"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

10/18/2011

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


Masa remaja merupakan masa “belajar” untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai dengan tugas-tugas, yang dalam istilah psikologi dikenal dengan istilah perkembangan. Sama halnya dengan di sekolah, tugas perkembangan ini juga harus diselesaikan oleh seorang remaja dengan baik dan tepat waktu untuk dapat naik ke kelas berikutnya. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat. Setiap fase perkembangan, yaitu sejak seorang bayi lahir, tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya mati, mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang remaja melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila remaja tadi gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya secara tepat waktu, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.
                        Havighurst menawarkan suatu konsep tugas perkembangan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap atau fungsi yang diharapkan dapat dicapai oleh individu pada setiap tahap perkembangannya, antara lain :
1.       Mencapai suatu hubungan yang baru dan lebih matang antara teman sejenis dan lawan jenisnya
                             Remaja diharapkan mampu bergaul secara baik dengan teman laki-laki maupun perempuan. Setiap interaksi yang dilakukan merupakan proses belajar saling mengenal, mengerti, dan memahami masing-masing karakter, serta memilih-milah hal-hal yang patut ditiru maupun dibuang. Para ahli mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalamhal Persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya. Jadi remaja harus mendapatkan bimbingan dan bekal moral yang berbudi luhur serta diawasi orang tua/tenaga pendidik agar tidak terjerumus ke dalam kelompok teman sebaya yang tidak baik. Dengan mencermati bahwa kelompok teman sebaya merupakan hal yang sangat berpengaruh dan menentukan perilaku dan perkembangan remaja maka perkembangan program kelompok remaja ke arah kegiatan yang bernilai positif merupakan hal yang mutlak diperlukan.

2.       Mencapai perasaan seks dewasa yang diterima secara dewasa
                             Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Pada masa ini akan terjadi perubahan secara fisik maupun mental. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku remaja tersebut, perasaan minder karena dianggap diri gemuk, terlalu kurus, tidak cantik, belum punya pacar, dan sebagainya ini akan mengganggu proses belajar-mengajar di sekolah. Hal yang bisa dilakukan untuk mencegah mengarahnya perilaku remaja ke arah yang negatif adalah dengan menjadi “pendengar yang baik”, bertindak sebagai teman yang dapat diajak bertukar pikiran dan tidak menghakimi jika dia melakukan suatu kesalahan, melainkan mengarahkan dia untuk dapat memahami bahwa perilaku yang diperbuat adalah tidak baik, sehingga dia tidak melakukannya lagi.
                             Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka.

3.       Menerima keadaan badannya dan menggunakannya secara efektif
                             Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
                             Banyak diantara remaja yang sulit menerima kenyataan bahwa kita berkulit gelap atau tidak setinggi dan selangsing teman sebaya. Perasaan tidak puas ini kemudian membuat mereka selalu dilanda perasaan minder, sehingga malas bergaul apalagi pergi ke pesta. Perasaan ini menutupi kenyataan, misalnya bahwa mereka sebetulnya punya sepasang mata yang indah. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya fokuskan perhatian ke kelebihan dan jadikan itu sebagai daya tarik. Selain itu, hilangkan dari pikiran pa yang selama ini selalu ditanamkan oleh lingkungan, bahwa perempuan harus cantik, putih, tinggi, dan langsung untuk dapat disebut sebagai perempuan sejati, sedangkan laki-laki harus berbadan kekar, berbulu dan bersuara dalam untuk bisa dikatakan jantan. Masing-masing individu mempunyai potensi-potensi diri yang dapat dikembangkan sehingga dapat menutupi kekuarangan yang ada.

4.       Mencapai kebebasan emosional dari orang dewasa
                             Usaha untuk mencapai kemandirian emosional bisa membuat remaja melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan orangtuanya. Dengan ciri khas remaja yang penuh gejolak dan emosional, pertentangan pendapat ini sering kali membuat remaja menjadi pemberontak di rumah. Apabila masalah ini tidak terselesaikan, terutama apabila orangtua bersikap otoriter, remaja cenderung untuk mencari jalan keluar di luar rumah, yaitu dengan cara bergabung dengan teman-teman sebaya yang senasib. Sebetulnya, curhat dengan teman sebaya tidak ada salahnya, selama teman sebaya itu bisa membantu mendapatkan solusi yang baik. Namun, sering kali karena yang dihadapi adalah remaja seusia yang punya masalah yang kurang lebih sama dan sama-sama belum berhasil mengerjakan tugas perkembangan yang sama, bisa jadi solusi yang ditawarkan kurang bijaksana. Karena itu, remaja perlu selalu ingat bahwa untuk melepaskan diri secara emosional dari prang tua pun, bisa dilakukan dengan meminta dukungan orangtua ataupun orang dewasa yang ada di sekitarnya. Tentunya bukan dengan cara meminta mereka untuk memecahkan masalah, tapi lebih kepada memahami keinginan kita sebagai remaja untuk dipahami sebagai ini\dividu yang beranjak dewasa dan tidak ingin terlalu tergantung lagi kepada mereka orang dewasa.
                             Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.

5.&6. Mencapai kebebasan ekonomi, memilih dan menyiapkan suatu pekerjaan
                 Setelah melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orangtua atau orang dewasa lain, tugas yang menanti remaja adalah juga melepaskan diri dari ketergantungan financial dari mereka. Karena itulah, belajar bekerja juga merupakan hal yang perlu dilakukan oleh remaja, betapapun kecil penghasilan yang diperoleh. Dengan demikian, diharapkan pada saatnya nanti kita bisa siap terjun dan bekerja di masyarakat.
                 Mencapai kebebasan ekonomi dan mempersiapkan suatu pekerjaan ini didukung oleh pendidikan yang ditempuh. Diantara orientasi masa depan yang mulai diperhatikan pada usia remaja, orientasi masa depan remaja akan lebih terfokuskan dalam bidang pendidikan. Hal ini mengungkapkan bahwa usia remaja merupakan usia kritis karena remaja mulai memikirkan tentang prestasi yang dihasilkannya, dan prestasi ini terkait dengan bidang akademis mereka. Suatu prestasi dalam bidang akademis menjadi hal yang serius untuk diperhatikan, bahkan mereka sudah mampu membuat perkiraan kesuksesan dan kegagalan mereka ketika mereka memasuki usia dewasa. Menurut penelitian terkait dengan prestasi remaja, diketahui kalau prestasi seorang remaja akan meningkat bila mereka membuat suatu tujuan yang spesifik, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Selain itu, remaja juga harus membuat perencanaan untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Dalam proses pencapaian tujuan, remaja juga harus memperhatikan kemajuan yang mereka capai, dimana remaja diharapkan melakukan evaluasi terhadap tujuan, rencana, serta kemajuan yang telah mereka capai.

7.       Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga
                             Dengan dilaluinya tugas perkembangan yang telah disebutkan tadi yaitu yang berkaitan dengan kemampuan untuk bergaul dengan sesama maupun lawan jenis, diharapkan pergaulan ini akan dapat mamba ke langkah selanjutnya yaitu untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dan mulai mempersiapkan diri membentuk keluarga. Hal ini sebaiknya dilakukan setelah mereka mengalami kebebasan ekonomi dan telah mempunyai pekerjaan. Karena kehidupan berumah tangga / berkeluarga merupakan kehidupan yang kompleks, yang memerlukan kesiapan fisik, mental maupun finansial.

8.       Mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual yang perlu bagi warga Negara yang kompleks
                             Remaja hidup di suatu daerah yang merupakan bagian dari suatu Negara, sudah tentu harus mematuhi segala peraturan dan tata tertib yang berlaku, sesuai dengan peribahasa, “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Mereka semenjak kecil sudah mulai ditanamkan rasa nasionalisme, cinta Negara, dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan Negara. Tidak melakukan tindakan anarkis, tidak bertindak sebagai teroris, namun sebagai warga Negara diharapkan dapat menyumbangkan prestasi yang mengharumkan nama Negara, seperti mengembangkan keterampilan dalam olahraga badminton dan mengikuti turnamen nasional maupun internasional, dan sebagainya. Demi terwujudnya tugas perkembangan remaja ini, maka diadakan mata pelajaran Budi Pekerti, Pancasila, dan Kewarganegaraan, dengan harapan para peserta didik akan mengamalkan pelajaran tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



9.       Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial
                             Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
                             Idealnya, seseorang tentu diharapkan untuk berpartisipasi demi kebaikan atau perbaikan di lingkungan sosialnya, namun bila hal itu belum bisa dijalankan, minimal yang harus dilakukan adalah tidak menjadi beban bagi masyarakat atau lingkungan sosialnya. Karena itulah, remaja yang terlibat tawuran sampai menghancurkan fasilitas umum tentu tidak dapat dianggap telah melampaui tugas perkembangan yang satu ini dengan sukses.

10.    Mencapai suatu perangkat nilai yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku
               Keberhasilan remaja melaksanakan tugas perkembangan ini ditandai dengan, misalnya kesuksesannya meredam serta mengendalikan gejolak emosi maupun seksualnya sehingga dapat hidup sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Untuk dapat memperoleh konsep diri yang memegang seperangkat nilai ini, remaja dapat memiliki model atau seseorang yang dijadikan tokoh idola yang tingkah lakunya kemudian diteladani.

                        Demikianlah, penjelasan mengenai tugas-tugas perkembangan remaja sebagai satu bagian dalam memahami remaja sebagai suatu masa transisi. Diharapkan, pada masa ini kita telah sampai pada pemahaman bahwa sesungguhnya masa remaja adalah masa transisi yang menjembatani masa kanak-kanak yang tidak matang ke masa dewasa yang matang. Macam transisi yang berbeda akan mamba pengaruh yang berbeda pula bagi individu yang mengalaminya. Demikian pula dengan bagaimana cara kita melihat transisi tersebut akan mempengaruhi bagaimana kita dapat memahami apa yang dialami dan dirasakan oleh remaja. Selanjutnya, kita akan melihat perubahan dan perkembangan apa yang dialami oleh individu selama masa remajanya.

 anda dapat lihat sekumpulaan remaja dalam foto ini, tidak semua prilakunya sama,,,yang dicerminkan dari gayanya masing-masing,,,,,,,,,,
Semogha,,,,,,bermanfaaaat,,,,,,,

10/07/2011

Sosiologi Sastra


Menurut Kamus Besar NahasaIndonesia( 1989: 855 ). sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan soaialnya, kondisi ekonimi serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan motodologis (Suekanto, 1982: 4 ).
Sastra dapat dipandang sebagai  suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula ( Luxenburg, Bal, dan Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23 ).Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:
  1. Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
  2. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca.
  3. Hubungan antara  (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan masyarakat,  literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup (  Wellek and Werren, 1990: 110 ).
Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan Werren dapat diteliti melalui:
1.  Sosiologi Pengarang
Menyangkut masalah pengarang sebagai penghasil Karya satra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang di luar karya sastra.
 2.  Sosiologi Karya Sastra
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial.
3.  Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya ( Wellek dan Werren, 1990: 111 ).
Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya sastra.
Karya sastra kita kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga atas realitas yang terjadi di sekeliling penarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsure yang membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur intrinsik (unsure yang membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsure yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh kajian sktrinsik karya sastra adalag konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat , mengenai lembaga dan proses sosial . Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara­-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia ; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Menurut Wolf terjemahan Faruk mengatakan, “Sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan baik , terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general; yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan antara seni dan kesusasteraan dengan masyarakat ( 199 : 3 ).
Ragam Sosiologi Sastra
Mengenai ragam pendekatan terhadap karya sastra kajian sosiologis mempunyai tiga klasifikasi ( Wellek dan Warren : 1986 ) (a) Sosiologi pengarang (b) Sosiologi karya sastra (c) Sosiologi sastra dalam sosiologi pengarang . wilayahya mencakup dan memasukkan status sosial , ideologi sosial dan lain sebagainya menyangkut pengarang, dalam hal ini berhubungan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan hubungannya dengan rnasyarakat sastra : mengenai sosiologi karya sastra , yaitu mempennasalahkan karya sastra itu sendiri dengan kata lain menganalisis struktar karya dalam hubungannya antara karya seni dengan kenyataan dengan tujuan menjelaskan apa yang dilakukan dalam proses membaca dan memahami karya sastra ” sosiologi sastra, wilayah cakupannya dan memasalahkan pembaca sebagai penyambut dan penghayat karya sastra serta pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca atau dengan kata lain memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Penelaahan unsur sosiologis karya sastra khususnya roman  juga dikaitkan dengan sistem kemasyarakatan karena dalam sistem ini terjadi interaksi sosial yang cenderung menghasilkan suatu kebudayaan .Dimana di dalamnya mengatur cara manusia hidup berkelompok clan berinteraksi dalam jalinan hidup bermasyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang mengalarni berbagai modernisasi. Manusia dalam menjalani kehidupan manusia harus menyadari akan kefanaan hidup itu sendiri.

10/06/2011

PENELITIAN SASTRA: LAHAN YANG LUAS DAN BERLIMPAH


Maman S. Mahayana
Lahan atau objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu berlimpah. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi sesiapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.
Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu luas dan beragam. Dilihat dari rentang pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat melalui penelusuran secara paradigmatik, atau karya-karya yang sezaman dengan penelusuran secara sinkronik. Baik penelusuran secara paradigmatik, maupun sinkronik, mencakupi penelitian terhadap sastra tradisional –sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.
Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa –novel dan cerpen—, drama, dan esai kritik. Begitu juga perkara yang menyangkut media yang digunakannya: buku, majalah, suratkabar, atau naskah-naskah yang ditulis tangan, sebagaimana yang dilakukan para penulis naskah-naskah lama.
Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati. Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri. Resepsi pembaca tentang karya sastra yang sezaman (sinkronis) dan yang tidak sezaman sesuai perkembangannya (diakronik) dapat pula menjadi lahan penelitian.
Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Sejarah kesusastraan dengan berbagai masalahnya, berikut gejolak masyarakatnya, juga dapat menjadi lahan garapan penelitian sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.
Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit –termasuk media massa— sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang, seperti soal sastra lisan, pengalihan atau pengangkatan bentuk karya sastra ke bidang seni lain, seperti film atau drama, atau juga persoalan yang menyangkut karya-karya terjemahan. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.
Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang begitu berlimpah itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu, sungguh begitu luas dan berlimpah.
***
Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah dua) pendekatan —dari sejumlah pendekatan yang ada— yang dapat kita pandang tepat dan pas sebagai alat analisisnya.
Sejumlah hal itulah yang –barangkali—membuat kita –belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acapkali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademi.
***
Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan penelitian sastra, eloklah kita mencermati dahulu bagan berikut ini:

Berdasarkan bagan tersebut di atas, Ronald Tanaka membagi penelitian sastra atas dua sistem besar, yaitu sistem makro dan sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan gagasan Rene Wellek dan Austin Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai pendekatan esktrinsik dan pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai sistem makro, meliputi penelitian yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba memasalahkan keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang ditempatkannya dalam kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai pemberi makna, dan kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk memberi gambaran lebih  jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.
Sistem Pengarang
Pengarang dalam sistem sastra makro ditempatkan tidak lebih penting dari pembaca. Harus diakui, bahwa lahir dan hidupnya dunia kesusastraan dimungkinkan oleh keberadaan pengarang. Jadi, meskipun pengarang yang memungkinkan lahirnya karya sastra, dalam konteks sistem sastra, ia diperlakukan sama pentingnya dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam menghidupkan keberadaan dunia sastra. Pengarang sebagai kreator, penghasil karya sastra, di zaman modern ini, harus mendasari kemampuannya tidak lagi ada bakat alam, talenta, melainkan juga pada intelektualitas. Seorang pengarang modern, mutlak harus mempunyai kemampuan menciptakan sebuah dunia; dunia yang dibangunnya lewat bahasa. Kemampuan ini tentu saja akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja, jika ia juga tidak meluaskan cakrawala pengetahuannya. Dengan demikian, seorang pengarang modern dituntut mempunyai pengetahuan yang luas, agar ia terus berkarya dan tidak kehabisan bahan.
Persoalan itu, dalam sistem pengarang, akan membawa seorang peneliti menelusuri lebih jauh pada latar belakang pendidikan pengarang, kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya, lingkungan masyarakat, profesi kepengarangannya, ideologi yang dianut, dan masalah patronase (pengayoman). Jika kita hendak mempersempit masalahnya dan menghubungkannya dengan karya sastra (teks) yang dihasilkannya, maka kita dapat melakukan penelitian mengenai (a) pengarang dan karya-karyanya dengan fokus pada salah satu karyanya, (b) latar belakang pendidikan pengarang dan hubungannya dengan teks yang dihasilkannya, (c) kecenderungan pengarang tertentu –atau sejumlah pengarang—dalam satu komunitas sosial, (d) kecenderungan pengarang tertentu dalam hubungannya dengan kultur masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya, (e) kepengarangan sebagai sebuah profesi, (f) masalah ideologi pengarang dalam kaitannya dengan teks yang dihasilkannya, (g) teks dalam hubungannya dengan sistem pengayoman.
Sesungguhnya, penelitian mengenai persoalan tersebut di atas, termasuk ke dalam tema-tema umum yang masih mungkin dikerucutkan lebih tajam lagi. Gambaran tersebut sekadar hendak menegaskan, bahwa dari satu aspek saja –sistem pengarang—kita dapat melakukan berbagai macam penelitian sastra.
Sistem Penerbit
Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Dalam pengertian ini, di dalamnya termasuk media massa (majalah dan suratkabar) yang juga berperan sama. Dalam hubungannya dengan teks sastra, penerbit dan media massa sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, ekonomi). Oleh karena itu, di dalam proses penerbitan atau publikasi sebuah karya sastra, tidak terhindarkan adanya pihak lain yang terlibat dalam proses produksi atau reproduksi karya. Dalam hubungan itulah, keterlibatan pihak-pihak itu, seringkali ikut mempengaruhi struktur formal karya.
Hal lain yang berkaitan dengan sistem penerbit menyangkut persoalan distribusi dan penyebaran karya. Penerbit besar atau media massa nasional yang punya jaringan luas dalam soal distribusi akan lain pengaruhnya dibandingkan dengan penerbit swadaya atau media massa lokal. Dalam hal ini, tentu saja tugas peneliti menjadi sangat penting dalam usaha membuat pemetaan konstelasi kesusastraan sebuah komunitas.
Penelitian lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem penerbit, berurusan dengan beberapa hal berikut: (a) ideologi dan kepentingan penerbit, (b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, (c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, (d) faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit, (e) jaringan distribusi, dan (f) sasaran pembaca.
Dalam hubungan itu, keberadaan dan peranan penerbit dan media massa penting artinya dalam penelitian sastra, baik yang bersifat sinkronis, maupun diakronis.
Sistem Pembaca
Dalam sistem sastra makro, tidak dibedakan antara penikmat atau pembaca biasa, pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus (: peneliti). Ronald Tanaka menempatkan pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus ini dalam sistem kritik. Meski demikian, keberadaan pembaca dalam sistem ini tetap dianggap penting, karena dalam banyak hal, pembaca sering kali ikut mempengaruhi situasi dan kondisi kehidupan kesusastraan. Jadi, keberadaan pembaca tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka tak jarang, justru menjadi bahan pertimbangan pengarang dan penerbit. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis dengan sasaran pembaca tertentu, tidak hanya memaksa dan menyeret pengarang untuk mempertimbangkan masalah di luar teks, tetapi juga memaksa penerbit melakukan semacam kompromi, khasnya dengan pengarang. Akibat kompromi itulah, pengarang sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Memperbaiki, bahkan mengubah teks sejalan dengan keinginan penerbit yang berorientasi pada (selera) pembaca. Karya sastra populer –yang menekankan pada pemanjaan selera pembaca—dan sastra propaganda –yang berorientasi pada tujuan mempengaruhi ideologi pembaca— misalnya, merupakan contoh kasus ini.
Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem pembaca ini, beberapa di antaranya, menyangkut: (a) latar belakang dan kultur pembaca, (b) usia dan jenis kelamin pembaca, (c) pendidikan dan ideologi pembaca, (d) pemaknaan sebuah teks yang ditentukan oleh penguasaan (i) konvensi bahasa, (ii) konvensi budaya, (iii) konvensi sastra, dan (e) penerimaan pembaca terhadap sebuah teks (resepsi sastra) dalam kurun waktu yang sezaman (sinkronis) dan dalam rentang waktu tertentu (diakronis).
Sistem Kritik
Praktik kritik sastra yang membicarakan sebuah karya, penelitian serius terhadap karya sastra, seperti makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, atau esai dan resensi buku sastra yang dimuat media massa, merupakan salah satu bahan penelitian yang termasuk ke dalam sistem kritik. Karya-karya itu merupakan pandangan kritikus atau pembaca ahli. Di Indonesia para penulis kritik ini datang dari latar belakang pendidikan yang heterogen. Sesiapa pun yang merasa mempunyai kemampuan untuk menulis kritik dan tulisan-tulisan kritiknya telah banyak dipublikasikan, sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai kritikus. Masyarakat pendukung kesusastraan itu sendiri cenderung tidak memasalahkan latar belakang pendidikan penulis kritik. Oleh karena itu, kritik sastra di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu kritik akademis dan kritik umum.
Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat  dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, objektivitas  atas nilai yang dikemukakan, menjadi landasan. Artinya, ia mesti dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian.  Sementara itu, dalam kritik umum, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia ilmiah, mungkin saja tidak dianggap penting. Oleh karena itu, kerangka teoretis dan metodologi yang di dalam kritik akademis sangat penting, dalam kritik umum justru sering diabaikan. Hampir semua media massa (majalah dan suratkabar) lebih menyukai memuat kritik umum daripada kritik akademis. Masalahnya, kritik umum ditulis dalam bahasa yang sangat cair yang memungkinkan dapat dipahami oleh berbagai macam kalangan masyarakat.
Penelitian sastra yang berkaitan dengan sistem kritik ini, menyangkut beberapa hal berikut ini: (a) jenis media yang memuat tulisan kritik, (b) latar belakang pendidikan kritikus, (c) profesi penulis kritik, (d) ideologi yang dianut, (e) model penilaian yang digunakan, yaitu (i) penilaian absolut, (ii) relatif, (iii) perspektif.
***
Selain sistem sastra makro, Ronald Tanaka membicarakan juga ihwal sistem sastra mikro yang dalam istilah Rene Wellek dan Austin Warren disebut pendekatan intrinsik. Dalam sistem ini, teks sastra menjadi pusat perhatian. Teks diperlakukan tidak lagi terikat pada pengarangnya, mengingat teks dianggap otonom, unik, dan berbeda, baik dengan teks sastra yang lain maupun teks nonsastra. Secara ekstrem, pandangan ini membawa pada anggapan bahwa teks sastra hadir ke hadapan pembaca dalam keadaan yang sudah lengkap. Oleh karena itu, di sana tak ada lagi hubungannya dengan pengarang. “Pengarang telah mati!” begitu Roland Barthes, tokoh penting strukturalisme menegaskan pendiriannya.
Pandangan Tanaka tidak seekstrem itu. Dalam hal ini, teks diperlakukan sebagai jembatan yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Ia masih memberi peluang adanya keterkaitan antara teks dan konteksnya. Teks sastra boleh saja dikaitkan dengan pengarang, sejarah, sosio-budaya, filsafat, dan unsur ekstrinsik lainnya.
***
Demikianlah, sesungguhnya begitu berlimpah objek penelitian sastra yang dapat kita lakukan. Penelitian terhadap sejumlah unsur intrinsik sebuah karya sastra yang selama ini banyak dilakukan kalangan akademis –khasnya skripsi—misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa tak terhitung banyaknya penelitian mengenai itu. Jadi, sungguh ironis rasanya jika kaum akademis sendiri, kehilangan gairah untuk melakukan penelitian sejenis atau penelitian lain yang belum banyak digarap orang.
Di luar hal itu, masih ada pula kemungkinan penelitian dengan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain atau dengan karya nonsastra (intertekstualitas). Mungkin saja karya sastra dibandingkan dengan sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi atau bahkan antropologi. Model ini dapat pula dilakukan dengan membandingkan satu karya dari satu negara dengan karya lain dari negara yang berbeda atau satu karya yang berasal dari kultur etnik tertentu dengan kultur etnik lain (studi sastra bandingan).
***
Sejumlah Kendala
Jika berbagai kemungkinan penelitian sastra terbuka luas dan lempang dan objek-objek penelitian sastra begitu berlimpahnya, pertanyaannya kini: Mengapa –seperti telah disinggung—kaum akademis seperti kehilangan gairah untuk melakukan penelitian? Kendala apa saja yang menyebabkan masalah itu seperti penyakit kronis yang tak dapat disembuhkan. Bahwa kaum akademis menyadari adanya penyakit kronis itu, mengapakah penyakit itu dibiarkan hidup dan terus-menerus menggerayangi kegiatan kesehariannya.
Marilah kita coba membuat anatomi!
Pertama, terjebak rutinitas. Kecenderungan kaum akademis tidak (sempat) melakukan penelitian, karena mereka menikmati betul hidup dalam lingkaran rutinitas. Masalah pengajaran dan kegiatan administratif –di lingkungan kampus—sering kali menjadi kambing hitam. Pertanyaannya kini: tidak adakah waktu untuk membaca sesuatu (: buku) baru atau karya sastra terbitan baru? Jika masih sempat melakukan itu, tulislah! Tulisan inilah yang kelak dapat menjadi salah satu cikal-bakal objek penelitian.
Kedua, sergapan ketakutan. Dalam banyak kasus, ada kesan bahwa kaum akademis ini hidup dalam sergapan ketakutan berbuat salah, jika hendak melakukan penelitian. Inilah bahaya yang sebenarnya ditanamkan sendiri. Penelitian sastra sesungguhnya tidak berurusan dengan persoalan benar—salah. Dalam penelitian kualitatif, argumen menjadi sesuatu yang penting. Terterima atau tidak argumen itu, itu soal lain. Jadi, tumpahkan saja gagasan itu, baik atau buruk, itu persoalan nanti.
Ketiga, mengajar seperti kaset yang dapat diputar berulang-ulang. Benar atau tidak asumsi ini, suka atau tidak terhadap anggapan ini, kenyataannya tidak sedikit kaum akademis yang mengajar dengan pola seperti kaset. Dari semester ke semester, ia terus- menerus mengulang hal yang itu-itu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan inovasi. Revisi silabus dan satuan acara perkuliahan dalam setiap dua atau tiga tahun, sebenarnya dimaksudkan agar pola pengajaran tidak seperti kaset. Di samping itu, materi kuliah yang dipersiapkan, sering hanya ditulis pokok-pokoknya saja, tanpa berusaha menyusunnya kembali sebagai sebuah tulisan yang utuh. Menyusun kembali pokok-pokok kuliah itu sebenarnya dapat menjadi bahan ajar yang penting yang mungkin suatu saat dapat menjadi sebuah diktat, atau bahkan buku teks yang dapat juga dipelajari masyarakat luas.
Keempat, penelitian sekadar mengejar kum. Satu bahaya lain datang ketika kaum akademis melakukan penelitian sekadar mengejar kum sebagai usaha untuk kenaikan pangkat atau golongan. Cara amatiran model ini tentu saja sangat berbahaya, karena lambat laun, tidak mustahil bakal membunuh profesionalitas. Maka, bekerjalah secara profesional, sesuai dengan profesi dan kewajiban untuk melakukan penelitian.
Kelima, penghargaan tak manusiawi dan tak berbudaya. Karya-karya penelitian di dunia akademi, sering kali tidak mendapat penghargaan yang sewajarnya. Bahkan, tidak jarang pula sama sekali tidak dihargai, untuk tidak mengatakan tidak manusiawi dan tidak berbudaya. Institusi mestinya memberi penghargaan yang lebih beradab, baik penghargaan yang berupa materi, mapun nonmateri.
Keenam, pudarnya tradisi diskusi. Salah satu cara yang memungkinkan tumbuhnya kegairahan melakukan penelitian, kiranya dapat dimulai dengan menciptakan tradisi berdiskusi. Jurusan atau fakultas dapat memfasilitasinya atas nama seminar kecil. Jika tradisi ini rutin dilaksanakan dalam setiap semester dan dalam satu tahun diangkat ke dalam forum yang lebih luas berupa seminar, maka sangat mungkin kegiatan diskusi dan seminar menjadi sebuah kegiatan rutin. Kondisi ini pada gilirannya akan menumbuhkan kegairahan melakukan penelitian. Jika hasil seminar itu dikumpulkan kembali dan coba dipublikasikan dalam bentuk buku, maka dalam setiap tahun akan terbit sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan para pengajar itu.
Ketujuh, menikmati otoritas sebagai jago kandang. Bahaya lain yang secara laten datang dan memudarkan kegairahan melakukan penelitian adalah adanya sikap merasa besar di lingkungan sendiri. Oleh karena itu, kebiasaan mengirimkan makalah dalam seminar yang diselenggarakan di luar institusinya, seyogianya menjadi sasaran berikutnya jika tradisi diskusi dan seminar di lingkungan sendiri telah berjalan jadi kegiatan rutin
Kedelapan, keengganan menulis resensi atau esai untuk media massa. Salah satu kewajiban kaum akademi adalah membaca buku. Jika yang dibacanya itu buku baru, informasi tentang buku itu sering kali disampaikan hanya kepada mahasiswanya sendiri. Padahal, jika buku baru itu dibuat resensinya atau esai mengenai buku itu dan coba dipublikasikan di media massa, pengaruh informasi itu jauh lebih luas dan berwibawa. Jika resensi atau esai itu dikembangkan lebih luas dengan membandingkannya dengan buku lain dan sekaligus mencoba menggunakan kerangka teori dan metodologi, maka ia telah masuk kategori karya penelitian. Sayangnya, kaum akademi kurang menyadari pentingnya resensi atau esai ini sebagai salah satu usaha membuat tradisi penelitian.
Itulah beberapa kendala yang sering menghantui kaum akademis kita. Masalahnya kini terpulang pada diri masing-masing. Jika kita menyadari, betapa kegiatan penelitian itu sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesional kita, maka lakukanlah. Niscaya, kita akan merasakan sendiri bahwa sesungguhnya, penelitian itu memang asyik dan mengasyikkan. Percayalah, hasil penelitian kita itu, sangat mungkin suatu saat kelak, justru bakal ikut membesarkan kita sendiri. Apapun hasilnya, itu soal lain. Sebaliknya, jika Anda masih juga enggan melakukan penelitian, maka dalam kesempatan ini, saya hanya dapat berdoa: “Kembalilah ke jalan yang benar!” ***
Mklh/lokakarya/stba-lia/3—4 Juni 2003
DAFTAR PUSTAKA
Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London: Compton Printing Ltd.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi dan Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.
Luxemburg, Jan van., dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
_____________________. 1992. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.
Storey, Jhon (Ed.). 1996. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf.
Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-theory. Lisse: Peter de Rider Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.