"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

6/11/2011

Tujuan ke-Sepuluh Avatar Vishnu Turun ke Bumi

         Avatarana berarti turun. Avatara adalah turunnya Tuhan yang tidak memiliki nama dan sifat dalam suatu wujud yang sesuai untuk melaksanakan tugas untuk menghancurkan yang jahat dan melindungi yang baik.
Avatara banyak jumlahnya. Ada beberapa Avatara yang muncul di bumi hanya untuk waktu yang singkat, memenuhi tugas Avatara dan menghilang. Matsya, Kurma, Narasimha, dan Vamana (Ikan, Kura-kura, Babi, setengah Manusia setengah Singa, orang Kerdil). Ada Avatara Rama yang disebut Amsaavatara, karena ia membagi sifat Ketuhanan dengan tiga saudaranya. Krishnavatara adalah sebuah contoh dan Pumaavatara (total).
        Tujuan munculnya Matsyaavatara adalah menyelamatkan Veda dari tangan raksasa Somakaasura yang mencurinya dari Brahma dan menyembunyikannya di laut. Dharma didasarkan pada Veda tersebut, sehingga perlindungan terhadap Veda merupakan tugas Avatara.
Para dewa dan raksasa ingin mendapatkan Amrta (Air Keabadian) yang akan memberi keabadian dan memohon kepada Narayana. Narayana memerintahkan mereka untuk mengaduk lautan susu dengan Gunung Mandara sebagai batang pengaduk dan ular Vasuki sebagai talinya. Ketika gunung tersebut hampir terendam dalam lautan seraya menciptakan banjir yang besar, Narayana mengambil wujud seekor kura-kura dan menahan gunung tersebut di atas punggungnya. Sementara para dewa dan raksasa sedang mengaduk, racun keluar dari lautan tersebut, baik para dewa maupun raksasa menjadi panik. Kemudian Siva datang dan menelan racun tersebut. Beberapa benda muncul dari lautan itu, baik yang hidup maupun mati. Ketika akhirnya Amrta dibawa oleh makhluk sorga, para dewa dan raksasa bertarung untuk memiliki Amrta tersebut. Kemudian Narayana harus mengambil wujud seorang wanita kahyangan yang cantik untuk membagikan Amrta tersebut. Tentu saja para raksasa kehilangan bagian mereka, karena jika para raksasa hidup abadi betapa kehancuran yang akan terjadi. Jadi tujuan dari Avatara Kura-kura tersebut adalah untuk melindungi yang baik dan memberi keabadian kepada para dewa.
Narayana mengambil wujud seekor babi hutan jantan untuk membawa bumi yang telah tenggelam ke dasar laut kembali ke permukaan. Ketika Babi hutan jantan tersebut sedang mengangkat bumi di atas taring-taringnya dan masih berada dalam air, raksasa Hiranyaksa menyerangnya. Tetapi Babi hutan jantan tersebut mencakarnya dan menyerangnya hingga tewas. Jadi tujuan Varaha Avatara (Bahi hutan) adalah untuk mengembalikan keselamatan bumi dan memancangkannya dengan kuat di tempatnya.
Narayana harus mengambil wujud setengah singa setengah manusia untuk membunuh raksasa Hiranyakasipu. Hiranyakasipu bertekad untuk membalas dendam pada Narayana karena Beliau telah membunuh saudaranya, Hiranyaksa. Hiranyakasipu melakukan penebusan dosa pada Brahma dan mendapatkan anugerah, sehingga ia tidak akan mati di tangan makhluk apa pun yang diciptakan oleh Brahma. Kematian tidak akan terjadi padanya, baik siang atau malam, baik di darat atau di air ataupun di langit oleh senjata apa pun, di dalam atau di luar. Hiranyakasipu bertambah kuat dan angkuh setelah mendapatkan anugerah tersebut. Anaknya adalah pendukung Hari yang setia (sebutan Vishnu). Sang ayah berusaha keras memintanya agar jangan berdoa kepada Hari tetapi sia-sia. Ia juga menyiksa anaknya, namun Prahlada tidak akan berhenti menyanyikan nama Hari. Akhirnya Hiranyakasipu harus menantang anaknya untuk menunjukkan Hari yang dikatakan ada di mana-mana dalam sebuab tiang (salah satu tiang penyangga emper rumah). Ia memukul tiang tersebut. Tiang itu terbelah menjadi dua. Tuhan dalam wujud Nara-Shima (manusia-singa) muncul dan mencabik-cabik dengan cakarnya. Tujuan utama dari Avatara ini adalah untuk membuktikan kepercayaan bakta-Nya tentang kemahaadaan Tuhan.
Ketika Maharaja raksasa Bali menguasai segalanya dan ingin menguasai ketiga dunia, Narayana memutuskan untuk mengendalikan kesombongan Bali akan kekuatannya. Maka Narayana mengambil wujud menjadi seorang pemuda Brahmana ilahi dan mendekati Bali ketika ia sedang melakukan Visvajita Yaga. Beliau meminta hadiah tiga jengkal tanah dari Bali. Bali setuju, bahkan ketika gurunya, Sukraacarya memperingatkan Bali untuk tidak mengabulkan karena pemuda Brahmana tersebut tak lain adalah Hari yang datang untuk menghancurkannya.
Vamana Avatar kemudian berubah menjadi sangat tinggi, sehingga dengan satu kaki ia menutupi bumi, dengan kaki lainnya ia menutupi langit dan bertanya di mana seharusnya ia meletakkan kakinya yang ketiga. Kemudian Maharaja Bali menekukkan kepalanya dan meminta-Nya untuk meletakkan kaki-Nya pada kepala sang raja sendiri. Hari menekan Bali ke dunia bawah. Maharaja Bali sama sekali tidak sedih atau menyesal karena ia memiliki hak atas pemberian hadiah kepada sang penguasa tiga dunia. Sri Hari dengan sengaja melakukan ini hanya untuk menyatakan pada dunia penyerahan Bali secara total kepada Tuhan. Hal ini benar-benar aneh untuk memahami cara-cara Tuhan. Beliau kelihatan menghukum seseorang, tetapi hukuman tersebut hanya untuk penebusan yang dihukum.
Parasurama adalah putra Renuka dengan Rsi Jamadagni. Mereka memiliki Sapi Kahyangan pemenuh keinginan, Kamadhenu. Suatu hari Kartaviryaarjuna, penguasa daerah tersebut mengunjungi ashram itu setelah berburu. Sang Rsi menerima maharaja dan rombongannya, menjamu selayaknya dengan bantuan Sapi Kahyangan tersebut. Viryaarjuna menjadi irihati dan menggiring sapi serta anaknya tanpa memperdulikan perasaan Sang Rsi. Ketika rombongan tersebut meneruskan perjalanan, Parasurama mendekati dan menyerang mereka. Setelah pertarungan sengit, Parasurama memenggal kepala maharaja tersebut; kemudian anak-anak sang Maharaja memenggal kepala Rsi Jamadagni di saat Parasurama tidak ada di pertapaan. Mendengar teriakan keras ibunya, Parasurama kembali hanya untuk melihat kepala ayahnya di tanah. Dengan sangat marah ia menyerang Kota Mahismati dan membunuh keseratus anak Kartaviryaarjuna. Ia bersumpah akan membasmi keberadaan kaum ksatriya tersebut. Tujuan dari Avatara ini adalah untuk memperingatkan dan menghukum para penguasa sombong yang tidak memberi hormat pada para Rsi.
Narayana (Rama) lahir sebagai anak Dasaratha dan membagi kehebatan-Nya dengan tiga saudara-Nya. Tujuan dan Avatara bukan hanya untuk menghancurkan yang jahat dan melindungi yang baik, tetapi untuk memberi contoh ke seluruh dunia, bagaimana manusia seharusnya menjalankan kebenaran dan kebajikan dalam hidup. Ia benar-benar merupakan wujud dari Sathya dan Dharma.
Krishna Avatara adalah Avatara cinta kasih dan kedamaian. Tugas-Nya adalah untuk melindungi yang baik dan menghukum yang jahat.Tetapi tugas utama-Nya adalah untuk menyampaikan ajaran-ajaran hidup melalui Bhagavad Gita. Melalui contohnya, Buddha membuktikan bahwa setiap manusia dapat mencapai keadaan Buddha, orang yang senantiasa mendapat penerangan-penerangan dengan mengikuti delapan macam jalan. Ajaran utama-Nya adalah untuk menaklukkan keinginan dan menerapkan cinta serta kasih sayang.

Memuja Leluhur Bukanlah Spiritual Tingkat Rendah




andham tamah pravisanti
ye vidyãm upãsate
tato bhüya iva te tamo
ya u vidyãyãm ratãh.
(Sloka 9. Isa Upanisad)
artinya: Ia yang memujanya karena avidya masuk ke dalam kegelapan dan kebodohan,
demikian pula selanjutnya yang karena
vidyanya akan lebih masuk ke dalam kegelapan.
Mengenai konsep pemujaan bagi umat Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami dan diketahui agar nantinya tidak ada kesalahan dalam hal melakukan pemujaan. Dalam pemahaman Hindu yang layak mendapat pemujaan adalah para leluhur, Bhatara, Dewa, Dewata, dan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi,). Ini bukan berarti umat Hindu tidak memuja para bhuta kala, melainkan cara yang disampaikan bukanlah dengan memuja, melainkan dengan cara menghormati para bhuta kala sebagai cetusan rasa kasih sayang. Karena Hindu dalam konsep panca yadnya harus menghormati kelima aspek dalam kehidupan, yakni memuja dan menghormati para Dewa, (Dewa yadnya). Memuja Roh suci leluhur (Pitra yadnya) menghormati guru-guru suci (Rsi yadnya) menghormati antarsesama manusia (manusia yadnya) dan menghormati para bhuta kala (Bhuta yadnya). Kelima aspek kehidupan ini telah ada dan dijalankan sejak masa silam hingga kini oleh masyarakat Bali.

Keberadaan yadnya di Bali menjadi semakin eksis dengan adanya pemahaman dengan konsep-konsep tattwa dan filsafat yang terkandung di dalamnya. Dengan melaksanakan panca yadnya sebagai pemujaan, ini berarti umat Hindu di Bali telah melakukan penghormatan kepada “sarva bhuta” atau “sarva prani” yang sebagai mana Vedanta mengatakan “Sarva Bhuta Namaskaram Kesavam Pratigarjathi” yakni menghormati semua makhluk ciptaan sama dengan menghormati Tuhan dan para dewa itu sendiri. Sehingga konsep yadnya yang ada dan dilaksanakan oleh masyarakat di Bali sudah sangat tepat. Para tetua dan Leluhur kita di Bali seperti halnya Mpu Kuturan, Dang Hyang Nirarta, dan yang lainnya telah methikirkan dengan matang mengenai apa yang seharusnya dan dapat dilakukan oleh masyarakat Bali dengan rentang waktu yang cukup lama, temyata konsep yadnya sebagai suatu pemujaan merupakan jawabannya. Ecan konsep ini pun menjadi pesan-pesan utama dan abadi oleh setiap guru-guru suci masa kini.

Bhagawan Satya Narayana juga menekankan pada pelaksanaan yadnya dan menjadikan yadnya sebagai suatu pemujaan dan meditasi. Karena pada yadnya terdapat keempat jalan dalam pencapaian dan penyatuan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Brahman). Apakah itu bhakti, karma, jnana, dan juga yoga merupakan yadnya yang menjadi persembahan. Kata yadnya berarti rela berkorban atas dasar pertimbangan yang suci. Ini berarti di dalamnya ada lingkaran karma, karma menjadi persembahan jika hanya unsur bhakti yang terkandung di dalamnya. Bhakti akan menjadi pencerahan jika adanya pemahaman dan pengetahuan tentang yadnya itu (jnana) dan dengan pengetahuan akan mampu menyadari keberadaan yang abadi untuk mampu mencapai tataran raja yoga, yakni penyatuan kehathpan yang Tunggal atau kembali kepada konsep Vedanta yakin “aham Brahman Asmi” (Aku adalah Brahman) dan “Brahman atman aikyam” (Brahman dan atman adalah satu kesatuan). Pemahaman ini hanya mampu dan dapat dicapai oleh orang yang telah menguasai Yoga dalam kehidupannya.

Keberagamaan bagi masyarakat Bali sebagian besar menampakkan konsep bhakti dan karma ini berarti melaui duajalan utama ini, nantinya akan mampu menembus ranah pemahaman dan konsep atau jnana dan juga nantinya mencapai yoga atau penyatuan atman dan paramatman. Sehingga konsep pemujaan yang terjadi pada masyarakat Bali kebanyakan dimulai dengan pemujaan kepada roh suci leluhur karena pemahaman yang ada adalah bahwa leluhurlah yang akan mengantarkan pemujaan kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Jika orang Bali memuja dengan benar dan penuh keyakinan para leluhurnya, maka pemujaan dan persembahan suci yang dihaturkannya pun akan diantarkan menuju pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi.

Namun dalam peradaban Veda sebagaimana yang terjadi di negeri Bhrata warsa (India) yang dipuja terlebih dahulu adalah Dewa Agni sebagai pemimpin segala yadnya (Yadnya Purohito), dipercaya dewa Agni-lah yang akan mengantarkan segalapemujaan dan persembahan kehadapan para Dewa dan Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam Vedaveda sekalipun diawali dengan pemujaan kehadapan Dewa Agni. Ini bukan berarti umat Hindu di Bali tidak memuja Dewa Agni, melainkan tetap melakukan pemujaan kehadapan Dewa Agni bahkan ke dalam tataran yang lebih tinggi dan sattwika. Hal ini terjadi sebagaimana para leluhur kita mewariskan adanya homa yadnya dengan pelaksanaan Agni hotra. Di sinilah segala puja dan puji masyarakat Bali dipersembahkan kehadapan Dewa Agni.

Pemujaan kehadapan leluhur merupakan yadnya yang utama dikarenakan leluhur di Bali oleh masyarakat Bali kebanyakan menyamakan persepsi tentang leluhur sebagai dewa, Bhetara lingsir, kawitan (asal muasal) dan lain sebagainya ini tidak salah karena semuanya dilandaskan pada kesucian pikiran yakni adanya yadnya dan bhakti kehadapan-Nya.

Sinkronisasi Tattwa, Susila dan Upacara Dalam Pelaksanaan Yajna




        Pada awal penciptaan, Penguasa (Prajapati) menciptakan manusia bersama dengan kurban suci sambil menyampaikan sabda, “Berbahagialah engkau dengan kurban suci yajna) ini sebab pelaksanaannya akan menganugerahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan.”

     Pelaksanaan Upacara Yajna (ritual) di Bali sudah dirasakan be- rat dan sering ada penafsiran, bahwa pelaksanaan upacara (ritual) itu sudahjauh mehyimpang dan hakekat yajna yang sebenarnya. Keluhan tentang sangat beratnya pelaksanaan upacara di Bali dirasakan oleh masyarakat awam, cendekiawan, dan bahkan beberapa pejabat yang memiliki kepekaan sosial di daerah ini. Sangat dirasakan kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana (dana punia) untuk kepentingan dana sosial. Untuk itu diperlukan sinkronisasi pemahaman terhadap Tattwa, Susila, dan upacara tersebut.

Yajna sebagai filsafat dan landasan Upacara. Perlu dipahami, bahwa hakekat Yajna adalah pengorbanan yang tulus. Yajna tidak hanya dalam bentuk upacara (ritual) tetapi lebih banyak berdimensi sosial seperti pendidikan, kemanusiaan dan pemeliharaan lingkungan. Ada beberapa jenis Yajna yang mesti dipahami oleh umat Hindu. Yajna sebagai pengorbanan suci merupakan kewajiban sehari-hari.

        Satyam, Sivam, Sundaram sebagai azas kehidupan. Satyam (kebenaran) kebajikan (Sivam) dan keharmonisanl keseimbangan (sundaram) yang tidak seimbang bakal menimbulkan ketimpangan kehidupan. Kebajikan (Sivam) tanpa kebenaran (satyam) adalah sia-sia. Keharmonisanlkeseimbangan (sundaram) tanpa kebenaran (satyam), dan kebajikan adalah jauh dan moralitas.

         Kebahagiaan sejati memancar dan keseimbangan Satyam-Sivam-Sundaram. Dalam pelaksanaan Upacara Yajna (ritual) hendaknya pula dilandasi pemahaman terhadap ketiganya tersebut. Upacara Yajna (ritual) tanpa pemahaman yang benar terhadap pengertian, fungsi, dan makna dan upacara tersebut menjadikan ritual tersebut memberikan pahala yang maksimal. Pemahaman terhadap pelaksanaan upacara. Setiap bentuk Upacara Yajna mengandung pengertian, fungsi dan makna tertentu. Bentuk Upacara Yajna yang umum dikenal adalah Panca Yajna yang memiliki berbagai fungsi dan makna.

Satapatha Brahmana (XI.5 .6.1) yang merupakan kitab Brahmana dan Rgveda merumuskan sebagai berikut: Bhuta Yajna, yaitu persembahan rutin kepada para Bhuta. Manusa Yajna, pemberian nasi (makanan) untuk yang memerlukan. Pitra Yajna, yaitu persembahan kepada leluhur yang disebut svadha. Deva Yajna, persenthahan kepada para dewa yang disebut svaha. Brahma Yajna, yaitu belajar kitab suci Veda.

Manavadharmasastra III.70 yang merupakan kompedium hukum Hindu merumuskan sebagai berikut: Brahma Yajna, yaitu belajar dan mengajar dengan penuh keikhlasan. Pitra Yajna, yaitu menghaturkan Tarpana dan air suci kepada leluhur. Dewa Yajna, yaitu upacara menghaturkan api Homa (Agnihotra). Bhuta Yajna, menyelenggarakan Upacara Bali kepada para Bhuta. Nr (Nara) Yajna, yaitu menerima tamu dengan ramah-tamah.

Manavadharmasastra III.74 merumuskan dalam istilah yang sangat berbeda sebagai berikut: Ahuta, yaitu mengucapkan doa-doa suci berupa mantra Veda. Huta, yaitu persembahan berupa Api Homa (Agnihotra). Prahuta, Upacara Bali dipersembahkan di atas tanah kepada para Bhuta. Brahmahuta, yaitu memberikan penghormatan kepada para Brahmana. Prasita, yaitu persembahan Tarpana kepada para leluhur.

Manavadharmasastra III. 81 merumuskan. sebagai berikut:
Svadhyaya Yajna, yaitu mengabdi kepada guru suci, sembahyang kepada para Rsj dengan mempelajari mantra Veda. Deva Yajna, yaitu mempersembahkan biji-bijian yang dibakar (melalui Agnihotra).

           Pitra Yajna, yaitu mempersembahkan upacara Sraddha kepada leluhur. Nr (Nara) Yajna, yaitu memberikan makanan kepada masyarakat. BhutaYajna, yaitu menghaturkan upacara Bali Karma (di Bali berubah menjadi Valikrama) kepada para Bhuta. Selanjutnya sumber-sumber berbahasa Jawa Kuno yang menguraikan rumusan tentang Panca Yajna antara lain:
Korawasrama dan Agastyaparwa yang masirig-masing merumuskan sebagai berikut:
Korawasrama: Dewa Yajna, yaitu persembahan sesajen dengan mengucapkan Sruti dan Stava pada waktu bulan purnama. Rsi Yajna, yaitu mempersembahkan punia, buahbuahan dan makanan, serta barang-barang yang tidak mudah rusak (Daksina) kepada para Rsi. Bhuta Yajna, yaitu mempersembahkan puja dan caru. Manusa Yajna,yaitu memberikan makanan kepada masyarakat. Pitra Yajna. yaitu mempersembahkan puja dan bhakti kepada para leluhur.
Agastyaparwa: Dewa Yajna, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian kepada, Sivagni (dalam bentuk Agnihotra). Rsi Yajna, yaitu penghormatan kepada orang-orang bijaksana serta memiliki pengetahuan tentang hakekat penjelmaan sebagai makhluk hidup.
Pitra Yajna, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam Siva. Bhuta Yajna, yaitu upacara menyejahterakan tumbuh-tumbuhan, bumi dan bulan. Persembahan berupa caru (Tawur) dan Pancavalikrama. Manusa Yajna, yaitu memberikan makanan kepada masyarakat.
Dan kutipan tersebut di atas, maka rumusan PancaYajna menurut Agastyaparwa kiranya yang sangat dekat dengan pelaksanaan upacara Panca Yajna di Bali (Indonesia) walaupun C. Hooykaas (1975 : 251) mengatakan, bahwa khusus untuk Manusa Yajna telah terjadi penafsiran yang berbeda, yakni upacara yang berhubungan kelahiran (rites depassages). Di India, upacara yang berhubungan dengan kelahiran manusia (sejak kehamilan) disebut Sarira Samskara (upacara penyucian diri manusia /Rajbah Pandey, 1991 ).

Beberapa fungsi Upacara Yajna:
Selu. rerbahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Para Dewa. Roh suci Leluhur dan makhluk halus (gaib). Sebagai saranai/simbol untuk pemeliharaan alam semesta dan makhluk hidup ciptaan-Nya. Beberapa makna yang terkandung dari Upacara Yajna: Makna teologis, sebagai persembahan dan penggambaran keagungan-Nya; Makna edukatif (pendidikan), sebagai sarana perubahan perilaku. Makna sosiologis, sebagai wujud solidaritas (kebersamaan dalam kehidupan) dalam suka dan duka. Hakekat pelaksanaan upacara adalah perubahan perilaku. Pengorbanan diri, seperti halnya kutipan Bhagavadgita di atas yang sumbernya kitab suci Veda (Purusa Sukta/Rgveda X.90. 7-8). Memperoleh kebahagiaan yang sejati. Meningkatkan kesadaran untuk mengumpulkan Dana Sosial. Yajna merupakan salah satu perwujudan dari 7 jenis pelaksanaan Dharma (kebajikan) menurut Wrhaspati Tattwa (26) berupa: Sila (etika), Yajna (pengorbanan), Tapa (pengendalian diri), Dana (pemberian/dana punya), Pravrijya (berkeliling memperluas wawasan pengetahuan), Diksa (penyucian diri/dvijati), dan Yoga (senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa).

          Dana (pemberian) merupakan salah satu perwujudan dari 7 jenis pelaksanaan Dharma di atas. Dimensi sosial dan Upacara Yajna sekiranya dianggarkan 5 sampai 10 persen dari anggaran pelaksaan ritual tersebut, tergantung kesepakatan komunitas sosialnya. Semakin besar dimensi sosial yang dilandasi kesadaran terhadap ajaran agama, mensikronisasikan pemahaman terhadap Tattwa, memancar dalam perilaku (susila) dan pelaksanaan ritual.

Etika Mencari Untung dalam Berbisnis Menurut Hindu


Etika Mencari Untung dalam Berbisnis Menurut Hindu

Dalam kemajuan jaman sekarang ini sudah tidak relevan dibicarakan teori bisnis kiasik yang menyatakan “dengan modal sekecil-kecilnya mencari untung sebesar-besarnya”. Hal itu sudah tidak masuk akal. Dalam proses bisnis tersebut, investasi yang paling utama adalah kemampuan untuk menyusun “bisnis plan” yang relevan dengan perkembangan jaman. Bisnis yang relevan dengan perkembangan jaman adalah bisnis yang rnenguntungkan semua pihak yang terlibat dalam proses bisnis. Proses mencari untung benar-benar berdasarkan perhitungan menguntungkan semua pihak secara wajar dan adil. Di Bali para tetua jaman lampau meninggalkan konsep mencari Untung dengan istilah dalam bahsa Bali: ‘bani meli bani ngadep”. ini artinya pebisnis itu tidak memikirkan keuntungan diri sendiri. Yang juga harus mendapatkan perhatian seimbang adalah pembeli atau customer.

Dalam istilah “bani meli bani ngadep” itu terdapat rasa keadilan yang dirumuskan secara sadar dalam harga jual suatu produk bisnis. Dengan demikian proses mencari untung dalam bisnis itu sudah benar-benar memperhitungkan rasa keadilan. Tidak terkandung ambisi hanya mengejar untung saja tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Dalam istilah tersebut penjual tidak rugi pembeli pun tetap merasa diuntungkan. Istilah “bani meli bani ngadep “ yang diwariskan oleh leluhur orang Bali ini semakin jarang didengungkan dalam bidang bisnis.Hal ini menyebabkan semakin merosotnya penggunaan moral dalam dinamika bisnis. Mencari untung dalam bisnis semakin tidak menghiraukan keadilan, kejujuran, kewajaran. Hahkan menipu sekalipun dilakukan dalam mengerjar untung. Hal ini sebagai akibat beragama dan berbisnis dipisahkan bahkan dibuat berdikotomi.

Cara memproleh kekayaan secara terhormat itu antara lain dengan melakukan pelayanan yang prima dan bermoral dalam bidang bisnis. Mengapa dewasa ini kebahagiaan dan kedamaian umat manusia tidak semakin bertambah. Karena dewasa ini masih banyak umat manusia mencari kekayaan dengan cara yang tidak terhormat. Bahkan kalau boleh dibilang kebanyakan orang mencari kekayaan dengan cara yang tidak terhormat.Seandainya pendidikan dijadikan media untuk membangun kharakter dan peluang bisnis dijadikan media untuk mencari kekayaan dengan cara terhormat, maka kebahagiaan dan kedamaian akan semakin bertambah. Setiap denyut kehidupan sesungguhnya terpampang peluang untuk melakukan pelayanan yang prima kepada sesama. Apa lagi di bidang bisnis peluang untuk melakukan pelayanan sangat luas itu memberikan keuntungan material dan keuntungan moral.
Mencari untung yang tidak terhormat dalam bisnis ujung-ujungnya banyak menimbulkan petengkaran yang sampai masuk ke pengadilan. Memang hal ini banyak melahirkan lapangan kerja bagi para Pengacara. Memperoleh keuntungan yang tidak terhormat banyak menimbulkan vibrasi negatif dalam masyarakat terutama para pelaku bisnis. Saling mempercayai dalam hubungan bisnis pun berobah menjadi saling curigai. Rendahnya saling mempercayai dan ruwetnya birokrasi juga menimbulkan semakin meningkatnya biaya produksi suatu usaha bisnis.Mencari untung dengan caraterhormat seperti melalui pelayanan yang bermoral akan dapat menyederhanakan birokrasi.Birokrasi yang tidak ruwet dapat membangun efisiensi bisnis.Keuntunganpun didapatkan lebih terhormat.

Pelayanan dalam Bisnis Harus Bermoral
Salah satu fungsi bisnis adalah sebagai media pelayanan kepada masyarakat luas dalam mendapatkan barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu bisnis. Pelayanan yang paling utama adalah memberikan produk barang atau jasa yang sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh custumer atau konsumen.Kemasan barang dan isinya harus sesuai. Jangan kemasan barang dinyatakan asli, tetapi isi di dalamnya imitasi, bahkan benar-benar palsu. Demikian juga volumenya. Kalau kemasannya dinyatakan satu kilo misalnya jangan kenyataanya kurang dan satu kilo. Membohongi langganan atau menipu harga-harganya perbuatan dagang seperti itu sangat dilarang oleh kitab Manawa Dharmasastra IX, 287. Perbuatan seperti itu adalah perbuatan dosa yang patut dihukum oleh penguasa. Demikian Sloka Manawa Dharmasastra tersebut menyatakan.

Ada juga pebisnis melakukan pelayanan yang palsu untuk menutupi kualitas barang atau jasa yang dipasarkan. Misalnya melalui iklan yang dilebih-lebihkan lewat berbagai media. Jelas pelayanan ini termasuk perbuatan dosa dengan membohongi langganan. Ada juga usaha bisnis dengan mengeksploitasi kecantikan dan keindahan wanita untuk menarik costumer. Mengeksploitasi kemolekan wanita untuk tujuan promosi bisnis adalah usaha pelayanan yang tidak bermoral. Ini bukan berarti wanita cantik tidak boleh berbisnis. Wanita cantik tentunya syah-syah saja berbisnis namun jangan sampai ditampilkan seronok melanggar etika moral. Pelayanan dalam bisnis hendaknya jangan sampai berbohong, menipu dan melanggar etika moral. Inilah nampaknya yang sulit diwujudkan oleh sementara pebisnis. Kebohongan, penipuan dan mengeksploitasi kemolekan tubuh wanita dalam pelayanan bisnis menyebabkan banyak keluhan masyarakat konsumen dalam memperoleh barang dan jasa yang sesuai dengan uang yang dikeluarkan oleh kunsumen.

Pelayanan hendaknya diyakini sebagai suatu swadharma yang memang wajib dilakukan oleh pebisnis yang baik.Yakinlah Tuhan akan melimpahkan karunia kepada pebisnis yang jujur dan tulus melayani langganan. Pelayanan itu diberikan bukan karena semata-mata pebisnis mendapatkan untung uang dan konsumen. Tetapi karena seorang pebisnis memang swadharmanya melayani masyarakat konsumen dengan jujur, ikhlas dan penuh tanggung jawab. Mengapa harus demikian, karena ajaran agama memang sudah demikian menentukan swadharma seorang pebisnis atau Waisya Warna.

Dalam Mahabharata diajarkan bahwa barang siapa melindungi Dharma iapun akan dilindungi oleh Dharma. ”Dharma raksitah raksati”. Artinya melindungi Dharma akan dilindungi oleh Dharma. Ada cerita dalam kitab Cina Kata. Ada seorang Sanyasin Pemarah. Suatu hari bermeditasi di bawah pohon. Di atas pohon ada seekor burung bertengger terus berak. Kepala Sanyasin Pemarah itu kena beraknya burung tersebut. Sanyasin tersebut memandang dengan marah dan menggunakan Sidhi-nya membakar burung itu hidup-hidup. Burung tersebut pun mati terbakar.

Suatu hari Sanyasin itu datang ke seorang ibu pedagang untuk minta makan sore. Seorang Sanyasin memang hidupnya hanya dari minta-minta. Orang yang dapat melayani seorang Sanyasin memberi makan minum akan mendapatkan pahala yang sangat mulia, demikian ajaran Sastra Agama Hindu mengajarkan. Saat Sanyasin Pemarah itu minta dilayani diberikan makan minum, ibu pedagang tersebut sedang sibuk melayani langganannya. Hal itu menyebabkan ibu pedagang tersebut tidak cepat dapat melayani Sanyasin Pemarah tersebut. Sanyasin itu pun marah dan menggunakan Sidhi-nya mau mencelakakan ibu pedagang tersebut. Tetapi Sidhi Sanyasin pemarah itu tidak mempan membakar ibu pedagang tersebut. Mengapa demikian, karena ibu pedagang itu dilindungi oleh swadharmanya, yaitu melayani langganannya yang sedang berbelanja.

Jadi, seorang pebisnis yang dengan penuh kejujuran, ketulusan dan bertanggung jawab dalam melayani para langganannya akan mendapatkan pahala kerokhanian dari Tuhan Yang Mahaesa. Dari ceritra kitab Cina Kata itu kita dapat menarik kesimpulan, bahwa para pebisnis dalam memberikan pelayanan yang baik dan bermoral kepada langganannya bukan saja ia mendapatkan keuntungan material, juga akan mendapatkan keuntungan spiritual. Karena memang demikianlah agama menentukan swadharma seorang pebisnis. Kalau sikap pelayanan yang demikian dapat dikembangkan oleh para pebisnis, yakinlah Tuhan akan mencurahkan karunianya kepada mereka-mereka yang berbisnis dengan palayanan yang berkualitas seperti itu. Kalau pelayanan bisnis itu hanya berdasarkan motif untuk mengejar untung material semata, maka seorang pebisnis hanya memperoleh kepuasan lahiriah saja. Kalau pelayanan itu dilakukan dengan kejujuran, ketulusan dan bermoral maka disamping memperoleh keuntungan material juga keuntungan sosial dan spiritual.
Drs. Ketut Wiana, M.Ag, Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, dosen IHDN Denpasar.

Dharma Negara dan Pilpres

Dharma Negara dan Pilpres


Oleh I Ketut Wiana
Yajnyatapahda¬nakarmana
tyagamkaryameva tat,
yadnyotapahdanam caiva
pavananimanisinam
(Bhagavadgita, XVIII, 5)
Maksudnya: Hendaknya tidak pernah dihentikan melakukan yadnya, tapa dan dana dalam hidup ini. Orang bijaksana akan mencapai tyaga atau jiwa yang ikhlas dan suci kalau senantiasa melakukan yadnya, tapa dan dana itu.

MELAKUKAN yadnya itu adalah suatu perbuatan baik berdasarkan kebenaran dan kesucian hati sebagai wujud persembahan kepada Tuhan. Berbuat yadnya itu dalam wujud asih kepada semua makhluk ciptaan Tuhan, dalam wujud punia kepada sesama umat manusia. Asih dan punia itu sebagai bagian dari wujud bhakti pada Tuhan. Ini artinya yadnya itu dilakukan dengan memelihara kelestarian lingkungan hidup dengan landasan asih. Melakukan pengabdian pada sesama manusia dengan landasan Punia. Itulah wujud bhakti yang sungguh-sungguh manusia pada Tuhan.
Melakukan yadnya itu banyak ujian yang akan menghadangnya seperti berbentuk berbagai godaan. Karenanya diingatkan oleh sloka Bhagawad Gita itu agar orang senantiasa meningkatkan kemampuan tapa. Artinya meningkatkan daya tahan moral dan mental agar upaya melakukan yadnya berhasil sukses. Suksesnya pengamalan yadnya sampai dapat melakukan danaataumenghasilkansuatukontribusidalam kehidupanbersamaitu.
Dana artinya memberikan kepada sesama untuk meningkatkan mutu hidup lahir dan batin. Yadnya dan tapa yang sukses dapat memberikan kontribusi (dana) nonmaterial dan kontribusi material. Suatu yadnya dan tapa yang baik dapat memberikan kontribusi yang disebut abhaya daa dan sarwa dana. Abhaya dana adalah kontribusi kepada masyarakat dalam wujud rasa aman. Sedangkan sarwa dana adalah kontribusi dalam wujud sosial ekonomi dalam wujud material.
Yang melakukan yadnya dan tapa dan yang menghasilkan dana itu adalah manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan. Betapapun sempurnanya yadnya, tapa dan dana yang dilakukan pasti ada saja kekurangannya. Karena itu, terimalah berbagai kekurangan itu dengan sikap tyaga yaitu ikhlas menerima kekurangan sesama sebagai wujud kesadaran bahwa yang maha sempurna itu hanyalah Tuhan. Sikap hidup seperti itulah yang akan mendatangkan santi anantaram atau perdamaian yang lebih kekal.
Melakukan dana punia atau pengabdian pada sesama didasarkan kehendak bersama dalam suatu sistem hidup bersama. Untuk membangun sistem hidup bersama dengan cara membangun sistem hidup demokrasi. Artinya, apapun bentuk sistem hidup bersama itu atas dasar kehendak bersama.
Membangun kehidupan bersama dalam suatu wilayah negara dalam masyarakat Hindu disebut Dharma Negara. Dharma Negara itu adalah suatu kewajiban hidup yang wajib dilakukan dalam kehidupan bernegara. Ada kewajiban warga negara, kewajiban lembaga negara dan ada kewajiban mereka yang duduk dalam lembaga negara tersebut. Bentuk dan fungsi masing-masing kewajiban dalam kehidupan bernegara itu berbeda-beda, namun perbedaan saling melengkapi.
Saat ini, dalam kehidupan bernegara di Indonesia sedang terjadi pembangunan berdemokrasi dengan adanya pemilu legislatif (Pileg) dan baru saja pemilihan presiden (Pilpres). Dalam proses Pilpres, semua pihak rasanya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan Dharma Negara sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan berdasarkan norma hukum yang berlaku dan norma-norma lainnya.
Masyarakat pemilih, lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilu, para calon dengan timnya masing-masing, hingga para relawan sudah melakukan swadharma-nya masing-masing. Semua pihak dalam mengamalkan Dharma Negara dalam pemilu ini tentunya dengan berbagai keterbatasannya masing-masing.
Proses Peleg dan Pilpres sebagai pengejawantahan hidup demokrasi telah memberikan kontribusi positif dalam kehidupan bernegara. Kontribusi itu tentunya harus diterima dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Proses demokrasi itu telah berhasil merumuskan kehendak rakyat. Dalam proses demokrasi itu rakyat telah berhasil menetapkan wakil-wakilnya di lembaga legislatif di tingkat nasional sampai di tingkat daerah. Pun dalam Pilpres, rakyat telah berhasil menelorkan tiga pasangan capres/cawapres. Ketiga pasangan itu memiliki jasa besar dalam mensukseskan pentas demokrasi di Indonesia.
Menjadi Presiden adalah pekerjaan yang maha berat dengan beban tanggung jawab yang amat tinggi dan penuh risiko. Dengan bersedianya mereka dicalonkan sebagai capres/cawapres tentunya karena semangat pengabdian mereka yang tinggi pada bangsa dan negara. Apalagi ketiga pasangan itu terbukti telah berkompetisi dengan cantik. Berbagai perbedaan dan juga beberapa gesekan di antara tiga pasangan dengan tim suksesnya tidak sampai menimbulkan chaos sosial politik yang berarti.
Bangsa atau warga negara Indonesia pun seyogianya berterima kasih kepada mereka semua karena mereka sudah berhasil pentas dalam arena politik bangsa dengan cukup cantik. Semoga pentas demokrasi dalam pemilu di Indonesia ini benar-benar dijadikan media ber-yadnya dan ber-tapa bagi para politisi Indonesia. Dengan begitu, pentas para politisi Indonesia ini akan dapat memberikan kontribusi (dana) berupa abhaya dana dan sarwa dana.
Abhaya dana itu berupa semakin munculnya rasa aman dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia ini. Pun dapat memunculkan sarwa dana dalam kehidupan ekonomi bangsa. Sarwa dana adalah hasil pentas demokrasi yang menghasilkan pemerintahan kuat dan bersih untuk menciptakan kesejahteraan yang adil. Berbagai kekurangan dari berbagai pihak dalam proses demokrasi ini hendaknya diterima dengan sikap tyaga -- ikhlas dan tawakal. Berbagai kekurangan dapat diterima dengan ikhlas dan rasional.

Kisah si “GANESH”


suatu hari Dewi Parwati ingin mandi, maka dia panggil pengawal, tapi pengawal sedang tidak ada. Lalu dia panggil anak laki-lakinya yang ternyata juga sedang pergi. Akhirnya dipanggilnya anak angkatnya yang bernama Ganesh (kalau di Indonesia sepertinya disebut Ganesha atau Ganesa). Lalu dia berpesan: “Ganesh, Kau jaga pintu di depan rumah, Ibu mau mandi, jangan biarkan seorangpun juga memasuki rumah ini ketika ibu sedang mandi”. Ganesh si anak angkat yang patuh itu pun mengangguk dan duduk berjaga di depan pintu. Tak lama kemudian ketika Dewi Parwati sedang mandi, kebetulan Bhatara Shiwa (Dewa Shiwa) datang dan hendak memasuki rumah. Ganesh, sesuai perintah ibu angkatnya tentu saja tidak mengizinkan.
Kisah si “GANESH”
Suatu hari Dewi Parwati ingin mandi, maka dia panggil pengawal, tapi pengawal sedang tidak ada. Lalu dia panggil anak laki-lakinya yang ternyata juga sedang pergi. Akhirnya dipanggilnya anak angkatnya yang bernama Ganesh (kalau di Indonesia sepertinya disebut Ganesha atau Ganesa). Lalu dia berpesan: “Ganesh, Kau jaga pintu di depan rumah, Ibu mau mandi, jangan biarkan seorangpun juga memasuki rumah ini ketika ibu sedang mandi”. Ganesh si anak angkat yang patuh itu pun mengangguk dan duduk berjaga di depan pintu. Tak lama kemudian ketika Dewi Parwati sedang mandi, kebetulan Bhatara Shiwa (Dewa Shiwa) datang dan hendak memasuki rumah. Ganesh, sesuai perintah ibu angkatnya tentu saja tidak mengizinkan.
 
Bhatara Shiwa lalu marah, “Kenapa saya tidak boleh memasuki rumah ini?”.
 
Ganesh menjawab: “Ibu sedang mandi, dan beliau berpesan agar saya tidak mengizinkan satu orang pun memasuki rumah ini ketika beliau sedang mandi”.
 
Bhatara Shiwa bertambah marah: “ Saya akan memasuki rumah ini, tidak boleh ada yang melarang!”.
 
Ganesh tetap menghambat, sehingga Bhatara Shiwa makin marah. Ia lalu menghunus senjatanya sambil bertanya:”Kamu tahu siapa saya?”
 
Ganesh dengan tenang menjawab: “TIDAK”. Karena dia memang tidak tahu.
 
Kemarahan Bhatara Shiwa mencapai puncaknya, ia berseru: “Saya adalah Bhatara Shiwa, yang punya rumah ini!” Lalu dengan sekali tebas, kepala Ganesh sudah terlepas kena pancungan Bhatara Shiwa.
 
Ketika Dewi Parwati selesai mandi dan mengetahui apa yang terjadi, ia marah kepada Bhatara Shiwa. “Kamu sadar bahwa kamu telah membunuh seorang anak yang tidak bersalah? Dia melarang itu hanya karena menuruti perintah saya”. Bhatara Shiwa terdiam, lalu Dewi Parwati memberi ultimatum bahwa Ganesh harus dihidupkan kembali.
 
Menurut kepercayaan mereka waktu itu, Kalau ada orang meninggal karena terpancung, dan jika ada orang lain yang ‘pertama’ lewat disekitar itu lalu diambil kepalanya (dengan cara dipancung juga) kemudian kepala orang kedua dipasangkan ke badan orang yang pertama, maka orang yang pertama tadi bisa hidup kembali. Maka Bhatara Shiwa lalu menyuruh semua pengawal berpencar di sekitar rumah Dewi Parwati (yang sebenarnya juga rumah Bhatara Shiwa) untuk mencari orang yang kepalanya bisa dipasangkan ke badan Ganesh. Ternyata setelah waktu berapa lama, tidak ada juga orang yang lewat di sana.
 
Ketika harapan sudah hampir pupus, tiba-tiba seekor gajah lewat. Apa boleh buat, yang ‘pertama’ lewat ternyata bukan manusia, tetapi gajah. Pengawal dengan sigap memenggal kepala gajah lalu memasangkannya ke badan Ganesh. Ganesh pun hidup kembali, walaupun dengan kepala gajah.
 
Apakah Ganesh kemudian marah? TIDAK. Dia tidak menyesali ibu angkatnya, walaupun ia terpancung karena menjalankan perintah ibunya itu. Ganesh juga tidak menyalahkan Bhatara Shiwa yang memancung kepalanya, karena Bhatara Shiwa hanya ingin memasuki rumahnya sendiri. Apakah Ganesh menyesali keadaannya? Juga TIDAK. Dia hanya bersyukur bisa hidup kembali walaupun dengan kepala yang sudah berganti. Tidak ada dendam dan penyesalan pada diri Ganesh. Dia hanya ingin tetap menjadi anak yang baik dan patuh kepada orang tuanya.
 
Keadaan ini akhirnya membuat Ganesh di boyong ke istana Bhatara Shiwa dan dijadikan pengawal kerajaan. Suatu hari dia akan mengawal Dewi Parwati dan anggota keluarga lainnya. Ketika semua naik burung Garudh (kalau di kita mungkin maksudnya garuda), ternyata Ganesh tidak kebagian tempat dan hanya naik burung biasa. Ketika yang lain bisa berjalan-jalan sejauh mungkin, Ganesh dengan kondisi dan posisinya hanya bisa berputar-putar di sekeliling istana. Semua itu dijalani Ganesh tetap dengan tawa dan ceria, tanpa harus merasa rendah diri. Wajahnya memang telah berubah menjadi si buruk rupa, tapi tidak hatinya. Ia tetap bekerja dan melaksanakan setiap tugasnya dengan sungguh-sungguh dan membantu setiap orang yang membutuhkannya.
 
Akhirnya hati Bhatara Shiwa pun luluh dan bersabda: “Ganesh, selama hidupmu, dimanapun kau berada, kamu akan selalu bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekeliling kamu!”
 
Begitulah kira-kira ‘inti’ dari legenda Ganesh yang diceritakan peneliti dan ahli kebudayaan Asia, Dr. Bachchan di ruang kerjanya, ketika saya berkunjung ke kantornya di Indira Gandhi National Center, New Delhi, dua bulan yang lalu.
 
Sebenarnya beliau mengundang saya waktu itu hanya untuk membicarakan tentang kegiatan ASF, dan memberikan beberapa nasehat dan wejangan, ketika tiba-tiba saya melihat gambar Ganesh di salah satu sudut ruangannya dan spontan saya bertanya, karena setahu saya di ITB juga ada ‘gajah duduk’ (walaupun yang saya lihat di ruangan pak Bachchan itu si Ganesh berupa manusia yang sedang duduk dengan kepala gajah yang utuh, tapi badan, tangan dan kakinya normal). Agak berbeda dengan yang saya lihat di ITB, karena “Ganesa” yang lambang ITB setahu saya salah satu gadingnya patah, ia menyandang kapak, selendang dan memegang buku, dan… cawan??, yang pastinya semua itu juga punya makna tersendiri bagi orang-orang ITB (saya bukan orang ITB, jadi mohon di koreksi oleh orang-orang dari ITB kalau saya salah).
 
Diskusi lalu beralih ke Ganesh.
Beliau (Bachchan) lalu bilang: Lihatlah my sister, betapa banyak filosofi dan pelajaran hidup, yang ternyata dapat kita petik dari kisah si Ganesh ini, antara lain:
1) Cerita Ganesh mengajarkan kita agar teguh memegang amanah. Lihatlah betapa Ganesh yang sudah berjanji untuk melaksanakan perintah ibu (angkat)nya, benar-benar teguh dan bertanggung jawab sekalipun ia harus kehilangan kepalanya.
2) Cerita Ganesh juga mengingatkan kita agar jangan cepat mengambil keputusan atau bertindak ketika pikiran dan perasaan masih sedang diliputi emosi. Lihatlah Bhatara Shiwa yang akhirnya juga menyesal karena terlanjur memenggal kepala si Ganesh.
3) Kita diingatkan agar tidak mudah menyalahkan orang lain ataupun berburuk sangka atas apa yang menimpa diri kita. Ganesh tidak pernah menyesali Dewi Parwati yang telah membuat kepalanya terpancung, dan juga tidak menyalahkan Bhatara Shiwa yang memancung kepalanya.
4) Ganesh juga mampu membuang jauh-jauh rasa dendam dalam hatinya atas apa yang telah terjadi dan menimpa dirinya.
5) Ganesh bekerja tanpa pamrih, walaupun fasilitas yang diterima kadang-kadang kurang sesuai dengan yang seharusnya, ia tetap bekerja sebaik-baiknya dan tidak menuntut macam-macam.
6) Ganesh boleh saja wajahnya si buruk rupa, tapi tidak untuk hatinya.
7) Ganesh mengajarkan agar hidup itu tetap dijalankan dengan ceria dan optimisme, dan berbuat yang terbaik sesuai kemampuan kita walaupun kita punya keterbatasan, baik keterbatasan fisik, pikiran, tenaga ataupun harta.
8) Ganesh mengajarkan agar kita tidak mudah menyerah, apalagi rendah diri dengan kekurangan yang ada, tetapi justru mengoptimalkan potensi yang dimiliki, tanpa perlu merasa sombong, hebat atau benar sendiri.
9) Ganesh juga mengajarkan bagaimana menjadi orang yang selalu berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain, dimanapun ia berada.
 
Yah...., Saya terdiam. Betul yang dinasehatkan senior saya itu, memang alangkah indahnya mungkin dunia ini kalau kita bisa mempunyai sifat-sifat Ganesh di atas. Semoga Tuhan mengarahkan kita ke jalan dan kehidupan yang lebih baik.
 
Beliau yang juga pernah tinggal di Indonesia selama beberapa bulan untuk meneliti itu lalu melanjutkan. ”Mungkin itulah sebabnya, salah satu perguruan tinggi di negaramu di Bandung sana, ITB, juga menjadikan Ganesh sebagai ’icon’ nya. Barangkali dengan tujuan agar lulusannya adalah orang-orang yang juga luar biasa seperti Ganesh.”

Pemimpin Berwawasan Nitisastra


Oleh : Agus Muliana

Wahai pemimpin negara, datanglah dengan cahaya, lindungilah rakyat dengan penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin yang utama, seluruh penjuru memanggil dan memohon perlindunganmu, raihlah kehormatan dan pujian dalam negara ini.
(Atharva Veda: 3.4.1)

Pemimpin adalah tokoh yang sangat dibutuhkan dalam sebuah kelompok. Demikian pula halnya dengan seorang kepala daerah di suatu kabupaten/kota, peran pemimpin sangat dibutuhkan. Kemajuan suatu daerah sangat ditentukan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin yang berwawasan luas, kreatif, inovatif, dan berbagai sifat-sifat utama lain dapat menjadikan suatu daerah berkembang lebih baik daripada daerah yang lain. Sebaliknya pemimpin yang korup, egois, berwawasan sempit akan mengantarkan suatu daerah ke dalam keterpurukan. Hal ini dapat dilihat dalam kepemimpinan Destarata yang membawa Hastina Pura ke dalam perpecahan dan kehancuran dalam cerita Mahabharata.

Dewasa ini pun kepemimpinan seperti Destarata ini masih terjadi. Pemimpin daerah sibuk dalam upaya untuk memperkaya diri dan keluarganya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Hukum diterapkan dengan berat sebelah. Orang-orang suci dan pemuka agama tidak dihormati. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pun diabaikannya demi kepentingan pribadinya. Pemimpin telah dibutakan oleh ambisi-ambisi pribadinya.

Hal ini juga terjadi di Bali. Sejak jaman kerajaan sampai sekarang ini fenomena pemimpin seperti ini masih saja terjadi. Bertambah majunya ilmu pengetahuan dan pendidikan ternyata tidak memberikan dampak positif bagi moral para pemimpin.

Untuk itu Pustaka Niti Sastra sebagai pedoman bagi para pemimpin hendaknya dapat diamalkan. Dijelaskan, bahwa ada enam sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ada pun kriteria kepemimpinan menurut Pustaka Niti Sastra yaitu:

1.    Abhikamika
Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi ke bawah dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongannya. Pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dalam kepemimpinannya sangat sulit kita temukan. Pemimpin cenderung memperkaya diri. Adalah hal yang aneh apabila seorang pemimpin dapat mempunyai kekayaaan bermiliar-miliar banyaknya padahal gajinya hanya beberapa puluh juta. Mahalnya biaya kampanye juga turut andil mendorong tindak korupsi dari para pemimpin. Berkampanye di tengah masyarakat yang semakin apatis dengan Pilkada memang tidak mudah. Diperlukan uang dalam jumlah yang besar untuk menarik simpati warga karena memang kecenderungan orang dewasa ini adalah materialistis.

2.    Prajna
Pemimpin, harus bersikap arif dan bijaksana dan menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama serta dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya. Kebijaksanaan seorang pemimpin akan menuntun seorang pemimpin untuk membuat berbagai kebijakan yang pro rakyat. Pemimpin yang bijak juga tentunya akan mencari solusi-solusi terbaik ketika daerahnya menghadapi masalah. Pemimpin yang tidak bijaksana akan cenderung membuat kebijakan-kebijakan yang aneh dan di luar ajaran agama.

Pemimpin juga hendaknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya kita tidak ingin daerah kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang bodoh. Pemimpin yang bodoh tentu akan berdampak buruk bagi kemajuan suatu daerah. Pemimpin hendaknya seorang yang cerdas yang menguasai ilmu politik, hukum, budaya, dan berbagai cabang ilmu lain sehingga mampu memberikan kebijakan-kebijakan yang inovatif dalam pemerintahannya. Penguasaan dan pengguanaan teknologi tentu juga tidak kalah pentingnya. Penggunaan teknologi akan mampu membuat seorang pemimpin bekeija lebih efektif dan efisien dalam kepemimpinannya.

Penguasaan terhadap ajaran agama juga sangat penting bagi seorang pemimpin. Kenderungan umum dari pemimpin di Bali adalah sangat aktif menunjukkan dirinya seorang yang religius ketika pilkada tetapi mengabaikan kehidupan beragama ketika menjabat. Ketika Pilkada banyak pemimpin yang rnendatangi berbagai pura untuk memohon kesuksesan dalam Pilkada. Para kandidat pemimpin itu ikut berdana punia dalam jumlah yang besar. Pemangku-pemangkunya juga diberikan bantuan lain. Namun hal itu hanya bersifat sementara. Ketika menjabat mereka ini malah mengabaikan pura dan tempat-tempat suci. Banyak areal suci yang dijual ke investor untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kebersihan pura-pura juga terabaikan. Kesejahteraan para pemangku dan suliggih pun tidak diperhatikan lagi.

3.    Utsaha
Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat. Pemimpin seperti ini akan membuat kemajuan daerah sangat pesat. Gagasan yang kreatif dan inovatif yang disertai dengan peran aktif pemimpin akan membuat gagasan tersebut berhasil dijalankan sehingga kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan. Hal ini misalnya dengan mengolah lahan kering dan tandus menjadi obyek wisata. Selama ini pemimpin Bali cenderung kurang kreatif. Pemimpin Bali terlalu terpaku pada pariwisata. Dampaknya tentu sangat besar ketika industri pariwisata jatuh. Perekonomian menjadi terpuruk karena Bali terlalu tegantung kepada pariwisata dan tidak ada altenatif lain. Semestinya pemimpin Bali mencari alternatif baru sehingga ketika pariwisata terpuruk perekonomian juga tidak terpengaruh.

4.    Atma Sampad
Pemimpin mempunyai kepribadian, berintegritas tinggi, moral yang luhur serta obyektif dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan demi kemajuan bangsanya. Integritas yang tinggi mungkin sangat jarang kita lihat sekarang ini. Kebanyakan para pemimpin hanya mengumbar janji-janji yang tidak pernah ditepati. Kesatuan akan ucapan dengan tindakan sesungguhnya sangat penting bagi rakyat. Kekecewaan rakyat terhadap janji-janji bisa jadi merupakan bumerang bagi seorang pemimpin. Dapat saja rakyat melakukan mosi tidak percaya dan menjatuhkan pemerintahan seperti halnya yang terjadi pada Presiden Soeharto. Bagaimanapun juga kepemimpinan adalah amanat dari rakyat.

Moral yang baik juga sangat penting bagi seorang pemimpin. Bagaimanapun pemimpin adalah panutan rakyat dalam bertingkah laku. Tingkah laku yang kurang baik tentu sangat tidak diharapkan. Seberat apa pun masalah yang dihadapi seorang pemimpin hendaknya dihadapi dengan cara-cara yang bermartabat bukan dengan aksi-aksi premanisme yang memaksakan kehendak dan main hakim sendiri.

5.    Sakya Samanta
Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan dan berani menindak secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih/tegas. Kontrol terhadap kinerja bawahan juga sangat penting. Bagaimanapun juga pelaksana dari program-program pemimpin adalah para bawahannya sehingga perlu dilakukan kontrol terhadap kinerjanya. Perhargaan terhadap mereka yang berprestasi dan hukuman bagi mereka yang berkinerja buruk perlu dilakukan. Sudah saatnya mereka yang berkinerja baik mendapat kedudukan yang baik pula. Selama ini kedudukan dan jabatan tertentu cenderung diberikan kepada kerabat dekat saja sedangkan mereka yang berprestasi terpinggirkan.

6.    Aksudra Pari Sakta
Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan dan pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan dan rakyatnya. Kemampuan dalam menjadi penengah di tengah perbedaan di antara rakyat juga penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin hendaknya bersikap netral terbadap perbedaan pendapat di antara rakyat. Adalah sangat utama apabila pemimpin dapat memberikan solusi apabila terjadi perbedaan tersebut.

Menyerap aspirasi rakyat juga hendaknya rutin dilakukan pemimpin. Hal ini dapat dilakukan dengan sebulan sekali melakukan kunjungan ke masyarakat untuk menyerap aspirasinya. Aspirasi ini hendaknya ditindaklanjuti sehingga kegiatan pemerintah sesuai dengan harapan dari rakyatnya.

Demikian beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan ajaran Niti Sastra. Pengamalan kepemimpinan yang berwawasan Niti Sastra ini akan menyebabkan pemerintahan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan kepemimpinan yang diharapkan.