upaya untuk membangun keselarasan dengan alam, masyarakat, dan Brahman, melalui swadharma masing-masing.
Aktualisasi Diri Pesan moral Galungan sesungguhnya adalah : “Tundukkan diri, lakukan swadharma masing-masing”. Swadharma berkaitan dengan kerja yang di dalamnya mengandung pelayanan sesuai dengan profesi masing-masing. Dengan demikian, kerja akan menjadi bentuk bakti. Sehubungan dengan cara berbakti lewat pelayanan terhadap sesama manusia. Gandhi pernah mengatakan,”Saya mencari ketenangan di tengah badai!” Pernyataan tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan dapat dipuja bukan hanya di pura, tetapi bisa dimana saja. Gandhi telah menguatkan dan mewariskan Hindu Aktivistik yang sangat dominan pada abad XX. Ia melihat pelayanan (sevanam) yang aktif sebagai jalan untuk menuju Tuhan. Pelayanan itu dilakukan atas dasar ahimsa, kasih sayang, keyakinan yang kuat kepada Tuhan, kebenaran, persatuan, pengorbanan diri, dan segala hal yang menuju kebaikan untuk semua orang (sarvodaya).
Konsep dasar Hindu Aktivistik adalah bahwa seseorang dapat mencapai kebebasan melalui pembebasan orang lain dan penderitaan. Untuk dapat membebaskan orang lain, seorang Hindu dituntut agar mengembangkan potensi yang ada pada dirinya secara maksimal. Dengan perkataan lain, agar mampu membebaskan orang lain, terlebih dulu dia harus mampu membebaskan dirinya sendiri. Inilah teologi pembebasan yang dikembangkan oleh Gandhi, yang berikutnya dimunculkan dan dikembangkan di lingkungan rohaniawan Katolik di Amerika Latin pada tahun 1970-an.
Praktek pelayanan sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan sebelumnya juga diajarkan oleh Swami Ramakrishna. Beliau setiap saat menerima dan melayani Narayana dalam wujud orang kelaparan, buta, dan orang-orang menderita lainnya, serta mengajak mereka untuk memuja Tuhan. Hal yang sama juga diwarisi dan diperkuat oleh Swami Vivekananda. Dia berpandangan, hanyut dalam kemewahan atau pergi ke hutan sesungguhnya adalah tindakan membunuh diri secara perlahan. Untuk mencapai kedamaian, bukan dengan kedua tindakan itu, tetapi justru dengan melayani orang-orang lain yang menderita. Dia berkata, “Jika Anda menginginkan Tuhan, layanilah manusia.”
Dewasa ini, Sri Sathya Sai Baba menyatakan, “The hands that help are holier than the lips that prayer“. Tangan-tangan yang menolong lebih suci dari mulut yang berkomat-kamit bersembahyang. Beliau juga mengatakan, bahwa manava seva, madhava seva (pelayanan terhadap sesama manusia, sesungguhnya adalah pelayanan terhadap Tuhan). Untuk dapat melayani orang lain, tidak harus semua orang menjadi suster, tidak mesti semua orang menjadi anggota palang merah atau pramuka. Pelayanan dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dalam profesi apapun. Singkatnya, lakukan swadharma dengan sebaik-baiknya, maka kita telah melakukan pelayanan, dan itu adalah salah satu bentuk pemujaan terhadap Tuhan. Pengurbanan diri sekecil apapun masih lebih bermakna dibandingkan pengurbanan barang dan makhluk lain.
Penutup Untuk menunjukkan bahwa diri kita ada dan hidup, maka melakukan kerja adalah keharusan. Agar hidup dan kerja kita tidak sia-sia, maka ajaran Dharma harus ditegakkan. Penegakan Dharma di dalam diri dilakukan dengan membatasi dan mengendalikan keinginan-keinginan ragawi, serta mengembangkan prilaku yang mengarah pada keselarasan dan ketenangan bersama. Keselarasan bersama hanya dapat dilakukan jika semua orang melakukan swadharmanya masing-masing, dan menjadikan bentuk kerjanya itu sebagai pelayanan kepada kemanusiaan, yang secara spiritual adalah pelayanan kepada Tuhan itu sendiri. Sekian.

Cinta dan Amarah Drupadi

Cinta dan Amarah Drupadi
Tak salah memang, bila semua itu bersumber dari pikiran, dan pikiranlah yang bertanggungjawab atas amarah, dan juga nafsu. Pikiran selalu begejolak. Bagian tersulit dalam hidup ini adalah memikirkannya, namun ada yang lebih masuk akal untuk mengalahkannya, yakni dengan mengerjakanrya. Sederhana saja, Bila kita berangkat dari Bandung ke Jakarta lewat puncak, pikiran terus bergejolak. Macet, belum lagi hujan, jalan berkelok dan bensin habis dan lain-lain. Tapi, jangan pikirkan itu kerjakanlah saja. Maka semua akan berakhir menggembirakan. Lambat dan rintangan dijalan adalah cara-cara Tuhan untuk mernbuat kita lulus ujian agar kita menjadi kuat.

Benar adanya, Sri Krishna bersabda dalam Gita, nafsu dan marah itu disebut analam, yang bermakna “api”. Ada bahaya terkena panasnya api walaupun api itu agak jauh dari diri kita. Bila api yang menyala di luar diri kita sudah sangat berbahaya, maka betapa lebih berbahaya kalau api itu berkobar-kohar dalam hati kita. Api hawa nafsu dan amarah ini mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa untuk menghancurkan seluruh kualitas kemanusiaan, api itu pula mampu dengan mudah memadamkan percikan ketuhanan yang ada dalam hati, sehingga hanya sifat setan yang muncul. Dalam koridor inilah Drupadi ingin disadarkan oleh Krishna dalam Kisah Mahabarata.

Ketika Yudistira menolak untuk berkata bohong tentang gajah Aswatama mati, semua kesal dan membujuk, dan Drupadi sangat marah, bahwa Drupadi khawatir sumpahnya bisa tidak terlaksana untuk membasahi rambutnya dengan sampoo dari darah Dusasana. Drupadi berteriak, geram. Krishna mendengar dan mendekati Drupadi, “Drupadi engkau tidak boleh marah sama mereka yang terlibat dalam perang ini. Engkau harus bijaksana melihat semua ini,” kata Krishna dengan lembut. “Jika engkau tidak mampu membujuk Yudistira, biarlah Aku yang akan merayunya.” Drupadi malu, lalu berkata, “Oh Kesawa, maafkan aku ini, cintaku yang tinggi pada Yudistira sering membuat aku salah tingkah, aku ingin tahu apa penyebabnya marah itu muncul?”

Krishna menjawab: “Selama berkali-kali kelahiran engkau telah terpikat oleh kecantikan dan dikuasai oleh keinginan serta amarah, hingga hawa nafsu ini telah mendarah daging, sehingga engkau dilahirkan kembali dan diuji untuk melakukan pengendalian. Jika engkau tidak sabar, maka engkau akan menjadi budak nafsu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan Krishna,” tanya Drupadi penasaran. Krishna tersenyum, “Oh Drupadi, menghilangkan marah hanya dengan kata tidak akan berhasil, amarah tidak akan menyingkir, sifat-sifat negatif ini telah berurat berakar dalam darah dagingmu.”

Drupadi berkata, “Oh Madusudana, Aku merasakan bahwa mula-mula nafsu sangat menarik dan menyenangkan, karena dia hadir dengan seribu pesona. Lama kelamaan aku sering merasa muak, tetapi pada saat itu sudah sangat sulit bahkan sebenarnya hampir tidak mungkin aku menghilangkannya. Lalu apa yang paling baik aku lakukan Krishna?”

Krishna berkata yang paling baik engkau lakukan sejak semula adalah mengembangkan sikap tidak terpengaruh dan penyangkalan diri sebagai bagian dari sifatmu dan jangan memberi tempat atau mementingkan kainginan dan hawa nafsu. Jika engkau tidak mempunyai keikhlasan berkorban dan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu, engkau tidak siap menerima rahmat Tuhan.

“Oh Krishna, aku baru menyadari, bahwa marah dan rahmat Tuhan ada hubungannya?”

“Ya,” sahut Krishna, “Pengendalian indera itu sangat penting. Dalam Yoga Sutra, dimunculkan perlunya pengendalian yang ketat atas kecenderungan pikiran untuk berlari ke segala jurusan mengikuti nafsu. Pikiran dan indera harus dikendalikan dan dibatasi, bahkan kebahagiaan yang melebihi batas dapat berbahaya. Segala sesuatu ada batasnya, ada batas-batas yang wajar. Begitu juga dengan matamu, ia berfungsi dengan baik sampai batas cahaya tertentu. Jika cahaya tidak terlalu terang, mata tidak dapat melihat dan akan rusak. Sama halnya dengan telinga, bunyi yang dapat didengar terbatas. Jika tingkat bunyi melebihi batas itu, misalnya di dekat pesawat udara, kereta api, atau pengeras suara, pendengaran akan terganggu.”

Krishna menambahkan, “Drupadi, engkau harus membatasi tingkah lakumu dan menempuh hidupmu dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Hal ini juga dapat dinamakan disiplin. Disiplin sangat perlu untuk kemajuan hidup spiritual seseorang, tanpa disiplin, manusia tidak berbeda dengan binatang. Tetapi disiplin pun harus dilaksanakan dalam batas-batas tertentu; bahkan disiplin perlu diatur jika engkau ingin menikmati hidup. Engkau mengetahui, bahwa segala sesuatu ada batasnya, jika engkau tetap berada dalam batas-batas itu, engkau tidak akan mengalami kesulitan dalam hidupmu”.

Engkau harus memperhatikan dua musuh manusia yang mengerikan ini, yaitu kama dan krodha ‘nafsu’ dan ‘amanah’, dan berusahalah mengendalikan mereka. Musuh-rnusuh ini tidak berada di luar dirimu, melainkan ada dalam dirimu. Jika engkau dikalahkan oleh musuh dalam dirimu, bagaimana engkau berharap dapat mengalahkan musuh di luar dirimu? Tetapi jika engkau mampu menguasai musuh dalam dirimu, musuh-musuhmu yang lain dapat ditaklukkan dengan mudah. Bhagawad Gita mengajarkan bahwa nafsu dan amarah merupakan hambatan utama menuju pembebasan, karena itu penting sekali mereka harus dikuasai. Pada hari mendatang akan kita bicarakan musuh-musuh lain yang menghalangi jalanmu, seperti kedengkian dan kekikiran.

Memaknai Perayaan Saraswati Dengan Menjadi Generasi Muda Hindu Yang Suputra

Memaknai Perayaan Saraswati Dengan Menjadi Generasi Muda Hindu Yang Suputra


       Perayaan hari suci keagamaan akan menjadi ceremony rutinitas yang tanpa makna, jika kita hanya berkutat pada ritual belaka tanpa menggali nilai-nilai filosofis yang dikandungnya, untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Sehingga hal ini dapat memberi spirit untuk mengurangi kehidupan yang nota bene sebagai ladang kita untuk berkarma baik (subha karma) agar kelak dapat kembali ke asal kita pada “Sangkan paraning dumadi”yaitu kepada sumber yang menyebabkan kita bisa hidup di dunia ini.
Pada hakekatnya banyak hal yang dapat kita maknai dengan perayaan hari suci Saraswati, salah satunya adalah dengan menjadi generasi muda Hindu yang Suputra (putra yang utama). Oleh karena dengan perayaan Saraswati seyogyanya kita termotivasi mengupgrade diri dengan menggali dan menguasai ilmu pengetahuan, baik dalam bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) maupun dalam bidang spiritual (keagamaan) karena kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi sebagaimana ungkapan “iptek tanpa agama menjadi buta dan agama tanpa iptek menjadi lumpuh”. Penguasaan iptek dan spiritualitas inilah kemudian diharapkan aplikasinya tidak menjadi bomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri, melainkan dapat membawa kedamaian dan keselamatan untuk semua. Karena sudah dapat dipastikan penguasaan iptek tanpa dibarengi penguasaan spiritualitas yang memadai akan membawa kehancuran, sebab rentan terjadi penyimpangan dalam penggunaannya, seperti misalnya penguasaan iptek dalam menciptakan bom, bukan digunakan untuk menjaga kedaulatan Negara (bela Negara dalam perang) melainkan digunakan untuk membunuh orang-orang yang tidak berdosa, hanya untuk tujuan rnenunjukkan ketidak puasannya pada pihak lain dan yang menjadi korban adalah orang yang tidak tahumenahu dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun di dunia ini. Hal ini dapat terjadi hanyalah sebagai akibat dan penguasaan iptek yang tanpa disadari oleh nilai-nilai spiritual atau keluhuran budhi, Jika sudah seperti ini maka harapan untuk menjadi generasi muda yang suputra menjadi jauh panggang dari api alias tidak akan pernah terwujud, alih-alih dapat menjadi suputra yang dicintai keluarga, masyarakat, dan bangsa malah bisa terjerumus menjadi teroris yang dicacimaki semua orang.
Mengapa menjadi orang yang suputra akan dapat memberikan pahala yang luar biasa tidak saja bagi pelakunya tetapi juga bagi orang tua dan keluarganya, sebab orang yang suputra adalah orang yang pandai/pintar dalam penguasaan iptek sekaligus berbudi baik/saleh. Dengan keluhuran budhinya/kesalehannya dan kepandaiannya tentu akan dapat membawa kebahagiaan dan kedamaian bagi semua orang. Bahkan di dalam kitab Slokantara 2, dinyatakan bahwa melakukan seratus yadnya dikalahkan pahalanya dengan mempunyai putra suputra, yaitu disebutkan sebagai berikut:
“Kunang ikang wang mayajna ping satus, alah ika pahalanya denikang wang manak-anak tunggal, yan anak wisesa”
artinya:
Ia yang melakukan seratus yadnya, dikalahkan pahalanya dengan orang yang mempunyai putra, walaupun seorang, asal saja putra itu saleh dan pandai (suputra). Dengan penguasaan iptek (kepandaian) dan dilandasi keluhuran budhi (kesalehan), sebagaimana suratan kitab Slokantara di atas, sangatlah penting dalam mengarungi samudra luas kehidupan ini sehingga kita dapat mendedikasikan diri sesuai dengan bidang yang kita tekun sebagai wujud yadnya, karena yadnya berupa ilmu pengetahuan jauh lebih mulia dan pada yadnya dalam bentuk materi, sebagaimana tersurat dalam kitab Bhagawad Gita sloka 33 sebagai berikut:
Srayan dravyamayad-yajnaj
jnanayajnah parantapa
sarwam karma ‘khlam partha
jnane perisamapyate
Artinya : “Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, oh Parta.
Merujuk pada suratan dua kitab suci di atas, jelaslah bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dilandasi keluhuran budhi, menyebabkan kita dapat menjadi anak yang suputra dan lebih lanjut lagi kita dapat melakukan yadnya yang sangat mulia melalui ilmu pengetahuan pula.
Akhirnya, semoga dengan momentum perayaan hari suci Saraswati yang dirayakan setiap enam bulan sekali yaitu setiap Saniscara Umanis Wuku Watugunung, dapat memberikan inspirasi bagi kita semua tiada henti-hentinya belajar sebagaimana disimbolkan dengan Genitri bahwa ilmu pengetahuan itu, tidak terbatas dan tidak akan ada akhirnya serta tidak akan habis untuk dipelajari. Semakin banyak yang tidak kita ketahui sebab wawasan kita kian terbuka bahwa ilmu pengetahuan itu tidak statis melajukan dinamis dan terus berkembang. Lain halnya dengan orang yang tidak mau belajar dan menutup diri terhadap informasi ia akan merasa sudah cukup mempunyai akal kepintarannya, merasa sudah banyak yang ia ketahui sebab wawasannya terkungkung ibarat katak dalam tempurung.

Memberikan, Mendamaikan, dan Menyembuhkan




Masalah, masalah, masalah, itulah keseharian manusia di bumi ini. Presiden AS Barack 0bama sudah dua kali batal datang ke Indonesia. Ini menunjukkan rumitnya kehidupan di sana. Dulu, krisis utang hanya menjadi cerita negara berkembang, sekarang Yunani mengalami krisis utang.Negeri ini serupa. Reformasi yang diharapkan menyudahi banyak masalah malah menambah masalah. Dari tarik-menarik kepentingan yang rumit di tingkat atas sampai terbakarnya banyak orang oleh kompor gas di tingkat akar rumput.
Digabung menjadi satu, kerumitan hidup manusia meningkat di mana-mana. Mungkin karena rumitnya, Sheila McNamee dan kawan-kawan (1992) memberi judul karyanya Therapy as Social Construction.
Jalan keluar komprehensif tak pernah datang dari satu pihak saja. Kita perlu mengonstruksinya bersama-sama. Sayangnya, upaya ini yang sulit dilakukan.
Lem perekat
Dibandingkan dulu, nafsu manusia untuk selalu untung kini demikian besar. Jadilah masyarakat seperti permainan tarik tambang. Tempat-tempat manusia berkumpul yang dulu sejuk dengan saling memberi, sekarang dipenuhi pemburu keuntungan.
Seorang sahabat yang rajin meditasi di sejumlah tempat menceritakan, kian banyak manusia datang ke sebuah tempat, kian panas hawanya. Di Barat malah lebih menyentuh hati, tempat ibadah sebagian tidak saja kehabisan pengunjung, malah dijual.
Salah satu sisi kehidupan masyarakat tradisional yang layak diteladani adalah kegembiraan mereka dalam memberi. Itu sebabnya, Marcel Mauss (1990) memberi judul karyanya The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaicsocieties.
Dalam karya antropologi indah ini terlihat lem perekat yang menyatukan masyarakat tradisional adalah sukacita dalam memberi. Lebih dari itu, mereka berjumpa kedamaian dalam pemberian.
Banyak sekali sisi-sisi kehidupan kekinian di mana manusia bisa memberi. Dari berbagi senyuman, mendengarkan keluhan, memberi kesempatan dulu bagi orang yang buru-buru, memberi tempat duduk kepada orang tua di tempat publik, memegang pintu bila di belakang ada orang, menghormati pemimpin, menyayangi anak-anak panti asuhan atau orang tua di panti jompo, sampai mengalah sama anak-anak di rumah.
Syukur-syukur bisa ikut membimbing masyarakat menuju kebajikan.
Dan bagi siapa saja yang sudah terbiasa memberi akan mengerti, ketika memberi sejatinya manusia tidak hanya membantu, melainkan juga membangunkan sifat-sifat baik dalam diri. Bunda Theresa contoh yang teramat bercahaya.
Sementara manusia kebanyakan teramat sibuk memenuhi keuntungan diri sendiri, ia memperuntukkan seluruh hidupnya untuk orang lain. Dan terlihat jelas, tidak saja warga Kalkuta yang sempat dibantu yang menikmati hasilnya, hidup Bunda Theresa jadi monumen pemberian yang masih bercahaya sampai ribuan tahun ke depan.
Tidak banyak manusia terlahir sebercahaya Bunda Theresa, diberi kesempatan dikenal dunia. Namun, kita orang biasa bisa membuat perbedaan melalui tindakan kecil yang tak dikenal.
Dari mematikan keran air yang lupa dimatikan; mendonorkan darah; membersihkan kloset umum yang ditinggalkan petugasnya; memungut sampah yang dibuang sembarangan; menolak penggunaan tas plastik; mengurangi penggunaan sabun, sampo, dan tisu; memberi makan burung atau anjing liar; sampai memindahkan batu di jalan yang membahayakan pengendara lain.
Seorang guru yang rajin melakukan hal-hal seperti ini berpesan: ”Lihatlah alam. Dari bukit sejuk sampai bintang bercahaya di langit. Tidak ada hal lain yang dilakukan mereka terkecuali memberi. Hasilnya, tidak terdengar ada bukit yang bertengkar, tidak terdengar ada bintang yang mengeluh. Ujung-ujungnya, mereka damai.”
Ini memberi inspirasi tambahan, memberikan ternyata mendamaikan!
KeterhubunganLebih dari sekadar mendamaikan, pemberian mudah membuat manusia terhubung. Ia yang lama menyatu dalam keterhubungan, suatu waktu merasakan, ternyata semua makhluk terlahir agar kita tercerahkan.
Dalam salah satu dialog kosmis, ada yang berbisik: ”Ketika para makhluk menyakiti, sesungguhnya sedang mengajarkan kesabaran. Tatkala bersedih, sebenarnya sedang membangkitkan energi kasih sayang di dalam sini. Saat mereka berbahagia, menjadi ujian seberapa bahagia manusia bisa melihat orang lain bahagia. Manakala para makhluk melayani, manusia sedang melihat cermin kebaikan hatinya”.
Cermati alam sebagai wakil keterhubungan, ia menyediakan bahan-bahan pencerahan berlimpah. Pepohonan terus berbagi oksigen.
Hasilnya, sejuk dan teduh. Danau menyediakan diri sebagai tempat banyak makhluk bertumbuh. Ujung-ujungnya, terlalu banyak kehidupan yang merasakan kesejukan di danau.
Dalam terang pemahaman seperti ini, bisa dimaklumi ahli neurosains, Francisco Varela, menemukan istilah the biology of compassion. Kasih sayang juga menyembuhkan. Ini mirip dengan penelitian yang menyimpulkan manusia yang memiliki binatang peliharaan yang disayangi di rumah memiliki risiko terkena serangan jantung lebih kecil dibandingkan yang tidak. Ini memberi inspirasi, memberi juga menyembuhkan.
Dalam kebijaksanaan Timur, ruang digunakan sebagai simbol pencerahan. Batin tercerahkan, demikian pesan tetua, serupa ruang. Air tak bisa membuatnya basah, api tidak bisa membuatnya terbakar.
Ruang adalah simbol kasih sayang tak terbatas karena memberi tempat kepada apa saja dan siapa saja bertumbuh. Langkah terpenting, membuat batin tercerahkan seperti ruang adalah rajin memberikan karena memberi itu mendamaikan sekaligus menyembuhkan.
Gede Prama  Penulis buku ”Sadness, Happiness, Blissfulness:

Kebaktian Hanuman





Kebaktian adalah sebuah kreativitas jiwa dan raga manusia dalarn sebuah narasi kehidupan untuk melakukan pengabdian yang berjuluk “total surrender”. Zone kreativitas ini menampakkan sosok manusia untuk menciptakan sesuatu yang esthetis. Manusia demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang hanya “indah” dan cantik. Sosok itu telah masuk ke wilayah yang dikenal sebagai “Sang kinahananing kaprajnan ngaranira,” ungkap Sarasamuscaya. Di sanalah karakter berbunga. Atas dasar sebuah pertahanan akan keindahan karakter itulah sosok Hanuman yang mengabdi demi sebuah pencapaian hidup hadir di setiap bakta yang tulus kepada Tuhan.
Di titik itu kebahagiaan sejati dapat dinikmati oleh sesama manusia, sesuai dengan ungkapan, “Harta hanya bisa menghias rumahmu, tapi hanya kebajikan yang bisa menghias dirimu, baju hanya bisa menghias badanmu, sedangkan hanya perilaku yang bisa menghias dirimu.” Itulah kata bijak yang tepat untuk memberikan gambaran kepada Hanuman, seekor kera yang tetap dikenang dan dihormati melebihi manusia, karena kebajikan yang dia lakukan untuk mengabdi dan membahagiakan avatara Rama. Oleh sebab itu, ruang renungan yang sempit ini mengabarkan, bahwa jiwa kita selalu mesti hadir sebagai Hanuman dalam mengabdi kepada yang maha memiliki.
Pagi yang cerah dalam kekusukan doa pagi di taman Argasoka di wilayah kerajaan Alengka, adalah taman kerajaan tempat di mana Shinta disekap, dihambat jiwanya dan dipaksa untuk mengeluarkan sebuah perasaan cinta untuk Rahwana, serta agar cintanya hilang pada Rama. Rahwana hendak mengganti sosok Rama yang lemah lembut itu. Taman Argasoka, menjadi tempat untuk menghabiskan hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Pengharapan lewat doa itu tak pernah sia-sia.
Dalam Argasoka Shinta ditemani oleh Trijata, kemenakan Rahwana. Rahwana juga berusaha membujuk Shinta untuk bersedia jadi istrinya. Karena sudah beberapa kali Rahwana meminta dan ‘memaksa’ Shinta menjadi istrinya, tetapi ditolak, sampai-sampai Rahwana habis kesabarannya, yaitu ingin membunuh Shinta namun dapat dicegah oleh Trijata. Dewi Shinta selamat, namun Dewi Shinta selalu berdoa kepada pujaan hatinya, Rama sebagai suami dan utusan Dewata ke dunia untuk menghancurkan kejahatan.
Deraian angin selatan yang sejuk tidak mampu menghapuskan kesedihan Shinta di taman Argasoka. Ketika membayangkan wajah Rama yang tampan, maka hatinya menjadi berbunga, kesedihan terhapus sementara. Namun, saat mata terbuka, sang pujaan hati ternyata tak ada di sampingnya, Sang Dewi bersedih, dalam kesedihan itu ia mendengar sayup-sayup sebuah lantunan lagu yang indah “Rama-Rama hatimadura Rama-rama” tembang dengan dawai hati mengalun merdu. Suara merdu itu ternyata dilantunkan oleh seekor kera putih yang sedang mengintainya. Setelah kehadirannya diketahui Shinta, segera Hanuman menghadap untuk menyampaikan maksud kehadirannya sebagai utusan Rama.
Hanuman berdiskusi dengan Dewi Shinta. Dewi bertanya, “Hai kera putih, siapa namamu, mengapa engkau rela berjalan jauh dan mengabdi kepada Sri Rama untuk menengok Aku?’
“Oh Ibu,” kata Hanuman berseru sambil bersujud menganggap Dewi Shinta sebagai Ibu, “Aku adalah Hanuman, putra Anjani, hamba menaruh hormat dan mengabdi kepada Sri Rama, karena beliau mampu mendamaikan perang saudara Paman hamba Subali Sugriwa dari kerajaan Kiskinda.
Dewi Shinta bertanya, “Apa bukti dan alasan mengabdi dengan kepada Rama’?” Hanuman berkata, “Ini ada cincin Sri Rama, pasti ibu mengenalnya. Hamba datang ke sini adalah untuk tugas kebaktian diriku dan untuk merangsang hasrat mengetahui dan keasyikan Rahwana, serta hamba ingin mengubah realitas sosok Rahwana ke dalam imajinasi, sehingga dapat hamba kalahkan. Itulah pendapat hamba Ibu. Hamba ingin mengabdikan diri pada sosok memiliki sifat ketuhanan. Dan itu adalah Sri Rama, kemanapun hamba diutus hamba akan laksanakan.”
Hanuman menambahkan, seseorang yang mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang tampil dalam pikiran, perasaan, dan sebagainya, ia (benar-benar) hidup. Sebaliknya, jika seseorang mencemarkan selubungnya yang suci (tubuh) dengan menggunakannya untuk tujuan-tujuan tidak suci guna mengikuti kesenangan yang bersifat sementara, dan dengan demikian mengabaikan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahakuasa, maka hal itu harus dicela sebagai pengingkaran sengaja pada sifat kemanusiaannya sendiri.
“Pengalaman apa yang engkau sudah laksanakan?” tanya Dewi Shinta kembali. Hanuman melanjutkan, “Jenis pengalaman kita tergantung jenis jalan (hidup) yang kita tempuh. Karena itu, kita harus bergaul dengan orang-orang yang baik, mendapatkan nama baik, dan menempuh hidup yang baik. Penuhi hatimu dengan perasaan yang murni dan suci. Inilah sifat-sifat yang dimiliki Buddha. Buddha menyatakan, Dharmam sharanam gachchhami, “Aku berlindung pada dharma”. “Satyam sharanam gachchhami”. Aku berlindung pada kebenaran. Segala kegiatan kita harus dilandaskan pada satya dan dharma. Seandainya pun engkau berjumpa dengan orang yang jahat, lihatlah hanya hal-hal yang baik dalam dirinya. Tuhan yang sama, Yang Maha Esa, bersemayam dalam segala makhluk.”
Dewi Shinta bertanya lagi, “Apa yang mendasari engkau memuja Rama, dan mengorbankan dirimu sangat serius dalam pencarian diriku?” Sambil tersenyum Hanuman berkata: “Ibu yang mulia, hamba tidak mampu menatap wajahmu karena aku bisa terbakar akan kemarahanMu, namun hamba dengan Sri Rama tidak terpengaruh oleh nama dan wujud lain. Pesan Rama padaku, adalah percayalah pada prinsip atma yang tidak berwujud. Atma adalah perwujudan kebahagiaan jiwa. “Nityaanandam, parama sukhadam, kevala jnaanamuurtim, dvandvaatiitam, gagana sadrisham, tattvamasyaadi lakshyam, ekam, nityam, vimalam, achalam, sarvadhii saakshiibhuutam, bhaavaatiitam, trigunarahitam,” ‘atma adalah perwujudan kebahagiaan abadi, kebijaksanaan mutlak, melampaui pasangan sifat-sifat yang bertentangan, tidak terbatas dan meliputi segala sesuatu bagaikan angkasa, tujuan yang ditunjukkan oleh pernyataan agung (mahaavaakya) tattvam asi, kekal, murni, tidak berubah, saksi segala fungsi akal budi, melampaui segala keadaan mental, dan melampaui ketiga sifat (sattva, rajas, dan tamas). Itulah yang ada dalam diriku, Ibu.
“Bagaimana pandanganmu terhadap Rama sebagai perwujudan Yang Maha Kasih?” Tanya Dewi Shinta kembali. Hanuman berkata: “Rama dan Tuhan sulit dibedakan, jiwaku telah menganggap dia satu, Ibu. Sebab Rama adalah perwujudan kasih dan melampaui segala sifat. Hamba menganggap Rama mempunyai berbagai sifat, karena imajinasi mereka belaka. Hawa nafsu, kemarahan, kebencian, ketamakan, kedengkian, dan kesombongan, semuanya manusia timbulkan sendiri; sifat-sifat buruk itu tidak berasal dari Rama. Rama selalu memberkati hamba dan manusia yang lain dengan kasih. Manusia melihat suatu objek dan ingin memilikinya. Itu karena ketamakan manusia. Rama tidak ada hubungannya dengan hal itu. Rama sama sekali tidak mempunyai keinginan. Beberapa orang bahkan mencoba memperdayakan Rama, termasuk Rahwana dengan memproyeksikan aneka keinginan mereka pada Beliau. Mereka menuduh Rama dengan menganggap Rama mempunyai berbagai sifat yang sebetulnya tidak ada dalam diri Beliau. Meskipun demikian, Rama selalu mengasihi manusia. Dapatkan kasih Rama melalui kasih. Demikian pula dapatkan kebenaran melalui kebenaran. Bila manusia menempuh hidupnya dengan cara tersebut, itu merupakan latihan rohani (saadhana) sejati.
Dewi Shinta mengangguk dan berkata, “Hanuman, walau engkau bangsa kera namun engkau telah mencapai kesadaran atma, oleh karena itu engkau harus terus memupuk semangat kemanunggalan ini. Jangan menyamakan diri dengan nama yang diberikan kepada tubuhmu. Namamu yang sebenarnya adalah aku, aku, aku. Aku adalah kenyataan asasi dirimu selama-lamanya. Selama engkau mempunyai badan, onang-orang akan memanggilmu dengan namamu. Bila badan binasa, lalu apa yang terjadi dengan nama itu? Sesungguhnya engkau bukan satu orang, engkau adalah tiga: engkau sebagaimana anggapanmu sendiri, engkau sebagaimana anggapan orang lain, dan engkau yang sebenarnya. Selamat berjuang Hanuman, semoga Rama memberkatimu. Om Gam ganapataye namaha*****