"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/29/2011

AGAMA HINDU BESERTA SEJARAHNYA

Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi" [1]), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.[4]
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). [5] Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda

Keyakinan Agama Hindu


Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
  1. Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
  2. Atma Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
  3. Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
  4. Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Moksa Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia

Widhi Tattwa

Omkara. Aksara suci bagi umat Hindu yang melambangkan "Brahman" atau "Tuhan Sang Pencipta".
Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan dalam kitab Weda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut tidak mengakui bahwa dewa-dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan[6].

Atma Tattwa

Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut Atman. Jivatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat maya, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut Awidya. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jivatma mencapai moksa[7].

Karmaphala

Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi)[8].

Punarbhawa

Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksa).

Moksa

Varanasi di Sungai Gangga, sungai suci Hindu. Varanasi menarik ribuan umat Hindu setiap tahun.
Dalam keyakinan umat Hindu, Moksa merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksa, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia. Oleh karena itu, Moksa menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu.


Konsep ketuhanan
Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana, sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa".
Seorang perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesaji di tempat suci keluarganya.
Kuil Hindu di caldeira Bromo, pegunungan Tengger, Jawa Timur
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia.[9] Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.

Monoteisme

Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.

Panteisme

Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun[10], ibarat garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.

Ateisme

Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga menngandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan, melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab[11]. Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia.

Pustaka Suci
Kuil Akshardham di New Delhi, India adalah terbesar di dunia candi Hindu
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
  • Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
  • Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
Krishna Dwaipayana Wyasa, seorang Maharesi yang mengklasifikasi kitab Weda.

Weda

Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para Maha Rsi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi. Ketujuh Maha Rsi tersebut yakni:
  1. Resi Gritsamada
  2. Resi Wasista
  3. Resi Atri
  4. Resi Wiswamitra
  5. Resi Wamadewa
  6. Resi Bharadwaja
  7. Resi Kanwa
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada para Maha Rsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu:
  1. Regweda Samhita
  2. Ayurweda Samhita
  3. Samaweda Samhita
  4. Atharwaweda Samhita
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai "Weda yang kelima".

Bhagawadgita

Bhagawadgita merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri Astadasaparwa kitab Mahabharata, yang berisi percakapan antara Sri Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.
Kresna yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita.
Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.
Salah satu ilustrasi dalam kitab Warahapurana.
Sebuah ilustrasi dalam kitab Mahabharata, salah satu Itihasa (wiracarita Hindu).

Purana

Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:
  1. Matsyapurana
  2. Wisnupurana
  3. Bhagawatapurana
  4. Warahapurana
  5. Wamanapurana
  6. Markandeyapurana
  7. Bayupurana
  8. Agnipurana
  9. Naradapurana
  1. Garudapurana
  2. Linggapurana
  3. Padmapurana
  4. Skandapurana
  5. Bhawisyapurana
  6. Brahmapurana
  7. Brahmandapurana
  8. Brahmawaiwartapurana
  9. Kurmapurana

Itihasa 

Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu di masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat agama, mitologi, dan cerita tentang makhluk supranatural, yang merupakan manifestasi kekuatan Brahman. Kitab Itihasa disusun oleh para Resi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Resi Walmiki dan Resi Byasa. Itihasa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahabrata.

Kitab lainnya

Selain kitab Weda, Bhagawadgita, Upanishad, Purana dan Itihasa, agama Hindu mengenal berbagai kitab lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwasutra, Nitisastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astronomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.
Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

Karakteristik
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha).
Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma (Ahimsa) yang kekal abadi.
Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu[14]. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia.

Enam Filsafat Hindu

Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu. Kelompok Nastika umumnya kelompok yang lahir ketika Hindu masih berbentuk ajaran Weda dan kitab Weda belum tergenapi. Hindu baru muncul selah adanya kelompok Astika. Kedua kelompok tersebut antara Astika dan Nastika merupakan kelompok yang sangat berbeda (Nastika bukanlah Hindu).

 
 
 
 
 
 
 
 
Filsafat India
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Nastika
 
 
 
 
 
Astika
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Buddha
 
Jaina
 
Carwaka
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kelompok Astika yang ajarannya bersumber langsung kepada Weda
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kelompok Astika yang ajarannya tidak bersumber langsung kepada Weda
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Wedanta
 
Mimamsa
 
Yoga
 
Samkhya
 
Waisiseka
 
Nyaya
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Adwaita
 
Dwaita
 
Wisistadwaita
 
 

 

Dewa-Dewi Hindu

Pelaksanaan Ngaben di Ubud, Bali
Artikel utama: Dewa dalam konsep Hinduisme
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata “dewa” berasal dari kata “div” yang berarti “beResinar”. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Çiwa. Mereka disebut Trimurti.
Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.

Sistem Catur Warna (Golongan Masyarakat)

Artikel utama: Sistem Golongan Masyarakat dalam Hinduisme
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
  • Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
  • Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
  • Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
  • Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.


Sejarah Agama Hindu
PENGANTAR
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.
Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.
AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
 

11/28/2011

BIMBINGAN BERKARYA - MENULIS SKRIP DRAMA



PENGENALAN
Sebelum anda menulis sebuah skrip drama, anda tentulah terlebih dahulu perlu mengetahui apakah  itu drama. Anda tentu  pernah menonton drama pentas atau lebih dikenali sebagai teater. Apakah yang dimaksudkan dengan  drama dan apakah yang membezakannya daripada teater. Apakah menulis skrip drama itu berbeza daripada menulis novel dan apakah yang membezakan skrip drama pentas daripada drama televisyen?
APAKAH YANG DIMAKSUDKAN DENGAN DRAMA?
Drama berasal daripada  perkataan “dran” (Greek) yang bermaksud melakukan atau melakonkan. Drama ialah aksi mimetic (peniruan), iaitu  aksi yang meniru  atau mewakilkan perlakuan manusia. Menurut Aristotle, drama ialah peniruan kehidupan, sebuah cermin budaya dan suatu bayangan kebenaran. Dalam buku The American College Dictionary, drama didefinisikan sebagai karangan prosa dan puisi yang menyajikan dialog, pantomin atau cereka yang mengandungi konflik untuk dipentaskan. Mengikut Oxford Dictionary, drama sebagai komposisi prosa boleh disesuaikan untuk diaksikan di atas pentas yang ceritanya disampaikan melalui dialog dan aksi, dan dipersembahkan dengan bantuan gerak, kostum dan latar hiasan seperti  kehidupan yang sebenar. Bagi Aristotle, plot merupakan penggerak utama sesebuah drama dan drama harus dibina daripada tiga kesatuan, iaitu aksi, tempat dan masa. Elemen-elemen inilah yang menyebabkan drama ialah  sebahagian daripada cabang sastera. Selain  elemen sastera, drama juga merangkumi elemen-elemen seni yang lain seperti lakon, seni muzik, seni bina, seni busana dan seni tari.
Drama bukan hanya untuk dibaca , tetapi untuk dilakonkan di atas pentas, dengan penghayatannya berbeza antara dibaca dengan  pementasannya. Di sinilah letaknya perbezaan maksud antara drama dengan teater. Sebuah drama ialah naskhah skrip yang boleh dibaca secara individu tanpa memerlukan ruang, pelakon atau bantuan seni yang lain. Apabila skrip drama itu dilakonkan di atas ruang pentas dengan gabungan pelbagai seni yang lain dan ditonton pula oleh khalayak secara kolektif, maka ia dinamakan teater.
SKRIP DRAMA
Sebuah skrip drama berbeza daripada novel dan cerpen atau puisi. Bagi novel dan cerpen, pembaca akan dijelaskan secara terperinci tentang sesuatu situasi dan latar bagi sesuatu peristiwa yang berlaku melalui penerangan pengarang, manakala  dalam sesebuah naskhah drama, seseorang pembaca hanya akan diberikan gambaran umum (deskripsi) tentang sesuatu situasi, latar atau tempat, dan dialoglah yang akan menyampaikan mesej dan pemikiran pengarang. Hal inilah yang membezakan drama daripada karya sastera yang lain. Sememangnya sifat sesebuah naskhah drama digerakkan oleh dialog. Pemikiran atau gagasan pengarang disampaikan melalui dialog pelakon (watak-watak) yang berinteraksi dalam sesebuah drama. Sebuah naskhah drama yang baik akan dapat memberikan gambaran jelas tentang pemikiran pengarang melalui unsur-unsur dramatik dalam dialog yang dihasilkan. Unsur dramatik bermaksud diksi atau ungkapan yang boleh membangunkan konflik dalam drama seperti dialog yang menimbulkan perasaan marah, gembira, lucu,  dan seumpamanya. Sebuah drama yang baik juga harus mempunyai unsur suspens, ketegangan dan seharusnya mampu membina rasa ingin tahu pembaca atau penonton.
STAIL DAN PERWATAKAN
Drama merupakan karya seni yang mempunyai sifat sosial yang paling luas. Drama bersifat kerja berkumpulan kerana gabungan pekerja seni yang lain dan juga kerana reaksi penonton yang bersifat langsung (hal ini tentu berbeza daripada reaksi penonton yang menonton filem atau televisyen). Skrip drama yang menjadi sebahagian daripada cabang sastera bersifat “tetap” dan kekal secara keseluruhan, tetapi setiap kali naskhah drama itu dipersembahkan (dilakonkan) di atas pentas, produksi teks (skrip) akan berlaku perbezaan. Hal ini demikian kerana pelakon akan memberikan reaksi yang berbeza kepada penonton yang berbeza dan juga kesan daripada mood pelakon yang berbeza dalam setiap persembahan. Gabungan antara nilai yang tetap dan berubah inilah menjadi kelebihan sesebuah teater yang membezakannya daripada  drama yang dirakamkan secara mekanikal, iaitu filem, drama radio dan drama televisyen.
CIRI-CIRI DRAMA
Pada umumnya, drama mempunyai ciri-ciri yang berikut:
  • Drama merupakan prosa moden yang dihasilkan sebagai naskhah untuk dibaca dan dipentaskan.
  • Naskhah drama boleh berbentuk prosa atau puisi.
  • Drama terdiri daripada dialog yang disusun oleh pengarang dengan watak yang diwujudkan. 
  • Pemikiran dan gagasan pengarang disampaikan melalui dialog watak-wataknya.
  • Konflik ialah unsur penting dalam drama. Konflik digerakkan oleh watak-watak dalam plot, elemen penting dalam sesebuah skrip.
  • Konflik ialah unsur penting dalam drama. Konflik digerakkan oleh  watak-watak dalam plot, elemen penting dalam sesebuah skrip drama.
  • Sebuah skrip yang tidak didasari oleh konflik tidak dianggap sebuah drama yang baik.
  • Gaya bahasa dalam sesebuah drama juga penting kerana ia menunjukkan latar masa dan masyarakat yang diwakilinya, sekali gus drama ini mencerminkan sosiobudaya masyarakat yang digambarkan oleh pengarang.
STRUKTUR DRAMA
Pada dasarnya sesebuah drama mempunyai struktur tiga bahagian babakan (three act structure). Sejak drama tragedi Greek, drama Elizabeth (Inggeris) hingga  drama moden dan lakon layar filem, kesemua struktur skripnya dipecahkan kepada tiga bahagian. Perbandingannya adalah seperti kehidupan manusia yang terbahagi semasa dilahirkan, dewasa dan akhir hayatnya.
Sebelum memulakan sebarang bentuk tulisan, kita perlu mempunyai asas yang kukuh. Hal ini  demikian  kerana asas yang teguh akan mendukung struktur, konsep dan visi sesebuah drama. Ia akan menghasilkan satu rangka kerja atau karya yang kukuh yang tidak mudah pecah. Tanpa asas yang kukuh akan hanya menghasilkan kekecewaan, kebuntuan atau yang sering dikatakan sebagai “writers block”.
Kebuntuan lahir disebabkan tidak adanya perancangan. Tanpa perancangan, ia menyukarkan penulis mencari arah atau jalan yang betul dalam menghasilkan cerita.
Tiga elemen yang cukup penting yang perlu diberikan tumpuan oleh penulis sebelum memulakan penulisan skripnya ialah:
·  Fokus
·  Logik
·  Perwatakan.
Fokus
Untuk sebuah cerita sentiasa dalam kesatuan, watak-watak dan cara  mereka berfungsi memerlukan fokus atau tumpuan. Ia tidak ada bezanya sama ada jalan cerita kita berbentuk linear, non-linear (spiral) atau selari. Sentiasa memberikan tumpuan yang kukuh akan menjadikan proses penulisan kita mudah dan lancar. Fokus memerlukan beberapa pertimbangan. Yang utama adalah dengan  mengetahui watak-watak (siapa mereka?), latar, sifat dan perkembangan mereka. Fokus juga memerlukan perwatakan dan cerita secara keseluruhan mempunyai matlamat yang jelas pada akhirnya.
Logik
Apabila kita menghasilkan cerita dengan segala perwatakannya, tema dan ruang tempat, kita sebenarnya terlibat dengan penciptaan. Segala perwatakan, tema dan ruang masa serta tempat mempunyai peraturannya sendiri sebagaimana sebuah dunia dicipta. Sebab itu penulis drama sering dikatakan mencipta sebuah dunia. Akan tetapi dunia bagaimanakah yang dicipta itu? Bagaimanakah kehidupannya? Drama mengangkat atau meniru realiti (kehidupan), tetapi realiti yang bagaimana? Oleh itu realiti sesebuah drama perlu dilihat dalam konteks ceritanya, perwatakan dan temanya. Di sinilah logik drama tersebut diukur.
Watak dan Perwatakan
Sebuah skrip drama yang baik mesti mempunyai watak-watak yang mampu membawa cerita untuk terus berkembang. Watak-watak inilah yang menjadi cerita, dan kuasa merekalah yang menghidupkan cerita. Oleh itu watak ialah  elemen terpenting dalam drama. Wataklah yang menggerakkan plot cerita.  Dalam sesebuah drama terdapat watak utama dan watak sampingan. Selalunya dalam sesebuah drama terdapat satu watak utama, tetapi pada saya sesebuah drama mempunyai dua watak utama,  iaitu watak protagonis (watak yang menyokong idea penulis) dan watak antogonis (watak yang menentang idea penulis). Pertentangan idea ini akan menimbulkan konflik dan pertentangan konflik inilah yang membentuk struktur konflik dramatik yang menarik. Watak sampingan ialah watak-watak yang lain yang menyokong protagonis ataupun antogonis atau watak-watak yang melengkapkan cerita.
ELEMEN DRAMA
Elemen drama yang perlu diketahui oleh bakal penulis skrip ialah:
Tema/Pemikiran
Tema ialah idea atau persoalan pokok yang dapat dirumuskan daripada keseluruhan inti pati cerita. Persoalan pokok ini merupakan gagasan yang ingin disampaikan oleh  penulis dalam skripnya. Pemikiran ini disampaikan melalui dialog dan aksi watak-wataknya. Pembaca naskhah atau penonton drama yang sensitif akan dapat menangkap idea atau persoalan pokok ini selepas selesai membaca skrip atau menonton teater. Malah,  selalunya mereka bukan sahaja dapat menangkap idea atau tema drama tersebut, tetapi juga mereka akan dapat menjaring maksud lain atau lapisan maksud yang lain yang terkandung dalam drama tersebut. Pemikiran yang tersembunyi yang hanya dapat ditafsir oleh pembaca atau penonton yang mahu berfikir atau memahami perlambangan yang digunakan atau unsur cerita yang disampaikan oleh penulis dinamakan sebagai sub-teks.
Plot
Plot sangat penting dalam pembinaan struktur drama. Plot adalah struktur drama yang dibina melalui dialog dan aksi setiap watak. Dialog terbina melalui kata-kata atau bahasa. Melalui dialog inilah konflik dan perkembangan cerita berlaku. Seperti yang dijelaskan sebelum ini, konflik memainkan peranan yang cukup penting dalam membangunkan struktur sebuah drama. Bertolak daripada konflik dan ketegangan inilah sesuatu peristiwa digerakkan dan dilanjutkan perkembangannya hingga kepada peleraiannya atau kesimpulan cerita. Plot bukan cerita atau naratif. Mengikut E.M. Forster cerita ialah huraian tentang peristiwa yang disusun mengikut urutan waktu. Plot ialah jalan cerita yang memberikan maklumat cerita. Ia dibina oleh watak dan apa yang berlaku melalui kesan sebab dan akibat dalam ruang dan waktu.
Penulis perlu memahami bahawa dalam sesebuah persembahan teater, usaha menarik perhatian penonton dan menahan perhatian mereka selama mungkin ialah  tugas yang cukup penting. Sebuah plot mesti berupaya menarik perhatian dan mencipta suspens  dan di sinilah kesemua binaan dramatik memberi tumpuan. Harapan atau jangkaan penonton atau pembaca mesti dibina (tetapi hanya diselesaikan pada babak adegan terakhir), aksi (adegan) mesti kelihatan hampir mencapai objektifnya tetapi ia perlu tidak tercapai sehinggalah di akhir adegan, dan yang paling penting sebuah plot mesti mempunyai kepelbagaian (variasi) rentak dan tempo. Sebuah plot yang monotonos akan hanya menghilangkan minat penonton dan akhirnya kelihatan hambar dan mendatar.
Terdapat beberapa bentuk suspens atau ketegangan yang boleh dicipta dalam sesebuah skrip. Soalan-soalan asas ini boleh menjadi contoh ketika hendak memulakan tulisan skrip anda, “Apa yang akan berlaku selepas ini?”, atau yang sama maksudnya, “Saya tahu apa yang akan berlaku, tetapi bagaimana ia akan berlaku?” Atau, “Saya tahu apa yang akan berlaku dan saya tahu bagaimana ia akan berlaku, tetapi bagaimanakah watak X memberi reaksi atau bertindak balas kepadanya?”
Soalan-soalan asas ini wajar berlaku di awal bahagian skruktur dramatik skrip anda supaya pembaca atau penonton anda dapat terus bersedia kepada elemen utama suspens dalam drama anda. Seseorang mungkin mengatakan tema utama sesuatu drama itu mesti jelas. Bagaimanapun dalam sebuah skruktur skrip drama yang baik, ia terletak pada persoalan. Contohnya, siapakah yang melakukan pembunuhan itu, lelaki manakah yang akhirnya berjaya memiliki gadis itu, atau bagaimana bila sesorang suami mengetahui yang isterinya berlaku curang dan memiliki kekasih lain?
Apabila penonton atau pembaca telah mengetahui tema dan persoalan dan objektif aksinya, maka jangkaan mereka akan tertumpu kepada titik akhir drama tersebut (penyelesaian) dan tahu ke mana tumpuan drama tersebut akan bergerak. Perhatian penonton tertumpu ke arah yang betul.
Bagaimanapun perlu juga diketahui, tumpuan perhatian penonton selalunya adalah pendek. Satu elemen suspens utama tidak mencukupi untuk terus mengikat perhatian penonton. Oleh itu,  sebuah struktur skrip drama memerlukan suspens sampingan. Jadi suspens sampingan ini akan mendukung elemen suspens yang utama. Suspens sampingan ini diperlukan pada setiap adegan atau bahagian drama, yang akhirnya bergabung dengan keseluruhan momentum struktur drama tersebut.
Dalam pembentukan plot, setiap watak bergerak dalam kerangka sebab dan akibat. Sesuatu peristiwa berlaku disebabkan oleh sesuatu alasan yang kukuh dan ia akan menghasilkan sesuatu akibat yang wajar. Ia merupakan  hukum yang mempunyai logikanya yang tersendiri. Oleh itu,  seseorang penulis perlu memastikan tindakan sesuatu watak itu wajar mengikut latar watak, tempat dan waktu, dan peristiwanya dan akibat yang berlaku itu adalah munasabah.
Latar
Elemen tempat, masa atau zaman serta masyarakat yang diceritakan selalunya dijelaskan melalui latar. Latar dalam drama  penting dijelaskan, tetapi perincian latar dalam drama adalah terhad. Ia hanya perlu untuk tujuan pementasan untuk menjelaskan tentang tempat dan masa, cukup untuk memberikan panduan kepada pembaca atau penonton. Berbanding dengan filem atau televisyen, drama pentas menghadapi kekangan dalam menukar set atau prop yang kerap dari satu babak ke satu babak yang lain.
Babak
Bahagian dalam drama yang menjelaskan peristiwa yang berlaku dalam sesuatu latar tempat dan masa disebut babak. Pertukaran latar tempat dan masa membawa perubahan babak.
Adegan
Adegan merupakan pecahan dalam sesuatu babak yang menjelaskan sesuatu peristiwa yang berlaku dalam sesuatu latar tempat tetapi pada masa yang berbeza.
Bahasa
Asas sebuah drama ialah perkataan atau dialog. Drama terbina oleh dialog dan aksi. Oleh itu,  bahasa yang menjadi asas perkataan adalah elemen yang cukup penting bagi sesebuah drama. Daripada bahasa yang dituturkan oleh pelakon itu, pemikiran dan gagasan pengarang disampaikan. Sesebuah drama yang baik akan menggunakan bahasa yang ringkas, padat dan mudah difahami supaya berkesan kepada penonton. Gaya bahasa atau dialog yang meleret dan sukar difahami akan menyebabkan pembaca dan penonton bosan dan akhirnya hilang tumpuan. Gaya bahasa yang baik dalam sesebuah drama akan memberikan latar zaman, masyarakat dan tempat. Justeru itu, dialek sesuatu daerah boleh digunakan oleh sesuatu watak untuk menghidupkan lagi perwatakannya, tetapi pastikan yang pembaca dan penonton dapat memahami dialek tersebut. Kekuatan sesuatu watak itu terpancar daripada kualiti dialog yang diucapkannya. Watak yang gagal mengucapkan dialog kuat, humor dan menarik akan sukar menarik perhatian penonton. Oleh itu,  pemilihan diksi, ayat atau unsur bahasa penting dalam mengekalkan keinginan pembaca dan penonton sesebuah drama.
Ekonomi, emosi dan keseimbangan
Secara keseluruhannya struktur sesebuah drama bergantung kepada keseimbangan dalam semua elemen. Setiap suatu elemen tersebut mestilah memberikan sumbangan dalam membentuk corak dan pola sesebuah drama itu. Setiap suatu elemen itu sentiasa berkaitan dan bergantungan antara satu sama lain. Satu aspek yang mesti juga diberi perhatian oleh penulis skrip ialah faktor ekenomi. Hai ini demikian  kerana drama ialah satu bentuk komunikasi yang  elemen masa memainkan peranan yang penting. Oleh itu,  faktor masa perlu diberikan perhatian. Selain itu, drama juga merangkumi aspek emosi. Hai ini demikian  kerana sesebuah drama itu dihasilkan untuk manusia dan emosi memainkan peranan penting dalam soal komunikasi kemanusiaan.
Jenis-jenis drama
Pada umumnya terdapat tiga jenis drama yang utama, iaitu:
  • Tragedi – sebuah drama yang mengisahkan suka duka dan tragisnya kehidupan wira utamanya. Kisah wira ini selalunya berakhir dengan tragedi. Dalam drama ini perjalanan kisahnya menemui tragedi itulah yang utama.
  • Komedi – Drama ini memaparkan kisahnya dalam bentuk lucu dan menghiburkan. Ceritanya serius,  tetapi disampaikan dalam bentuk kelucuan oleh watak-wataknya. Drama ini selalunya digunakan untuk menyindir masyarakat. Plot drama komedi boleh berakhir dengan kepuasan penonton (kegembiraan) dan boleh juga berakhir dengan kedukaan .Drama begini dikenali juga sebagai tragik-komedi.
  • Melodrama – Drama ini bersifat sentimental dan ceritanya sering berpusat pada persoalan keluarga atau wanita. Drama ini selalunya akan menyentuh emosi pembaca atau penonton.
Format Skrip Drama Pentas
Skrip drama pentas mempunyai formatnya yang sendiri. Anda wajar mengikut format yang standard apabila menulis skrip supaya ia mudah dibaca, difahami oleh pengarah drama dan yang penting ia menunjukkan yang anda memahami genre sastera yang anda tulis. Dalam format penulisan skrip, anda perlu memuatkan perkara-perkara yang  berikut:
  • Muka surat judul yang mempunyai judul drama anda, nama penulis (nama anda), judul sumber asal (novel) jika skrip drama itu karya adaptasi, nama dan tempat terbit (jika diterbitkan) dan tahun.
  • Sinopsis. Anda perlu juga menulis sinopsis atau ringkasan drama anda (kira-kira 150 patah perkataan). Sinopsis ini perlu memberikan maklumat tentang watak, tema dan perjalanan cerita dan yang penting mampu menarik minat pembaca untuk membaca seterusnya skrip drama anda.
  • Watak dan senarai watak – Anda perlu memberikan senarai watak yang terlibat dalam drama anda serta deskripsi ringkas tentang perwatakannya seperti bentuk fizikal, usia dan sifat-sifat tertentu watak itu.
  • Pecahan babak juga perlu.
  • Adegan atau babak sesebuah drama berlaku dalam satu ruang tempat, masa dan watak. Oleh itu,  ruang tempat, masa dan watak perlu juga diberitahu sebelum sesuatu adegan itu bermula.
  • Format atau stail menaip skrip terdapat beberapa bentuk. Lihatlah bentuknya daripada beberapa skrip yang pernah anda baca.
    Di sini saya sertakan satu contoh bagaimana sebuah skrip drama pentas ditulis, petikan babak 12 drama “Patah Sayap Terbang Jua” tulisan Othman Haji Zainuddin yang diadaptasi daripada novel Patah Sayap Terbang Jua karya A. Samad Ismail.
12. DERETAN KEDAI/ SINGAPURA/MALAM
Wahab masuk ke kawasan itu. Seketika dia berdiri di jalanan yang diterangi oleh lampu elektrik yang muram. Kelihatan Inah mengekorinya. Seketika dia memerhatikan kelakuan wahab. Dari jauh kedengaran muzik mengalun dari antara beberapa buah rumah yang masih diterangi oleh lampu. Wahab bersiul-siul kecil dan mendendangkan lagu keroncong “Kemayuran”.
WAHAB (Menyanyi)

     Kiri jalan, kanan pun jalan
     Nona manis endung disayang
     Lateralala lala lala….
     Di tengah-tengah pohon mengkudu
     Kirim jangan
     Pesan pun jangan
     Sama-sama
     Menanggung rindu.

Ketika ini Inah ikut sama menyanyi
     INAH & WAHAB
     Kirim jangan
     Pesan pun jangan
     Sama-sama
     Menanggung rindu…

Inah tepuk tangan. Wahab terkejut Inah di sisinya.
INAH
:  Ada apa Hab, kau nak jumpa aku?
WAHAB
:  Banyak perkara.
INAH 
:  Apa yang boleh kutolong?
WAHAB
:  Kau tolong aku seperti kau tolong Hashimoto
INAH
:  Tolong Hashimoto?
Penutup
Setelah anda membaca tulisan ini, diharapkan anda mendapat sedikit pengetahuan tentang kaedah-kaedah penulisan skrip drama pentas. Ia mungkin belum cukup untuk menjadikan anda penulis skrip yang baik kerana penulis skrip drama pentas yang baik menuntut kerja-kerja pemerhatian masyarakat , banyak membaca naskhah skrip drama yang baik dan perlu juga banyak menonton teater. Bagaimanapun ia sudah cukup untuk menggerakkan anda memulakan suatu penulisan skrip.