"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

1/05/2012

KRUNA SATMA

Sejumlah satuan teori yang dijadikan acuan dalam membahas permasalahan yang tercakup dalam pokok permasalahan dalam penelitian ini meliputi: (1) pengertian kruna satma, (2) ciri-ciri kruna satma, (3) macam-macam kruna satma, (4) penggunaan kruna satma dalam kalimat bahasa Bali. 

1  Pengertian Kruna Satma
Dalam bahasa daerah Bali dijumpai hal-hal seperti apa yang terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Yaitu lima macam ilmu bahasa: (1) tata bunyi (fonologi), (2) tata bentukan (morfologi), (3) tata kalimat (sintaksis), (4) tata wacana, (5) tata arti (semantik). Dalam pembahasan ini merupakan bagian dari tata bentukan (morfologi). Di mana tata bentukan tersebut terjadi disebabkan karena proses afiksasi, proses perulangan, dan proses komposisi atau pemajemukan. Berdasarkan hal-hal di atas kruna satma/kata majemuk merupakan hasil salah satu proses morfologi yang sering disebut dengan persenyawaan, pemajemukan atau komposisi.
Mengenai pengertian atau batasan kruna satma/kata majemuk sudah banyak dibicarakan oleh para ahli bahasa. Untuk lebih jelasnya mengenai batasan kata majemuk dipetik beberapa pendapat para ahli yaitu :
Antara (2003 : 63) dalam bukunya yang berjudul Sari Tata Basa Bali maosang kruna satma (kruna mangkep, kruna dwi binalingga eka sruti) utawi kata majemuk  (BI) inggih ipun gabungan kruna-kruna sane madue arti asiki. Kruna satma punika kawangun antuk kruna lingga kekalih, pada madue arti soang-soang, nanging yan kagabung pacang madue arti wantah asiki.
Upama kruna sapu angkepang ring kruna tangan pacang marupa saputangan. Artin sapu miwah tangan ring saputangan sampun matiosan awinan mateges asiki.
Keraf (1969 : 138) dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata majemuk adalah gabungan dua kata lebih yang memberikan satu kesatuan arti. Pada umumnya struktur kata majemuk sama seperti kata biasa, yaitu tidak dapat dipeahkan lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena gabungan itu sudah merupakan kekuatan yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, maka dalam memberikan sifat terhadap kata majemuk itu, kata sifat atau keterangan-keterangan lain yang menerangkan kesatuan itu harus memberikan keterangan atas keseluruhan kata sebagai satu kesatuan. Unsur yang menjadi dasar pembentukan kata majemuk telah bersatu menjadi hakikat-hakikat kebasaannya karena struktur kekataannya itu sudah ditampung di dalam kesatuan gabungan itu.
M. Ramlan (1979 : 34) dalam Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata majemuk adalah kata yang terdiri atas dua kata sebagai unsurnya.
Semua definisi diatas menunjukkan adanya kesamaan tentang konsep kruna satma/kata majemuk. Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kruna satma/kata majemuk (S1) adalah rangkaian dua buah kata atau lebih yang sedemikian eratnya sehingga menimbulkan pengertian baru. Jadi kruna satma itu terjadi aats dua kata atau lebih dan mengandung satu kesatuan arti. Disamping itu unsur-unsur yang membentuk kruna satma itu tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Jika unsur-unsur itu dipisahkan maka arti setiap unsur yang menjadi unsur kruna satma itu sudah tidak menonjol lagi, yang menonjol adalah arti baru yang ditimbulkan akibat persenyawaan usnru-unsur yang membentuk kruna satma/kata majemuk itu.
Contoh : Kelompok kata jebug arum yang terdiri atas unsur jebug “jebug” dan arum “arum”, arti masing-masing unsur yang membentuk kelompok itu tidak menonjol lagi, tetapi keduanya sudah membentuk arti baru yaitu jebugarum (buah yang dapat digunakan tanaman obat-obatan tradisional Bali).
Konstruksi yang mempunyai arti baru tidak dapat disisipio dengan kata lain. Kalau disisipi dengan kata lain, fungsinya sebagai kruna satma/ kata majemuk akan terganggu dan konstruktinya kan berbentuk frase.
Misalnya : -  Anak tua kata majemuk ini dapat disisipi kata ane sehingga menjadi anak ane tua, sehingga konstruksi ini bukan lagi kata majemuk, melainakn sudah menajdi konstruksi frase

2  Ciri-Ciri Kruna Satma
Ciri adalah suatu penanda yang dapat membedakan satu unsur dengan unsur yang lain, atau satu bentuk dengan bentuk yang lain. Ciri atau penanda untuk kata majemuk ada dua jenis yaitu ciri arti, ciri bentuk.
Anom (1975 : 84-85) dalam buku Morfologi Bahasa Bali, dalam Masalah Pembakuan Bahasa Bali mengemukakan bahwa : Oleh karena sukar membedakan struktur antara “KRUNA SATMA” (KS) sebagai PROSES MORFOLOGI dan FRASE sebagai peristiwa sintatik, perlu ditetapkan dulu ciri-ciri kruna satma itu yaitu :
A.     Bahwa diantara kedua unsurnya tidak dapat disisipkan unsur lain. Contoh jebugarum tidak dapat dikatakan jebug ane arum; tetapi lengis miik dapat dikatakan lengis ane miik. Maka jebugarum adalah kruna satma sedang lengis miik bukan. Beberapa contoh : galang kangin, suria kanta.
B.      Unsurnya walaupun sederajat tidak dapat berkomunikasi, misalnya ‘kaja kauh’, tidak pernah bebrentuk ‘kauh kaja’, contoh lain : kaja kangin, meme bapa, nyama braya.
C.      Kalau diikat denagn afiksasi kompleks itu mempersenyawakan unsurnya ‘togtog titih’ dalam bentuk katogtogtitihang, contoh lain : nyelemputihang, panyamabrayang.
D.     Ada sejenis kruna satma yang satu unsurnya merupakan unsur khusus, maksudnya hanya dapat tersusun bersama dengan unsurnya yang lain itu saja, seperti : peteng dedet, unsur dedet hanya tersusun bersama dengan peteng. Contoh lain : gede gangsuh, selem denges.
Ciri di luar struktur yang mengenai seluruh ciri yang lain ialah bahwa kruna satma itu menimbulkan satu makna yang khusus.
Antara (2003 : 64) dalam bukunya Sari Tata Basa Bali mengemukakan bahwa ciri kruna satma adalah :
Kruna satma merupa kruna tawah (unsur unik, BI)
Upama : kruna ngotngot wantah madue arti, yaning sampun kagabungan (angkepang) ring kruna selem, awinan ngotngot punika tan madue arti. Punika taler sane tawah sakadi :
denges wantah ring selem denges
ngalik wantah ring tegeh ngalik
ngaluh wantah ring miik ngalub
miwah sane lianan
Sehingga dari semua ciri-ciri yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kruna satma (kata majemuk) ada dua (2) yaitu ciri arti dan ciri bentuk.
1)   Ciri arti
            Ciri arti memang tidak tampak sehingga banyak pakar bahasa beranggapan bahwa sulit untuk membedakan kruna satma (kata majemuk) dengan frase dari segi arti. Namun arti adalah hal yang sangat penting dalam membedakan kruna satma dengan frase. Untuk dapat membedakan kruna satma (kata majemuk) dengan frase dari segi arti, maka hal tersebut harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yaitu kalimat.
Contoh :
(1)  Anak tuane enu besik ane idup
Orang tuanya masih satu yang hidup
(2)  Anak tua ento umurne satus taun lebih
Orang tua itu umurnya seratus tahun lebih
            Konstruksi sintaksis anak tuaorang tua’ dalam kalimat nomor (1) jelas membentuk satu arti baru, yaitu bisa berarti ‘ayah’ atau bisa berarti ‘ibu’. Arti yang dikandung dalam kata anak ‘orang’ dan tua ‘tua’ tidak lagi ditonjolkan. Keduanya sudah kehilangan otonominya. Oleh karena itu, konstruksi sintaksis anak tua ‘orang tua’ dalam konteks kalimat (1) berfungsi sebagai satu kata yaitu kata majemuk.
            Konstruksi sintaksis anak tua ‘oang tua’ dalam kalimat nomor (2) tidak menimbulkan arti baru. Baik kata anak ‘orang’ maupu kata tua ‘tua’ tap menonjolkan artinya masing-masing dan masih tetap mempertahankan otonominya. Oleh karena itu, konstruksi anak tua ‘orang tua’ dalam kalimat nomor (2) jelas bukan kata majemuk melainkan frase.
            Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa ciri arti mudah dipakai untuk membedakan kata majemuk (kruna satma) dengan frase. Kruna satma menimbulkan satu arti baru, sedangkan frase memiliki arti sebanyak arti yang dikandung oleh unsur-unsurnya.
2)   Ciri bentuk
            Ciri bentuk yang dimiliki oleh kata majemuk merupakan ciri yang dapat dilihat. Beberapa ciri bentuk yaitu :
a.    Salah satu unsur kata majemuk dapat berupa morfem unik
          Suatu konstruksi sintaksis jika salah satu unsurnya berupa morfem unik (MU) maka jelas konstruksi sintaksis tersebut termasuk kruna satma (kata majemuk).
Contoh : peteng dedetdedet adalah morfem unik, sehingga jelas konstruksi sintaksis ini adalah kruna satma (kata majemuk).
b.    Hubungan antar unsur kata majemuk (kruna satma) sangat rapat
          Karena kata majemuk adalah satu kata, maka hubungan antar unsur yang membentuknya sangat rapat atau bersifat tertutup. Oleh karena itu, tidak mungkin disisipkan suatu morfem lain diantara unsur-unsurnya, kalau disisipi bentuk lain, maka akan terjadilah konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal atau bisa juga terjadi konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal atau bisa juga terjadi kontruksi sintaksis yang gramatikal, tetapi hakikat kemajemukannya hilang.
Contoh : peteng dedet adalah kata majemuk (kruna satma). Diantara unsur peteng dan unsur dedet tidak disisipi suatu morfem lain. Seandainya dipaksakan menyisipkan morfem (lan), maka akan terjadilah konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal, yaitu peteng lan dedet.
c.    Unsur-unsur pembentuk kruna satma (kata majemuk) tidak dapat dibalik susunannya
          Seperti diketahui kruna satma (kata majemuk) adalah satu kata, maka hendaknya diperlakukan sama dengan kata lainnya. Contoh : kaja kauh tidak pernah berbentuk ‘kauh kaja’.
d.    Unsur-unsur kruna satma (kata majemuk) tidak dapat diperluas secara terpisah
          Contoh kruna satma sela kutuh diperluas dengan nguda maka kata nguda ‘muda’ ini hanya menjelaskan unsur sela ‘ketela’ dan bukan pula hanya menjelaskan unsur kutuh ‘pohon’. Akan tetapi keseluruhan kruna satma diatas bukan menjadi sela nguda kutuhketela muda pohon’, melainkan harus menjadi sela kutuh ngudaketela pohon yang muda’.

3  Macam-Macam Kruna Satma
1)     Kruna satma sepadan (kata majemuk setara)
           Yaitu kruna satma (kata majemuk) yang hubungan antara unsur-unsur yang membentuknya bersifat setara, unsur yang satu tidak menerangkan unsur yang lain.
Contoh :     olas asih ‘belas kasihan’
                            meme bapa ‘ibu bapak’
2)     Kruna satma tan sepadan (kata majemuk tidak setara)
           Yaitu salah satu unsurnya menerangkan unsur yang lain. Pada umumnya unsur kedua menerangkan unsur yang pertama.
Contoh :     gedang renteng ‘nama pepaya’
                            bale agung ‘nama bangunan, pura desa
3)     Kruna satma sane nganggen kruna tawah
           Yaitu salah satu unsurnya terdiri atas morfem unik yaitu morfem yang hanya ditemukan dalam bentuk gabungan kata majemuk seperti itu, sedangkan pemunculannya dalam bentuk gabungan lain tidak mungkin.
Contoh :     peteng dedet ‘gelap gulita’
                            nyurnyur manis ‘manis sekali’

4  Makna Kruna Satma (kata majemuk)
Kruna satma memiliki sejumlah makna sebagai berikut :
1)     Menyatakan melengkapi atau kumpulan dari kedua unsurnya.
Contoh :
meme bapa ‘ibu bapak’
cerik kelih ‘besar kecil’
kebus dingin ‘demam’
2)     Mengandung pengertian mengeraskan makna secara padu
Contoh :
olah asih ‘belas kasihan’
setset suranting “cobak cabik’
tresna asih ‘cinta kasih’
baag biing ‘merah padam’
mas manik ‘harta benda perhiaan’
3)     Inti makna pada unsur pertama, unsur kedua, merupakan penjelasan yang kemudian menimbulkan makna terpadu.
Contoh :
biu kayu ‘nama pisang’
kacang lindung ‘nama kacang panjang’
4)     Mengeraskan makna
Contoh :
selem denges ‘hitam legam’
seger oger ‘segar bugar’

5  Melihat dari kesekian makna kruna satma (kata majemuk) maka akan diajukan dalam beberapa contoh kalimat (lengkara) yaitu :
1)   Menyatakan melengkapi atau kumpulan adri kedua unsurnya
Contohnya :
-      I Putu Lara setata sebet karana tusing ngelah meme bapa
-      Cerik kelih pianakne ajak magarapan
2)   Mengandung pengertian menggerakkan makna secara padu
Contohnya :
-      Iraga  patut ngelah rasa olas asih teken anak ane kasengsaran.
-      Suba setset suanting bajune ento enu masi apikina.
3)   Inti makna pada unsur pertama, unsur kedua merupakan penjelasan yang kemudian menimbulkan makna terpadu.
Contoh :
-      Tiang demen pesan teken biu kayu
-      I meme meli kacang lindung lakar anggona lawar
4)   Menjelaskan makna
Contoh :
-      Selem denges kulitne karane sesai medendeng
-      Yening iraga seleg olah raga, sinah awake dadi seger oger
Sehingga dapat disimpulkan bahwa akan nampak jelas dapat dipahami mengenai makna dan cara penggunaan kruna satma (kata majemuk) dengan melihat makna kruna satma seperti yang telah dijelaskan diatas dan disertai contoh kalimat pada masing-masing makna kruna satma tersebut.
Penggunaan kruna satma dalam kalimat bahasa Bali adalah dengan memperhatikan kalimat (lengkara) yang menyertai kruna satma tersebut.

12/22/2011

BALINESE LANGUAGE


Introduction
Balinese language is one dialect of West Malay-Polynesian group which is spoken in Malaysia, Indonesia to the East as far as Molluccas. This includes further variation of dialects spoken in Sumatra, Java, Madura, Bali, Kalimantan, Malaysia, Vietnam, and Philippine. Among those variation, more detail variation can still be identified.

Balinese language is one dialect that got various influences in the course of it's history, such as Sanskrit, Arab, Chinese, Dutch and English. Thanks to the writing which was already introduced since 9th century, pricisely in 882 AD which can preserve and keep the language more stable. Based on the writing we can traced back the lexicon and pattern of the language, although in it's small representation. During 9th to 10th century it was probably predominantly Sanskrit on the documented words. Starting 10th until 14th century the old Balinese language were recorded well on various inscriptions issued by the kings. From 14th century we know a bit difference language preserved on various manuscripts. This language was probably used only in writing, since it shows mixed old Balinese, old Javanese and Sanskrit. It is not well known yet what is the form of spoken language during the course of history. We could assume that it must be closed in term of pattern and lexicon to those used in writings. If we compare with modern version of spoken Balinese language, it sounds that older versions are much different. This version is now totally not spoken, except for dialogues of wayang puppet show and some traditional dances. For younger generation this version is not understood anymore.

Modern Balinese is the version that got the influence from Dutch, Chinese, and English. Modern Balinese language at least introduces further variation such as :
  • Written language, as mentioned above mostly unknown for daily communication,
  • Polite language ( Basa Alus ). This level introduces what is called "Alus Sor and Alus Singgih". Alus Sor means words that used to put the speaker's status lower than his/her speaking counterpart, and "Alus Singgih" is the words that used to put the position of his/her speaking counterpart at higher status,
  • Formal language ( Alus Madia ), is a generally accepted language spoken at the public by some one as presenter, head of meeting, and among those do not know each other.
  • Folk language ( Basa kasar ), is spoken by the largest part of Balinese and mostly among Sudra cast.


BALI Bahasa

Pengantar
Bali adalah salah satu dialek bahasa Barat Melayu-Polinesia kelompok yang diucapkan di Malaysia, Indonesia ke Timur sejauh Molluccas. Ini termasuk variasi lebih lanjut dari dialek yang diucapkan di Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Di antara variasi tersebut, variasi lebih detail masih dapat diidentifikasi.

Bali adalah salah satu dialek bahasa yang mendapat berbagai pengaruh dalam perjalanan sejarah itu, seperti Sanskerta, Arab, Cina, Belanda dan Inggris. Berkat tulisan yang sudah diperkenalkan sejak abad ke-9, pricisely di AD 882 yang dapat melestarikan dan menjaga bahasa lebih stabil. Berdasarkan tulisan kita dapat ditelusuri kembali leksikon dan pola bahasa, meskipun di dalamnya representasi kecil. Selama abad ke 9 hingga 10 itu mungkin terutama pada kata-kata Sanskerta didokumentasikan. Mulai 10 sampai abad ke-14 bahasa Bali lama dicatat baik pada berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja. Dari abad ke-14 kita tahu sedikit perbedaan bahasa diawetkan di berbagai naskah. Bahasa ini mungkin hanya digunakan dalam penulisan, karena hal itu menunjukkan Bali lama dicampur, Jawa kuno dan Sanskerta. Hal ini tidak dikenal namun apa adalah bentuk bahasa lisan selama sejarah. Kita bisa berasumsi bahwa itu harus ditutup dalam jangka pola dan leksikon dengan yang digunakan dalam tulisan-tulisan. Jika kita bandingkan dengan versi modern dari bahasa Bali yang diucapkan, kedengarannya bahwa versi yang lebih tua jauh berbeda. Versi ini sekarang benar-benar tidak berbicara, kecuali untuk acara dialog wayang dan beberapa tarian tradisional. Untuk generasi muda versi ini tidak dipahami lagi.

Bali modern adalah versi yang mendapat pengaruh dari Belanda, Cina, dan Inggris. Bahasa Bali modern setidaknya memperkenalkan variasi lebih lanjut seperti:

    * Ditulis bahasa, seperti disebutkan di atas sebagian besar tidak diketahui untuk komunikasi sehari-hari,
    *
      Sopan bahasa (Bahasa Alus). Level ini memperkenalkan apa yang disebut "Alus Sor dan Alus Singgih". Alus Sor berarti kata-kata yang digunakan untuk menempatkan status pembicara lebih rendah dari / timpalannya berbicara, dan "Alus Singgih" adalah kata-kata yang digunakan untuk menempatkan posisi / timpalannya dia berbicara pada status yang lebih tinggi,
    * Bahasa formal (Alus MADIA), adalah bahasa umum diterima berbicara di publik oleh seseorang sebagai presenter, kepala rapat, dan di antara mereka tidak tahu satu sama lain.
    * Rakyat bahasa (Bahasa kasar), diucapkan oleh bagian terbesar dari Bali dan sebagian besar di antara cor Sudra.

"seni suara"



Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.

Ada tiga jenis gegendingan:
1.Gending Rare

»Gegendingan «» Seni Tembang «» Seni Suara

Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira.

Biasanya tiap lagu dilengkapi (atau sebagai pelengkap dari) sebuah permainan (dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat (gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak terlalu diikat oleh hukum / uger-uger seperti Guru Lagu atau Padalingsa.
Judul
1 Meong-meong
2 Juru Pencar
3 Ongkek-ongkek Ongke
4 Indang-indang Sidi
5 Galang Bulan
6 Ucung-ucung Semanggi
7 Pul Sinoge
dan masih banyak lagi... 

2.Gending Jejanggeran
ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan bersama-sama saling sahut-menyahut antara kelompok satu dengan yang lain. Ada yang menjadi janger (kelompok putri) ada yang menjadi kecak (kelompok putra).
Lama kelamaan Gending Jejangeran ini dinyanyikan juga oleh orang-orang dewasa di dalam tontonan dengan jalan memberi variasi gerak-gerik atau variasi lakon (lelampahan)
Contoh Gending Jejangeran ini antara lain:
1 Putri Ayu
2 Siap Sangkur
3 Mejejangeran dan masih banyak lagi...
3.Gending Sanghyang
Gending ini dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) Sanghyang-Sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan jaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang, yang meliputi tarian Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat dan sebagainya. Sistem atau ortenan tembang-tembang ini sama dengan gending-gending rare lainnya, pengertian yang dihasilkan dari isi gending ini sering abstrak, dan tidak menentu karena sulit dicerna. Ini sesuai dengan kaidah gegendingan yang tidak menuntut pengertian yang utuh dan runtut seperti halnya Tembang Macapat.

Contoh dari gending- gending Sanghyang adalah:
1 Puspa Panganjali
2 Kukus Arum
3 Suaran Kumbang
dan masih banyak lagi...

SENI SUARA
Sekar Alit
»Seni Tembang

Berbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat), kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).

Adapun jenis-jenis tembang macapat (pupuh) yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat, di antaranya adalah:

Pupuh Sinom
Sinom Lumrah Pelog
Sinom Wug Payangan Slendro
Sinom dingdong Slendro
Sinom Sasak Slendro
Sinom Lawe Slendro
Sinom Genjek Pelog
Sinom Silir Slendro
Pupuh Ginada
Ginada Basur Slendro
Ginada Linggar Petak Slendro
Ginada Jayapura Slendro
Ginada Bagus Umbara Slendro
Ginada Candrawati Slendro
Ginada Eman-eman/Bungkling Pelog
Pupuh Durma
Durma Lumrah Pelog
Durma Lawe Pelog
Pupuh Dangdang
Dangdang Gula Pelog
Pupuh Pangkur
Pangkur Lumrah Pelog
Pangkur Jawa / Kakidungan Slendro
Pupuh Ginanti
Ginanti Lumrah Pelog dan Slendro
Ginanti Pangalang Pelog dan Slendro
Pupuh Semarandana
Semarandana Lumrah Pelog
Semarandana Mendut Slendro
Pupuh Pucung Slendro dan Pelog
Pupuh Megatruh Laras Pelog
Pupuh Gambuh Laras Pelog
Pupuh Demung Laras Slendro
Pupuh Adri Laras Pelog

Masing-masing pupuh yang tersebut di atas mengandung suasana kejiwaan yang berbeda-beda. Suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut sangat berguna untuk mengungkapkan suatu suasana dramatik dari suatu cerita / lakon. Secara umum hubungan antara suasana dengan jenis pupuh dapat dilukiskan sebagai di bawah ini:

Suasana Jenis Pupuh
aman, tenang, tentram Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati dan lain-lainnya
gembira, riang, meriah Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatruh dan lain sebagainya
sedih, kecewa, tertekan Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung dan lain-lainnya
marah, tegang, kroda Durma dan Sinom Lumrah

Sekalipun demikian, pengaruh dari si penyanyi yang membawakan pupuh tersebut dapat mengubah suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut. Perlu pula diketahui bahwa kelompok tembang ini disebut pupuh adalah berdasarkan bagan atau kerangka lagu yang ada pada masing - masing pupuh ini. Berdasarkan isi atau cerita yang diungkapkan, jenis tembang ini juga di sebut Guritan menurut cerita yang dikandungnya. Guritan Basur berarti tembang macapat yang mengungkapkan cerita Basur. Begitu pula halnya Guritan Jayaprana, Sampik, Linggarpetak dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai dalam kelompok tembang macapat ini adalah bahasa Kawi (jawa Kuno) dan bahasa Bali. Berdasarkan hukum Padalingsanya tembang - tembang macapat Bali ini dapat disusun seperti tabel berikut ini:

Nama Pupuh

Jumlah suku kata dan huruf hidup akhir pada setiap baris kalimat tembang beserta nomor barisnya

Sinom 8a 8i 8a 8i 8i 8u/o 8a 8i 12a
Ginada 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a
Pucung 4u 8u 6a 8i 12a
Maskumambang 4a 8i 6a 8i 8a
Ginanti 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Durma 12a 8i 8a 8a 8i 5a 8i
Pangkur 8a 12i 8u 8a 12u 8a 8i
Semarandana 8i 8a 8o 8a 8a 8u 8a
Mijil 10i 6o 4e 10e 8i 6i 8u
Magatruh 12u 8i 8u 8i 8o
Demung 12a 8i 8u 8i 8a 8u 8a 8i 8a 8u
Dangdang 14a 14e 8u 8i 8a 8u 12a 8i 8a
Adri 12u 8i 8i 12u 8u 8a/e 8u 8a 8a
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti :
Pangawit Pembuka
Pamawak bagian yang pendek
Panama bagian yang panjang
Pangawak bagian utama dari tembang

Tembang- tembang yang tergolong dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah Kidung atau Kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panama dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.

Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu - lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan.

Modulasi yaitu perubahan tangga nada ditengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan. Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain:

Aji Kembang Kaki tua Sidapaksa Ranggadoja
Rangga Lawe Pamancangah Wargasari Pararaton
Dewaruci Sudamala Alis-alis Ijo Bhrahmana sang Uttpati
Caruk Bhuksah dan lain-lainnya

Selain kidung,ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya meliputi:

Mayura Jayendria Manjangan Sluwang Silih-asih Sih Tan Pegat dan lain-lainnya.


SENI SUARA
Sekar Agung / Kakawin


»Seni Tembang «» Seni Suara

Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi penggunaan bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan tersendiri.

Ada dugaan bahwa Kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:

Pengawit (penyemak) pembukaan
Panampi ( pangisep)
Pangumbang
Pamalet Kakawin dilakukan dengan diselingi terjemahannya.

Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti:
1 Aswalalita
2 Wasantatilaka
3 Tanukerti
4 Sardulawikradita
5 Watapatia Wangeasta
6 Wirat
7 Çekarini
8 Girisa
9 Prtiwitala
10 Puspitagra
11 Saronca

dan masih banyak lagi...

Di samping tembang-tembang di atas masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang bertembang. Jenis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:

Sasonggaan Kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa
Bladbadan Kalimat yang mengandung arti kiasan
Wawangsalan Kalimat bersajak
Sasawangan Kalimat perbandingan
Papindaan Kalimat perbandingan
Tandak Kalimat yang dilagukan melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya
Pangalang Tembang pendahuluan
Sasendon Semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama

Untuk dapat menyanyi dengan baik seorang penembang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Suara harus bagus dan tahu pengolahannya
Nafas panjang serta tahu mengaturnya
Mengerti masalah laras (selendro dan pelog)
Mengerti tetabuhan dan menguasai perihal matra
Tahu hukum/uger-uger yang ada pada masing-masing kelompok tembang
Memahami seni sastra