"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/24/2011

KARYA ILMIAH SUKU KATA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Linguistik adalah ilmu yang menelaah keuniver salah bahasa atau telaah tentang asas-asas umum yang berlaku pada bahasa secara universal. Salah satu prinsip dasar linguistik adalah bahasa adalah vocal, dimana hanya ujaran sajalah yang mengandung segala tanda utama suatu bahasa.
Fonologi adalah cabang linguistik yang salah satunya mempelajari seluk beluk suku kata. Suku kata bisa dihitung dengan melihat jumlah bunyi vokal yang ada dalam kata itu. Suku kata jika bergabung maka akan membentuk kata yang nantinya memiliki makna sendiri, sehingga sempurnalah sebuah bahasa itu.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam paper ini dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas selanjutnya, antara lain :
1. Apa penjelasan tentang suku kata ?
2. Bagaimana pola suku kata dalam bahasa Indonesia ?
1.3 Tujuan
Paper ini ditulis dengan harapan agar mampu memberikan gambaran kepada para pembaca tentang suku kata dan pola suku kata dalam bahasa Indonesia. Selain itu juga, sebagai bahan kepustakaan tentang bunyi bahasa.
1.4 Teori/Struktural
1. Teori motor/teori pulsa (pulse theory) dikemukakan oleh R. H. Stetsm. Mengantakan bahwa suku kata dapat diidentifikasi berdasarkan tekanan udara dari pau-paru yang dilepaskan melalui serangkaian gerakan pulsa di dada.
2. Prominence Theory, dikemukakan oleh Otto Jespersen yang mengatakan bahwa beberapa bunyi ujar, terutama vokal, memiliki ciri yang lebih nyaring (sonorous) dibandingkan dengan bunyi ujar yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Suku Kata
Setiap kata yang kita ucapkan pada umunya dibangun oleh bunyi-bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal konsonan maupun berupa bunyi semi konsonan. Kata yang dibangun tadi dapat terdiri atas satu segmen atau lebih. Di dalam kajian fonologi segmen tersebut disebut suku. Suku kata merupakan bagian atau unsur pembentuk suku kata. Setiap suku paling tidak harus terdiri atas sebuah bunyi vokal atau merupakan gabungan antara bunyi vokal dan konsonan.
Bunyi vokal di dalam sebuah suku kata merupakan puncak penyaringan atau sonority, sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku. Di dalam sebuah suku hanya ada sebuah puncak suku dan puncak ini di tandai dengan bunyi vokal. Lembah suku yang di tandai dengan bunyi konsonan bisa lebih dari satu jumlahnya. Bunyi konsonan yang berada di depan bunyi vokal disebut tumpu suku, sedangkan bunyi konsonan yang berada di belakang bunyi vokal disebut koda suku.
Jumlah suku di dalam sebuah kata dapat dihitung dengan melihat jumlah bunyi vokal yang ada dalam kata itu. Dengan demikian, jika ada kata yang berisi 3 buah bunyi vokal, maka dapat ditentukan bahwa kata itu terdiri atas 3 suku kata saja. Misalnya, kata teler [ tElEr] adalah kata yang terdiri atas dua suku yaitu [tE] dan [lEr]. Masing-masing suku berisi sebuah bunyi vokal, yaitu bunyi [ E ].
Dalam penguraian kata atas suku-sukunya ada beberapa hal yang mesti diperhtikan, antara lain :
1. Jika sebuah konsonan diapit dua vokal maka konsonan tersebut ikut vokal dibelakangnya. Contoh : Ibu menjadi I – bu.
2. Awalan dan akhiran harus dituliskan tercerai dari kata dasarnya.
Contoh :
a). Pelaksanaan, menjadi Pe – lak - sa – na – an
b). Memperbaiki, menjadi Mem – per – ba – ik – i
3. Jika dua konsonan diapit dua vokal, maka kedua vokal tersebut harus diceraikan.
Contoh :
a). Anda, menjadi An – da
b). Bantu, menjadi Ban – tu
2.2 Pola Suku Kata
Jika jumlah suku dan penentuan suku pada sebuah kata dapat ditentukan, maka untuk mengetahui pola persukuannya amat mudah. Pola persukuan diambil dengan merumuskan setiap suku yang ada dalam kata. Bubyi vokal (disingkat : V) dan bunyi konsonan (yang disingkat K) serta bunyi semi konsonan (disingkat ½ K) akan menjadi rumusan pola setiap suku. Bunyi semi konsonan di dalam pola persukuan diberikan rumus ½ K, agar tidak menimbulkan kekaburan di dalam perumusan.
Di dalam bahasa Indonesia ditemukan kata-kata yang setiap sukunya bisa hanya berupa sebuah bunyi vokal, bunyi vokal dengan bunyi semi konsonan, satu vokal dengan sebuah bunyi semi konsonan, satu vokal dengan sebuah bunyi konsonan, dan sebuah vokal dengan dua buah bunyi konsonan. Berdaserkan ketentuan inilah, maka didalam bahasa indonesia ditemukan beberapa jenis pola persukuan. Jenis – jenis vola persukuan itu dapat dilihat dibawah ini.
a) Suku kata berpola V, suku kata ini dibangun olh sebuah bunyi vokal saja sebagai puncak
Contoh :
I + bu [ I ] + [ bu ]
a + nak [ a ] + [na? ]
u + mum [ u ] + [ mUm ]
i + par [ i ] + [ par ]
o + rang [ o ] + ran ]
e + nak [ E ] + [ na? ]
b) Suku kata berpola VK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal sebagai puncak dan sebuah bunyi konsonan sebagai kode.
Contoh :
an + jing [ an ] + [ jIn ]
an + tar [ an ] + [ tar ]
un + tuk [ Un ] + [ tUk ]
am + bil [ am ] + [ bll ]
in + dah [ In ] + [ dah ]
ong + kos [ o n ] + [ kos ]
c) Suku kata berpola KV , suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan, sebagai tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak.
Contoh :
Pu + nah [ pu ] + [ nah ]
Pu + sing [ pu ] + sIn
mu + al [ mu ] + [ al ]
bi + sul [ bi ] + [ sUl ]
ne + kat [ nE ] + [ kat ]
tu + buh [ tu ] + bUh ]
lu + rus [ lu ] + [ rUs ]
d) Suku kata yang berpola KVK , suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan sebagai tumpu suku, sebuah bunyi vokal, sebagai puncak sebuah bunyi konsonan sebagai koda suku.
Contoh :
Pan + tat [ pan ] + [ tat ]
Sum + ber [ sUm ] + [ bor ]
Tun + ber [ tUn ] + [ dUk ]
Lin + tas [ dir ] + [ tas ]
Tak + dir [ tak ] + [ dIr ]
Pin + dah [ pIn ] + dah
Ling + lung [ IIn ] + [ IUn ]
e) Suku kata yang berpola KKV , suku ini dibangun oleh dua buah bunyi konsonan sebagai tumpu suku, dan sebuah bunyi vokl sebagai puncak suku.
Contoh:
Dra + ma [ dra ] + [ ma ]
Gra + tis [ gra ] + [ tis ]
Pro + duk + si [ pro ] + [ duk ] + [ si ]
Gro + gi [ gro ] + [ gi ]
Pra + kar + sa [ pra ] + [ kar ] + [ sa ]
f) Suku kata yang berpola KKVK, suku ini dibangun oleh dua buah bunyi konsonan yang bertindak sebagaitumpu suku, sebuah bunyi vokal sebagai puncaknya dan sebuah bunyi konsonan sebagai koda suku.
Contoh :
Prak + tik [ prak ] + [ tIk ]
Dras + tis [ dras ] + [ tIs ]
Frak + si [ frak ] + [ si ]
Klas + ter [ klas ] + [ ter ]
Klen + teng [ klen ] + [ tEn ]
g) Suku kata yang berpola ½ KV, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi semi konsonan sebagai tumpu suku, dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak.
Contoh :
Wa + jah [ wa ] + [ jah ]
Ya + kin [ ya ] + [ kIn ]
Wa + ni + ta [ wa ] + [ ni ] + [ ta ]
Ya + tim [ ya ] + [ tim ]
Wa + dam [ wa ] + [ dam ]
h) Suku kata yang berpola ½ KVK, yaitu sebuah suku yang di bangun oleh bunyi semi konsonan sebagai tumpu suku, sebuah bunyi vokal sebagai puncak dan sebuah bunyi konsonan sebagai koda suku. Hal ini dapat dilihat dalam contoh di bawah ini.
Contoh :
Wak + tu [ wak ] + [ tu ]
Sa + wah [ sa ] + [ wah ]
U + ang [ u ] + [ wan ]
Win + du [ win ] + [ du ]
Wi + la + yah [ wi ] + [ la ] + [ yah ]
Pa + yah [ pa ] + [ yah ]
A + yah [ a ] + [ yah ]
i) Suku kata yang berpola KKVKK, yaitu suku kata yang dibangun oleh dua buah bunyi konsonan yang bertindak sebagai tumpu suku, sebuah bunyi vokal sebagai sonarity dan dua buah bunyi konsonan yang bertindak sebagai koda suku. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut.
Contoh :
Trans + mi + gra + si [ trans ] + [ mi ] + [ gra ] + [ si ]
Trans + por [ tras ] + [ por ]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Suku kata merupakan unsur pembentuk suatu kata. Bunyi vokal dalam sebuah suku merupakan puncak kenyaringan atau sonority, sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku.
2. Didalam bahasa Indonesia terdapat beberapa jenis pola persukuan atau pola suku kata antara lain suku berpola V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, ½ KV, dan KKVKK.
DAFTAR PUSTAKA
Emzet, Amien. 1989. Struktur Pengajaran Tata Bahasa Indonesia Untuk SMTA. Surabaya. Indah.
Yusuf, Suhendra. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

FONOLOGI DAN BIDANG PEMBAHASANNYA

1. Fonologi Dan Bidang Pembahasannya 
Bahwa bahasa adalah system bunyi ujar sudah disadari oleh para linguistik. Oleh Karena itu, objek utama kajian linguistic adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh Karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari angggapan-bahkan keyakinan-ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan kosentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkosentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata Dan kalimat, semantik pada persolan makna kata, Dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dari sini dapat kita pahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut panjang.
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonotik
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata Dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik, dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini diuraikan pada bab-bab berikutnya.

2. Kedudukan Fonologi Dalam Cabang-Cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam diskripsi Dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistic yang lain, baik linguistic teoritis maupun terapan. Misalnya morfologi, sintaksis, simantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisisnya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang kosentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] Dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-an}, praktis “minta bantuan” hasil studi morfologi. Begitu juga, mengapa morfem prefix {m É™ N-} ketika bergabung dengan morfem dasar {baca}, {daki}, {garap}, {jerit} menjadi [mÉ™mbaca]. [mÉ™ndaki], [məηgarap’], dan [məηjÉ™rit], dan ketika bergabung dengan morfem dasar {pacu}, {tari}, {kuras}, {sayat} menjadi [mÉ™macu], [mÉ™nari], [məηguras], [məňyayat]? Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervasiasi [tahu], [tau], [teras], dan [təras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika di ucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [bidī?], [bīdī?] tidak membedakan makna? hasil analisis fonologisnya yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksikografi yang berkontrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan suatu pengucapan yang khas dan variasi pengucapannya hanya bisa di deskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang alektologi, yang bermaksud memetahkan wilayah pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu yang sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakai bahasa, baik secara sosial maupun geografi, variasi-variasi uacapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.

3. Manfaat fonologi daalm penyusunan ejaan bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambang bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaanpun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut. Perlambangan unsur segmental ini ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambing-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanana, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pugntuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fomologi terutama hasil kajian fonomik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pelambang fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejan donemis.
Terkait dengan pemberlakuan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan yaitu ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasarkan karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamian bahasa. Mengapa demikian?
- Kita tau bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahun setelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang dan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan melambangkan bunyi bahasa bukan sebaliknya. Jadi, tidak ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen) harus mengikuti tunduk pada ejaan. (bahasa tulis, pen)
- Bahasa manapun selalu berubah termasuk mahasa Indonesia. Satu system ejaan sesuai dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena itu, ejaanlah yang harus disesuikan terus menerus seiring dengan perkembangan atau perubahan pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya.





Fenotik
Semua manusia diangurahi Allah SWT, mempunyai kemampuan berbicara atau bertutur, kecuali bagi seseorang yang mempunyai “kekhususan” misalnya orang bisu dan tuli. Kemampuan berbicara atau bertutur ini diperolehnya secara berjenjang sesuai dengan tingkatan usianya, yaitu sejak bayim anak-anak, remaja, dan dewasa. Kemampuan bayi mengucapkan bunyi pun berbeda antara satu dengan yang lain. Interaksi dengan seseorang disekitarnya atau disekelilingnya akan mempengaruhi pemerolehan bunyi bahasanya. Lebih banyak interaksi yang dilakukan, lebih cepat pemerolehan (bunyi) bahasa seorang bayi.
Salah satu kecenderungan yang menyalahi hukum bahasa adalah apabila ibu bapak dan orang disekeliling bayi itu menggunakan mengucapkan pelat (menirukan ucapan bayi) sebagai tanda “sayang” pada bayi tersebut. Misalnya, “sayang” diucapkan “cayang”, “susu” diucapkan “cucu”, “tidur” diucapkan “tidul”, “rambut” diucapkan “lambut”, “makan” diucapkan “akan”, dan sebagainya. Kebiasaan seperti ini akan mempengaruhi penerimaan bayi tersebut dan berakhir pada pemerolehan ujaran dengan cara pelat atau tidak sempurna ucapannya.

Permasalahan dalam Analisis Kesalahan Berbahasa dan Analisis Kontrastif


Kesalahan yang dibuat oleh siswa pada saat mempelajari atau menggunakan B2 menarik   perhatian   para   ahli, terutama para ahli yang bergerak dalam bidang pengajaran bahasa. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak buku yang  ditulis untuk memperkenalkan pendekatan baru  dalam pengajaran bahasa.  Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan analisis sesalahan berbahasa dan analisis kontrastif.
Tujuan yang hendak dicapai dengan penyajian kegiatan belajar dua dalam modul ini adalah harapan agar Anda dapat membedakan sekaligus memahami hubungan antara analisis kesalahan berbahasa dengan analisis kontrastif. Untuk tujuan tersebut, marilah kita cermati sajian berikut ini.
Permasalahan  
Baik analisis kesalahan berbahasa maupun analisis kontrastif, masing-masing mempunyai  permasalahan sendiri-sendiri. Permasalahan-permasalahan yang  dimaksud dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

Permasalahan dalam Analisis Kesalahan Berbahasa      
Sebagai seorang guru atau calon guru yang sedang berpraktik mengajarkan bahasa Indonesia, apabila diperhatikan dengan saksama, Anda akan menemukan kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa. Kesalahan-kesalahan itu ternyata dapat Anda pilah dalam dua kategori, yaitu kategori kesalahan dalam bidang keterampilan dan kesalahan dalam bidang linguistik. Kesalahan yang berhubungan dengan keterampilan terjadi pada saat siswa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sedangkan kesalahan dalam bidang linguistik meliputi tata bunyi, tata bentuk kata, dan tata kalimat.
Temuan-temuan Anda ini sangat menarik dan segera diatasi agar proses belajar-mengajar berhasil dengan baik. Dengan demikian permasalahan yang ditangani analisis kesalahan berbahasa itu berkisar pada kesalahan dalam keterampilan berbahasa dan kesalahan dalam kebahasaan (linguistik).
Permasalahan dalam Analisis Kontrastif
Berdasarkan kenyataan menunjukkan bahwa orang Indonesia umumnya dan para siswa khususnya tergolong dwibahasawan. Bahasa Indonesia dianggap sebagai B2 bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pengajaran bahasa Indonesia dimulai sejak taman kanak-kanak. Ini berarti bahwa pembinaan bahasa telah dimulai sejak dini. Namun ternyata masih terdapat banyak kesalahan dan persoalan dalam berbahasa Indonesia. Persoalan kebahasaan yang dihadapi dalam pengajaran bahasa Indonesia ialah adanya pengaruh Bl (bahasa daerah atau bahasa ibu) terhadap B2 (bahasa Indonesia atau bahasa yang dipelajari). Pengaruh itu ada yang berkaitan dengan tata bunyi, tata bentuk kata, dan ada pula yang berhubungan dengan tata kalimat. Persoalan yang muncul bagaimana seorang guru bahasa dapat memberantas atau mengurangai pengaruh Bl terhadap bahasa yang sedang dipelajari para siswa? Salah satu cara yang diajukan melalui analisis kontrastif.
Batasan
Batasan dalam uraian ini diartikan sama dengan pengertian. Untuk jelasnya batasan antara analisis kesalahan dengan analisis kontrastif dapat Anda simak
uraian di bawah ini.
Analisis Kesalahan
Batasan atau pengertian analisis kesalahan sudah Anda pelajari pada kegiatan belajar satu modul ini. Namun tidak ada jeleknya jika dalam kegiatan belajar dua ini kita ulas kembali.
Jika kita perhatikan, maka salah satu pekerjaan guru (yang paling tidak disukai?) ialah mengoreksi pekerjaan siswa. Kegiatan mengoreksi ini tidak lain menilai kompetensi bahasa siswa yang muncul dalam performansinya. Pada saat guru menilai (mengoreksi) pasti menemui kesalahan. Kesalahan tersebut dianalisis dengan cara mengategorikan, menentukan sifat, jenis, dan daerah kesalahannya. Kegiatan guru semacam inilah  yang sebenarnya  disebut analisis kesalahan (Pateda. 1989-32)
Coba Anda bandingkan apa yang dikemukakan Pateda di atas dengan yang dikemukakan Ellis (daiam Tarigan, 1990:68) tenfang analisis kesalahan ini. EIUs memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan analisis kesalahan adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru bahasa, me! pengumpulan data, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam data, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan pen\e-babnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan kesalahan itu.

Kesalahan dibedakan dengan kekeliruan dan keseleo. Kesalahan mengacu pada kompetensi, kekeliruan mengacu pada performansi, sedangkan keseleo mengacu pada situasi pengucapan yang keliru, misalnya karena lupa atau adanya tekanan kejiwaan.
Analisis Kontrastif
Guru sering menghadapi kesulitan dalam mengajarkan B2 kepada para siswanya. Untuk itu guru harus mengenal analisis kontrastif. Analisis ini dapat membantu guru bahasa menolong dan sekaligus memperbaiki kesalahan siswa. Dengan demikian para siswa dapat segera menguasai bahasa sasaran (B2) yang dipelajari. Analisis kontrastif sebagai suatu pendekatan pengajaran bahasa mengasumsikan bahwa Bl mempengaruhi siswa ketika mempelajari B2. Pengaruh Bl sering kita dengar atau bahkan kita alami sendiri ketika belajar atau menggunakan B2. Kadang-kadang kata-kata tertentu atau konstruksi Bl mempengaruhi secara tidak disadari. Bahkan dengan mendengarkan pembicaraan orang, kita dapat menebak daerah asal si pembicara. Pengaruh yang dimaksud dapat terjadi pada ujaran bahasa, pilihan kata atau struktur kalimat.
Analisis kontrastif sebagai suatu pendekatan dalam pengajaran bahasa menggunakan metode perbandingan, yaitu membandingkan antara unsur yang berbeda dengan unsur yang sama. Meskipun demikian titik berat analisis kontrastif ditekankan pada unsur-unsur kebahasaan yang berbeda.
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis kontrastif adalah pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik perbandingan antara Bl (bahasa ibu) dengan B2 (bahasa sasaran, yaitu bahasa yang dipeljari) sehingga guru dapat meramalkan kesalahan siswa dan si siswa segera menguasai bahasa yang dipelajari (Pateda, 1989:18).
Agar pengertian analisis kontrastif itu lebih jelas, Tarigan (1990:59) dengan nafas yang sama tetapi dengan kata-kata yang sedikit berbeda mengatakan bahwa analisis kontrastif adalah kegiatan membandingkan struktur Bl dengan B2 dengan langkah-langkah membandingkan struktur Bl dengan B2, memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan belajar, menyusun bahan pengajaran, dan mempersiapkan cara-cara menyampaikan bahan pengajaran.
Psikologi behavioris mendominasi analisis kontrastif. Teori ini menyatakan bahwa kesalahan berbahasa dalam menggunakan B2 disebabkan oleh adanya transfer negatif atau interferensi Bl siswa terhadap B2 yang sedang dipelajari siswa. Inti teori belajar psikologi behavioris adalah kebiasaan dan kesalahan. Analisis kontrastif dapat digunakan sebagai landasan dalam meramalkan kesulitan siswa yang sedang belajar B2.

Ruang Lingkup Analisis

Setiap permasalahan mempunyai ruang lingkup atau cakupan sendiri-sendiri. Demikian juga persoalan analisis kesalahan dan analisis kontrastif. Untuk mengetahui ruang lingkup masing-masing, ikutilah penjelasan di bawah ini.
Ruang Lingkup Analisis Kesalahan
Anda pasti tahu bahwa setiap orang apakah dia orang tua, remaja, ataupun anak-anak, dalam kegiatan berkomunikasi lisan maupun tulis (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) setiap hari menggunakan bahasa. Dalam berkomunikasi dengan bahasa itu pasti membuat kesalahan. Kesalahan itu ada yang sistematis dan ada yang tidak sistematis. Dalam kaitannya dengan analisis kesalahan, yang disoroti adalah kesalahan yang bersifat sistematis. Kesalahan sistematis berarti kesalahan yang berhubungan dengan kompetensi. Kompetensi dalam pembicaraan ini adalah kemampuan pembicara atau penulis untuk melahirkan pikiran dan perasaannya melalui bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Bahasa yang digunakan itu berwujud kata, kalimat, dan makna yang mendukungnya. Kata dan kalimat berunsurkan bunyi-bunyi yang membedakan yang disebut fonem.
Memperhatikan penjelasan di atas, kesalahan yang perlu dianalisis mencakup tataran tata bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi) tata kalimat (sintaksis), dan tataran tata makna (semantik). Analisis kesalahan bidang tata bunyi berhubungan dengan kesalahan ujaran atau pelafalan, grafemik, pungtuasi, dan silabisasi. Analisis kesalahan dalam tata bentuk tentu saja kesalahan dalam membentuk kata terutarna pada afiksasi. Analisis kesalahan dalam bidang tata kalimat menyangkut urutan kata, kepaduan, susunan frase, kepaduan kalimat, dan logika kalimat. Dan yang berikutnya analisis kesalahan bidang semantik berkaitan dengan ketepatan penggunaan kata, frase atau kalimat yang didukung oleh makna baik makna gramatikal maupun makna leksikal.

Ruang Lingkup Analisis Kontrastif
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisis kontrastif muncul karena adanya kenyataan yang dialami siswa ketika mempelajari B2. Analisis kontrastif mencoba ingin menolong guru bahasa sekaligus menolong siswa yang sedang mempela­jari B2 agar segera menguasai bahasa sasaran tersebut. Analisis kontrastif terbatas hanya menganalisis dua bahasa dengan jalan membandingkannya, yakni membandingkan B2 dengan Bl atau antara bahasa yang dipelajari dengan bahasa ibu. Hasilnya terutarna perbandingan unsur kebahasaan yang berbeda akan membantu guru bahasa untuk meramalkan kesalahan yang kemungkinan dilakukan siswa dan sekaligus menolong siswa agar segera menguasai bahasa sasaran (B2).

Analisis Kesalahan Bertahasa
Materi yang dibandingkan berhubungan dengan tata bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi), dan tata kalimat (sintaksis). Bidang tata bunyi berhubungan  dengan bunyi (fonem) dan pelafalannya. Bidang tata bentuk berhubungan dengan  imbuhan, kata dan pembentukannya. Bidang tata kalimat menyangkut urutan kata  dan frase dikaitkan dengan hukum-hukumnya (DM, MD). Untuk keperluan itu semua perlu adanya deskripsi yang jelas antara bahasa Bl dan B2.       
Objek merupakan sasaran yang digarap suatu kegiatan. Apa dan bagaimana objek analisis kesalahan dan analisis kontrastif dapat dibaca pada uraian berikut.
Objek analisis kesalahan adalah bahasa. Oleh sebab itu analisis kesalahan
dalam pembicaraan ini identik dengan analisis kesalahan berbahasa. Analisis kesalahan menitikberatkan analisisnya pada bahasa ragam formal. Seperti kita ketahui dilihat dari ragam pemakaiannya bahasa itu dibedakan atas bahasa ragam santai dan bahasa ragam formal. Bahasa ragam formal digunakan orang pada situasi formal seperti berpidato, berceramah, khotbah, berdiskusi, berseminar, berkongres, berkonferensi, bermusyawarah, dosen memberikan kuliah, guru mengajar di depan kelas, dan sebagainya yang jelas bahasa yang digunakan dalam situasi resmi.
Analisis kesalahan ditekankan pada proses belajar B2 (termasuk bahasa asing). Dengan demikian objek analisis kesalahan adalah bahasa siswa yang sedang mempelajari B2 atau bahasa asing. Objek yang lebih khusus lagi adalah kesalahan bahasa siswa yang bersifat sistematis dan menyangkut analisis kesalahan yang berhubungan dengan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), tata bunyi, tata bentuk kata, tata kalimat, dan tata makna.
Objek Analisis Kontrastif
Objek analisis kontrastif adalah bahasa. Meskipun yang menjadi objek adalah bahasa, tetapi hasil analisisnya bukan untuk kepentingan bahasa itu sendiri melainkan untuk kepentingan pengajaran bahasa. Dengan begitu, bahasa sebagai objek dapat dilihat dari bahasa itu sendiri atau sebagai bahan pengajaran. Sebagai bahan pengajaran berkaitan erat dengan guru dan siswa, sebab guru yang bertindak sebagai pelaksana pengajaran bahasa dan siswa sebagai sasaran yang mempelajari bahasa.
Dilihat dari sudut bahasa, bahasalah yang dibandingkan. Dilihat dari guru, guru sebagai pelaksana perbandingan. Dan dilihat dari siswa diharapkan siswa segera menguasai bahasa yang dipelajarinya, sebab kesalahan-kesalahan yangmungkin akan dibuatnya segera dapat diramalkan berdasarkan perbandingan bahasa sebelumnya.
Tujuan
Akhirnya sampailah kita pada pembicaraan tujuan. Oleh karena analisis itu merupakan suatu kegiatan, maka ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan analisis kesalahan maupun analisis kontrastif dapat dibaca pada uraian di bawah ini.

Telah dikatakan di atas bahwa analisis kesalahan dapat membantu guru untuk mengetahui jenis kesalahan yang dibuat, daerah kesalahan, sifat kesalahan, sumber kesalahan, serta penyebab kesalahan. Bila guru telah menemukan kesalahan-ke-salahan, guru dapat mengubah metode dan teknik mengajar yang digunakan, dapat menekankan aspek bahasa yang perlu diperjelas, dapat menyusun rencana pengajaran remedial, dan dapat menyusun program pengajaran bahasa itu sendiri. Dengan demikian jelas bahwa antara analisis kesalahan dengan bidang kajian yang lain, misalnya pengelolaan kelas, interaksi belajar-mengajar, perencanaan pengajaran, pengajaran remedial, penyusunan ujian bahasa, dan bahkan pemberian pekerjaan rumah ada hubungan timbal balik.
Khusus untuk guru, analisis kesalahan dapat digunakan untuk (1) menentukan urutan sajian, (2) menentukan penekanan-penekanan dalam penjelasan dan latihan, (3) memperbaiki pengajaran remedial, (4) memilih butir-butir yang tepat untuk mengevaluasi penggunaan bahasa siswa (Pateda, 1989:36).
Corder (dalam Baraja, 1981:12) mengatakan bahwa analisis kesalahan itu mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan yang bersifat praktis tidak berbeda dengan tujuan analisis tradisional, sedangkan tujuan yang bersifat teoretis ialah adanya usaha untuk memahami proses belajar bahasa kedua. Bagi seorang guru, yang penting menemukan kesalahan itu kemudian menganalisisnya. Hasil analisis sangat berguna untuk tindak lanjut proses belajar-mengajar yang dilakukan.
Dengan memperhatikan tujuan di atas, seorang guru yang akan menerapkan analisis kesalahan tentu hams memiliki pengetahuan kebahasaan yang memadai. Dia harus paham benar tata bahasa yang baku dan berlaku. Misalnya tentang kebakuan pelafalari, tulisan (ejaan), bentukan kata, dan tata kalimatnya. Dalam hal ini guru dihadapkan pada dua persoalan, yaitu apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya.
Pengetahuan yang cukup memadai sangat diperlukan oleh seorang guru. Lebih-lebih pengetahuan dan pemahaman tata bahasa. Sebagai ilustrasi perhatikanlah contoh kalimat di bawah ini.

Pohon itu syarat dengan buah.
la tidak memenuhi sarat menjadi ABRI.
Salatnya tetap syah meskipun tidak memakai peci.
Sah Iran yang terakhir adalah Mohammed Reza Pahlevi.

Jika sekiranya guru tidak memahami perbedaan antara “syarat” dan “sarat”, “syah” dan “sah” tentu guru tidak dapat menjelaskan kepada siswanya bahwa penggunaan keempat kata tersebut salah.
Senada dengan yang diucapkan Corder, Tarigan (1990:77) mengatakan bahwa tujuan analisis kesalahan itu bersifat aplikatif dan teoretis. Aplikatif mengurangi dan memperbaiki kesalahan berbahasa siswa. Teoretis mengharapkan pemeroleh-an bahasa siswa pada gilirannya dapat memberikan pemahaman ke arah proses pemerolehan bahasa secara umum.
Tujuan Analisis Kontrastif
Seperti halnya analisis kesalahan memiliki tujuan, demikian pula analisis kontrastif. Pateda (1989:20) menjelaskan bahwa analisis kontrastif bertujuan:
1.  menganalisis   perbedaan antara Bl (bahasa ibu) dengan B2 (bahasa yang sedang
dipelajari) agar pengajaran bahasa berhasil baik;
2.              menganalisis   perbedaan   antara Bl   dengan B2 agar kesalahan berbahasa siswa
dapat diramalkan dan pengaruh Bl  itu dapat diperbaiki;
3.              hasil analisis digunakan untuk memmtaskan keterampilan berbahasa siswa;
4.              membantu    siswa untuk    menyadari kesalahannya Jalam berbahasa sehingga
siswa dapat menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya dalam waktu yang
tidak terlalu lama.
Berdasarkan uraian di atas ternyata analisis kesalahan dengan analisis kontrastif itu sangat erat hubungannya. Analisis kontrastif merupakan salah satu bagian dari analisis kesalahan. Jika analisis kesalahan melihat kesalahan itu secara umum, analisis kontrastif melihat kesalahan itu secara khusus. Dikatakan demikian sebab analisis kontrastif melihat kesalahan dengan cara membandingkan antara Bl dengan B2. Hasil membandingkan itu dapat diketahui adanya pengaruh (in-terferensi) Bl ke dalam B2 yang sedang dipelajari siswa.