"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/29/2011

Ene madan Panak...


ENÉ MADAN APA, APANG CENING NAWANG!

   Adan Panak Buron
1.     Panak siap madan pitik.
2.     Panak bébék madan memeri / meri.
3.     Panak sampi madan godél.
4.     Panak cicing madan konyong / kuluk.
5.     Panak bangkung madan kucit.
6.     Panak jaran madan bebedag.
7.     Panak penyu madan tukik.
8.     Panak kekua madan boko.
9.     Panak udang madan kretes/testes.
10.                        Panak yuyu madan kreket.
11.                        Panak Kambing madan wiwi.
12.                        Panak bikul madan nyingnying.
13.                        Panak bojog madan apa.
14.                        Panak méong madan tai.
15.                        Panak katak madan becing-becing.
16.                        Panak kakul madan pici-pici.
17.                        Panak jelema madan raré.

    Apang Pada Nawang Ajak Makejang.
1.     Pucil nagka madan katiwawalan.
2.     Buah manggis ané nguda madan blibar.
3.     Buah sumangka ané nguda madan blungking.
4.     Buah kélor madan kléntang.
5.     Buah jaka madan bluluk.
6.     Uat gedebong madan kotot.
7.     Tali gedebong ané suba tuh madan kupas.
8.     Tali (basang) papah nyuh madan guntung.
9.     Taluh berek madan semuuk.
10.  Inan lindung madan kodés.
11.  Bok mawarna putih madan uban.
12.   Tongos siapé mataluh madan bengbengan.
13.   Tongos kedisé mataluh madan sebun.
14.    Tongos sampiné medem madan bada.
15.     Tongos kambingé medem madan bada.
16.      Tongos céléngé medem madan glogor / kandang.
17. Tongos/tatakan celenge ngamah madan palungan.
18.   Anak ané tusing ngelah mémé bapa madan ubuh.
19.   Anak ané lekad tusing akuina tekén bapané madan panak bebinjat / astra.
20.  Anak luh ané tusing ngelah panak madan bekung.
21.  Anak muani ané tusing ngelah (tusing ngidaang ngaé) panak madan wandu.
22. Parekan peranda madan baru.
23. troktokan buah (bunga pohon pinang) madan bangsah
24. Pedeman jaran madan pagedogan
25. pengangon jaran madan pekatik

   Sarwa Sakit Di Awaké.
1.     Sing bisa ngomong madan kolok.
2.     Tusing ningeh apa madan bongol (di kuping).
3.     Tusing ningalin apa madan buta (di mata).
4.     Majalan kijek madan pérot (di batis).
5.     Buta asibak madan pécéng (di mata).
6.     Nanah ané pesu uli kuping madan curek.
7.     Getih ané pesu uli cunguh madan temisinan (mimisan).
8.     Tusing ngelah gigi madan pawah (biasané anak tua).
9.      Sakit di sirah madan puruh.
10.   Sakit di bongkol paa madan biulan.

KONSERVASI NASKAH (LONTAR)

Latar Belakang
Bali dikenal dengan gudangya peninggalan naskah lontar yang berisi berbagai ilmu pengetahuan (sastra pangwruh), hal ini sejalan dengan pendapat Zoetmulder dalam “Kalanguan” yang menyatakan untung ada Bali yang menjadi musium penyelamat naskah-naskah Jawa Kuna. Naskah lontar ini menyimpan misteri budaya masa lampau. Tidak sedikit ilmuan-ilmuan dari berbagai negara maupun dari dalam negeri menjatuhkan pilihan penelitiannya pada naskah lontar. Mereka ada yang belajar di museum negaranya yang menyimpan banyak naskah lontar, dan tidak sedikit yang datang ke Bali hanya untuk mempelajari atau mengkonfirmasi isi naskah tersebut pada kehidupan masyarakat Bali secara langsung. Berbagai ilmu pengetahuan yang masih relevan dengan kehidupan manusia di abad modern ini, terdapat di dalam naskah lontar. Konsep-konsep pengetahuan tersebut seperti: usada, tenung, etika moral (tutur), sastra agama, hukum, arsitektur, dan sebagainya. Naskah-naskah tersebut sampai saat ini jumlahnya masih ribuan tersebar di penyimpanan formal seperti museum, perpustakaan, dan nonformal seperti rumah-rumah penduduk yang merupakan koleksi pribadi dari anggota masyarakat di Bali.
Lontar adalah salah satu bentuk naskah tradisional yang ada di nusantara. Lontar tidak hanya dikenal di Bali, tetapi juga di Jawa, Sulawesi (disebut lontara), dan lombok. Selain lontar ada pula bahan yang serupa lontar yang dipakai untuk tempat menulis, seperti di Jawa memakai daun nipah (serupa lontar), dluwang (dari kulit kayu), dan perkamen (dari kulit kambing), di Sulawesi memakai bambu (ditulisi melingkar) dan rotan, sedangkan di Batak selain lontar ada juga tribak (dari kulit kayu). Tidak semua wilayah-wilayah di nusantara memiliki peninggalan naskah-naskah tradisional (lontar), hal ini disebabkan karena tidak semua daerah-daerah di nusantara mengenal/memiliki aksara.
Dilihat dari fungsinya, lontar merupakan dokumentasi budaya masa lampau, merupakan benda yang sangat bernilai karena isinya yang begitu bermanfaat seperti usada, weda, asta kosala kosali, dll., selain itu lontar merupakan benda yang dapat mengangkat derajat pemiliknya, karena dimasyarakat orang yang memiliki lontar akan dianggap orang yang pandai nyastra (mengerti bahasa lontar, isi, dan manfaatnya). Tetapi sekarang sudah ada pergeseran pemahaman masyarakat, karena banyak keluarga yang memiliki naskah-naskah lontar yang tidak bisa membacanya, bahkan lontar-lontar tersebut terbengkalai dan kurang terawat. Hal inilah yang perlu diperhatikan untuk melestarikan naskah-naskah tersebut perlu diadakan konservasi dan membaca ulang isinya atau dipelajari.
Lontar yang disebut juga dengan cakepan adalah satu kazanah budaya yang diwariskan di Bali. Sebelum bahan-bahan tulis berupa kertas dikenal luas, maka untuk merekam segala sesuatu dalam bentuk tulisan digunakan daun lontar selain batu atau tembaga (ini biasanya dipakai untuk menulis prasasti). Untuk mendapatkan daun lontar yang layak ditulisi dijadikan naskah, dipilih dari jenis ental taluh. Karena memiliki kelebihan yaitu; daunnya lebar, memiliki warna putih kekuning-kuningan, serta empuk sehingga tidak mudah retak dibandingkan dengan jenis lontar yang lain seperti lontar goak (ukuran lebar, tebal, dank eras) dan lontar kedis (ukuran kecil-kecil dan agak tipis). Untuk mendapatkan lontar yang bisa ditulisi, daun lontar tersebut perlu diproses lebih lanjut.
Daun lontar yang sudah cukup usia, artinya tidak muda dan tidak terlalu tua, yang ditandai dengan adanya warna kekuningan pada ujung daun (maikuh sesapi) dipetik dan diproses. Mula-mula daun lontar dijemur, setelah cukup kering dipotong-potong berbentuk segi empat panjang dengan ukuran sesuai keperluan. Daun lontar direndam dan dibersihkan untuk selanjutnya direbus. Agar lontar dapat lebih awet, maka dalam air rebusan ditambahkan ramuan yang berupa rempah-rempah, daun papaya, daun liligundi/legundi, dan bisa juga kulit (babakan) pule ‘pulai’. Untuk tetap mempertahankan warnanya yang kuning, dicampur pula dengan kunyit dan gambir. Matangnya daun lontar tersebut dapat ditandai dengan mengembangnya bulir padi yang disertakan pada waktu merebus. Daun lontar diangkat dan ditiriskan kemudian dibersihkan dan dijemur kembali hingga kering.
Setelah daun cukup kering dibagian tengah diberi lobang yang berdiameter 0,5 cm untuk menempatkan tali pengikat. Daun lontar dijepit dengan dua bilah papan kayu selama kurang lebih enam bulan agar memperoleh lontar yang datar, tidak melengkung pada saat ditulisi. Daun lontar itu kemudian diberi garis dengan cara menyepat menggunakan benang yang diisi ramuan berwarna hitam (carbon), setelah sepat kering, pinggiran lontar dihaluskan dengan cara diserut lalu diisi gincu agar terlihat lebih indah. Selanjutnya lontar siap ditulisi untuk dijadikan naskah.
Alat tulis yang digunakan untuk menulis pada daun lontar adalah pengutik/pengrupak. Alat ini dibuat dari baja atau besi, berbentuk persegi empat panjang, dengan ukuran sekitar 2 x 15 cm dengan tebal kurang lebih 2 mm. Pada salah satu ujungnya berbentuk seperti trapezium. Ujung yang runcing inilah yang ditorehkan pada daun lontar. Huruf atau aksara yang digunakan dalam lontar (cakepan) di Bali adalah aksara Bali dengan cara penulisan mengikuti tradisi yang disebut pasang jajar sambung. Untuk mendapatkan huruf/aksara yang dapat dibaca dengan jelas, hasil torehan tadi digosok lagi dengan arang kemiri. Selain dengan arang kemiri, juga bisa menggunakan jelaga (mangsi), daun dedap yang masih muda, arang biji camplung yang dicampur dengan sedikit minyak tanah, dan arang buah naga sari.
Setelah lembaran-lembaran daun lontar tersebut semua ditulisi sesuai dengan panjangnya teks maka telah menjadi sebuah naskah yang disebut lontar/cakepan. Dewasa ini lontar/cakepan tersebut merupakan salah satu khazanah budaya yang diwariskan di Indonesia khususnya di Bali. Keberadaan lontar di Bali dewasa ini jumlahnya mencapai ribuan. Ini dapat diketahui dari instansi pemerintah maupun swasta yang menyimpannya. Instansi-instansi tersebut diantaranya yaitu Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustakaan Universitas Udayana, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Gedong Kirtya Singaraja, Balai Penelitian Bahasa Denpasar, UNHI Denpasar, IHD Denpasar, dan lain-lain. Selain itu tempat penyimpanan nonformal yaitu, di Griya, puri/jero, rumah-rumah penduduk, khususnya pada kolektor atau pencinta sastra.
Ditinjau dari segi isi, lontar-lontar tersebut baik yang dalam bentuk prosa (gancaran) dan puisi yang dalam jenis yang beragam seperti kakawin, parwa, kidung, geguritan, usada, tutur, babad, wariga, dan lain-lain. Sarat dengan berbagai pengetahuan yang berguna bagi kehidupan secara praktis. Seperti filsafat, etika, kesenian, arsitektur, hukum, sejarah, pengobatan, sastra, ekologi, dan sebagainya. Konsep-konsep pengetahuan itu perlu ditelusuri, disarikan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak kalah pentingnya adalah dapat melestarikan/merawat naskah-naskah lontar tersebut sehingga dapat  mencapai umur naskah yang maksimal yaitu 50-200 tahun dan dapat diwariskan kepada generasi penerus berikutnya.
Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah lontar Bali pada umumnya adalah bahasa Jawa Kuna (Kawi), bahasa Kawi-Bali (Bali Tengahan), bahasa Bali, dan bahkan campuran dari bahasa-bahasa tersebut. Kecuali bahasa Bali, kedua bahasa yang disebutkan tadi sulit untuk dimengerti dan dipahami masyarakat luas, karena tidak lagi digunakan menjadi alat komunikasi sehari-hari. Untuk itu perlu disediakan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemberdayaannya dalam bidang tersebut.
Adalah perpustakaan lontar Fakultas Sastra Unud, merupakan salah satu tempat penyimpanan formal ratusan naskah lontar. Sebagai tempat penyimpanan formal naskah lontar, perpustakaan lontar Fakultas Sastra bisa dikatakan sudah sangat baik dalam merawat lontar-lontar koleksinya. Namun dengan dua orang petugas lontar, dirasakan kurang dapat memaksimalkan dalam perawatan lontar, sehingga peran mahasiswa terutama mahasiswa jurusan Sastra Daerah sangat diperlukan dalam upaya menjaga atau merawat lontar-lontar koleksi perpustakaan lontar. Melalui mata kuliah Konservasi Naskah yang diasuh oleh Drs. I Wayan Sukarsa, M.Hum, mahasiswa dapat ikut dalam perawatan lontar di perpustakaan lontar Fakultas Sastra sebagai salah satu praktek mata kuliah ini. Sangatlah baik agar mata kuliah ini tetap diadakan dan alangkah lebih baiknya di suatu kesempatan, mahasiswa diajak mengkonservasi naskah yang ada di masyarakat, sekaligus melaksanakan pengabdian masyarakat. 
Naskah-naskah lontar yang berada di perpustakaan lontar Fakultas Sastra tersebut usianya rata-rata sudah cukup tua dan hanya sebagian yang masih muda. Kerusakan  naskah lontar yang ditemui cukup sedikit, karena memang perawatannya yang baik dan sering disentuh dan dibaca. Logikanya, apabila sebuah naskah lontar sering dibaca, pasti keadaannya akan lebih awet, karena si pembaca akan membersihkan naskah itu terlebih dahulu sebelum dibaca.

KONSERVASI NASKAH
 Pengertian
Konservasi naskah menurut terdiri dari dua kata, yaitu konservasi dan naskah. Konservasi diadopsi dari bahasa Inggris “conservation” artinya ‘perawatan, pemeliharaan dan penyelamatan’, sedangkan naskah adalah ‘sesuatu yang kongkrit yang di dalamnya terdapat teks tulisan yang dapat berupa tulisan tangan dan tulisan cetakan’(disini yang dimaksudkan adalah naskah tradisional berupa lontar). Jadi, konservasi naskah adalah suatu usaha perawatan, pemeliharaan dan penyelamatan naskah tradisional (lontar) agar bisa mencapai usia yang maksimal (50-200 tahun) dari naskah tersebut.

Tujuan Konservasi
Dari pengertian di atas, adapun tujuan dari konservasi ini adalah sebagai berikut.
·    Melakukan usaha perawatan, pemeliharaan, dan penyelamatan terhadap naskah lontar sebagai warisan budaya leluhur agar bisa diwariskan kembali ke generasi berikutnya (dokumentasi budaya).
·    Untuk pencapaian usia maksimal dari naskah lontar tersebut.
·    Merekonstruksi naskah yang rusak, agar tidak tambah rusak lagi.

 Cara Penyimpanan Naskah
Dalam usaha pelestarian naskah lontar/cakepan selalu ada kendala walaupun daun lontar telah diproses secara rumit seperti telah dikemukakan dalam bab 1 di atas. Ini disebabkan karena naskah lontar merupakan jenis benda organik yang pada dasarnya tidak memiliki daya tahan yang kuat terhadap gangguan-gangguan seperti suhu udara tinggi, kelembaban udara, air, dan unsur-unsur kimia tertentu misalnya asam dan sebagainya dan juga karena daun lontar yang dipakai bahan naskah mengandung solulose yang disenangi oleh rayap, ngengat, dan sejenisnya serta rawan terhadap berbagai jenis kerusakan, yang menyebabkan naskah menjadi rusak.
Ada beberapa hal/cara penyimpanan untuk memperkecil resiko kerusakan lontar, antara lain; Simpanlah naskah lontar anda dalam peti kecil/keropak, kemudian masukkan dalam suatu tempat yang aman (almari kayu atau almari kaca) dan hindarkan menyimpan naskah di dalam bakul, bodag, sokasi, dan sejenisnya. Karena bahan-bahan (bambu) ini  disenangi tikus. Hindarkan menyimpan naskah di ruang terbuka, apabila disimpan pada udara yang terbuka maka lontar akan cepat kotor dan terdapat noda-noda yang dibawa oleh udara yang melekat pada naskah. Simpanlah lontar dalam suhu 20o-24oC (suhu ideal untuk lontar). Jangan sampai kena air (diguyur). Simpan dalam kelembaban udara yang cocok, yaitu 40-50%. Jangan pernah sekali-kali membungkus naskah lontar dengan plastic, karena plastik ini kedap udara. Biasanya apabila lontar dibungkus dengan plastik, lontar itu akan menguap dan memerlukan udara yang cukup, karena udara tidak ada pergantian dalam plastik maka lontar akan mudah lembab dan ditumbuhi bakteri yang dapat merusak kadaan lontar.
Di luar negeri, di tempat-tempat penyimpanan naskah lontar sering dilakukan restorasi ‘perbaikan’ lontar. Menggunakan serbuk kayu (veril face paper) berbentuk kertas tipis untuk memperbaiki naskah yang rusak itu. Untuk di Indonesia, biasanya jarang mengadakan restorasi karena peralatan di Indonesi masih kurang dalam pelaksanaan restorasi ini.
Bahan Konservasi Naskah
Gangguan-gangguan seperti disebut di atas sering menyebabkan kerusakan yang fatal terhadap naskah lontar, apalagi faktor penyimpanan kurang mendapat perhatian. Akibat gangguan rayap maupun ngengat naskah lontar menjadi robek dan selanjutnya menjadi hancur. Pengaruh udara yang lembab, naskah ditumbuhi jamur dan akan terjadi kerusakan berupa pembusukan. Bila terjadi pengaruh suhu udara yang tinggi atau melebihi batas-batas normal yang diperlukan (20o-24oC) naskah lontar akan menjadi tegang. Bahkan sering terjadi lengkungan-lengkungan sehingga mudah retak atau patah. Gangguan dari asam menyebabkan naskah lontar menjadi tampak kotor dan bagian sisi-sisinya menjadi hitam dan warna-warna hurufnya akan tampak luntur.
Terhadap gangguan-gangguan dan berbagai kerusakan tersebut diharapkan jangan menggunakan bahan-bahan kimia yang tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah ditentukan. Sebab kalau penggunaan bahan kimia tersebut tidak tepat justru dapat menimbulkan kerusakan tambahan terhadap naskah.
Ada beberapa bahan kimia yang dapat digunakan antara lain: air suling (akuades), I. I. I Trichioroethane (e.g. Genklene), Ethyl Alkohol (i.m.s), 01. Camph. Rect. (alb.) oil of camphor, arang kemiri atau asap lampu minyak/jelaga, minyak kamper (oil of camphor), paper-backed vencer, Kozo-shi paper, Acrylic emulsion adhesive (e.g. spynflex). Bahan-bahan tersebut disesuaikan lagi menurut jenis kerusakan naskah.
Untuk perawatan yang paling sederhana, bisa menggunakan bahan-bahan berikut, yang dimaksud adalah Aceton dicampur dengan Sitrunella Oil (minyak sereh). Dengan konsentrasi campuran 1 : 1 dan dalam penyimpanan kembali diisi dengan camphor (kapur barus). Adapun manfaat bahan-bahan itu dapat membersihkan noda/kotor pada naskah, mencegah ketegangan naskah (renyah) dan naskah menjadi elastis sehingga lentur dan tidak mudah patah. Sedangkan uap/gas dari camphor akan dapat mengusir serangga (rayap maupun ngengat).

6/25/2011

LANTURAN AKSARA ARDASUARA

Ardasuara artinya setengah suara atau semi vokal dan mempunyai dua fungsi, yaitu:
 
Sebagai aksara wianjana, umpama.
yasha daya ratu raka laki labha wayar bhata

   
Sebagai aksara suara, umpama.
jangkrik = jang - krik
kemplang = kem - plang
bangkiang = bangk - kiang
sampuak = sam - puak

Jadi arda suara ŗ pada wianjana k, l pada p, nania (ia) pada k, dan suku kembung (ua) pada p, adalah menjadi satu suku dengan wianjana tersebut. Sekarang yang menjadi persoalan bagi kita ialah bagaimana pasangnya kalau:
Kata itu mulai dengan: ya ra la wa mendapat pangater (awalan)
Kalau mendapat anusuara.
Kalau kata-kata itu kelihatannya hanya satu suku, terutama kata-kata yang berasal dari bahasa Kawi atau Sanskerta.
Keputusan-keputusan yang diambil pada Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963, untuk kata-kata tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Kata -kata mulai dengan ardasuara: ra la, pengaternya tidak boleh digantungi, misalnya
Tulisan Tidak boleh ditulis
kalintang klintang
saratuh sratuh
palinggih plinggih
karaton kraton

Kata-kata yang mulai dengan ardasuara ya dan wa maka sering kita jumpai perubahan suara a pada pengater menjadi i atau u karena pengaruh ardasuara ya dan wa yang mengikutinya, misalnya:
kata
+pangater
pengiring
menjadi lalu menjadi
yasha
ka
ang
kayasaang kyasayang
yakti
wi
  wiyakti wyakti
wangun
pa
  pawangun puangun
washa
ka
  kawasa kuasa

   
Ardasuara ya ra la wa anusuara nya semuanya ke ng. Untuk keperluan ini kita hanya tinggal merangkaikan saja (gantungan) misalnya:
raris - ngraris = ngraris
lalu - nglalu = nglalu
wayang- ngwayang = ngwayang
yakti - ngyaktiang = ngyaktiang

   
Mengenai kata-kata yang kelihatannya terdiri dari satu kata saja, akibat dari ardasuara:ya ra la wa terutama la dan ya dalam Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963 masih terdapat dua pendapat yang sama-sama mempunyai alasan yang kuat yaitu:
Pendapat l:
Hampir 90% dari hadirin (terutama anak- anak muda), menghendaki agar kita mempunyai pegangan yang kuat terhadap kata-kata yang demikian, kita pakai saja pegangan hukum dua suku kata (pada kata dasar) sesuai dengan hukum bahasa Austronesia (Bahasa Indonesia, Bali termasuk rumpun bahasa tersebut), kalau sudah menjadi Bahasa Bali.
Dengan berpegangan kepada hukum dua suku kata (uger-uger kalih wanda), kita akan lepas dari pada kesukaran asal-usul bahasa di samping melihat kenyataan, bahwa pada umumnya kata-kata yang kita pergunakan (kruna lingga) kebanyakan terdiri dari dua suku kata. Bahkan dalam hukum Bahasa Indonesia dan Jawa kunapun berlaku hukum tersebut, yaitu yang satu jadi dua yang tiga jadi dua. Lihat contoh di bawah ini:
Asal kata Menjadi
tar detar
rak derak
lit alit
bang abang
Asal kata Menjadi
mas emas
cos kecos
sahaya saya
bahasa basa
Asal kata Menjadi
abagus bagus
amerta merta
beladbad bladbad
kawasa kuasa
dan lain sebagainya. Dengan demikian lalu disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa semua kata-kata yang bekasnya tertulis menjadi satu suku kata, setelah termasuk dalam kalimat Bali kena hukum dua suku kata, sebagai:siap sian muah suah biu nguah jela dan lain sebagainya dengan tanpa menghiraukan asal- usul kata. Hal ini juga menggampangkan dalam hal pengisian guru lagu (pasang jajar).

Pendapat II:
Pendapat yang lain menyatakan sebagai berikut:
Kata-kata dengan ardasuara yang berasal dari Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bali Kuna dan kemudian menjadi perbendaharaan Bahasa Bali, tetap ditulis menurut ejaannya sendiri, kendatipun lafalnya di Bali- kan, sebagai kata dwi lwa dan lain sebagainya.
Kesimpulan yang diberikan adalah sebagai berikut:
Jika dalam ucapannya kedengaran sebagai satu suku dengan wianjana di mukanya, kedudukannya berubah sebagai aksara suara, umpama:slur swah ngwah slaung tityang kudiang dan lain sebagainya.
Coba perhatikan kata-kata ini:
ngwah ditulis bergantungan,
sebab asalnya dari
wwah
kweh ditulis bergantungan,
sebab ada persamaan dengan
keh

dwi ditulis bergantungan,
agar ada perbedaan dengan kata
duwi
lwa ditulis bergantungan,
agar ada perbedaan dengan kata
lua
dan sebagainya.
Keterangan:
dwi = dua,
dui = duri,
lwa = lebar,
lua = luha, wanita

Jika diucapkan tidak menjadi satu suku kata dengan aksara di mukanya, tetap ditulis sebagai aksara wianjana, umpama:
suah lua duwe kuang siap liak sereh gereh
Coba perhatikan kata-kata di bawah ini:
Kata ada persamaan dengan
kuang kirang  kurang
luih lebih
muah miwah
duwe drewe
sereh sedah
gereh guruh
dan lain sebagainya.
Keterangan:
Pendapat no. Il (dua) terutama dipertahankan oleh almarhum Bapak Kt. Sukrata dan beliau berjanji akan membuat kamus kecil, khusus untuk kata-kata ini. Oleh karena mengingat kamus itu tidak ada sampai sekarang, maka untuk keseragaman kita pakai pendapat No. l (satu) saja, terutama di sekolah-sekolah rendah.

Dengan memakai pendapat No. l (satu) berarti kita juga telah memperkuat pasang- pasang yang telah ada, masuk ke dalam hukum dua suku kata, sebagai kata- kata
tabia biana kakia tiara prau blakas blungbang brengbeng brongbong
dan lain sebagainya.