"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/11/2011

Dari Simbol Menuju Aktualisasi Diri




Sampai saat ini masih ada beberapa desa tua di Bali tidak pernah melaksanakan perayaan Galungan karena mereka menganggap Galungan sebagai peringatan jatuhnya Bali ke tangan bala tentara Majapahit. Sedangkan, menurut isi lontar Purana Bali Dwipa, perayaan Galungan pertama kali di Bali pada Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804(902 M); jauh sebelum jatuhnya Bali ke tangan Majapahit pada tahun 1265 Saka (1343 M). Dengan demikian, alasan untuk tidak merayakan Galungan seperti tersebut di atas hanyalah kesalahtafsiran. Di sisi lain, perayaan Galungan akhir-akhir ini sering ditandai dengan kreativitas budaya anak-anak muda yang semakin mengarah keluar dan zona Dharma. Kondisi ini terjadi karena ketidaktahuan, dan tuntutan yang meledak-ledak dari dalam. Sebagai generasi yang ada dalam tingkat energi paling prima, sesuai dengan Hukum II Termodinamika, mereka memiliki kecendrungan untuk sulit mengatur diri, yang lebih lanjut menurut Hukum Murphy, lebih dominan untuk berbuat salah.
Pelaksanaan bazar, sebagai sebuah contoh, yang hampir seutuhnya melibatkan peran anak muda, sering melenceng menuju kawasan adharma, misalnya : mabuk-mabukan, kenikmatan seksual, dan perkelahian. Semua kejadian itu, yang biasa ditemukan dalam pelaksanaan bazar, sesungguhnya merupakan pintu gerbang menuju neraka (Bhagawadgita, XVI: 210). Di sisi lain, tradisi ngelawang barong dan wayang wong, yang secara ekonomis memang kurang memberi keuntungan, semakin tidak kelihatan. Kedua gambaran tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran kreativitas budaya agama dan nuansa spiritual menuju libido-materialitas. Lalu, masih layakkah kita menyebut Galungan sebagai hari kemenangan Dharma atas adharma, tidakkah sebaliknya menjadi keprihatinan Dharma atas adharma?
Makna Simbolik
Agar mendapat gambaran yang jelas tentang makna perayaan Galungan, dan ada kontribusinya bagi umat untuk mengenali dirinya, maka akan dipaparkan rangkaian rerahinan menuju Galungan. Perayaan Galungan dinyatakan berhasil jika telah terjadi perubahan tingkah laku umat menuju kondisi yang dilambangkan dalam rangkaian rerahinan tersebut.
Tumpek Pengatag : Penyerasian diri dengan Alam
Beberapa sumber menyatakan, persiapan perayaan Galungan dimulai pada Tumpek Pengatag (hari otonan tumbuh-tumbuhan), yang dilaksanakan pada hari Sabtu Kliwon Wariga. Menurut lontar Sundari Bungkah, wariga mengandung makna wewarah ring raga. Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan atau pohon (kayu) merupakan simbol dan pikiran (kayun). Dengan demikian, dibalik prosesi memberitahukan (ngatag) tumbuh-.tumbuhan, yang paling penting sesungguhnya adalah mengingatkan diri sendiri.
Apakah tindakan ngatag tumbuh-tumbuhan tidak termasuk semangat animisme dan dinamisme? Ajaran Veda menyatakan di dalam tumbuh-tumbuhan terdapat jiwa, dan jiwa itulah yang menyebabkan mereka dapat bernafas dan tumbuh Mahad brahma, yena prananti virudhah (Atharvaveda I. 32.1). Sebagai bukti, percobaan dengan Marigold (bahasa Bali : gemitir) di universitas Chulalongkorn, Bangkok, pada tahun 1969, menunjukkan bahwa bunga yang dirawat dengan cinta kasih tumbuh lebih subur dibandingkan yang tanpa cinta kasih, bahkan tanaman yang dijadikan sasaran untuk menumpahkan sumpah serapah, kemarahan, dan kebencian, secara perlahan layu, dan akhirnya mati. Hal yang sejenis juga dilakukan dengan memakai musik keras dan lembut. Selanjutnya, percobaan komunikasi yang bersifat melindungi, oleh Burbank (seorang ahli botani), dapat mengubah pohon kaktus menjadi tidak berduri. Semua itu membuktikan, bahwa di dalam tumbuhan juga terdapat jiwa. Içvarah sarva bhutanam. Karena memiliki jiwa, maka mereka pun merindukan kasih sayang.
Dalam kaitan dengan wewarah ring raga, salah satu pertanyaan mendasar yang dapat kita tanyakan pada diri sendiri, sebagaimana juga dikemukakan oleh Socrates adalah “Siapa sesungguhnya saya?”. Secara fisik, badan kita dibentuk oleh atom-atom. Dalam tingkat atom, partikel-partikel subelementer (proton, elektron, dan netron) yang menyusun atom dipisahkan oleh jarak yang sangat besar dibandingkan ukuran partikel-partikel subelementer tersebut. Deepak Chopra menyatakan, 99,999% bagian atom adalah ruang kosong (akasa). Segala sesuatu yang kita sentuh, termasuk badan kita, tersusun dari atom-atom kosong itu. Demikian juga tubuh kita terdiri dari rongga-rongga kosong, meskipun secara kasar kelihatannya
padat dan berbentuk. Kenyataannya, kita sama kosongnya dengan ruang angkasa di antara gugusan bintang-bintang. Atas dasar itu, sesungguhnya kita adalah ruang kosong, yang secara religius merupakan stana dari Dia yang tanpa wujud (atma). Dapat disimpulkan, sesungguhnya kita bukan badan ini, kita adalah atma.
Jika kita belum mampu memandang tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai sahabat dalam hidup ini, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih, belum mampu memulai dan mengisi hari-hari dengan kasih, serta belum menyadari bahwa sesungguhnya kita bukan badan, maka perayaan Tumpek Ngatag belum bisa dinyatakan berhasil.
Sugihan: Penyucian Alam dan Diri
Lontar Sundarigama menyebutkan bahwa Sugihan Jawa merupakan hari penyucian bhuwana agung, sedangkan Sugihan Bali untuk menyucikan bhuwana alit. Lalu bagaimana caranya? Dari aspek upacara, penyucian bhuana agung dilakukan dengan mengadakan Bhuta Yajna yang bertujuan untuk menyeimbangkan kembali unsur-unsur alam. Bhuwana agung yang menjadi tempat kita hidup dan menyediakan segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan kita, dapat disucikan dengan karma yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan. Dengan demikian, segala tindakan yang menyebabkan terjadinya pemusnahan sumber daya hayati dan sumber daya mineral, serta segala hal yang menyebabkan teqadinya polusi lingkungan, baik polusi oleh bahan-bahan kimia, polusi budaya, mental, pada prinsipnya merupakan tindakan yang menyebabkan penyakit bhuwana agung semakin kronis. Dan, semua tindakan itu tergolong adharma. Dalam tradisi budaya Bali, hubungan antara manusia dengan alam, bhuwana alit dengan bhuwana agung digambarkan seperti janin dalam rahim ‘kadi manik ring cecupu’. Dalam konteks itu, jika manusia merusak alam, maka merekalah yang akan menerima akibatnya.
Semasih bhuwana agung diliputi oleh berbagai macam pencemaran, maka sulit untuk mendapatkan kesucian bhuwana alit. Kesadaran ini semestinya dibangun secara global, sehingga masalah lingkungan menjadi urusan semua orang. Kita tidak mungkin melakukan penyucian di suatu tempat, karena bumi dan atmosfer kita satu. Di sisi lain, aspek akasa (sunya) bhuwana agung dan seluruh bhuwana alit sesungguhnya adalah tunggal. Ruang sunya tersebut tidak benar-benar kosong, tetapi dipenuhi dengan berbagai gelombang, dan yang paling suci sampai dengan yang paling maksiat. Manusia tinggal mengakses jenis gelombang yang diperlukannya, dan bisa jadi yang diinginkannya.
Mengenai penyucian Bhuana Alit, Manavadarmasastra V: 109, menyebutkan tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata, serta kecerdasan dengan pengetahuan yang benar. Kitab Manusmrti itu mensejajarkan air, kebenaran, dan ilmu pengetahuan sama-sama sebagai alat “pembersih”. Air adalah pembersih fisik, sedangkan kebenaran untuk menyucikan pikiran yang bersifat abstrak. Pikiran sebagai gelombang dapat dibersihkan dengan gelombang kebenaran. Mengingat frekuensi gelombang pikiran tidak konsisten, maka pikiran perlu dilatih agar vibrasinya sesuai dengan vibrasi pikiran orang-orang suci, dan vibrasi tarian kosmis Sang Jagatnata.
Akhirnya dapat disimpulkan, pelaksanaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali dapat disebut sukses jika manusia semakin menyibukkan dirinya dengan aktivitas yang membuat alam semakin lestari, dan pikirannya semakin tenang, karena tidak akan pernah ada kesucian tanpa ketenangan.
Penapean: pengendalian indria
Penapean berasal dan kata tapa yang berarti pengendalian hawa nafsu, barulah manusia dapat dibedakan dengan binatang. Upaya pemanusiaan manusia, secara mandiri dapat dilaksanakan dengan menjalankan tapa, yang dalam kehidupan sehari-hari dilakukan dengan pembatasan keinginan. Binatang dapat menikmati kebebasan sesuai dengan dharmanya masing-masing. Manusia juga selayaknya mendapatkan kebebasan sesuai dengan dharmanya sebagai manusia. Manusia tidak dapat menyatakan diri sebagai manusia, jika mereka meniru pola hidup binatang.
Keampuhan kekuatan tapa dapat dianalogikan dengan proses metamorfosis yang dialami oleh kepompong. Sebelumnya, dia berupa ulat yang sangat menjijikkan serta merusak tumbuh-tumbuhan. Tetapi, setelah proses tapanya terlewati, dia akan menjelma menjadi seekor kupu-kupu dengan sayap yang sangat indah dan menarik. Aktivitasnya pun berubah, termasuk giat mengumpulkan madu.
Disimpulkan, pelaksanaan penapean berhasil jika telah terjadi transformasi din, dalam bentuk kemampuan untuk membatasi keinginan. Keinginan muncul pada pikiran karena rangsangan alat indra. Jika alat indranya rnasih liar, maka pikiran tidak akan pernah tenang. Tetapi, jika pikiran bisa dijinakkan, maka alat indra dengan sendirmnya akan ikut terkendali. Atas dasar itu, pikiranlah yang seharusnya dikendalikan.
Penyajaan; kesungguhan hati Dalam kaitan dengan penyajaan Galungan, lontar Sundari Gama menyebutkan : pengastawaning sang ngamong yoga semadhi. Yoga menyangkut komunikasi personal antara individu dengan Brahman atau dengan dirinya sendiri (Atman). Komunikasi Atman dengan diri sendiri dalam hidup keseharian kita dikenal sebagai “mendengar” bisikan hati. Atas dasar itu, dalam segala aktivitas, semestinya jangan sampai mengingkari bisikan suara hati, karena hati hanya akan bicara kebenaran. Kesungguhan hati harus dipraktekkan secara perlahan berbarengan dengan jalur evolusi spiritual yang dilalui oleh pelakunya. Dia mudah dibicarakan, tetapi sedemikian sulit dalam melaksanakannya. Harus juga dipahami, kegagalan dalam melaksanakan “brata” kesungguhan hati, sesungguhnya lebih banyak berasal dari dalam diri, bukan dari luar. Disimpulkan, pelaksanaan penyajaan dinyatakan berhasil jika dalam hidup sehari-hari mampu berlaku tulus, punya pendirian, dan kokoh dalam mempertahankan Dharma.
Penampahan : pembantaian sifat kebinatangan Penampahan mengandung makna pembunuhan sifat-sifat kebinatangan yang ada di dalam diri. Dalam kosa kata spiritual, hewan berarti kesadaran raga, dan inilah yang seharusnya dibantai. Bila manusia tidak menelaah perbedaan antara proses dan tujuan setiap tindakan, namun hanya melakukannya, maka tidak akan memberikan manfaat apa-apa. Suatu ketika, “Karena membinasakan egoisme sangatlah sulit, maka manusia memilih jalan yang lebih mudah, yakni membunuh hewan dungu sebagai penggantinya.” Pengorbanan hewan merupakan manifestasi tamoguna (guna tamas), sebaliknya pengorbanan hewan egoisme adalah yajna yang sattvik, yang berada dalam jalan pembebasan menuju Tuhan.
Penyembelihan babi, yang biasa dilakukan di Bali untuk menyambut Galungan, merupakan simbol dari pengendalian nafsu-nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, khususnya sifat tamas yang dilambangkan dan memang dimiliki oleh babi. Seekor babi dalam kesehariannya hanya tidur dan makan. Kecendrungan makan dan tidur adalah sifat pemalas (guna tamas), dan sifat-sifat itulah yang harus dibunuh. Dengan demikian, walau pun seluruh babi yang ada di muka bumi ini dikurbankan, kalau tidak disertai dengan pengurbanan sifat-sifat babi yang ada di dalam diri, maka semua itu tidak ada gunanya, bahkan bisa menyuburkan sifat-sifat kebinatangan dan kemunafikan yang ada di dalam diri. Perlu juga diketahui, penggunaan daging untuk persembahan kepada roh leluhur merupakan salah satu bentuk larangan pada zaman Kali (Kali Yuga) menurut kitab Brahma Vaivarta Purana. Larangan ini dimunculkan untuk memotong keterikatan roh dengan kenikmatan duniawi, utamanya keterikatan terhadap rasa makanan, yang menghambat perjalanannya menuju alam kelepasan.
Disimpulkan, penampahan dinyatakan sukses jika telah berhasil membunuh nafsu-nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri ini pekerjaan sulit. Sebagaimana dinyatakan dalam Hukum I Newton, semua benda, termasuk manusia, bersifat lemban, sehingga sedemikian sulit untuk mengubah din, apalagi untuk meninggalkan kebiasaan yang selama ini dipandang mengenakkan.
Galungan: Kemenangan Dharma
Lontar Sundarigama memberikan petunjuk, bahwa hakekat Galungan adalah pemusatan spiritual untuk memperoleh pikiran dan sikap yang terang sebagai wujud Dharma di dalam diri, serta menghilangkan kekacau-balauan pikiran yang merupakan bentuk adharma. Dan sinilah dapat disimpulkan bahwa hakekat Galungan adalah perayaan kemenangan Dharma atas adharma, yang secara mitologi dilambangkan dengan kemenangan melawan godaan Sang Kala Tiga Wisesa, yaitu : Bhuta Galungan (sifat cendrung membikin pertengkaran, prilaku kasar). Bhuta Dungulan (sifat ingin menang sendiri), dan Bhuta Amangkurat (sifat haus akan kekuasaan dan suka mengatur orang lain). Jika ketiga sifat buruk tersebut dapat dikalahkan, maka dalam diri seseorang akan muncul sikap santun, welas asih, dan kesenangan untuk berbuat baik kepada orang lain, sebagai dasar untuk menegakkan dharma di dalam diri dan lingkungannya.
Perayaan kemenangan Dharma atas adharma mengandung makna penghormatan kepada sifat dasar segala yang ada. Semua yang ada mengandung makna dan fungsi tertentu, dan itulah Dharma. Jika makna dan fungsinya diselewengkan, maka tindakan itu tergolong adharma, yang secara perlahan mengantarkan kita kepada keadaan ketidak-harmonisan. Sebagai contoh, dharma air adalah membasahi dan melarutkan senyawa polar; dharma api adalah panas dan membakar, dharma udara mengeringkan, dan dharma tumbuhan adalah berfotosintesis untuk menghasilkan zat-zat makanan dan oksigen. Jika dharma-dharma itu tidak berjalan, maka kekacau-balauan pasti akan terjadi.
Dalam Mahabharata, Rsi Bhisma menyatakan kepada Yudhistira, bahwa segala sesuatu yang mengembangkan cinta kasih Tuhan adalah Dharma, sebaliknya yang dapat menimbulkan ketidakselarasan dan kebencian adalah adharma. Dharmalah yang akan menyebabkan manusia memiliki sifat ketuhanan, karena Dharma adalah Tuhan itu sendiri ”Ingkang dharma ingaranan Widhi “.
Disimpulkan, perayaan Galungan dinyatakan sukses jika tingkah laku kita semakin menunjukkan, bahwa kita adalah makhluk yang penuh cinta kasih dan berkontribusi terhadap upaya-upaya untuk membangun keselarasan dengan alam, masyarakat, dan Brahman, melalui swadharma masing-masing.
Aktualisasi Diri Pesan moral Galungan sesungguhnya adalah : “Tundukkan diri, lakukan swadharma masing-masing”. Swadharma berkaitan dengan kerja yang di dalamnya mengandung pelayanan sesuai dengan profesi masing-masing. Dengan demikian, kerja akan menjadi bentuk bakti. Sehubungan dengan cara berbakti lewat pelayanan terhadap sesama manusia. Gandhi pernah mengatakan,”Saya mencari ketenangan di tengah badai!” Pernyataan tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan dapat dipuja bukan hanya di pura, tetapi bisa dimana saja. Gandhi telah menguatkan dan mewariskan Hindu Aktivistik yang sangat dominan pada abad XX. Ia melihat pelayanan (sevanam) yang aktif sebagai jalan untuk menuju Tuhan. Pelayanan itu dilakukan atas dasar ahimsa, kasih sayang, keyakinan yang kuat kepada Tuhan, kebenaran, persatuan, pengorbanan diri, dan segala hal yang menuju kebaikan untuk semua orang (sarvodaya).
Konsep dasar Hindu Aktivistik adalah bahwa seseorang dapat mencapai kebebasan melalui pembebasan orang lain dan penderitaan. Untuk dapat membebaskan orang lain, seorang Hindu dituntut agar mengembangkan potensi yang ada pada dirinya secara maksimal. Dengan perkataan lain, agar mampu membebaskan orang lain, terlebih dulu dia harus mampu membebaskan dirinya sendiri. Inilah teologi pembebasan yang dikembangkan oleh Gandhi, yang berikutnya dimunculkan dan dikembangkan di lingkungan rohaniawan Katolik di Amerika Latin pada tahun 1970-an.
Praktek pelayanan sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan sebelumnya juga diajarkan oleh Swami Ramakrishna. Beliau setiap saat menerima dan melayani Narayana dalam wujud orang kelaparan, buta, dan orang-orang menderita lainnya, serta mengajak mereka untuk memuja Tuhan. Hal yang sama juga diwarisi dan diperkuat oleh Swami Vivekananda. Dia berpandangan, hanyut dalam kemewahan atau pergi ke hutan sesungguhnya adalah tindakan membunuh diri secara perlahan. Untuk mencapai kedamaian, bukan dengan kedua tindakan itu, tetapi justru dengan melayani orang-orang lain yang menderita. Dia berkata, “Jika Anda menginginkan Tuhan, layanilah manusia.”
Dewasa ini, Sri Sathya Sai Baba menyatakan, “The hands that help are holier than the lips that prayer“. Tangan-tangan yang menolong lebih suci dari mulut yang berkomat-kamit bersembahyang. Beliau juga mengatakan, bahwa manava seva, madhava seva (pelayanan terhadap sesama manusia, sesungguhnya adalah pelayanan terhadap Tuhan). Untuk dapat melayani orang lain, tidak harus semua orang menjadi suster, tidak mesti semua orang menjadi anggota palang merah atau pramuka. Pelayanan dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dalam profesi apapun. Singkatnya, lakukan swadharma dengan sebaik-baiknya, maka kita telah melakukan pelayanan, dan itu adalah salah satu bentuk pemujaan terhadap Tuhan. Pengurbanan diri sekecil apapun masih lebih bermakna dibandingkan pengurbanan barang dan makhluk lain.
Penutup Untuk menunjukkan bahwa diri kita ada dan hidup, maka melakukan kerja adalah keharusan. Agar hidup dan kerja kita tidak sia-sia, maka ajaran Dharma harus ditegakkan. Penegakan Dharma di dalam diri dilakukan dengan membatasi dan mengendalikan keinginan-keinginan ragawi, serta mengembangkan prilaku yang mengarah pada keselarasan dan ketenangan bersama. Keselarasan bersama hanya dapat dilakukan jika semua orang melakukan swadharmanya masing-masing, dan menjadikan bentuk kerjanya itu sebagai pelayanan kepada kemanusiaan, yang secara spiritual adalah pelayanan kepada Tuhan itu sendiri. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar