"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/29/2011

KONSERVASI NASKAH (LONTAR)

Latar Belakang
Bali dikenal dengan gudangya peninggalan naskah lontar yang berisi berbagai ilmu pengetahuan (sastra pangwruh), hal ini sejalan dengan pendapat Zoetmulder dalam “Kalanguan” yang menyatakan untung ada Bali yang menjadi musium penyelamat naskah-naskah Jawa Kuna. Naskah lontar ini menyimpan misteri budaya masa lampau. Tidak sedikit ilmuan-ilmuan dari berbagai negara maupun dari dalam negeri menjatuhkan pilihan penelitiannya pada naskah lontar. Mereka ada yang belajar di museum negaranya yang menyimpan banyak naskah lontar, dan tidak sedikit yang datang ke Bali hanya untuk mempelajari atau mengkonfirmasi isi naskah tersebut pada kehidupan masyarakat Bali secara langsung. Berbagai ilmu pengetahuan yang masih relevan dengan kehidupan manusia di abad modern ini, terdapat di dalam naskah lontar. Konsep-konsep pengetahuan tersebut seperti: usada, tenung, etika moral (tutur), sastra agama, hukum, arsitektur, dan sebagainya. Naskah-naskah tersebut sampai saat ini jumlahnya masih ribuan tersebar di penyimpanan formal seperti museum, perpustakaan, dan nonformal seperti rumah-rumah penduduk yang merupakan koleksi pribadi dari anggota masyarakat di Bali.
Lontar adalah salah satu bentuk naskah tradisional yang ada di nusantara. Lontar tidak hanya dikenal di Bali, tetapi juga di Jawa, Sulawesi (disebut lontara), dan lombok. Selain lontar ada pula bahan yang serupa lontar yang dipakai untuk tempat menulis, seperti di Jawa memakai daun nipah (serupa lontar), dluwang (dari kulit kayu), dan perkamen (dari kulit kambing), di Sulawesi memakai bambu (ditulisi melingkar) dan rotan, sedangkan di Batak selain lontar ada juga tribak (dari kulit kayu). Tidak semua wilayah-wilayah di nusantara memiliki peninggalan naskah-naskah tradisional (lontar), hal ini disebabkan karena tidak semua daerah-daerah di nusantara mengenal/memiliki aksara.
Dilihat dari fungsinya, lontar merupakan dokumentasi budaya masa lampau, merupakan benda yang sangat bernilai karena isinya yang begitu bermanfaat seperti usada, weda, asta kosala kosali, dll., selain itu lontar merupakan benda yang dapat mengangkat derajat pemiliknya, karena dimasyarakat orang yang memiliki lontar akan dianggap orang yang pandai nyastra (mengerti bahasa lontar, isi, dan manfaatnya). Tetapi sekarang sudah ada pergeseran pemahaman masyarakat, karena banyak keluarga yang memiliki naskah-naskah lontar yang tidak bisa membacanya, bahkan lontar-lontar tersebut terbengkalai dan kurang terawat. Hal inilah yang perlu diperhatikan untuk melestarikan naskah-naskah tersebut perlu diadakan konservasi dan membaca ulang isinya atau dipelajari.
Lontar yang disebut juga dengan cakepan adalah satu kazanah budaya yang diwariskan di Bali. Sebelum bahan-bahan tulis berupa kertas dikenal luas, maka untuk merekam segala sesuatu dalam bentuk tulisan digunakan daun lontar selain batu atau tembaga (ini biasanya dipakai untuk menulis prasasti). Untuk mendapatkan daun lontar yang layak ditulisi dijadikan naskah, dipilih dari jenis ental taluh. Karena memiliki kelebihan yaitu; daunnya lebar, memiliki warna putih kekuning-kuningan, serta empuk sehingga tidak mudah retak dibandingkan dengan jenis lontar yang lain seperti lontar goak (ukuran lebar, tebal, dank eras) dan lontar kedis (ukuran kecil-kecil dan agak tipis). Untuk mendapatkan lontar yang bisa ditulisi, daun lontar tersebut perlu diproses lebih lanjut.
Daun lontar yang sudah cukup usia, artinya tidak muda dan tidak terlalu tua, yang ditandai dengan adanya warna kekuningan pada ujung daun (maikuh sesapi) dipetik dan diproses. Mula-mula daun lontar dijemur, setelah cukup kering dipotong-potong berbentuk segi empat panjang dengan ukuran sesuai keperluan. Daun lontar direndam dan dibersihkan untuk selanjutnya direbus. Agar lontar dapat lebih awet, maka dalam air rebusan ditambahkan ramuan yang berupa rempah-rempah, daun papaya, daun liligundi/legundi, dan bisa juga kulit (babakan) pule ‘pulai’. Untuk tetap mempertahankan warnanya yang kuning, dicampur pula dengan kunyit dan gambir. Matangnya daun lontar tersebut dapat ditandai dengan mengembangnya bulir padi yang disertakan pada waktu merebus. Daun lontar diangkat dan ditiriskan kemudian dibersihkan dan dijemur kembali hingga kering.
Setelah daun cukup kering dibagian tengah diberi lobang yang berdiameter 0,5 cm untuk menempatkan tali pengikat. Daun lontar dijepit dengan dua bilah papan kayu selama kurang lebih enam bulan agar memperoleh lontar yang datar, tidak melengkung pada saat ditulisi. Daun lontar itu kemudian diberi garis dengan cara menyepat menggunakan benang yang diisi ramuan berwarna hitam (carbon), setelah sepat kering, pinggiran lontar dihaluskan dengan cara diserut lalu diisi gincu agar terlihat lebih indah. Selanjutnya lontar siap ditulisi untuk dijadikan naskah.
Alat tulis yang digunakan untuk menulis pada daun lontar adalah pengutik/pengrupak. Alat ini dibuat dari baja atau besi, berbentuk persegi empat panjang, dengan ukuran sekitar 2 x 15 cm dengan tebal kurang lebih 2 mm. Pada salah satu ujungnya berbentuk seperti trapezium. Ujung yang runcing inilah yang ditorehkan pada daun lontar. Huruf atau aksara yang digunakan dalam lontar (cakepan) di Bali adalah aksara Bali dengan cara penulisan mengikuti tradisi yang disebut pasang jajar sambung. Untuk mendapatkan huruf/aksara yang dapat dibaca dengan jelas, hasil torehan tadi digosok lagi dengan arang kemiri. Selain dengan arang kemiri, juga bisa menggunakan jelaga (mangsi), daun dedap yang masih muda, arang biji camplung yang dicampur dengan sedikit minyak tanah, dan arang buah naga sari.
Setelah lembaran-lembaran daun lontar tersebut semua ditulisi sesuai dengan panjangnya teks maka telah menjadi sebuah naskah yang disebut lontar/cakepan. Dewasa ini lontar/cakepan tersebut merupakan salah satu khazanah budaya yang diwariskan di Indonesia khususnya di Bali. Keberadaan lontar di Bali dewasa ini jumlahnya mencapai ribuan. Ini dapat diketahui dari instansi pemerintah maupun swasta yang menyimpannya. Instansi-instansi tersebut diantaranya yaitu Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustakaan Universitas Udayana, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Gedong Kirtya Singaraja, Balai Penelitian Bahasa Denpasar, UNHI Denpasar, IHD Denpasar, dan lain-lain. Selain itu tempat penyimpanan nonformal yaitu, di Griya, puri/jero, rumah-rumah penduduk, khususnya pada kolektor atau pencinta sastra.
Ditinjau dari segi isi, lontar-lontar tersebut baik yang dalam bentuk prosa (gancaran) dan puisi yang dalam jenis yang beragam seperti kakawin, parwa, kidung, geguritan, usada, tutur, babad, wariga, dan lain-lain. Sarat dengan berbagai pengetahuan yang berguna bagi kehidupan secara praktis. Seperti filsafat, etika, kesenian, arsitektur, hukum, sejarah, pengobatan, sastra, ekologi, dan sebagainya. Konsep-konsep pengetahuan itu perlu ditelusuri, disarikan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak kalah pentingnya adalah dapat melestarikan/merawat naskah-naskah lontar tersebut sehingga dapat  mencapai umur naskah yang maksimal yaitu 50-200 tahun dan dapat diwariskan kepada generasi penerus berikutnya.
Bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah lontar Bali pada umumnya adalah bahasa Jawa Kuna (Kawi), bahasa Kawi-Bali (Bali Tengahan), bahasa Bali, dan bahkan campuran dari bahasa-bahasa tersebut. Kecuali bahasa Bali, kedua bahasa yang disebutkan tadi sulit untuk dimengerti dan dipahami masyarakat luas, karena tidak lagi digunakan menjadi alat komunikasi sehari-hari. Untuk itu perlu disediakan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemberdayaannya dalam bidang tersebut.
Adalah perpustakaan lontar Fakultas Sastra Unud, merupakan salah satu tempat penyimpanan formal ratusan naskah lontar. Sebagai tempat penyimpanan formal naskah lontar, perpustakaan lontar Fakultas Sastra bisa dikatakan sudah sangat baik dalam merawat lontar-lontar koleksinya. Namun dengan dua orang petugas lontar, dirasakan kurang dapat memaksimalkan dalam perawatan lontar, sehingga peran mahasiswa terutama mahasiswa jurusan Sastra Daerah sangat diperlukan dalam upaya menjaga atau merawat lontar-lontar koleksi perpustakaan lontar. Melalui mata kuliah Konservasi Naskah yang diasuh oleh Drs. I Wayan Sukarsa, M.Hum, mahasiswa dapat ikut dalam perawatan lontar di perpustakaan lontar Fakultas Sastra sebagai salah satu praktek mata kuliah ini. Sangatlah baik agar mata kuliah ini tetap diadakan dan alangkah lebih baiknya di suatu kesempatan, mahasiswa diajak mengkonservasi naskah yang ada di masyarakat, sekaligus melaksanakan pengabdian masyarakat. 
Naskah-naskah lontar yang berada di perpustakaan lontar Fakultas Sastra tersebut usianya rata-rata sudah cukup tua dan hanya sebagian yang masih muda. Kerusakan  naskah lontar yang ditemui cukup sedikit, karena memang perawatannya yang baik dan sering disentuh dan dibaca. Logikanya, apabila sebuah naskah lontar sering dibaca, pasti keadaannya akan lebih awet, karena si pembaca akan membersihkan naskah itu terlebih dahulu sebelum dibaca.

KONSERVASI NASKAH
 Pengertian
Konservasi naskah menurut terdiri dari dua kata, yaitu konservasi dan naskah. Konservasi diadopsi dari bahasa Inggris “conservation” artinya ‘perawatan, pemeliharaan dan penyelamatan’, sedangkan naskah adalah ‘sesuatu yang kongkrit yang di dalamnya terdapat teks tulisan yang dapat berupa tulisan tangan dan tulisan cetakan’(disini yang dimaksudkan adalah naskah tradisional berupa lontar). Jadi, konservasi naskah adalah suatu usaha perawatan, pemeliharaan dan penyelamatan naskah tradisional (lontar) agar bisa mencapai usia yang maksimal (50-200 tahun) dari naskah tersebut.

Tujuan Konservasi
Dari pengertian di atas, adapun tujuan dari konservasi ini adalah sebagai berikut.
·    Melakukan usaha perawatan, pemeliharaan, dan penyelamatan terhadap naskah lontar sebagai warisan budaya leluhur agar bisa diwariskan kembali ke generasi berikutnya (dokumentasi budaya).
·    Untuk pencapaian usia maksimal dari naskah lontar tersebut.
·    Merekonstruksi naskah yang rusak, agar tidak tambah rusak lagi.

 Cara Penyimpanan Naskah
Dalam usaha pelestarian naskah lontar/cakepan selalu ada kendala walaupun daun lontar telah diproses secara rumit seperti telah dikemukakan dalam bab 1 di atas. Ini disebabkan karena naskah lontar merupakan jenis benda organik yang pada dasarnya tidak memiliki daya tahan yang kuat terhadap gangguan-gangguan seperti suhu udara tinggi, kelembaban udara, air, dan unsur-unsur kimia tertentu misalnya asam dan sebagainya dan juga karena daun lontar yang dipakai bahan naskah mengandung solulose yang disenangi oleh rayap, ngengat, dan sejenisnya serta rawan terhadap berbagai jenis kerusakan, yang menyebabkan naskah menjadi rusak.
Ada beberapa hal/cara penyimpanan untuk memperkecil resiko kerusakan lontar, antara lain; Simpanlah naskah lontar anda dalam peti kecil/keropak, kemudian masukkan dalam suatu tempat yang aman (almari kayu atau almari kaca) dan hindarkan menyimpan naskah di dalam bakul, bodag, sokasi, dan sejenisnya. Karena bahan-bahan (bambu) ini  disenangi tikus. Hindarkan menyimpan naskah di ruang terbuka, apabila disimpan pada udara yang terbuka maka lontar akan cepat kotor dan terdapat noda-noda yang dibawa oleh udara yang melekat pada naskah. Simpanlah lontar dalam suhu 20o-24oC (suhu ideal untuk lontar). Jangan sampai kena air (diguyur). Simpan dalam kelembaban udara yang cocok, yaitu 40-50%. Jangan pernah sekali-kali membungkus naskah lontar dengan plastic, karena plastik ini kedap udara. Biasanya apabila lontar dibungkus dengan plastik, lontar itu akan menguap dan memerlukan udara yang cukup, karena udara tidak ada pergantian dalam plastik maka lontar akan mudah lembab dan ditumbuhi bakteri yang dapat merusak kadaan lontar.
Di luar negeri, di tempat-tempat penyimpanan naskah lontar sering dilakukan restorasi ‘perbaikan’ lontar. Menggunakan serbuk kayu (veril face paper) berbentuk kertas tipis untuk memperbaiki naskah yang rusak itu. Untuk di Indonesia, biasanya jarang mengadakan restorasi karena peralatan di Indonesi masih kurang dalam pelaksanaan restorasi ini.
Bahan Konservasi Naskah
Gangguan-gangguan seperti disebut di atas sering menyebabkan kerusakan yang fatal terhadap naskah lontar, apalagi faktor penyimpanan kurang mendapat perhatian. Akibat gangguan rayap maupun ngengat naskah lontar menjadi robek dan selanjutnya menjadi hancur. Pengaruh udara yang lembab, naskah ditumbuhi jamur dan akan terjadi kerusakan berupa pembusukan. Bila terjadi pengaruh suhu udara yang tinggi atau melebihi batas-batas normal yang diperlukan (20o-24oC) naskah lontar akan menjadi tegang. Bahkan sering terjadi lengkungan-lengkungan sehingga mudah retak atau patah. Gangguan dari asam menyebabkan naskah lontar menjadi tampak kotor dan bagian sisi-sisinya menjadi hitam dan warna-warna hurufnya akan tampak luntur.
Terhadap gangguan-gangguan dan berbagai kerusakan tersebut diharapkan jangan menggunakan bahan-bahan kimia yang tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah ditentukan. Sebab kalau penggunaan bahan kimia tersebut tidak tepat justru dapat menimbulkan kerusakan tambahan terhadap naskah.
Ada beberapa bahan kimia yang dapat digunakan antara lain: air suling (akuades), I. I. I Trichioroethane (e.g. Genklene), Ethyl Alkohol (i.m.s), 01. Camph. Rect. (alb.) oil of camphor, arang kemiri atau asap lampu minyak/jelaga, minyak kamper (oil of camphor), paper-backed vencer, Kozo-shi paper, Acrylic emulsion adhesive (e.g. spynflex). Bahan-bahan tersebut disesuaikan lagi menurut jenis kerusakan naskah.
Untuk perawatan yang paling sederhana, bisa menggunakan bahan-bahan berikut, yang dimaksud adalah Aceton dicampur dengan Sitrunella Oil (minyak sereh). Dengan konsentrasi campuran 1 : 1 dan dalam penyimpanan kembali diisi dengan camphor (kapur barus). Adapun manfaat bahan-bahan itu dapat membersihkan noda/kotor pada naskah, mencegah ketegangan naskah (renyah) dan naskah menjadi elastis sehingga lentur dan tidak mudah patah. Sedangkan uap/gas dari camphor akan dapat mengusir serangga (rayap maupun ngengat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar