"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/24/2011

SASTRA BANDINGAN


Ada dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan (comparative literature) sebagai sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan. Dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya, penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi, sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua negara, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Jika kita membandingkan dua karya yang berasal dari dua kultur etnik yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal kedua karya itu berada dalam wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita membandingkan sastra Singapura dengan sastra Taiwan yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra Brunei Darussalam dengan sastra Malaysia yang keduanya memakai bahasa Melayu. Pertanyaan yang sama tentu saja dapat kita kemukakan lebih panjang lagi. Jadi, jika kita mengamati karya-karya dari berbagai negara yang menggunakan bahasa yang sama atau sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata bahwa rumusan sastra bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru akan mengundang masalah konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.

Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.
***
Dalam kamus Websters,[1] dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren[2] ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal.
Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman[3] mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada dikemukakan Remak[4] yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1) tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra. [5]
***
Definisi yang tertulis dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu merupakan kamus yang memuat kosa kata yang umum digunakan dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari sebuah entri yang terdapat dalam kamus umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus dalam kesusastraan beberapa negara. Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Sebutlah kasus Hamka--Manfaluthi[6] dan Chairil Anwar--Archibald Macleish.[7] Sebenarnya, kita masih dapat menyebut kasus serupa yang belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub Djunaedi, misalnya, ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972).[8] Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat (1963) menampilkan tokoh tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell.
[9] Tetapi bagaimana dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?[10]
Kembali, jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas perbandingan antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan dan perbedaan tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi persamaan dan perbedaan, tetap bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba mengungkapkannya. Dan ketika kita coba menemukan jawabannya, maka tidak dapat lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan konteks sosio-kultural yang melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh menyentuh latar belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial budaya yang terjadi pada zamannya. Di sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya tidak berhenti hanya sebatas menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus menukik pada berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Sebagai contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya William Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen Malaysia (“Uda dan Dara” karya Usman Awang).
***
Romeo dan Julia[11] karya William Shakespeare (1564—1616) menurut Trisno Sumardjo yang menerjemahkan karya itu, pokok ceritanya bersumber dari cerita lisan orang lain. Berikut keterangan yang disampaikan Sumardjo:
Menurut anggapan penduduk Verona, riwayat ini (Romeo dan Julia, MSM)) terjadi tahun 1303, dan pada kaum pelancong mereka tunjukkan rumah keluarga Capulet serta kubu pemakaman asyik masyuk itu. Tahun 1535 diterbitkan sebuah cerita pendek bernama La Giulietta oleh Luigi da Porto dari Vicenza, ditulis menurut kisah yang dituturkan padanya oleh seorang prajurit tua. Pada tahun 1554 dikisahkan oleh Bandello dalam cerita pendek Itali tentang hikayat Romeo dan Julia. Dari situ Pierre Boisteaux membuat cerita Perancis, dan tahun 1567 cerita ini dimasukkan oleh Painter dalam kumpulan ceritanya bernama Palace of Pleasures yng sering dipakai oleh Shakespeare. Sebelumnya, dalam tahun 1562 ada diterbitkan sebuah sajak epis dari tangan Arthur Brooke, namanya “The Tragicall Historye of Romeus and Juliet, written first in Italian by Bandell, and now in English by Ar. Br. (Arthur Brooke). Buah tangan Shakespeare lebih mendekati sajak ini daripada cerita Painter.[12]
Mencermati kutipan di atas, kita melihat bahwa cerita Romeo dan Julia merupakan cerita klasik yang sudah dikenal luas masyarakat sebelum Shakespeare mengangkat cerita itu ke dalam bentuk drama. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan Shakespeare atau sastrawan lainnya di dunia ini, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Dalam hal ini, cerita-cerita lisan klasik atau karya-karya agung, tidak hanya berpotensi melakukan penetrasi dan menyebarkan pengaruhnya, tetapi juga inspiring (mengilhami), sehingga bermunculan cerita-cerita yang secara tematik mempunyai persamaan.[13] Pertanyaannya kini: apakah studi sastra bandingan cukup sampai pada kesimpulan adanya penetrasi dan pengaruh-mempengaruhi serta usaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan secara tekstual atau juga mengungkapna faktor-faktor di luar teks?
Secara tematik, Romeo dan Julia bercerita tentang kisah kasih tak sampai yang menimpa diri pemuda Romeo dan gadis Julia. Permusuhan antara keluarga besar Montague –sebagai pihak Romeo—dan keluarga Capulet –sebagai pihak Julia—pada awalnya tidak dapat merintangi tumbuhnya perasaan cinta kedua sejoli itu. Romeo dan Julia pun bersepakat mengikat ikrar dalam tali perkawinan yang disahkan oleh pendeta Lorenzo. Tetapi, tewasnya kerabat dan sahabat Romeo, Mercutio oleh Tybalt, kerabat keluarga Capulet membuka kembali permusuhan antarkeluarga itu. Romeo terlibat dalam perkelahian berdarah. Pedangnya menewaskan Tybalt. Untuk menyelamatkan Romeo dari hukuman mati, pendeta Lorenzo menyuruhnya pergi dari Verona dan tinggal di Mantua.
Sementara itu duka cita Julia atas perpisahan dengan Romeo, dilihat oleh Capulet dan istrinya sebagai kesedihan atas kematian Tybalt. Maka, ketika datang Paris, pemuda bangsawan melamar Julia, keluarga Capulet menyambutnya bahagia. Hari perkawinan pun kemudian ditetapkan.
Julia tentu saja menolak rencana kedua orang tuanya menjodohkan dengan Paris. Tetapi, kesepakatan telah dibuat, hari perkawinan telah ditetapkan. Julia tak dapat berbuat apa-apa. Ia pun mendatangi pendeta Lorenzo. Untuk menyelamatkan kesucian cinta Romeo—Julia, pendeta Lorenzo merancang rencana. Disuruhlah Julia minum racun menjelang pesta perkawinan dengan Paris dilaksanakan. Menurut Lorenzo, jika racun itu diminum, Julia akan terbujur kaku seperti orang mati. Dua hari kemudian, ia akan siuman kembali. Pada saat itulah, Romeo datang dan membawa Julia pergi meninggalkan Verona.
Pesta perkawinan dengan Paris memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum racun. Jasadnya dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman. Tetapi rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang disusun pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo segera datang ke pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana, ia jumpa Paris. Perkelahian pun tak terhindarkan. Paris tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun yang telah disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris mati bersimbah darah dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun. Menyadari segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan keluarga Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi, semua sudah terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan Montague—yang selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun bersepakat untuk mencipakan perdamaian.
Tragedi percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724),
[14] berjudul Sonezaki Shinju (1703).[15] Hubungan percintaan Tokubei dan Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang menolak dikawinkan dengan kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya selama tinggal bersama pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai wanita penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta secara sembunyi-sembunyi.
Kegigihan dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah rencana menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk melaksanakan rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada Ohatsu, ia menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya marah. Tokubei diusir dari Osaka. Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah dengan uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat Tokubei, meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan pamannya. Pada hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya itu. Tetapi Kuheiji malah menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari, perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang kekasih itu akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar mereka bisa melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,
[16] terbukan jalan lempang untuk melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.
[17] Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi, karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan sakit parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk yang terakhir kalinya.
Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya, mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya, ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda dan Dara sebagai pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).
***
Dua naskah drama Romeo dan Julia dan Sonezaki Shinju serta sebuah cerpen “Uda dan Dara” memperlihatkan sebuah tema yang sama: kasih tak sampai. Apakah praktik sastra bandingan sebatas membandingkannya secara tekstual? Dalam praktik sastra bandingan dikatakan, bahwa perbandingan itu dilakukan secara sistematik dan punya pertalian yang logis. Dari sana memang kemudian akan tampak adanya persamaan dan perbedaan. Kasus Romeo dan Julia, misalnya, dilatarbelakangi oleh permusuhan keluarga, sedang dalam Sonezaki Shinju penyebabnya didasari oleh “kepercayaan” sang paman atas kinerja dan pengabdian kemenakannya. “Kepercayaan dan penghargaan” itu kemudian direpresentasikan melalui keinginannya menjodohkan Tokubei dengan kemenanakan istrinya. Jika saja Tokubei menuruti kehendak pamannya, maka selain ia memperoleh kepercayaan yang makin besar dari pamannya itu, juga mendapatkan kedai sendiri untuk mengembangkan usahanya. Jadi, usaha yang dilakukan paman Tokubei sesungguhnya merupakan bentuk penghargaan dan sekaligus kepercayaan.
Dalam “Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial. Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya. Demikian juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah membutakan mata hatinya. Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa perlu harus didasari perasaan cinta. Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan baik-baik saja. Ia lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu cocok diterapkan sekarang.
Pertanyaannya kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan dan perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi penting jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra bandingan akan bermuara pada pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru menjadi ruh yang menjiwai karya sastra. Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi ruh kebudayaan yang melahirkannya?
Kasus Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta Lorenzo hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya larangan jual-beli racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya penyalahgunaan racun pada masa itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh racun ganas dan “kematian sementara” Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada waktu tertentu merupakan bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak rasional, karena kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan tidak ditempatkan dalam sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang sangat berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta Lorenzo gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona. Sejumlah hal itulah yang mestinya diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta dan kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian Romeo dan Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan kemarahan. Romeo dan Julia adalah korban, betapa berharganya cinta bagi manusia.
Makna kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju)
[18] sesungguhnya dilandasi oleh sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Jepang pada waktu itu. Shinju ‘bunuh diri bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu adalah pilihan yang tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya,[19] tetapi juga representasi kepercayaannya pada dunia yang lain. Shinju merupakan pilihan untuk mewujudkan perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang sementara (carte diem), kesetiaan sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai nirwana, dan kematian sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan sistem kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin Buddha Zen.[20]
Bukankah apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit merupakan pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan norma masyarakat yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia Melayu. Dengan begitu, citra Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat sebagai simbol cinta suci dua anak manusia. Uda dan Dara adalah korban ketika cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.
***
Demikianlah, praktik sastra bandingan pada akhirnya akan sampai pada muara persamaan tentang sifat dasar manusia. Di mana pun, kapan pun, dengan latar belakang kultur, ideologi atau agama apa pun, manusia tidak akan terlepas dari sifat dasarnya sebagai manusia. Masalah kemanusiaan pada dasarnya berlaku universal, dan itu telah diperlihatkan dalam tiga karya yang dibincangkan tadi. Dalam hal ini, sastra bandingan akan menghasilkan persamaan ketika yang diangkat adalah persoalan kemanusiaan.
Bahwa di sana ada perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan mestinya mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan juga pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem kepercayaan.
Agaknya, gagasan ini patut dipertimbangkan.

11/23/2011

INTISARI AJARAN AGAMA HINDU


Hindu ditandai dengan sifat rasional yang sangat kuat. Melalui jalan berliku dari harapan samar dan renunsiasi praktis, dogma-dogma ketat dan petualangan jiwa yang tidak mengenal takut, melalui empat atau lima melinium upaya-upaya tanpa henti dalam bidang menthapisik dan teologi para Maharesi Hindu telah mencoba untuk menangkap masalah-masalah terakhir dalam suatu kesetiaan kepada kebenaran dan perasaan atas kenyataan. Peradaban brahmanikal, terlatih menilai masalah-masalah tanpa emosi dan mendasarkan kesimpulan mereka atas pengalaman-pengalaman fundamental.
Hal yang menuntun para Maharesi Hindu untuk mengangkat pernyataan mengenai Tuhan (Hakikat kenyataan) adalah kefanaan. Dunia terbuka bagi pandangan kita yang obyektif tampak bagi mereka melampaui dirinya tanpa akhir (endless Surpassing of it self). Mereka bertanya: Apakah semua ini akan lenyap, atau apakah kutuk yang menelan hal-hal ini menemukan kendalinya di suatu tempat entah di mana? Dan mereka menjawab: Ada sesuatu di dunia ini tak digantikan, suatu yang mutlak yang tak dapat dihancurkan, yaitu Tuhan. Pengalaman mengenai yang tak terbatas ini (Tuhan) diberikan kepada kita semua pada beberapa kesempatan ketika kita menangkap kilatan rahasia yang amat kuat, dan merasakan kehadiran dari jiwa yang lebih besar dan menyelimuti kita dalam kejayaan. Bahkan pada saat tragis dalam kehidupan, ketika kita merasa diri kita miskin dan yatim-piatu keagungan Tuhan dalam diri kita membuat kita merasa bahwa kesalahan dan kesedihan dunia hanyalah kecelakaan kecil (incident) dalam sebuah drama yang lebih besar yang akan berakhir dalam kekuasaan, kemegahan dan kasih. Upanisad-upanisad mengatakan: "Bila tak ada semangat kebahagian di alam semesta ini, siapa yang dapat hidup dan bernafas dalam dunia kehidupan ini?" Secara filsafah Tuhan adalah Brahman yang memiliki identitas sendiri yang mengungkapkan (mewahyukan) dirinya dalam segalanya, menjadi landasan permanen dari proses dunia. Secara agama ia diihat sebagai kesadaran jiwa yang suci, hamil dengan seluruh gerak dunia, dengan evolusi dan involusinya.
Melalui perjalanan karirnya yang panjang, keesaan Tuhan telah menjadi cita-cita yang menuntun (governing ideal) dari agama Hindu. Reg Weda memberitahu kita mengenai Tuhan, Satu Hakekat Kenyataan Terakhir, Ekam Sat, mengenai Dia para terpelajar menyebutnya dengan berbagai nama. Upanisad-Upanisad juga mengatakan bahwa Tuhan yang satu itu disebut dengan berbagai nama sesuai dengan tingkat kenyataan dimana Dia dilihat berfungsi.

Konsepsi mengenai Tri Murti muncul dari periode epik, dan dimantapkan dalam
zaman Purana-Purana. Analogi dari kesadaran manusia, dengan tiga lapis kegiatan, yaitu mengetahui (cognition), merasa (emotion), dan kehendak (will), menyarankan pandangan mengenai Tuhan sebagai Sat, Cit dan ananta Kenyataan (reality), kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagian (joy). Triguna yaitu sattwa atau ketenangan, lahir dan kebijaksanaan, rajas atau energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan tamas, kelambanan, lahir sebagai akibatnya kurangnya kendali dan pencerahan, adalah merupakan unsur-unsur dari semua eksistensi. Bahkan Tuhan juga dianggap tidak kecualikan dari hukum serba Tiga ini (trilicity), dari keseluruhan mahluk hidup.
Tiga fungsi dari utpeti (shristi) atau penciptaan stiti atau pemeliharaan dan pamralaya (pralina) atau penghancuran (peleburan) juga berasal dari Tri Guna ini. Wisnu Sang Pemelihara alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat sattwa, Brahman Sang Pencipta alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat rajas dan Siwa Sang Pemrelina alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat tamas. Tiga Sifat dari Tuhan Yang Tunggal dikembangkan menjadi tiga pribadi yang berbeda. Dan masing-masing pribadi itu dianggap berfungsi melalui sakti atau energinya masing-masing: Uma, Saraswati dan Laksmi. Secara harfiah ketiga sifa-sifat dan fungsi-fungsi ini seimbang di dalam Tuhan Yang Tunggal sehingga Dia dikatakan tidak memiliki sifat-sifat sama sekali. Satu Tuhan yang tidak dapat dipahami yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan ada di mana-mana, tempat berbeda bagi pikiran yang berbeda dalam cara yang berbeda. Satu teks kuno mengatakan bahwa bentuk diberikan kepada yang tak berbentuk bagi kepentingan manusia.
Dengan keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu percaya akan relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang memeluk keyakinan itu. Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan semau kita. Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa yang bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan dari suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan. Bahwa orang yang berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang tidak alamiah. Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat. Ketika bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam dewa-dewa, meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan keyakinan mereka. Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya semata-mata karena mereka tidak merasakan kekacauan dan kebingungan. Guru-guru besar dunia yang memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah tidak akan mencoba menyelamatkan dunia dalam generasi mereka dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka yang maju terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.
Para Maharesi Hindu, sementara mempraktekan ideal yang tinggi, memahami ketidak siapan rakyat untuk itu, dan karena itu melakukan pelayanan dengan lemah lembut dari pada pemaksaan yang liar. Mereka mengakui dewa-dewa yang lebih rendah dan di puja oleh orang banyak dan memberitahu mereka bahwa dewa-dewa itu semua berkedudukan lebih rendah dari Brahman atau Tuhan Yang Tunggal: sementara beberapa menemukan dewa-dewa di air, yang lain di surga, yang lain dalam benda-benda dunia, orang bijaksana menemukan Tuhan yang benar, yang keagunganNya hadir di mana-mana, di dalam Atman. Sloka yang lain mengatakan: "Manusia tindakan (man of action) menemukan Tuhan dalam api, manusia perasaan (men of feeling) menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah kemampuan berpikirnya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang kuat secara spiritual menemukan Tuhan di mana-mana."
Sistem agama dan falsafah Hindu mengakui evolusi dan involusi dunia secara periodik yang mempresentasikan detak jantung universal, yang selalu diam dan selalu aktif. Seluruh dunia merupakan pengejawantahan dari Tuhan. Sayana mengamati bahwa segala sesuatu adalah wahana atau kendaraan tadi manifestasi Jiwa Yang Tertinggi (Tuhan). Mahluk dibedakan dalam beberapa tingkatan. "Di antara mahluk, yang bernafas yang tertinggi; di antara ini, mereka yang telah mengembangkan pikirannya; di antara ini, mereka yang telah mempergunakan pengetahuannya; sementara yang tertinggi adalah mereka yang dikuasai oleh perasaan mengenai kesatuan dari semua kehidupan dalam Tuhan. Jiwa yang satu mengungkapkan dirinya melalui tingkatan yang berbeda."
Yang tak terbatas dalam diri manusia tidak dapat dipuaskan oleh bentuk dunia terbatas yang fana. Kebebasan adalah harta milik kita, bila kita lari dari apa yang sementara dan terbatas dalam diri kita. Makin banyak hidup kita memanifestasikan yang tak terbatas dalam diri kita, makin tinggi kita berada dalam tingkatan hidup. Manifestasi yang paling tinggi disebut Awatara atau inkarnasi dari Tuhan. Ini bukanlah suatu yang tidak biasa, satu mikjijat Tuhan, tetapi hanya manifestasi yang lebih tinggi dari prinsip tertinggi, berbeda dari yang umum yang lebih rendah dalam derajat saja. Bagawad Gita mengatakan bahwa sekalipun Tuhan ada dan bergerak dalam segalanya, Dia memanifestasikan dirinya dalam derajat khusus dalam hal-hal yang indah. Para Maharesi dan para Buddha, para Nabi dan Mesiah, merupakan pengungkapan terdalam dari jiwa universal. Bagawad Gita menjanjikan bahwa mereka akan muncul bilamana mereka diperlukan. Bila kecenderungan meteralis yang merendahkan atau mendominasi kehidupan, seorang Rama atau Krishna atau seorang Buddha akan datang kedunia untuk memperbaiki harmoni kebenaran. Dalam manusia yang telah memutuskan kekuasaan indria, membuka hati yang penuh kasih, dan memberikan kita inpirasi akan kasih, kebenaran dan keadilan, kita memiliki konsentrasi yang kuat mengenai Tuhan. Mereka mengungkapkan kepada kita jalan, kebenaran dan hidup. Mereka tentu saja melarang penyembahan buta terhadap diri mereka, karena ini akan menurunkan pengejawantahan dari Jiwa yang Agung. Rama mengungkapkan dirinya tidak lebih dari anak seorang manusia. Seorang Hindu yang mengetahui sesuatu mengenai keyakinannya siap untuk memberikan rasa hormat kepada setiap penolong kemanusiaan. Dia percaya bahwa Tuhan berinkarnasi dalam seorang manusia. Manifestasi suci bukanlah pelanggaran terhadap kepribadian manusia sebaliknya, ia merupakan drajat kemungkinan tertinggi dari pengejawantahan-diri manusia yang alamiah sebab hakikat sebenarnya dari manusia adalah suci.
Tujuan dari hidup adalah pengungkapan secara perlahan dari yang abadi dalam diri kita, dari eksistensi kemanusiaan kita. Kemajuan umum diatur oleh karma atau hukum sebab akibat moral. Agama Hindu tidak percaya akan satu Tuhan yang dari kursi-pengadilannya menimbang tiap kasus secara terpisah dan menetapkan balasannya. Dia tidak melalukan keadilan dari luar, menambah atau mengurangi hukuman berdasarkan kehendakNya sediri. Tuhan ada "dalam" manusia, dan demikian juga karma hukum adalah merupakan bagian organik dari kakekat manusia. Setiap saat ada pada pengadilannya sendiri, dalam setiap usaha yang jujur akan memberikan dia kebaikan dalam upaya internalnya. Karakter yang kita bangun akan berlanjut ke masa depan sampai kita menyadari kesatuan kita dengan Tuhan. Anak-anak Tuhan, yang dalam pandangannya satu tahun adalah seperti satu hari, tidaklah merasa perlu kecil hati bila tujuan kesempurnaan itu tidak tercapai dalam suatu kehidupan. Kelahiran kembali diterima oleh semua penganut Hindu. Dunia ini dipelihara oleh kesalahan-kesalahan kita. Kekuatan-kekuatan yang menyatukan ciptaan adalah hidup kita yang terpatah-patah yang perlu diperbaharui. Alam semesta telah muncul dan lenyap berulang-kali tak terhitung di masa lampau yang panjang, dan akan terus berlanjut dilebur dan dibentuk kembali melalui keadilan yang tak dapat dibayangkan di masa yang akan datang.



TATA SUSILA HINDU DHARMA
Benar dan Salah
Bila manakah perbuatan itu dianggap benar dan bila manakah perbuatan itu dianggap salah? Hyang Widhi menuntun dunia ini melalui jalan yang benar. Segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi sendiri adalah benar, dan segala sesuatu yang menghalangi jalan ini adalah salah.
Kebahagiaan dan penderitaan mahluk lain berarti kebahagiaan dan penderitaan diri sendiri. Menyiksa orang lain sama dengan menyiksa diri sendiri, karena jiwatma kita sendiri tunggal dengan jiwatma semua orang dan semua mahluk. Keinsyafan akan tunggalnya jiwatma yang ada didalam diri kita sendiri dengan jiwatma semua mahluk, maka kita berhasrat melakuan amal saleh terhadap semuanya. Keinsyafan akan tunggalnya jiwatma dengan Brahma, maka timbul hasrat untuk mempersatukan atma seniri dengan Brahma (Hyang Widhi). Amal saleh dan kebajikan yang dilakukan untuk kesejahteraan  sesama makhluk disebut dharma; dan kesatuan antara jiwatma dengan Brahma disebut moksa. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawerti marga, dan jalan untuk mencapai kesatuan jiwatma dengan Brahma (moksa) disebut Niwrti marga. Setelah jiwatma dapat bersatu dengan Brahma, berarti telah menginjak alam moksa. Dan orang yang mendapat moksa disebut Mukti. Roh orang yang telah moksa menjadi murni dan sama dengan Brahma. Kemurnian Jiwatma ini menimbulkan suatu rasa bahagia yang tiada terbanding dan bahagia yang abadi yang disebut Ananda (kebahagiaan rohani). Di dalam Candogya Upanishad 6, 8, 7, terdapat suatu dalil yang bunyinya sebagai berikut:
"Tat Twam Asi"
yang artinya: Dikaulah itu, Dikalaulah (semua) itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwatma) dan zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu Aku adalah Engkau; aku adalah Brahma "Aham Brahma Asmi" (Brhadaranyaka Upanisad 14.10.)
Menurut ajaran upanishad, tutur-tutur, dan Bhagavad Gita dikatakan bahwa ada satu atma yang memberi hidup kepada semua makhluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut paramatma. Adapun atma yang terdapat di dalam diri tiap-tiap makhluk, adalah bagian dari paramatma itu. Bagian dari paramatma yang ada di dalam disebut juga jiwatma.
Adanya jiwatma itu ibarat sinar matahari yang memancarkan dan menyinari semua tempat, sedangkan paramatma ibarat matahari itu sendiri, sebagai sumber sinar-sinar yang memancar di segala tempat. Sebenar-benarnya tidak ada perbedaan antara paramatma yang sebagai matahari, dan jiwatma-jiwatma yang dapat kita ibaratkan sinarnya. Di dalam Bhagavad Gita XII,33 terdapat suatu sloka yang berbunyi sebagai berikut:
"Yatha paraktacayaty ekah,
krtsnam lokam imam rawih,
ksetram ksetri tatha krtsnam,
prakacayati bharata".
Maksudnya: Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramatma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi (memberi hidup) seisi alam (semua makhluk) wahai Arjuna.
Tujuan hidup kita yang terakhir adalah menuju moksa, yaitu persatuan (penunggalan) Jiwatma dan Paramatma. Jalan yang benar adalah segala sesuatu yang menuju kearah kesatuan. Segala sesuatu yang menghalangi kesatuan, adalah tidak benar. Untuk mengetahui jalan yang benar Hyang Widhi Wasa tidak membiarkan kita di dalam keadaan yang gelap (awidya). Dia mengirimkan orang-orang besar dan suci, memimpin umatnya bila ada yang merintangi. Dia memberikan kita kekuatan pikiran, dengan mana kita dapat mengertikan mana yang salah dan mana yang benar. Semasih kita kanan-kanak, kita harus menuruti apa yang diajarkan, dan bila sudah dewasa, kita dapat mengerti segala isi pelajaran itu. Dan semua ajaran-ajaran ini, diabadikan di dalam Weda-weda dan Castra oleh Para Rsi (seperti Bhagawan Byasa).
Hukum-hukum yang sederhana yang diabadikan di dalam kitab-kitab suci oleh Para Rsi adalah: "Sesuatu perbuatan yang tidak kita kehendaki, janganlah dilakukan terhadap orang lain. Umpamanya, kita tidak suka dipukul atau disiksa, dimarahi, dicaci (tricapala). Kita hendaknya selalu berbuat baik kepada orang lain, jika kita menghendaki kebahagiaan, kesenangan, dibicarakan baik dan begitulah kita perbuat dengan orang lain. Kita jangan menyakiti orang lain karena orang lain akan menyakiti kita; umpamanya jika seseorang marah kepada kita, kita hendaknya menjawab dengan lemah lembut, disertai dengan rasa tenang".
Sebaliknya apabila kemarahan dibalas dengan kemarahan, adalah sebagai api sedang menyala, disiram dengan minyak. Dan sikap kita janganlah hendaknya baik dan kasih hanya kepada manusia saja, tetapi juga kepada mahluk yang lainnya.
Demikian pula sikap kita terhadap orang tua hendaknya kasih, hormat dan berusaha menolong dan meladeni mereka sebaik-baiknya. Sikap kita kepada saudara dan kawan-kawan, hendaknya jujur dan baik hati dan berusaha mempunyai perasaan kasih kepadanya, tidak membicarakan dan berbuat kasar kepadanya. Pada orang yang lemah, hendaknya kita memakai kekuatan kita untuk melindungi mereka dan tidak berbuat sesuatu yang menakutkan. Dan yang terpenting yang harus kita perbuat ialah: berbuat (kayika) berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang benar dan ketiga hal tersebut "Trikaya Parisudha". Hendaknya bersikap kstria dan berterus terang, hormat, teliti, jujur, rajin, sederhana dalam makan dan minum, dan mereka yang melakukan ini akan menjadi orang yang baik.
Tata Susila Hindu Dharma (milik Bimas Hindu & Budha Dapg)

POKOK POKOK KEIMANAN AGAMA HINDU
Pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sradha, yaitu percaya adanya Tuhan (Hyang Widhi), percaya adanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/ Samsara) dan percaya adanya Moksa.
A. Percaya Adanya Tuhan ( Brahman/ Hyang Widhi) Tuhan Yang Maha Esa,
Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun Ia hanya satu, Tunggal adanya.
“Ekam eva adwityam Brahma”
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
“Eko Narayanad na dityo ‘sti kascit”
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya
“Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini
B. Percaya Adanya Atman.
Atman adalah percikan kecil dari Paramatman (Hyang Widhi/ Brahman). Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan adalah laksana kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang mengemudikan dan kereta adalah badan. Demikian Atman itu menghidupi sarwa prani (makhluk) di alam semesta ini “Angusthamatrah Purusa ntaratman Sada Jananam hrdaya samnivish thah Hrada mnisi manasbhiklrto Yaetad, viduramrtaste bhavanti. Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.

C. Percaya adanya Hukum Karma Phala
Di dalam Weda disebutkan “Karma phala ngaran ika palaning gawe hala ayu” artinya karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma. Karma phala dapat digolongkan menjadi tiga macam sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu :
  1. Sancita Karma Phala : hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.
  2. Prarabda Karma Phala: hasil perbuatan kita pada kehidupan saat ini tanpa ada sisanya lagi.
  3. Kriyamana Karma Phala: hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
D. Percaya adanya Punarbhawa/ Reinkarnasi/ Samsara
Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian diikuti oleh kelahiran”.
Sribhagavan uvacha :
bahuni me vyatitani
janmani tava cha ‘rjuna
tani aham veda sarvani
na tvam vettha paramtapa.
Sri bhagawan (Tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak, Parantapa.
E. Percaya Adanya Moksa
Sebagaimana tujuan agama Hindu yang tersurat di dalam Weda, yakni “Moksartham jagadhitaya ca iti dharma”, maka moksa merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa adalah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman dari pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadarn dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda. Diambil dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu.

  MACAM DOA TERJEMAHANNYA
1 DOA BARU BANGUN PAGI :
OM JAGRASCA PRABHATA KALASCA YA NAMAH SWAHA
OH HYANG WIDHI, HAMBA MEMUJA MU, BAHWA HAMBA TELAH BANGUN PAGI DALAM KEADAAN SELAMAT  
2 DOA MANDI :
 a. CUCI MUKA :
OM CAM CAMANI YA NAMAH SWAHA OM WAKTRA PARISUDAHA YA NAMAH SWAHA
YA TUHAN, HAMBA MEMUJAMU, SEMOGA MUKA HAMBA MENJADI BERSIH
 b. MENGGOSOK GIGI :
OM RAHPHAT ASTRAYA NAMAH OM SRI DEWI BHATRIMSA YOGINI NAMAH
YA TUHAN, SUJUD HAMBA KEPADA DEWI SRI, BHATARI YOGINI, SEMOGA BERSIHLAH GIGI HAMBA 
c.   BERKUMUR :
OM ANG WAKTRA PARISUDHAMAM SWAHA
YA TUHAN, SEMOGA BERSIHLAH MULUT HAMBA
 d.  MEMBERSIHKAN KAKI :
OM AM KHAM KHASOLKHAYA ISWARAYA NAMAH SWAHA
YA TUHAN, SEMOGA BERSIHLAH KAKI HAMBA
 e.   MANDI :
OM GANGGA AMRTA SARIRA SUDHAMAM SWAHA OM SARIRA PARISUDHAMAM SWAHA
YA TUHAN, ENGKAU ADALAH SUMBER KEHIDUPAN ABADI NAN SUCI, SEMOGA BADAN HAMBA MENJADI BERSIH DAN SUCI
3 DOA PADA WAKTU MENGENAKAN PAKAIAN :
OM TAM MAHADEWAYA NAMAH SWAHA, OM BHUSANAM SARIRABHYO PARISUDHAMAM SWAHA
TUHAN DALAM PERWUJUDANMU SEBAGAI TAT PURUSHA, DEWA YANG MAHA AGUNG, HAMBA SUJUD KEPADAMU DALAM MENGGUNAKAN PAKAIAN INI. SEMOGA PAKAIAN HAMBA MENJADI BERSIH DAN SUCI

4 DOA DIWAKTU MAKAN :
 a. MENGHADAPI MAKANAN :
OM ANG KANG KASOLKAYA ICA NA YA NAMAH SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA BHUTA PRADHANA PURUSA SANG YOGA YA NAMAH
OH HYANG WIDHI YANG BERGELAR ICANA (BERGERAK CEPAT) PARA DEWA BHUTAN, DAN UNSUR PRADHANA PURUSA, PARA YOGI, SEMOGA SENANG BERKUMPUL MENIKMATI MAKANAN INI
 b.  YADNYA SESA :
OM SARWA BHUTA SUKKA PRETEBHYAH SWAHA
OH HYANG WIDHI, SEMOGA PARA BHUTA SENANG MENIKMATI MAKANAN INI DAN SESUDAHNYA SUPAYA PERGI, TIDAK MENGGANGGU
 c.   MULAI MAKAN :
OM ANUGRAHA AMRTADI SANJIWANI YA NAMAH SWAHA
OH HYANG WIDHI, SEMOGA MAKANAN INI MENJADI AMERTA YANG MENGHIDUPKAN HAMBA \
 d.  SESUDAH MAKAN :
OM DIR GHAYUR ASTU, AWIGHNAM ASTU, çUBHAM ASTU, OM SRIYAM BHAWANTU, SUKKAM BHAWANTU, PURNAM BHAWANTU, KSAMASAMPURNA YA NAMAH SWAHA OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM
OH HYANG WIDHI, SEMOGA HAMBA PANJANG UMUR, TIADA HALANGAN, SELALU BAHAGIA, TENTRAM, SENANG DAN SEMUA MENJADI SEMPURNA OH HYANG WIDHI, SEMOGA DAMAI, DAMAI, DAMAI, SELALU
5 DOA MEMULAI PEKERJAAN :
OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHAM OM SIDHIRASTU TAD ASTU SWAHA
YA TUHAN, SEMOGA ATAS BERKENANMU, TIADA SUATU HALANGAN BAGI HAMBA MEMULAI PEKERJAAN INI DAN SEMOGA BERHASIL BAIK  
6 DOA SELESAI BEKERJA / BERSYUKUR :
OM DEWA SUKSMA PARAMA ACINTYA YA NAMAH SWAHA, SARWA KARYA PRASIDHANTAM OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM
YA TUHAN, DALAM WUJUD PARAMA ACINTYA YANG MAHA GAIB DAN MAHA KARYA, HANYA ATAS ANUGRAHMULAH MAKA PEKERJAAN INI BERHASIL DENGAN BAIK
SEMOGA DAMAI, DAMAI DI HATI, DAMAI DI DUNIA, DAMAI SELAMANYA
7 DOA MOHON BIMBINGAN :
OM ASATO MA SADYAMAYA TAMASO MA JYOTIR GAMAYA MRTYOR MA AMRTAM GAMAYA OM AGNE BRAHMA GRBHNISWA DHARUNAMA SYANTA RIKSAM DRDVAMHA BRAHMAWANITWA KSATRAWANI SAJATA WAHYU DADHAMI BHRATRWYASYA WADHYAYA
TUHAN YANG MAHA SUCI BIMBINGLAH HAMBA DARI YANG TIDAK BENAR MENUJU YANG BENAR. BIMBINGLAH HAMBA DARI KEGELAPAN MENUJU CAHAYA PENGETAHUAN YANG TERANG. LEPASKANLAH HAMBA DARI KEMATIAN MENUJU KEHIDUPAN YANG ABADI. TUHAN YANG MAHA SUCI. TERIMALAH PUJIAN YANG HAMBA PERSEMBAHKAN MELALUI WEDA MANTRA DAN KEMBANGKANLAH PENGETAHUAN ROHANI HAMBA AGAR HAMBA DAPAT MENGHANCURKAN MUSUH YANG ADA PADA HAMBA (NAFSU). HAMBA MENYADARI BAHWA ENGKAULAH YANG BERADA DALAM SETIAP INSANI (JIWATMAN), MENOLONG ORANG TERPELAJAR, PEMIMPIN NEGARA DAN PARA PEJABAT. HAMBA MENUJU ENGKAU SEMOGA MELIMPAHKAN ANUGERAH KEKUATAN KEPADA HAMBA
8 DOA MOHON INSPIRASI :
OM PRANO DEWI SARASWATI WAJEBHIR WAJINIWATI DHINAM AWINYAWANTU
YA TUHAN DALAM MANIFESTASI DEWI SARASWATI, HYANG MAHA AGUNG DAN MAHA KUASA, SEMOGA ENGKAU MEMANCARKAN KEKUATAN ROHANI, KECERDASAN PIKIRAN, DAN LINDUNGILAH HAMBA SELAMA-LAMANYA  
9 DOA MOHON KECERDASAN :
OM PAWAKANAH SARASWATI WAJEBHIR WAJINIWATI YAJNAM WASTU DHIYAWASUH
YA TUHAN, SEBAGAI MANIFESTASI DEWI SARASWATI, YANG MAHA SUCI, ANUGERAHILAH HAMBA KECERDASAN DAN TERIMALAH PERSEMBAHAN HAMBA INI  
10 a. DOA WAKTU MULAI MEMBACA KITAB AGAMA (VEDA) :
OM NARAYANA, OM SARASWATI JAYA
OH HYANG WIDHI, NARAYANA OH HYANG WIDHI (SARASWATI) SEMOGA HAMBA MENANG (BERHASIL) JAYA  
 b.   DOA MULAI BELAJAR :
OM PURWE JATO BRAHMANO BRAHMACARI DHARMAM WASANAS TAPASODATISTAT TASMAJJATAM BRAHMANAM BRAHMA IYESTHAM DEWASCA SARWE AMRTTNA SAKAMA
YA TUHAN, MURIDMU HADIR DIHADAPANMU, OH BRAHMAN YANG BERSELIMUTKAN KESAKTIAN DAN BERDIRI SEBAGAI PERTAMA, TUHAN, ANUGRAHKANLAH PENGETAHUAN DAN PIKIRAN YANG TERANG. BRAHMAN YANG AGUNG, SETIAP MAHKLUK HANYA DAPAT BERSINAR BERKAT CAHAYAMU YANG SENANTIASA MEMANCAR  
11 DOA MENGHENINGKAN CIPTA :
OM MATA BHUMIH PUTRO AHAM PRTHIVYAH
YA TUHAN, SEMOGA KAMI MENCINTAI TANAH AIR INI SEBAGAI IBU DAN HAMBA ADALAH PUTRA-PUTRANYA YANG SIAP SEDIA MEMBELA SEPERTI PARA PAHLAWAN KAMI  
12 DOA MEMOTONG HEWAN :
OM PASU PASAYA WIMAHE SIRASCADAYA DHIMAHI TANO JIWAH PRACODAYAT
SEMOGA ATAS BERKENAN DAN BERKAHMU PARA PEMOTONG HEWAN DALAM UPACARA KURBAN SUCI INI BESERTA ORANG-ORANG YANG TELAH BERDANA PUNIA UNTUK YADNYA INI MEMPEROLEH KESEJAHTERAAN DAN KEBAHAGIAAN. TUHAN HAMBA MEMOTONG HEWAN INI SEMOGA ROHNYA MENJADI SUCI
13 DOA MENGUNJUNGI ORANG SAKIT :
OM SARWA WIGHNA SARWA KLESA SARWA LARA ROGA WINASAYA NAMAH
YA TUHAN SEMOGA SEGALA HALANGAN, SEGALA PENYAKIT, SEGALA PENDERITAAN DAN GANGGUAN ilang

DOA PENGASTAWA :
 MACAM DOA TERJEMAHANNYA
1 ASANA (SIKAP SEMPURNA) :
OM PRASADA STHITI ÇARIRA ÇIWA SUCI NIRMALA YA NAMAH SWAHA
OH HYANG WIDHI DALAM WUJUD SIWA, SUCI TAK TERNODA, HORMAT HAMBA TELAH DUDUK DENGAN TENANG
2 PRANAYAMA (MENGATUR NAFAS) :
 a. PURAKA (TARIK NAFAS) :
OM ANG NAMAH
OH HYANG WIDHI DALAM AKSARA ANG PENCIPTA, HAMBA HORMAT
 b. KUMBAKA (TAHAN NAFAS) :
OM UNG NAFAS
OH HYANG WIDHI DALAM AKSARA UNG PEMELIHARA, HAMBA HORMAT
 c. RECAKA (KELUARKAN NAFAS) :
OM MANG NAMAH
 OH HYANG WIDHI DALAM AKSARA MANG PELEBUR, HAMBA HORMAT
3 PENYUCIAN TANGAN :
 a. TANGAN KANAN :
OM KARA SUDHAMAM SVAHA (OH HYANG WIDHI SEMOGA HAMBA BERSIH)
 b. TANGAN KIRI :
OM KARA ATI SUDHAMAM SVAHA (OH HYANG WIDHI SEMOGA HAMBA MENJADI SANGAT BERSIH)
4 PUJA UNTUK DUPA :
OM ANG DUPA DIPASTRA YA NAMAH (OH HYANG WIDHI, HAMBA PERSEMBAHKAN DUPA INI)
5 MENYUCIKAN KEMBANG :
OM PUSPA DANTA YA NAMAH  (OH HYANG WIDHI, SEMOGA PUSPA INI MENJADI SUCI PUTIH BAGAIKAN GIGI)
6 DOA MEMASANG BIJA :
 a. BIJA UNTUK DIDAHI :
OM ÇRIYAM BHAWANTU (OH HYANG WIDHI SEMOGA KEBAHAGIAAN MELIPUTI HAMBA)
 b. BIJA DI BAWAH TENGGOROKAN :
OM SUKHAM BHAWANTU (OH HYANG WIDHI, SEMOGA KESENANGAN SELALU HAMBA PEROLEH)
 c. BIJA UNTUK DI TELAN :
OM PURNAM BHAWANTU,OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SWAHA
(OH HYANG WIDHI SEMOGA KESEMPURNAAN MELIPUTI HAMBA, OH HYANG WIDHI SEMOGA SEMUANYA MENJADI BERTAMBAH SEMPURNA0
7 PUJA DI PADMASANA :
OM ANANTASANA PADMASANA YA NAMAH

OH HYANG WIDHI YANG BERSINGGASANA DI PADMASANA / LAMBANG TERATAI SUCI / YANG TIADA TERBATAS, HAMBA MEMUJAMU
8 PUJA DI PEMERAJAN / RONG TIGA :
OM BRAHMA WISNU IÇWARA DEWAM, JIWATMANAM TRILOKANAM, SARWA JAGAT PRATISTANAM, SUDDHA KLESA WINASANAM, OM GURU PADUKA DIPATA YA NAMAH
YA TUHAN, BERGELAR BRAHMA, WISNU, ISWARA YANG BERKENAN TURUN MENJIWAI ISI TRILOKA, SEMOGA SELURUH JAGAT TERSUCIKAN, BERSIH SERTA SEGALA NODA TERHAPUSKAN OLEHMU. YA TUHAN SELAKU BAPAK ALAM, HAMBA MEMUJAMU
9 PUJA DI ULUN SUWI / BEDUGUL / PENGULUN CARIK :
OM ÇRI DANA DEWIKA BAWYAM, SARWA RUPA WATI TASYA, SARWAJNAKA MITIDATYAM, ÇRI ÇRI DEWI NAMASTUTE, OM ÇRI DEWI DIPATA YA NAMAH
YA TUHAN SAKTIMU SELAKU DEWI SRI YANG MAHA DERMAWAN DAN MULIA YANG MENGANUGERAHI SEMUA MAHKLUK DAN SELALU MENYUCIKAN HATI MAHKLUK. YA DEWI SRI KAMI MEMUJAMU
10 UNTUK HARI RAYA SARASWATI :
OM BRAHMA PUTRI MAHA DEWI BRAHMANYA BRAHMA WANDHINI SARASWATI SAYAJANAM, PRAJA NAYA SARASWATI, OM SARASWATI DIPATA YA NAMAH
YA TUHAN, SAKTIMU SELAKU MAHA DEWI DARI BRAHMA, PANCARAN PRADANA DARI BRAHMA, SARASWATI, DEWI BERKEMAMPUAN BERPIKIR, SARASWATI YANG TAK ADA TARA KEBIJAKSANAANNYA. YA DEWI SARASWATI HAMBA MENYEMBAH PADAMU


DOA MENGHATURKAN SESAJEN :
  MACAM DOA TERJEMAHANNYA
1 PEMERCIKAN AIR SUCI / TIRTA
OM MANG PARAMA ÇIWA AMERTA YA NAHAM SWAHA
OH HYANG WIDHI PARAMA SIWA DALAM MANG PELEBUR MALA, MENGANUGERAHKAN AMERTA
2 PUJA DEWA PRASTITA :
OM ANG DEWA PRATISTHA YA NAMAH
OH HYANG WIDHI SEMOGA HYANG WIDHI BERSTANA DALAM KESUCIAN BHAKTI HAMBA, DALAM UCAPAN ANG PENCIPTA ALAM
3 MENGHATURKAN DUPA :
OM AGNIR-AGNIR JYOTIR-JYOTIR DUPAM SAMAR PAYAMI
-
4 MENGHATURKAN BUNGA MENURUT WARNA :
MISALNYA DENGAN BUNGA 5 WARNA :
OM PUSPA PANCA WARNA YA NAMAH SWAHA
-
5 PENYUCIAN SESAJEN :
OM KARA MURCYATE, PRAS PRAS PRANAMYA YA NAMAH SWAHA
OH HYANG WIDHI, ENGKAU ADALAH OMKARA BENTUK AKSARA SUCI, SEMOGA UPACARA HAMBA MENJADI SEMPURNA, SEMPURNA, SEMPURNA UNTUK BHAKTI HAMBA KEPADAMU  
6 NGAYABAN SESAJEN UNTUK PARA DEWA / TUHAN YANG MAHA ESA :
OM DEWA AMUKTI, SUKHAM BHAWANTU, PURNAM BHAWANTU, SRIYAM BHAWANTU NAMO NAMAH SWAHA
-
7 MENGHATURKAN SESAJEN UNTUK LELUHUR :
OM BUKTIANTU PITARA DEWAM, BUKTI MUKTI WARA SWADAH, ANG AH
-
8 MENGHATURKAN SEGEHAN :
OM BUKTIANTU DURGA KATARA, BUKTIANTU KALAMEWACA, BUKTI ANTU BHUTA BUTANGAH
OH HYANG WIDHI, HAMBA MENYUGUHKAN SESAJEN KEPADA DURGA KATARA, KEPADA KALAMAWACA DAN KEPADA BHUTA BHUTANGAH 9 YADNYA SESA :
a. UNTUK PARA BHUTA  SAMA SEPERTI YADNYA SESA WAKTU MAKAN :
OM SARWA BHUTA PRETEBYAH SWAHA
b. UNTUK LELUHUR :
OM BUKTIANTU PITARA DEWAM, BUKTI MUKTI WARA SWADAH, ANG AH
c. UNTUK PARA DEWATA :
OM DEWA AMUKTI SUKHAM BHAWANTU, PURNAM BHAWANTU, SRIYAM BHAWANTU, NAMA NAMAH SWAHA


PUJA TRI SANDHYA / GAYATRI MANTRAM :
OM BHŪR BVAH SVAH
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO DEVASYA DHÏMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYÃT
OM adalah bhur bwah swah, kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemulian Sang Hyang Widhi semoga Ia berikan semangat pikiran kita
OM NÃRÃYANA EVEDAM SARVAM
YAD BHŪTAM YACCA BHAVYAM
NISKALAŃKO NIRAŇJANO
NIRVIKALPO NIRÃKHYÃTAH
ŚUDDO DEVA EKO
NARAYANO NA DVIT’YO ASTI KAŚCIT
OM narayana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa narayana, Ia hanya satu tidak ada kedua
OM TVAM SIVAH TVAM MAHĀDEVAH
ĪSVARAH PARAMEŚVARAH
BRAHMĀ VISNUSCA RUDRAŚCA
PURUSAH PARIKĪRTITAH
OM engkau dipanggil siwa, mahadewa, iswara, parameswara, brahma, wisnu, rudra dan purusa
OM PĀPO HAM PĀPAKARMĀHAM
PĀPĀTMĀ PĀPASAMBHAVAH
TRĀHI MĀM PUNDARĪKĀKSA
SABĀHYĀBHYĀNTARAH ŚUCIH
Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba, Sang Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba
OM KSAMASVA MĀM MAHĀDEVA
SARVAPRĀNI HITAŇKARA
MĀM MOCA SARVA PĀPEBYAH
PĀLAYASVA SADĀ SIVA
OM, ampunilah hamba Sang Hyang Widhi, yang memberikan keselamatan mahkluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah, OH Sang Hyang Widhi
OM KSĀNTAVYAH KĀYIKODOSAH
KSĀNTAVYO WACIKA MAMA
KSĀNTAVYO MĀNASO DOSAH
TAT PRAMĀDĀT KSAMASVA MĀM
OM ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelahiran hamba
 OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM
OM damai, damai,damai,,OM