"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

9/05/2011

FILSAFAT ILMU

BAGIAN PERTAMA
TELAAH SUBSTANTIF

A.       Obyek Filsafat Ilmu

             Obyek studi filsafat ilmu setidaknya ada dua yang substantif, dan dua yang instrumentatif. Dua yang substantif adalah kenyataan dan kebenaran, sedangkan dua yang instrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi.
1.    Kenyataan atau Fakta
           Apa yang disebut kenyataan atau fakta ? Dengan singkat dapat penulis jawab kenyataan atau fakta itu adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia.
2.    Kebenaran
           Realisme menyimpulkan sesuatu sebagai benar, bila didukung teori dan ada faktanya. Realisme baru menuntut adanya konstruk teori (yang disusun deduktif probabilistik) dan adanya empiri terkonstruk pula).
3.    Konfirmasi
           Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan landasan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar.
4.    Logika Inferensi
           Sedangkan untuk logika pragmatik dapat digunakan diskursus dialektik dari Sartre. Telaahnya bukan analitik sebagaimana umumnya dikenal, bukan mendasarkan pada struktur, bukan pada asbtraksi, melainkan diskursus dialektik yang berupaya memadukan idee, value, dalam tindakan fungsional operasional.

B.       Fakta

1.    Fakta, Idee dan Teori

           William Whwell (dalam John Losee, 1993) mengetengahkan bahwa fakta merupakan secull pengetahuan yang menjadi raw material bagi perumusan hukum atau teori. Hukum Kepler merupakan faktor yang selanjutnya diteoretisasikan oleh Newton. Ada hubungan relatif antara teori satu dengan lainnya, dan bila teori satu menyatu dengan teori lain, maka teori itu menjadi fakta tertentu.
2.    Pola Discovery
           Discovery menurut Whewell dapat pula terproses dengan cara lain, yaitu dari idee-idee dieksplistikan menjadi konsep-konsep, dilagakan dengan berbagai fakta menjadi hukum phenomena, dan dijadikan teori.
3.    Idee, Value dan Aksi

4.    Fakta Terkonstruk
            Dalam positivisme dikenal fakta elementer, fakta langsung diperoleh lewat indria. Dalam perkembangan ilmu, para ahli mulai menyadari adanya inter-relasi bermakna antar fakta-fakta, dan dikenalah konsep fakta terkonstruk. Ada dua fakta terkonstruk. Pertama fakta terkonstruk karena temuan pola discovery, karena ada idee, dan ada teori. Kedua, fakta terkonstruk yang berupa moral terkonstruk.

C.       Terkonstruk

            Rumusan substantif tentang apa itu kebenaran (truth), terdapat banyak teori. Michael Williams mengenalkan setidaknya 5 teori kebenaran, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik, dan kebenaran proposisi (Borchert, 1996). Penulis menambahkan 1 teori kebenaran lagi, yaitu kebenaran paradigmatik atau kebenaran konstruktif.

1.    Kebenaran Proposisi

           Proporsi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proporsi.

2.    Kebenaran Koresprodensi

           Berpikir benar korespondensi adalah berpikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Korespondensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan (positivisme), antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik (phenomenologi Russell).

3.    Kebenaran Koherensi

           Sesuatu yang koheren dengan sesuatu lain, berarti ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hierarki lebih tinggi. Yang memiliki hierarki lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut dapat berupa skema, sistem atau nilai. Koherensi tersebut mungkin saja tetap pada dataran sensual rasional, tetapi mungkin pula menjangkau dataran transedem.

4.    Kebenaran Struktural Paradigmatik

           Bila ditelaah sepintas, dan dicari akarnya, memang kebenaran yang penulis beri nama kebenaran struktural berkembang dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya, masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya, sedangkan semestinya keseluruhan struktur tata hubungan itu dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.

5.    Kebenaran performatif

           Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual, dan menyatukan apapun yang ada di baliknya, baik yang praktis, yang teoretik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual yang disebut dengan kebenaran performatif. Tokoh penganut ini antara lain Strawson (1950) dan Geach (1960). Sesuatu sebagai benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.

6.    Kebenaran pragmatik

           Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce, yang dikembangkan lebih lanjut oleh pragmatis William James dan Jon Dewey. Yang benar adalah yang konkret, yang individual, dan yang spesifik demikian James. Dewey lebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara idee dengan fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey adalah kegunaan praktis.


D.       Konfirmasi

1.    Aspek Kuantitatif dan Kualitatif Konfirmasi

           Dasar untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi, sebagian ahli menggunakan aspek kuantitatif, dan sebagian lain menggunakan aspek kualitatif.

2.    Teori Konfirmasi

           Decision theory menerapkan kepastian berdasar keputusan “apakah hubungan antara hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual”. Kriteria “manfaat aktual” memang menjadi bersifat subyektif.


BAGIAN KEDUA

LOGIKA INFERENSI

A.    Logika
           Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata fikir. Bila dilacak studi logika ini berangkat dari Yunani kuni, ke Arabia, lalu Eropa, Abad Tengah, ke era Pasca Renaisance yang matematik, dilanjutkan ke abad XIX dan abad XX. Tradisi logika Barat berkelanjutan seperti jalur diatas. Sedangkan filsafat India dan Cina berkembang terpisah.

B.     Logika Formil Kategorik
           Yang dimaksud logika formil kategorik adalah logika Aristoteles beserta modifikasi-modifikasi yang bertujuan menyempurnakan logika Aristoteles.

C.    Logika Matematik Aksiomatik
           Pemikiran tradisional kuno lainnya dapat kita jumpai pula pada Euclides dan Archimedes. Tesis yang diterima adalah bahwa struktur ilmu yang lengkap semestinya tampil dalam pernyataan dalam sistem deduktif. Aristoteles menekankan pentingnya kesimpulan deduktif.

D.    Logika dalam Paradigma Kuantitatif
1.    Logika Induktif Probabilistik
            Logika matematik yang digunakan dalam positivisme adalah sistem logika induktif probabilistik. Untuk menguji validitas digunakan uji verifikasi.
2.    Logika Deduktif Probabilistik
            Realisme baru menggunakan logika matematik pula. Adapun sistem logika yang digunakan adalah sistem logika deduktif probabilistik. Perlu diingat bahwa realisme adalah aliran yang menuntut pembuktian kebenaran perlu didukung, oleh teori dan empiri. Keduanya harus ada dan saling mendukung. Realisme baru menuntut adanya teori terkonstruk (Kuhn, Lakatos, Laudan) dan adanya empiri yang terkonstruk pula (Hacking).
3.    Logika Paradigmatik : Uji Inferensi Logik Kuantitatif
            Rasanya aneh menampilkan term logika paradigmatik. Maksudnya sama dengan upaya penulis menampilkan term logika kualitatif grounded, yaitu untuk menampilkan alternatif komparatif guna membuat inferensi logik.
4.    Inferensi Logik Kuantitatif
            Model uji inferensi logik kuantitatif setepatnya digunakan, bila para peneliti menggunakan pendekatan positivistik, postpositivistik rasionalistik, realisme baru, atau quantum logik.

E.     Logik dengan Paradigma Kualitatif
         Logika paradigma kualitatif dapat penulis pilahkan menjadi dua, yaitu : logika untuk phenomenologi antropologik dan logika untuk bahasa. Logika phenomenologi antropologik penulis sebut pula sebagai logika kualitatif grounded. Logika bahasa dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu logika linguistik yang positivistik (yang terpusat pada sintaksis) dan logika phenomenologi hermeneutik.
1.    Logika kualitatif Grounded
          Dalam banyak pustaka, model grounded yang dalam buku penulis. Metodologi Penelitian Kualitatif penulis luaskan model-modelnya dengan nama pendekatan phenomenologik, diklasifikasikan sebagai model pengembangan ilmu ideographik. Ilmu yang tidak merancangkan membuat inferensi, melainkan ilmu yang bersifat mencandra, ilmu yang hendak mendeskripsikan.
2.    Logika Linguistik, Semantik dan Hermeneutik
          Inferensi logik dalam bahasa dikenal setidaknya dua tahapan, yaitu : pertama, logika linguistik yang positivistik, yang menggunakan struktur kalimat dan fungsi kata-kata sebagai dasar analisisnya; kedua, logika phenomenologi, hermeneutik dengan perkembangan dari phenomenologi sosial, strukturalisme semiotik atau semantik, dan phenomenologi hermeneutik. Berturut-turut dibahas lebih lanjut, masing-masing tersebut.
a.    Strukturalisme klasik
           Strukturalisme klasik seperti de Saussure memfokuskan pada analisis tata bahasa. Dikenal dua bentuk linguistic codes, yaitu : elaborated code dan restricted code.
b.    Strukturalisme Levi-Strauss
           Strukturalisme Levi-Strauss, yang juga disebut strukturalisme genetik, berasumsi bahwa karya sastra seseorang, tidak dapat lepas dari latar belakang sosialnya.
c.    Strukturalisme Dinamik
           Realitas sosial tersebut dilukiskan lewat novel imaginer. Menurut hemat penulis analisis ini lebih dekat untuk disebut strukturalisme dinamik daripada genetik.
d.   Strukturalisme Semiotik/Semantik
           Strukturalisme berikut adalah strukturalisme semiotik atau strukturalisme-semantik.
e.    Logika Hermeneutik
           Logika linguistik yang semantik dapat pula disebut : logika hermeneutik. Kebenaran dicari dengan  menganalisis makna simbolik dengan pembacaan heuristik atau pembacaan hermeneutik.

F.     Logika Reflektif Deduktif Probabilistik
1.    Logika Reflektif Deduktif Tematik
          Logika yang digunakan dalam realisme metaphisik berakar pada positivisme. Positivisme menggunakan sistem logika induktif probabilistik. Realisme metaphisik menolak penggunaan sistem indeuktif tersebut dan menggantinya dengan sistem logika deduktif probabilistik.
2.    Logika Deduktif Paradigmatik : Uji Inferensi Esensial
          Inferensi logik esensial paradigmatik dapat menggunakan  pendekatan postpositivistik, phenomenologik, realisme metaphisik, atapun linguistik dekonstruksi. Dari saran tersebut semoga terpahami oleh pembaca, pemuaraan dari logika hermeneutik yang mencari makna, phneomenologik yang generative, realisme yang mengembangkan logika paradigmatik.

G.    Logika Pragmatik
1.    Logika Pragmatik Era Pertama
            Rasionalitas dalam pragmatisme telah direduksi menjadi yang berguna, yang bermanfaat atau yang berfungsi. Model ini telah ditinggalkan sejak tahun 1940-an.
2.    Logika Pragmatik Meta-Etik
            Rasionalitas dalam pragmatisme meta-etik mereduksi problem teoretik dan moralitas menjadi kepentingan pragmatik.

BAGIAN KETIGA
TELAAH KONSTRUK TEORI

A.  Teori Ilmu
             Apakah teori ilmu itu ?  Ada dua kutub arti teori.  Kutub pertama adalah teori sebagai hukum eksperimenseperti hukum Boyle tentang proporsi konstan zat kimia, hukum Mendel tentang keturunan, yang dapat langsung diuji lewat observasi.  Sedangkan kutub kedua adalah hukum sebagai kalkulus formal seperti teori relativitas dari Einstein dan teori evolusi Darwin.

B.   Temuan Ilmiah Substantif Mendasar
             Temuan teori atom ini merupakan temuan ilmiah substantif mendasar.  Banyak temuan teori ilmiah substantif mendasar, dan akan diela borasi lebih jauh pada Bagian Terapan buku ini.

C.  Hukum – hukum Keteraturan
             Bila diringkaskan, apakah teori itu ?  Teori adalah pernyataan yang berisi kesimpulan tentang adanya keteraturan substantif.  Menemukan keteraturan itulah tugas ilmuan, dan dengan kemampuan kreatif rekayasa.  Kita perlu membedakan tiga keteraturan, yaitu : keteraturan alam, keteraturan kehidupan sosial manusia, dan keteraturan rekayasa teknologi.
1.  Hukum Keteraturan Alam
            Alam semesta ini memiliki keteraturan yang determinate.   Ilmu pengetahuan alam bisa disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa benda anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat dieskplanasikan dan diprediksikan relatif tepat.


2.  Hukum Keteraturan Hidup Manusia
            Hidup manusia itu memiliki keragaman sangat luas.  Yang satu lebih suka kerja keras, yang lain menyukai hidup santai, yang satu tampil ulet meski selalu gagal, yang lain mudah putus asa; yang satu berteguh pada prinsif, dan tergilas habis.
3.  Hukum Keteraturan Rekayasa Teknologi
            Produk teknologi merupakan produk kombinasi antara pemahaman ilmuan tntang keteraturan esensial yang determinate dengan upaya rekayasakreatif manusia mengikuti hukum keteraturan sunnatullah.

D. Pendekatan
             Berbeda pendekatan yang digunakan, akan berbeda teori yang akan dihasilkan.  Struktur teori Positivistik  dibangun atas relevan tidaknya sesuatu dengan sesuatu lain.  Kebenaran ilmiah diuji lewat uji indukatif verifikatif. Struktur teorinya sebatas struktur korelasional saja.

E.   Mengembangkan Struktur
             Realisme metaphisik mengejar makna rasional, dari empiri sensual, logik, etik, dan transenden lewat penghayatan empirik dengan pencarian esensi secara reflektif dan intuitif.

F.   Konsep dan Definisi
             Unsur konstruk paling elementer dalam struktur teori adalah definisi atau batasan atau penjelasan sesuatu konsep.  Setidaknya ada tiga fungsi bahas, yaitu : funsi ekspresif, efektif, dan fungsi logik.  Untuk studi ilmu pada umumnya fungsi logik yang dominan.  Fungsi ekspresif akan banyak mewarnai studi seni; sedangkan fungsi efektif aktual-praktis banyak mewarnai studi teknologi.

      1. Fungsi Logik Definisi
          Fungsi logik dari definisi adalah memberikan batas arti atau makna simbolik dari sesuatu konsep, sehingga definisi disamaartikan dengan batasan.
      2. Defisi Nominasi
          Defisi nominalis merupakan penjelasan atas sesuatu istilah dengan menggunakan kata lain yang lebih dikenal.
      3. Definisi Realis
          Definisi realis memberikan penjelasan atau batasan berdasar isi yang terkandung dalam konsep yang didefinisikan.  Menjelaskan isi dapat dilakukan secara analitik, disebut definisi analitik.
      4. Definisi Praktis
          Disamping definisi – definisi tersebut dikenal pula definisi praktis.  Tujuan praktis menjadi ciri khas penjelasannya.  Definisi yang mementingkan penjelasan kegunaannya atau fungsinya disebut definisi fungsional.
      5. Definisi Paradigmatik
          Dengan berkembangnya tata fikir mu’takir sekarang ini, seperti berfikir morphogenetik, berpikir divergen, berpikir horisontal, berfikir kreatif, berfikir holographik, dan lain – lain, dan teoritik, dataran moral kultural, moral transeden, dan juga munculnya tata fikir kompleks yang operasional pragmatik, maka nampaknya perlu dikenalkan klaster keempat dari definisi, yaitu : definisi paradigmatik.

G.  Konstruk Teori
             Telah dikemukakan unsur konstruk paling elementer dalam struktur teori adalah definisi atau batasan atau penjelasan tentang sesuatu konsep.

      1. Konstruk teori Model Korespondensi
          Konstruk berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu lain.  Tampilan korespondensi tersebut beragam mulai dari korelasi, kausal, kontributif, sampai mutual.  Konstruk berfikir statistik kuantitatif dan juga pendekatan positivistik menggunakan cara ini.
      2. Konstruk Teori Model Koherensi
          Konstruk teori model koherensi merentang dari koheren dalam makna moral.  Konstruk koheren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran obyektif rasional universal dari Popper.
      3. Konstruk Teori Model Paradigmatik
          Struktur berfikir paradigmatik berupaya mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan tertentu : menyederhanakan yang kompleks.  Tatanan tersebut dapat mengandung relasi beragam, dengan kemungkinan – kemungkinan ada yang holographik.  Konstruk teori dari Blalock model dinamik dapat penulis masukan dalam kelompok ini.  Pada model dinamik Blalock, konsep – konsep ditata dalam hubungan beragam, ada yang linier positif, ada yang linier negatif ada yang nonlinier, dan mungkin pula ada keragaman dalam intensitas dan tempo.

H.  Reduksionisme, Instrumentaisme, dan Realisme
             Dengan fikiran cerdas para pembaca akan melihat nuansa pemikiran instrumentalis dan realis yang menjadi samar-samar batasnya ketika instrumentalis menampilkan konflik sebagai universal tool  dengan jenis logam sebagai substansi pada realis.


BAGIAN KEEMPAT
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

A. Filsafat Ilmu dan Cabang-cabangnya
             Di Bagian Pendahuluan sampai Bagian Ketiga telah ditelaah tentang empat substantif filsafat ilmu, yaitu : kenyataan, kebenaran, kepastian, dan logika inferensi.  Bagian Keempat akan membahas tentang cabang-cabang utama filsafat ilmu, yaitu : ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

B.   Ontologi
             Obyek telaah ontologi adalah yang ada.  Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pasa umumnya dilakunak oleh filsafat mataphisika.  Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
      1. Obyek Formal
                   Obyek formal ontologi adalah hakikat seluruh relitas.
      2. Metode Dalam Ontologi
          Secara umum a priori dikenal sebagai cara berfikir dan cara pembuktian deduktif, sedanfg empiri sebagai konsekuensi.  Sedangkan a posteriori dikenal sebagai cara befikir dan cara tata silogistik pembuktian a posteriori tersebut diatas menjadi nyata bahwa pembuktian a posteriori tidak identik dengan pembuktian induktif.
      3. Ontologi Naturalistik
          Ontologi yang lebh dikembangkan pesat setelah tahun 1960-an adalah ontologi naturalistik.  Ontologi ini menolak yang ada yang supernatural, menolak yang mental dan menolak universal Platonik.          
      4. Heidegger
                   Dalam pandangan Heidegger  pilah dari ilmu positif.
C.   Pembenaran (Justifikasi) Epistemik
             Sejak tahun 1960 epistemologi berkembang pesat. Edmund Gettier memulai polemiknya dengan mempertanyakan apakah pembenaran (Justifikasi) terhadap yang diyakini itu cukup untuk disebut ilmu ?  Catatan penulis : yang diyakini harap dipilahkan dari keyakinan (agama, ideologi, dan semacamnya).  Bahwa telaah yang diyakini sebagian akan masuk ke keyakinan agama, memang.
      1. Teori Pembenaran Tradisional
          Menurut teori ini sesuatu yang diyakini itu tidak terlepas dari keseluruhan sistem yang diyakininya, sehingga pembenaran terhadap sesuatu yang diyakini, dapat dilacak keterkaitannya dengan keseluruh sistem yang diyakininya.
      2. Pembenaran Evidentialisme dan Naturalisme
          Evidentialist adalah penganut internalist yang khas. Bagi evidentialist pembenaran itu dibangun oleh persepsi kita, oleh mental sel kita.  Bagi evidentialist pembenaran yang diyakini itu diperoleh karena adanya dukungan evidensi.

D.   Epistemologi Subyektif dan Pragmatik
             Epistemologi subyektif memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang diyakini.  Menggunakan standar rasional berarti bahwa  sesuatu yang diyakini sebagai benar itu tentunya memiliki sifat reliabel, ajeg.  Bila ajeg sebagai standar, maka para reliabilis itu pada hakekatnya adalah obyektivis.  Sebaliknya, karena yang diyakini benar tersebut perlu terolah secara reflektif, maka sifatnya menjadi kembali subyektif.

E.   Epistemologi Moral dan Religious
            Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.  Meski epistemologi moral itu membahas pula mataethik, tetapi karena perkembangan mataethink telah mengarah ke telaah pada makna, bukan pada moral, maka epistemologi moral menjadi kehilangan arah.  Ethik normatif telah bergeser mempertanyakan makna, yang membekukan perkembangan epistemologi moral itu sendiri.

F.   Kebenaran Epistemologik
             Sejarah ilmu membuktikan betapa ilmuan terdahulu menampilkan tesis dan teori yang secara berkelanjutan disanggah atau dimodifikasi atau diperkaya oleh ilmuwan berikutnya.  Kebenaran-kebenaran yang ditampilkan berupa tesis atau teori yang bersifat kondisional, sejauh medianya demikian, sampelnya itu , desainnya demikian, dan seterusnya.  Dengan demikian kebenaran yang diperoleh dengan cara kerja demikian adalah kebenaran epistemologik.

G.   Aksiologi
1.   Aksiologi Max Scheler
           Telaah Scheler tentang ethik kontras denga Kant.  Kant bicara Sollen (kemestian), sedangkan Scheler memandang bahw kemestian itu sesuatu yang dibuat-buat.  Perbuata ethik menurut Scheler adalah berbuat baik(ideales Seinsolen) yang spontan dan jujur.  Struktur simpansi menurut Scheler dapat dibedakan menjadi : Auffassung (mengerti perasaan orang lain), Mitfuechlen (dapat ikut merasakan), dan Einsfuehlen (perasaan menyatu).
2.   Ethik Keilmuan yang Dinegasi dan Didegradasi
                Dalam konteks mendegradasi, sementara  ahli menurunkan makna moral menjadi kemestian untuk kebaikan diri dan masyarakat, dan menjadi telaah simpasi seperti pada Scheler di atas.
3.   Orientasi Weltanschauung Pasca Perang Dunia II
           Para filosof Pasca PD II mulai merekontruksi pandangan ilmunya, setelah diperoleh pengalaman betapa invensi-invensi ilmiah telah disalahgunakan untuk memenangkan perang; memang alasanya cukup rasional tetapi kontradiktoris : menghentikan kesewenang-wenangan orang lain, dengan cara menampilkan kesewenang-wenangan lain.
4.   Tradisi Keilmuan Yunani, Islam, dan Barat
           Dalam buku New Horizon in Muslm Education, Ali Ashraf memberikan evaluasi bahwa semua jeis sainsyang dilakukan Yunani dan Islam menggunakan pendekatan ontologis, sedangkan sains Barat menggunakan pendekatan manipulatif–manfaat.

H.   Kebenaran Tunggal
             Kebenaran tunggal yang hakiki penulis sebut sebagai kebenaran substantif dan kebenaran esensial, yang tampil sebagai keteraturan substantif dan keteraturan esensial semesta, yang sifatnya obyektif universal.  Dalam pengakuan pada kebenaran transendensi keteraturan substansial dan esensial itu merupakan AL Haq min Rabbika.




BAGIAN KELIMA
POSITIVISME

A.   Positivisme Paradigma IPA
1.      Positivisme
             Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar1825).  Positivisme berakar  pada empirisme.  Prinsip filosifik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600).
2.      Positivisme Sosial
             Positivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah.  August Comte dan John Stuart  Mill merupakan tokoh-tokoh utama positivisme sosial.
a.     Filsafat Positivistik Augus Comte
           Filsafat positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam fikir manusia.  Matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik.
b.     Metodelogi A. Comte
           Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi.  Kita mengobservasi fakta; dan kalimat yang penuh tautologi hanyalah pekerjaan sia-sia.
c.      Sosiologi A. Comte
           Comte-lah yang pertama-tama menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan istilah sosiologi untuk  menggantikan istilah phisique sociale dari Quetelet.  Comte membedakan antara social statistic dan social dynamics. Pembedaan tersebut hanyalah untuk tujuan analisis.  Keduanya menganalisis fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan berbeda, yang pertama menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.

d.     Bentham dan Mill
           Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a sacred fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun.  Wawasan yang menjadi marak pada akhir abad XX ini.
3.      Positivisme Evolusioner
                  Positivisme evolusioner berangkat dari phisika dan biologi.  Digunakan doktrin evolusi biologik.
a.    Herbert Spencer
           Konsep evolusi Spencer diilhami konsep evolusi biologik.  Dalam konsepnya, evolusi merupakan proses dari sederhana ke kompleks.
b.   Haeckel dan Monisme
           Haeckel memandang bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai substansi yang satu, monistik.
4.      Positivisme Kritis
a.     Mach dan Avenarius
           Bagi Match dan Avenarius, fakta (sebagaimana para positivist lainnya memandang), menjadi satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas. Realitas bagi keduanya adalah sejumlah rangkaian hubungan beragam hal indriawi yang relatif stabil.
b.     Pearson
           Konsep hukum menurut positivisme klasik merupakan relasi konstan sejumlah fakta, sedangkan menurut Karl Pearson merupakan suatu deskripsi tentang dunia luar, bukan persepsi. Sementara mach memandang hukum sebagai deskripsi tentan phenomena yang diharapkan.


c.      Petzoldt
           Segaris dengan Mach, Joseph Petzold mengajukan konsep law of univocal determination sebagai pengganti prinsip kausalitas. Menurut Petzold hukum ini memungkinkan orang memilih kondisi mana yang diperkirakan lebih efektif terhadap determinasi suatu phenomena.
5.      Unifikasi Ilmu (Positivisme dalam Paradigma IPA)
           Ilmu sosial abad XIX dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam (IPA) yang berkembang marak sejak abad XVIII. Problim sosial dan problim moral kehidupan manusia dianalisis dengan menggunakan logika induktif, sebagaimana digunakan oleh IPA.
6.      Empirik Sensual Reduksionis
           Dalam positivisme sering konteks dua marah dan dua senyum yang berbeda tidak dapat dideskripsikan. Inilah reduksionisme positivisme yang banyak dikritik.

B.   Positivisme Linguistik
1.      Order of Logic dalam berilmu Pengetahuan
           Sejak maraknya IPA, sistem logika Aristoteles digantikan oleh sistem logika yang mampu mendukung pengembangan IPA. Sejak abad XVIII peran first order of logic, yaitu logika yang menggunakan logika dari ilmu matematika menjadi satu-satunya logika yang menguasai pengembangan Ipa, dan akhirnya merambah sebagai satu-satunya logika yang digunakan untuk mengembangkan semua ilmu sampai awal abad X. Asumsi dasar yang dipakai adalah bahwa struktur logika matematik itu isomorphik terhadap struktur kehidupan, baik alam maupun manusia.
2.      Strukturalisme de Saussure
           Strukturlisme de Saussure diberangkatkan dari tiga premis, yaitu pertama, karya sastra merupakan kesatuan sistematis yang mempunyai makna, bukan individual, tetapi makna umum; kedua, unsur bahasa atau sastra pada dasarnya saling berhubungan dalam kombinasi atau dalam kontras; dan ketiga, unsur-unsur tersebut mempunyai arti konvensional, bukan inhaerent.

C.   Positivisme Fungsional
            Positivisme fungsional yang menggunakan paradigma IPA ada era positivisme dengan urunan terutama Thomas Kuhn dan hacking akan mengokohkan sosok paradigma kuantitatif.
1.      Positivisme Logik
           Positivisme modern dikembangkan oleh filosof abad XX dan dikenal sebagai positivist logik. Yang memberi nama positivisme logik adalah A.E. Blumberg dan Herbert Feigel pada tahun 1932. Nama lain antara lain : empirisme logik dan neopositivisme. Tradisi kelompok Wina yang empiristik mengembangkan terus diskusinya. Pada tahun 1922 Moritz Schilk mulai bergabung dan menjadi menonjol. Pada tahun 1926 Rudolph Carnap bergabung pula, dan menjadi tokoh sentralnya. Perlu dicatat disini bahwa kelompok Wina itu minoritas di Eropa, yang dominan adalah tradisi Jerman yang menganut idealisme Kant.
a.      Kelompok Wina dengan yang Sefaham di Luar Jerman
b.     Kritik terhadap Filsafat Tradisional
c.      Positivisme dan Ethik
d.     Prinsip variabilitas
2.      Positivisme Fungsional
           Positivisme modern juga dikenal sebagai positivisme fungsional. Kerangka pikir positivisme modern tetap menggunakan paradigma kuantitatif matematik yang diasumsikan isomorphik dengan IPA. Positivisme modern disebut pula sebagai positivisme fungsional, karena mengadopsi analogi biologik dan analogi mekhanik dalam telaah manusia. Sistem biologik dan sistem mekhanik dipakai untukmemahami perilaku manusia.
a.      Dari struktur ke fungsi
b.     Dari mekanik ke organik
c.      Telos : Dari Non Rasional ke Rasional

BAGIAN KEENAM
FILSAFAT PHENOMENOLOGI :
POSTPOSITIVISME PARADIGMA KUALITATIF

A.   Phenomenologi Antropologik
            Berpikir dalam phenomenologi antropologik mengarah ke mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan ideographik, dan filsafat yang memberikan landasan adalah phenomenologi Husserl.
1.    Phenomenologi edmund Husserl
           Istilah phenomenologi telah digunakan lama, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Pierce dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert diartikan sebagai ilusi atas pengalaman. Kant membedakan antara phenomenon dan noumenon. Yang pertama sebagai obyek yang kita alami, dan kejadian sebagaimana hal itu terjadi.
2.    Phenomonologi Antropologik
           Pendekatan phenomenologik antropologik dapat diringkaskan dalam perkembangan dari phenomenologi, interpretif Greerzt ke grounded reseach Glasser-Strauss, ke ethonomethodologi Bogdan, ke paradigma naturalistik Guba, dan interaksi simbolik Blumer.

B.    Dari Semiotik sampai Hermeneutik
1.    Orientasi Umum
           Studi semantik adalah studi tentang signs, tentang simbol-simbol, tentang fungsi bahasa sebagai tanda-tanda yang menampilkan pemikiran yang mempunyai makna. Semantik dalam makna luas mencakup studi sintaksis, semantik dan pragmatik.


2.    Bahasa
           Teori linguistik menyatakan bahwa grammar menyediakan sejumlah aturan mendeskripsikan sejumlah sifat-sifat semantik sebagai dasar untuk menampilkan ekspresi kita, dan menyediakan sejumlah atuan kombinasi sintaktikal yang menjadikan ekspresi kita mempunyai makna.
3.    Bahasa, Berpikir, Mind dan Filsafat Bahasa
           Filsafat bahasa mulai berkembang dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik. Untuk memahami bahasa termasuk unsur-unsurnya. Tarski lebih lanjut mengembangkan formal language. Davidson mengembangkan lebih lanjut tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan.
4.    Bertrand russel dan Wittgenstein tentang Bahasa
            Pengakuan Russel bahwa yang universal itu bukan murni empiri, merupakan perintisan filsafati meninggalkan positivisme. Dalam berilmu pengetahuan kita perlu mencari teori teori ilmu, bukan sekedar menemukan yang murni empiri.
5.    Pendekatan Ekstrinsik : Strukturalisme Sosial
            Strukturalisme sosial mencakup strukturalisme genetik (yang antropologik) dan strukturalisme dinamik. Dalam istilah lain strukturalisme sosial dapat dikembangkan menjadi subdisiplin sosiolinguistik.
6.    Strukturalisme Semiotik
            Semiotik atau studi tentang tanda-tanda; dan penamaan strukturalisme semiotik dapat diganti dengan nama semantik atau studi bahasa yang berupaya mencari makna dari bahasa.
7.    Hermeneutik Phenomenologik
            Martin Heidegger adalah filosof yang pertama kali menggunakan istilah phenomenologi hermeneutik pada tahun 1919. Arti kata hermenutik adalah the art of understanding, yaitu metoda dan prinsip untuk memahami text. Pada tahun 1919 dan ditegaskan lebih lanjut pada tahun 1927 Heidgger menggunakan kata hermenutik sebagai ragam alternatif interpretasi berlandaskan pemahaman yang ada.
8.    Pendekatan Intrinsik : Semantik
            Perlu dijelaskan tentang posisi semantik. Semantik termasuk pendekatan intrinsik, sama dengan linguistik de Saussure, yang juga termasuk pendekatan intrinsik. Bedanya yang linguistik de Saussure termasuk aliran positivisme dan fokus telaahnya adalah linguistik.
9.    Filsafat Hermeneutik
            Arti kata hermeneutik adalah the art of understanding yaitu metoda dan prinsip untuk memahami teks. Pada abas XX arti hermenutik telah berkembang menjadi pandangan filosofik yang dekat dengan Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricouer serta pendahulunya Wilhelm Dilthey dan Martin Heidgger.
10. Phenomenologi Aesthetis dan Phenomenologi Mu’takhir
            Sedangkan Michel Dufrene dalam bukunya Phenomenologic de l’experience esthetique (1953) mengemukakan bedanya karya sastra dengan karya lain adalah bahwa karya sastra merupakan en-soi (being in itself), sedangkan karya lain merupakan karya pour-soi (being for itself).

BAGIAN KETUJUH
TEORI KRITIS

A.   Teori Kritis
            Teori kritis ditumbuhkan dan dikembangkan oleh Frankfurt Institute for Social Science mulai tahun 1930. Generasi pertama pengembang teori tersebut antara lain : Horkheimer, Adorno, Marcus dan Erich Fromm. Adapun Juergen Habermas, Apel dan Wellmer termasuk generasi kedua.

B.    Teori Konflik dan Teori Kritis
            Dari sisi filsafat ilmu, teori konflik termasuk positivisme modern yang menggunakan berpikir instrumental; sedangkan teori krisis termasuk postpositivisme dengan Weltanschauung yang landasan filsafatnya mungkin phenomenoloik dan sebagian lain realisme metaphisik.

C.   Asumsi Dasar Teori Kritis
            Patti Lather mengetengahkan bahwa pendekatan teori kritis termasuk pendekatan era postpositif, yang mencari makna di balik yang empiri, dan menolak value-free. Pendekatan teori kritis mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil.

D.   Ragam Teori Kritis
            Berturut-turut akan penulis bahas 5 model teori kritis yang dikembangkan oleh berbagai cabang ilmu. Mencermati kompleksitas pemikirannya, maka urutan telaahnya penulis bahas dari yang lebih terfahami. Pertama akan dibahas Teori Kritis Freirian, Teori Kritis dalam Studi Sosiologi, Teori Krisis Habermas; dan akhirnya ditelaah Teori Kritis dalam Hukum.

1.    Freirian
           Paulo Freire dibahas pertama dalam ragam teori kritis karena pemikiran yang mendasar, menjangkau grass root, sehingga mudah difahami.
2.    Research Praxis
           Research as praxis dapat dijumpai pada beberapa penelitian, seperti Bullogh dan Gitlin (1985) mengadakan studi kasus seorang guru SM, studi yang mendorong keberanian untuk menelaah kembali makna resistensi dan posisinya dalam teori produktivitas kultural dan ekonomik.
3.    Teori Kritis dalam Studi Sosiologi
           Dari orientasi umum tentang teori kritis, dan konsep dasar teori kritis pada tingkat grass root dan pada telaah praxis, penulis hendak mengangkat teori kritis sebagai terapan studi berdasarkan contoh-contoh yang penulis angkat dari buku “Sociology a Critical Approach” tulisan KJ. Neubeck dan DS. Glasberg 91996).
a)    Kritik terhadap Teori Stratifikasi
(1)    Inequality ekonomik
(2)    Inequality tingkat kesehatan berdasar Ras
(3)    Inequality pendapatan berdasar ras dan gender
(4)    Inequality pendapatan berdasar gender dan tingkat pendidikan
(5)    Inequality upah pekerja per jam antar negara
4.    Teori Kritis Habermas
           Habermas termasuk pemikir kritis terhadap pemikiran Marxis ataupun Neo-Marxis Habermas memaparkan empat alasan historis mengapa konsep Marx tidak lagi relevan dengan zaman kita, yang disebut sebagai late capitalism. Politik tidak lagi menjadi superstruktur. Standar hidup menjadi semakin baik, sehingga revolusi tidak dapat lagi di gerakkan dengan term-term ekonomi. Antagonisme proletar-borjuis menjadi semakin tidak valid dengan munculnya kelas menengah yang semakin besar jumlahnya. Terbukti jalan sosialis tidak terwujud.
5.    Teori Kritis di Bidang Hukum
           Teori kritis di bidang hukum tersebut sangat relevan dipakai untuk mengkritik pula praktik hukum di Indonesia. Banyak terjadi keanehan-keanehan dalam yurisprudensi leberal di Indonesia sekarang ini, yang oleh para pemimpin berhati nurani tinggi menyebutnya sebagai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. praktik hukum liberal di banyak negara sekarang ini sudah meninggalkan filsafat keadilan baik oleh para yurisnya, para penuntut keadilannya dan malahan telah digunakan secara semena-mena oleh banyak pihak.

BAGIAN KEDELAPAN
PRAGMATISME META-ETIK

A.   Pendahuluan
            Perlu dijelaskan disini bahwa ada dua era pragmatisme. Era pertama adalah era positivistik dengan tokoh-tokohnya : Pierce 9105 (pragmatisme praktis), William james-1909 (pragmatisme fungsional) dan John Dewey (pragmatisme manfaat). Pragmatisme era pertama mati dengan banyak kritik antara lain dari Bertrand Russel 91939) dan Rudolph Carnap (1949).

B.    Pragmatisme Era Pertama
1.    Idee Utama dan Keragaman Pragmatisme
            Filsafat idealisme dan realisme sulit untuk bertemu. Pragmatisme mempertemukannya; bukan sebagai sintesa, dan bukan sebagai pendekatan baru, melainkan sekedar sebagai suatu core idee untuk mengaplikasikan pemikiran pragmatik. Meskipun demikian ada keragaman.
2.    Teori Kebenaran Pragmatik
            Teori kebenaran pragmatik akan lebih mudah difahami bila digunakan pernyataan Pierce berikut ini “Tidak ada beda makna dari sesuatu yang lebih daripada kemungkinan perbedaan praktik”. Itu bertentangan dengan pendapat Descartes yang rasionalis subyektif yang menyatakan bahwa sesuatu substansi itujelas karena subyek dapat melihat jelas tanpa harus obyek itu benar-benar jelas, adalah tuntutan para realist.
3.    Pragmatisme Sebagai Filsafat
            Filsafat pragmatisme merupakan suatu metoda memfilosofikan makna teori. Selalu saja ada perbedaan dalam memberi makna pragmatisme antara Pierce, James, dan Dewey. Tetapi James mengakui Pierce sebagai penemu pragmatisme.
4.    Instrumentalisme
            Dalam sosiologi kaum instrumentalist mendudukkan hukum bukan sebagai sesuatu yang normatif, melainkan sebagai instrumen untuk mencapai sesuatu, mirip dengan Dewey, ends menjadi means pada tahap berikutnya.
            George Berkeley adalah instrumentalist dalam hukum mekanika. Berkeley mengkritik konsep : daya tarik, daya kohesi, dan daya campur sebagai konsep yang menyesatkan, dan Berkeley menggantinya dengan hukum sesuatu benda akan bergerak dengan cara dan dalam kondisi tertentu.
5.    Praxis dalam Komparasi
            Muara pragmatisme adalah Praxis, Filsofik dapat dibandingkan tiga konsep : pertama, teori terapan, kedua, rekayasa dan tekhnologi, dan ketiga, praxis.
a.    Teori Terapan
b.   Rekayasa dan tekhnologi
c.    Paxis

C.   Pragmatisme Era Kedua
            Pragmatisme era kedua juga disebut pragmatisme metaethik. Para profesional seperti dokter, hakim dan lainnya memerlukan acuan etika profesional untuk membuat keputusan bertindak. Tuntutan ini dirasakan perlunya sejak tahun 1970an.
1.    Pragmatisme Richard Rorty
          Rorty mendapat pengaruh Thomas Kuhn dalam pendekatan sosial politik. Quine mendapat pengaruh Kuhn untuk mengembangkan natural science, sedangkan Rorty mendapat pengaruh Kuhn untuk mengembangkan social sciences. Pragmatisme Rorty tidak melandaskan pada pragmatisme positivistik yang Platonik, melainkan melandaskan pada Hegelian.

2.    Applied Ethics
          Applied ethics merupakan aplikasi teori moral untuk membuat keputusan moral tentang tindakan praktis tertentu yang menyangkut kebijakan profesional dan membuat keputusan teknologik.

D.   Etika Pragmatik
            Tentang etika bagi tekhnologi, baik dalam makna etika rekayasa tekhnologi maupun rekayasa sosial, serta etika pengembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan eksperimentasi..

BAGIAN KESEMBILAN
REALISME METAPHISIK

A.   Karl Raimund Popper
            Popper merupakan seorang filosof ilmu alam dan ilmu sosial dari Austria. Dialah pengembang realisme metaphisik. Realisme Popper berangkat dari positivisme logik.
1.    Menolak Teori Verifikasi
           Teori tersebut mendasarkan pada mitos, dan mengembangkannya menjadi ilmu dengan cara mengadakan uji kritis subyektif. Mereka mengakumulasi bukti empirik untuk membuat generalisasi. Hume mengemukakan tesis bahwa generalisasi induktif itu secara logis tidak valid.
2.    Membangun Teori
           Menurut Popper perkembangan ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight individual dan tak terprediksikan apakah dapat menjadi teori. Hipotesis imajinatif tersebut dalam klasifikasi penulis lebih berupa grand-theory daripada teori substantif. Insight yang telah dituangkan menjadi hipotesis tersebut diuji secara deduktif dengan uji fafsifikasi. Fungsi pengujiannya adalah untuk membuktikan kesalahan-kesalahan hipotesis tersebut. Karena hipotesisnya disusun deduktif, dan lebih berupa grand theory, maka pengujian tersebut berfungsi untuk menajamkan daerah keberlakuan hipotesis besar tersebut, bukan berfungsi menolak total hipotesis tersebut. Banyak ahli skeptis terhadap pengujian falsifikasi menggantikan uji verifikasi.
3.    Determinisme Keteraturan Semesta
           Salah satu promovendi penulis menampilkan grand-theory model Popper, tetapi vailiditasnya diuji secara grounded pada grass root. Evaluasi penulis sebagai promotor ? Agar grand theory tidak menjadi mitos, uji empirik pada core-nya memang dapat menjadi alternatif. Bukan sekedar akumulasi observasi induktif, yang pada pembuktian Hume dan Popper memang tidak valid.
4.    Metaphisika Popper
           Metaphisika Popper penulis teruskan pada kebenaran transendental. Kebenaran obyektif universal Popper yang mengakui keteraturan semesta yang diciptakan oleh alam itu sendiri, penulis teruskan ke kebenaran obyektif transendental, berupa keteratuan semesta ciptaan Al Khalik.

B.    Realisme Moral
            Proses penyusunan teori moral ini dimulai dari penetapan moral yang dipilih, dilanjutkan dengan pemilihan prinsip-prinsip yang hendak digunakan.

C.   Konstruk (Grand-Theory / Grand-concepts) dan Uji Falsifikasi
            Pada model uji verifikasi dihimpun data yang mendukung teori atau hipotesis spesifik yang diketengahkan. Adapun model uji falsifikasi dihimpun data yang menolak keberlakuan teori yang sangat luas menjadi teori yang tetap luas tetapi ditajamkan ketidak berlakuannya pada kawasan tertentu. Model uji yang digunakan pada realisme metaphisik ini juga menggunakan teori kebenaran probabilistik.

D.   Mencari Model untuk Pengembangan Ilmu Agama
            Pembuktian kebenaran model Popper tersebut secara ontologik penulis modifikasi dengan pengakuan adanya kebenaran transendental, disamping pengakuan moral etik yang obyektif universal.

E.    Deterministik dan Indeterministik Kebenaran
            Bila disimpulkan kebenaran positivistik, bukanlah kebenaran tuntas; kebenaran rasionalistik bukanlah kebenaran yang tuntas; kebenaran dikhotomik ilmu dan wahyu, bukanlah kebenaran yang memecahkan masalah; kebenaran integratif antara ilmu dengan wahyu adalah kebenaran yang tuntas dan memberikan kepada kita pedoman hidup manusia ilmuwan.
1.    Stratifikasi Kebenaran
          Kebenaran yang penulis tawarkan adalah kebenaran monistik mulifaset. Kebenaran insaniyah adalah kebenaran yang dibangun oleh akal budi manusia, yang tumbuh dari zaman ke zaman. Kebenaran Ilahiyah adalah kebenaran yang terutang dalam nash Qur’an dan Hadits.
2.    Menjangkau Berbagai Kebenaran Dimensional
          Kebenaran itu dimensional, kebenaran insaniyah mempunyai derajat kebenaran sesuai dengan kemampuan akal fikir manusia (valid based on theoretical construct). Kebenaran Ilahiyah memiliki derajat kebenaran mutlak sebagai kebenaran kebijakan yang moralistik. Kebenaran insaniyah menempuh jalan benar, bila berusaha untuk selalu mengacu kepada kebenaran Ilahiyah.
3.    Deterministik dan Indeterministik Kebenaran
          Diintegrasikan dalam faham sunni : iradat manusia ditampilkan dalam sikap indeterminisme rasional, dan kodrat Allah ditampilkan dalam sikap determinisme transendental.

F.    Alternatif Model Pengembangan Ilmu Menjadi Islami
            Kejernihan akal budi memungkinkan manusia menangkap makna integral dari moralitas Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan yaitu pemaknaan substantif serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil.

G.   Mengganti Studi Tokoh dengan Studi Paradigmatik
            Dalam kuliah-kuliah di S2 dan S3 program studi ilmu umum, penulis mengkritik uji validasi hasil-hasil penelitian parsial, karena menjadikan kita hanya mengumpulkan tulang-tulang berserakan.

BAGIAN KESEPULUH
PENGEMBANGAN PARADIGMA KUANTITATIF DARI
POSITIVISME MENJADI REALISME BARU

            Bagian kesepuluh ini dimaksudkan untuk mengokohkan paradigma kuantitatif positivistik menjadi paradigma kuantitatif postpositivistik. Makna dalam postpositivistisme paradigma kuantitatif ditampilkan dalam makna konstruktivitas teoretik dan konstruktivitas entitas empiri. Berbagai kelemahan positivisme telah diatasi oleh banyak ahli sejak dari Mill dan Jevon sampai Feyerabend, Kuhn, Lakatos, Laudan, Hacking dan Rom Harre. Penulis berupaya mengkomprehensifkan menjadi sosok realisme baru dan ditampilkan peran knowing yang konstruktural dan peran being yang konstruktural pula.

A.   Realisme Baru atau Rasionalisme Baru
            Realisme baru muncul pada awal abad XX sebagai oposisi terhadap doktrin idealist bahwa persepsi obyek tergantung pada eksistensi aksi mengenal obyek itu sendiri. Brentano dan Meinong menyatakan bahwa fikir yang mengenal atau mempersepsi itu independen terhadap aksi  mempersepsi obyek. Realisme baru Amerika dan Inggris mempertahankan independensi kesadaran pada obyek dengan obyek itu sendiri. Tokoh-tokoh awal realisme baru dapat disebut seperti Montaque, Perry, Nunn, Bertrand Russel dan Moore.

B.    Rasionalitas sebagai Instrumen dan Tujuan
            Rasioalitas sebagai instrumen, paralel dengan pendapat ahli lain yang menggunakan matematika sebagai instrumen untuk pembuktian. Tugasnya hanyalah membantu sesuatu disiplin ilmu untuk memberikan eksplanasi atau memberikan inferensi agar telaahnya menjadi rasional, alasan-alasan atau penjelasan hubungan kasualnya dapat diuji kembali atau dapat diinferensikan.
C.   Naturalisme dan Rasionalisme
            Pertama-tama penulis hendak menelaah tentang rasionalitas sebagai tujuan. Judul naturalisme dan rasionalisme tersebut bila dilengkapkan sesuai dengan isi uraian di sub bagian ini semestinya menjadi hubungan positivisme yang empiristis dengan filosofi naturalistik yang telaahnya juga sekaligus mengikuti berpikir rasionalisme dan idealisme. Untuk memudahkan penulis memfokuskan telaahnya pada salah satu filosof yang menonjol dalam hal tersebut yaitu Morris R. Cohen.
1.    Naturalisme, Positivisme dan Rasionalisme Cohen
           Generalisasi induktif memang menjadi ciri utama positivisme. Tertata logis mengandung arti metodologis dan ontologis. Metodologis tertata logis berarti diikutinya prosedur menata obyek fikir secara logis. Sedangkan ontologis tertata logis berarti digunakannya hukum logika dan matematika bukan hanya untuk membuat inferensi, melainkan juga sebagai deskripsi tata relasi abstrak.
2.    Invariansi
           Prinsip kedua Cohen adalah invariansi atau tiada keragaman relasi dalam makna universal, meskipun ada keragaman relasi spesifik. Ilmu bukan mengobservasi fakta spesifik, melainkan mencari yang universal. Dengan mencermati pada keragaman relasi berbagai yang spesifik itu, kita hanya dapat mengetengahkan sesuatu yang probabilistik. Dalam logika dan matematika kita dapat memperoleh sesuatu yang pasti, tetapi dalam keseharian kita hanya dapat menampilkan kemungkinan benar, tanpa dapat menolak tentang adanya kemungkinan salah.
3.    Polaritas
           Prinsip polaritas adalah lawan dari tercampur satu sama lain. Sifat poler itu terjadi pada banyak hal, seperti : hitam dan putih, ideal dan riil, aktual dan fiktif, dan banyak lagi. Cohen menampilkan konsep bahwa dua yang dipertentangkan tidak akan menghasilkan yang baik. Dari rentang dua kutuh hitam putih akan tampil warna warna nuansif abu-abu tua, lebih muda, putih tua, putih cerah.
4.    Etika Cohen
           Hidup akan banyak menghadapi pilihan. Bila pilihan itu ditata sebagai dua yang dipertentangkan, hidup ini jadi berat. Cohen menawarkan untuk melihat alternatif bukan sebagai dua yang kontrer, melainkan melihat sebagai dua kutuh poler, hal mana terdapat ragam pilihan yang nuansif.

D.   Rasionalisme
            Rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperoleh lewat kekuatan argumentasi rasio manusia.

E.    Rasionalitas Positivistik dan Postpositivistik
1.    Rasionalisme dan Idealisme Ditinggalkan Orang
2.    Kebenaran Koherensi
3.    Epistemologi Rasional

F.    Rasionalitas dalam Tata Logik Positivisme
            Konstruk teori positivisme diberangkatkan dari kebenaran korespondensi. Korespondensi antara sesuatu dengan sesuatu lain yang empiris. Relevansi sesuatu dengan sesuatu lain dibuktikan dengan uji korespondensi. Banyak ahli mulai memperhatikan bahwa bukti uji yang diperoleh dengan pendekatan positivisme hanya dalam keragaman linier.


G.   Realisme Ilmiah, Realisme Baru atau Rasionalisme Baru
            Realisme pada garis besarnya adalah sintesis antara idealisme Immanuel Kant dengan empirisme John Lock. Rasionalisme Descartes sering juga dikontraskan dengan empirisme, sama seperti idealisme.

H.   Visualisasi Metodologik Positivistik
            Berpikir positivistim adalah berpikir spesifik, berpikir entang empiri yang teramati, yang terukur, dan dapat dieliminasi serta dimanipulasikan dari satuan besarnya. Satuan terkecil obyek penelitian positivistik disebut variabel.

I.     Perkembangan Pemikiran Induktivisme Mill
            Pembahasan ini dimaksudkan untuk memahami perkembangan pemikian guna menyusun bangunan realisme baru, berangkat dari induktivisme, instrumentalisme, rekonstruksi paradigmatik dan akhirnya menampilkan realisme baru.
1.    John Stuart Mill : Induktivisme
          Mill lebih lanjut mengemukakan bahwa hubungan kausal menjadi sangat penting bagi pengembangan ilmu. Mill membedakan hubungan kausal dan hubungan aksidental, dan lebih lanjut membedakan sekuensi kausal dan sekuensi aksidental. Dalam pengembangan positivisme selanjutnya digunakan teknik uji kebenaran dengan teknik uji korespondensi.
2.    Jevons : Hypothetico-Deduktif
           William Stanley Jevons, guru besar logika di Universitas Manchester (1866) menentang tesis konteks justifikasi dari Mill. Jevons mensyaratkan dua hal untuk menampilkan hipotesis, yaitu menunjuk bahwa sesuai phenomena tidak sesuai dengan well confirmed laws, dan menunjuk bahwa konsekuensi hipotesis yang disusun apakah sesuai dengan observasi. Untuk menunjukkan kesesuaian hipotesis dan kosnekuensinya Jevons setuju dengan Mill, yaitu menggunakan argumentasi deduktif. Meskipun demikian Jevons menolak penggunaan schemata induktif. Jevons menawarkan kembali penggunaan pengujian deduktif dari Aristoteles, Galileo, Newton dan Herschel yaitu digunakannya wawasan hypothetico-deduktif.
3.    Berkeley : Instrumentalisme
       Berkeley  berpendapat berbeda, tarik menarik antara massa tidak ada, yang ada adalah tarik menarik antar forces. Menurut Berkeley kondisi tertentu yang membuat berbagai sesuatu bergerak. Keberadaan sesuatu menjadi tidak ada bila tidak ada forces yang menyebabkan adanya gerakan.

J.     Konstruk Paradigmatik
1.    Fakta Relevan
           Yang menjadi data penelitian adalah fakta relevan; yaitu fakta yang sesuai dengan tujuan penelitian kita. Akta relevan tersebut menjadi fakta terkonstruk atau fakta terseleksi oleh idee kita, teori kita, rasional kita atau moral kita.
2.    Normal Science
           Normal science menurut Thomas Kuhn berarti penelitian yang secara kokoh melandaskan pada hasil dari satu atau banyak penelitian terdahulu.
3.    Tiga Kelas Fakta
           Hasil penelitian oleh Thomas Kuhn dibedakan menjadi tiga kelas fakta. Kelas pertama, fakta yang mampu mengungkap ketidakjelasan, seperti panjang gelombang, konduktivitas listrik, titik didih, dan banyak lagi. Kelas kedua, fakta baru yang perlu dicari guna menjelaskan teori, misalnya teori relativisme Einstein, pada terapan-teraan spesifik. Kelas ketiga, adalah fakta yang berguna untuk mengartikulasikan teori paradigmatik. Untuk pencarian fakta semacam itu peneliti perlu memasuki kawasan yang ambigu, kawasan esoterik, kawasan paling perifer.
4.    Pengembangan Tata Pikir Logik
           Dalam buku penulis Metodologi Penelitian Kualitatif telah penulis ketengahkan lebih dari 60 istilah yang mengandung konsep beragam tata pikir, yang penulis kelompokkan dalam lebih dari 10 klaster atas kriteria tertentu, dan pada setiap klaster disajikan dalam telah pengembangan tata pikir dari yang lebih elementer ke yang lebih kompleks atau sebaliknya.
a.    Tata pikir untuk membangun grand-theory atau sistematika
b.    Tata logik yang mempengaruhi kualitas ontologik
c.    Tata logik epistemologik
5.    Konstruk Paradigmatik
           Telah dikemukakan bahwa sejarah ilmu didominasi oleh berpikir dalam logika deduktif probabilistik. Itu berarti pula bahwa pengembangan ilmu model konstruk teoretik mendahului pencarian bukti empirik faktual menjadi penting. Dari uraian diatas tentang paradigma konstruk deduktif dapat dikembangkan dari berpikir teoretik sesuatu ilmu dan dari berpikir pada dataran tertentu dapat diangkat lebih jauh pada konstruk yang disebut konstruk paradigmatik.

K.   Grand-concepts dan grand-theory pada realisme baru
            Perlu dipahami perbedaan grand-theory pada postpositivistik rasionalistik dengan pada realisme baru. Grand theory yang dikembangkan penulis pada pospositivistik rasionalistik merupakan hasil berpikir reflektif antara hasil penelitian spesifik dan pengideean peneliti untuk memperluas abstraksi obyek penelitian spesifik menjadi obyek penelitian lebih luas. Adapun realisme baru dalam makna paradigmatik Kuhn, Lakatos, Laudan di konstruk secara rasional.

L.    Keunggulan Paradigma daripada Kerangka Teori
            Penulis mengakui bahwa menggunakan paradigma atau wacana pengembangan deduktif dari Thomas Kuhn lebih unggul daripada menggunakan grand-theory atau grand-concepts seperti yang penulis ketengahkan diatas, meskipun tujuannya sama mengatasi kemandegan pengembangan ilmu sejak abad XIX dan awal abad XX, atau dalam istilah penulis : telah terjadi proses pemiskinan teori sejak metodologi positivisme (tanpa grand concepts).

M.  Konstruk Deduktif Eksperimental Hacking
            Di muka telah disinggung bahwa konstruk deduktif dikembangkan oleh Hacking sampai sejauh hasil eksperimen. Hacking lulusan Cambridge dan mungkin sekarang masih mengajar di Toronto, mengetengahkan bahwa konseptualisasi deduktif dapat disupport dari hasil manipulasi eksperimental.

N.   Model Paradigma Kuhn, Lakatos dan Laudan
            Dari ketiga hal  tersebut, nampaknya perlu dijelaskan tentang tujuan kognitif. Berpikir rasional dalam tujuan kognitif ini akan menjangkau sejauh epistemologik logik saja, atau menjangkau yang etik atau malahan hendak menjangkai yang transendensi.

O.   Konstruk Empiri
            Entitas empirik terkonstruk dapat pula ditampilkan berupa pemaknaan bahwa keragaman teori dalam ilmu sosial yang semua saling bertahan pada teorinya terjadi karena ilmu sosial merupakan soft science.

P.    Paradigma sebagai Wacana
            Itu berarti bahwa era mendatang bukan hanya teori dan implementasi serta implikasi spesifik dan kasuistik yang perlu dikembangkan lebih cepat, demikian pula paradigma menjadi perlu diperkembangkan terus.
BAGIAN KESEBELAS
PENJELAJAHAN POSTMODERNISME

A.   Perkembangan Embrio Konsep Postmodern
            Pada tahun 1930-an muncul romantisme dalam seni sastra dan realisme serta naturalisme dalam seni rupa. Pada dasawarsa 1940-an muncul individualisme, esksistensialisme dan humanisme universal di kalangan karya sastra. Pada tahun 1950-an dan 1960-an faham maxisme dan realisme sosial masuk di lingkungan karya sastra. Di lingkungan seni rupa muncul ekspresionisme, surealisme, kubisme dan abstraktisme. Di lingkungan karya sastra muncul sufisme, eskapisme, formalisme, strukturalisme, dadaisme, surealisme feminisme, dan freudianisme. Dari deskripsi diatas tampak indikasi bahwa aestetic discourses lebih berkembang individual, atau dalam bahasa Mikel Dufrene karya sastra merupakan karua en-soi, atau malahan dalam pemaknaan posmo dapat menjadi en-moi.

B.    Holisme dan Postmodernisme
            Holisme merupakan gebrakan terhadap hard science yang analitik dalam ilmu-ilmu sosial.

C.   Rasionalitas dan Kebebasan
            Postmodernisasi tetap mengakui rasionalitas, tetapi memberi kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan kritis-kreatif-divergen dalam mencari kebenaran. Posmo bukan hendak membuktikan kebenaran, melainkan hendak mencari kebenaran.

D.   Perkembangan Logosentrisme
            Dengan logosentrisme manusia kehilangan dirinya sebagai subyek. Dengan strukturalisme de Saussure manusia tidak lagi menjadi subyek bahasa, bukan subyek berpikir, dan bukan subyek tindakan, melainkan menjadi yang dibicarakan. Yaitu yang dibicarakan sesuai struktur bahasa, struktur sistem sosial-ekonomi. Manusia bukan lagi mencipta struktur dan mengendalikan sistem, melainkan menjadi obyek yang dikendalikan oleh struktur dan sistem.

E.    Postmodernisasi
            Postmodernisasi telah muncul sebagai konsep dalam arsitektur pada akhir 1940-an, dan dalam sastra pada tahun 1960-an. Tetapi digunakan sebagai konsep umum baru muncul setelah konsep poststrukturalis muncul.

F.    Dekonstruksi dan Postsstrukturalisme
            Derrida mengembangkan lebih lanjut pemikiran tersebut Derrida mulai mengkritik telaah filosofik tentang “yang ada”. Sejak zaman Yunani kuni sampai Husserl ilmu pengetahuan mewariskan metafisika yang mengajarkan tentang “yang ada” itu hadir secara langsung sebagai realitas. Derrida menolak bahwa yang kita hadapi itu realitas langsung.

G.   Hermenutik Gadamer
            Hermeneutik Gadamer penulis angkat dari buku Wahrheit und Methode Edisi II tahun 1965 yang diterjemahkan menjadi Truth and Method tahun 1975. buku tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas human sciences dengan fokus pada understanding of the being, bukan mencari teori seperti natural sciences. Bagian kedua membahas tentang peran realitas sejarah terhadap relativitas pemahaman manusia. bagian ketiga membahas tentang peran bahasa dalam pergeseran ontologi hermeneutik dari bahasa sebagai experience of the world menuju universalitas hermeneutik.
1.    Pemahaman
2.    Realitas
3.    Bahasa
4.    Kreator

H.   Dekonstruksi Syari’ah
            Telah berabad-abad dunia Islam mengacu pada ayat-ayat Madaniah, fiqihnya pun dibangun oleh para ulama dengan mendasarkan pada ayat Madaniyah. An-Naim Guru Besar di Universitas Uppsala kelahiran Sudan, dan juga Arkoun Guru Besar Sorbonne kelahiran Aljazair mencermati dan membandingkan dengan ayat dan surat Makkiyah. Keduanya menarik kesimulan bahwa yang Madaniyah mempromosikan konfrontasi, pembatasan kebebasan individu, dan diskriminatif terhadap wanita ataupun terhadap non-muslim. Sedangkan yang Makkiyah lebih mengandung universalisme Islam.

I.     Pluralisme
            Dalam era globalisasi, postmodern dapat diartikan sebagai keterbukaan menolak ketaatan pada satu otoritas, dan semakin menyadari bahwa kebenaran memang terlalu besar untuk dimonopoli satu sistem dan keragaman pandangan itu menjadi lebih indah. Keseragaman sering membelenggu kebebasan manusia.

J.     Postmodernisme Menghadapi Radikalisme dan Fundamentalisme
            Pada era modernisme positivistik realitas sosial dimaknai dalam paradigma, empirisme, obyektivisme, dan rasionalisme. Era modernisme pospositivistik berupaya mencari makna di balik empiri dan mulai mengangkat nilai moral. Sedangkan pada era postmodernisme realitas sosial dilihat sebagai realitas yang pluralistik, yang relatif dan yang memerlukan pencerahan rasional. Sikap dialogis, empatik dan toleran membuat orang sadar tentang adanya pluralitas, relativitas dan perlunya memahami satu sama lain.
K.   Postmodernisme dan Media Massa
            Pada sisi lain informasi telah mengakselarasi konteks hubungan internasional, yang menuntut kepekaan kehadiran the other, kepekaan untuk tidak mengklaim gaya berpikir tertentu sebagai berlaku universal, kepekaan untuk mengakui keragaman.

L.    Postmodernisme dan Indeterminate Future Events
            Relativisme posmo bukan relativisme nihilistik, melainkan relativisme yang mengakui bahwa kebenaran yang sekarang dicapai belum mampu mengungkap kebenaran hakiki semesta, dan tidak akan mampu memprediksikan indeterminate future events.

M.  NonStandard Logic
            Nonstandard logic menjadi salah satu karakteristik utama Postmodernisme : yang berpegang pada dua karakter dasar ilmuwan masa depan, yaitu : rasionalitas dan kebebasan. Rasionalitas dan kebebasan PostModernisme paradigma kuantitatif tampil dalam quantum logic. Dan paradigma kualitatif tampil dalam paraconsistent logic.
1.    Teori Quantum dan Quantum Logics
            Dengan adanya interphenomena yang belum dapat terinterpretasikan Reichenbach menawarkan penggantian a two valued logics : truth-false menjadi a three valued logics : truth-indeterminate-false. A three valued logics akan menjadi landasan logika quantum dalam era postmodern.
2.    Paraconsisten Logics
            Informasi tidak consistent lain berupa penggunaan teori-teori yang menjadikan interpretasinya kontradiktif ataupun paradoxal. Klaster L tata pikir yang penulis susun dan sajikan dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif menjadi tepat digunakan untuk paraconsistent logics.
N.   PostModern Ethics
1.    Tanpa Ethical Code
            Meskipun tanpa ethical code atau standar, Alan Wolfe (1983) mengetengahkan bahwa kapasitas moral makhluk manusia menjadi penjamin pelestarian makhluk manusia. Sejalan dengan teori moral imperatif dari Kant.
2.    Multiple Membership dengan Ethical Code Asimetris
            Keanggotaan kelompok pada era modern dan posmo adalah multiple membership. Multiple membership dalam modernisme menggunakan ethical code yang sama. Adapun multiple membership dalam posmo membuat hubungan I-thou menjadi asimetris. Moralitas yang digunakan sebagai landasan kebersamaan tidak simetris.
3.    Tekhnologi hanya Means
            Berpikir modern mendudukkan tekhnologi sebagai means untuk mencapai ends, dan selanjutnya ends menjadi means; proses demikian berlangsung berkelanjutan.

O.   PostModern dan Masa Depan
            Postmodernisme memiliki karakteristik dinamik. Tuntutan membuat temuan baru, tidak lagi memerluakn berpuluh tahun atau bertahun, melainkan sudah berkembang menjadi berbulan. Dalam information technologi, COO (Chief Organization Officer) Microsoft mendeskripsikan bukan lagi perlu sekian tahun untuk membuat invensi, melainkan dituntut adanya invensi baru setiap 18 bulan.

KRITIK SASTRA


BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Secara umum sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan. Studi sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum sekaligus. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus. Perkembangan sastra tersebut tidak terlepas karena adanya kritik sastra. Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia.
Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja Kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra.
            kritik sastra yang sejak dulu dipahami sebagai sebuah bentuk kerja interpretasi (menjelaskan maksud) untuk karya imajinatif (atau karya sastra) ternyata sudah mulai bergeser fungsinya dengan tuntutan menjadikan kritik sastra sebagai sebuah bentuk karya sastra sekelas dengan seni yang lain. sastra juga dimaksudkan untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.
  Melalui Kritik sastra hasil karya seseorang sastrawan bisa akan terus berkembang, serta hal tersebut  harus juga didukung oleh kreativitas masyarakat memaknai hasil karya sastra tersebut. Untuk lebih jelasnya dalam bab pembahasan akan dipaparkan secara jelas.

1.2  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian kritik sastra?
2.    Bagaimana hubungan kritik sastra dengan kausastraan?
3.    Mengapa kritik sastra dikatakan sebagai ilmu?
4.    Apa manfaat kritik sastra?
5.    Adakah tahapan-tahapan yang mendukung kritik sasatra itu?
6.    Siapa sajakah yang bisa disebut dengan Masyarakat sastra?
7.    Bagaimanakah hubungan kritik sastra dengan masyarakat sastra?

1.3  Tujuan
              Tujuan dari penulisan paper ini adalah:
1.    Sebagai tugas mata kuliah kritik sastra.
2.    Sebagai sarana menambah wawasan tentang kritik sastra itu sendiri.
1.4  Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari tulisan ini hanya membahas mengenai Pengertian kritik sastra, hubungan kritik sastra dengan kausastraan, kritik sastra sebagai ilmu, manfaat kritik sastra, tahapan-tahapan yang mendukung kritik sasatra, Masyarakat sastra, dan hubungan kritik sastra dengan masyarakat sastra.












BAB II
PEMBAHASAN


1.1 Pengertian Kritik Sastra
            Secara etimologis kritik sastra berasal dari bahasa Yunani kuno krites yang berarti hakim. Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti menghakimi.(Partini Sardjono Pradotokusumo, 2005: 55). Berdasarkan pandangan bahwa kritik sastra adalah sebuah penghakiman, maka dalam proses penghakiman diperlukan syarat-syarat untuk menghakimi karya sastra. Ini berarti sebuah karya sastra bisa dikatakan memenuhi standar sebagai sebuah karya seni harus berdasarkan kriteria tersebut.
Seiring dengan pengertian tersebut diatas, ada beberapa pendapaat para ahli tentang kritik sastra itu sendiri, diantaranya:
1). Menurut M.H Abrahams
Berpendapat bahwa kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan Pendefinisian , penggolongan, penguraian (analisis) dan penilain (evaluasi) karya sastra.
            2). Menurut Rene Wellek.
Berpendapat bahwa kritik sastra merupakan studi sastra yang  langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada peniaian.
            3). Menurut Racmat Djoko Pradopo.
Berpendapat bahwa kritik sastra adalah bidang study sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus.

            Dari beberapa pendapat pakar diatas, dapat disimpulkan kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan pengamatan yang diteliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik-buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra.

1.2. Hubungan Kritik Sastra dengan Perkembangan Kesusastraan.
            Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Menurut Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Menurut H. B. Jassin, kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra. Di dalamnya diulas mengenai penilaian, tanggapan, dan komentar terhadap suatu karya sastra. Penggunaannya baik secara etimologi maupun secara terminologi tidak berbeda. Kritik sastra diartikan sebagai penerimaan, pengkajian, pemikiran dan pendiskusian teks-teks sastra dengan mengambil unsur-unsur keindahan di dalamnya dan memilah keburukannya. Kritik sastra adalah menampakkan kelemahan dan kebaikan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik sastra merupakan adil dengan pembuktian dan memeriksa bukan dengan keinginan dan kecenderungan semata. (Muhammad at-Tawanjî, : 865).  
Krieger juga menyarankan tiga cara yang dapat dipilih untuk meletakkan kritik sastra pada keutamaan yang sama dengan yang ada pada karya sastra. Yang pertama, ketika karya sastra ternyata hanya sekadar meniru tanpa memberikan refleksi lain, kritik sastra dapat dipandang sebagai karya utama karena kritik mampu menulis ulang (layaknya karya sastra) sebuah objek dalam terminologi atau pengertiannya sendiri (criticism is now have always been rewriting the object in the critic’s own terms). Cara kedua, adalah memandang kritik memiliki keunggulan baik sebagai seni maupun bentuk tindak koreksi. Ketiga, memandang kritik sejajar dengan puisi. Jika satu puisi dianggap “bersaing” dengan karya sebelumnya, kritik sastra dapat dipandang bersaing dengan subjek pembicaraannya dan kritik lain yang sudah pula membiacarakan objek tersebut (poets are seen as competing with their predecessors no more than critics compete with their poet-subject and with earlier critics of those poets).
Kritik sastra lahir karena ada karya sastra, ada penerbit, dan ada pembaca. Jadi, secara sosiologis kritik sastra itu berada dalam suatu sistem yang integral sehingga secara tidak terelakkan bergerak di tengah-tengah elemen yang menjadi lingkungan terdekatnya. Dan, pengamatan tentang kritik sastra tidak hanya melihat baik-buruk sebuah karya sastra, tetapi juga menilai unsur-unsur pengarang, pengayom, dan pembaca yang menjadi lingkungan terdekatnya.




1.3 Kritik Sastra Sebagai Ilmu
Kritik sastra adalah sebuah seni sastra, di samping karya sastra. Bila karya sastra mengandalkan konten dan bentuk, cerita, pesan, penokohan, plot, imajinasi, angan-angan, fantasi, bahkan harapan-harapan seorang seniman – maka kritik sastra – menawarkan evaluasi, pengamatan, penilaian, koreksi, usulan, atau sekadar komentar minimal, tentang karya sastra tersebut. Dengan memperhatikan bahwa kritik sastra adalah menilai sastra, maka perlu dijelaskan ruang lingkup kritik sastra sebagai ilmu. Jika yang dimaksud dengan ilmu adalah pemecahan masalah dengan tuntutan ilmu itu sendiri, maka kritik sastra termasuk bagian dari ilmu sastra. (Lihat Sangidu, 2005 : 38). Kritik sastra adalah ilmu yang mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tetap walaupun mungkin berbeda pada cabang-cabangnya. (Muhammad Zaglûl Salâm, 1964 : 143).

1.4.  Manfaat Kritik Sastra
Setidaknya, ada 4 (empat) manfaat kritik sastra. Keempat manfaat tersebut adalah sebagai berikut.

a. Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra
            Dalam mengkritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara tertentu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada gilirannya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
           
b. Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca
            Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus. Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus budi, mempertajam pikiran, kemanusiaan, dan kebenaran).

c. Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.

d.Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula kritikus akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.

1.5 Tahapan Kritik Sastra
            Seseorang yang melakukan kritik sastra secara baik harus melalui tahapan-tahapan yang sistematis dan operasional, yaitu melalui (1) Tahap Deskritif; (2) Tahap Penafsiran; (3) Tahap Menguraikan; dan (4) Tahap Penilaian.

1.5.1 Tahap Deskripsi
Tahap deskripsi karya sastra merupakan tahap kegiatan mamaparkan data apa adanya, misalnya mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau novel berdasarkan urutan cerita, mendeskripsikan nama-nama tokoh uatama dan tokoh-tokoh bawahan yang menjadi ciri fisik maupun fisikisnya, mendata latar fifk ruang dan waktu atau latar sosial tokoh-tokohnya, dan mendeskripsikan  alur setiap bab atau setiap episode.

1.5.2 Tahap Penafsiran
Tahap penafsiran karya sastra merupakan penjelasan atau penerangan karya sastra. Menafsirkan karya sastra berarti menangkap  makna karya sastra, tidak hanya menurut apa adanya, tetapi menerangkan juga apa yang tersirat dengan mengemukakan pendapat sendiri.


1.5.3 Tahap Analisis
Tahap Analisi merupakan tahap kritik yang sudah menguaraikan data. Pada tahap ini kritikus sudah mencari makna dan membandingkan-bandingkan dengan karya sastra lain, dengan sejarah atau dengan yang ada di masyarakat.
1.5.4  Tahap Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir suatu kritik sastra. Dalam suatu evaluasi dapat dilakukan melalui pujian, seperti berbobot, baik, buruk, menarik, dan unik. Sebaliknya, dapat pula dilakukan pencemohan, ejekan, dianggap jelek dan tidak bermutu, serta tidak menyentuhnilai-nilai kemanusiaan. Jadi kritik sastra mencapai kesempurnaan setelah diadakan evaluasi atau penilaian.

1.6 Masyarakat sastra
Sastra sebagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968) terbagi menjadi tiga, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Pernyataan Wellek dan Warren itu mengimplikasikan bahwa teori, sejarah, dan kritik sastra memiliki kedudukan yang sejajar. Artinya, ketiga-tiganya penting sehingga tidak ada yang lebih utama dibanding yang lainnya. Oleh karena itu, pengamatan terhadap kritik sastra sama pentingnya dengan pemahaman terhadap teori sastra, penelitian terhadap karya sastra, dan penelitian sejarah sastra. Dengan demikian, keberadaan suatu kritik sastra akan menjadi bagian penting dalam perkembangan sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. Kritik sastra sebagai bagian sistem sastra tentu saja berhubungan erat dengan karya sastra, pengarang, penerbit, pengayom, dan juga pembaca.

1.7 Hubungan Masyarakat Sastra Dengan Kritik Sastra
Hubungan Masyarakat sastra dengan Kritik Satra dapat dibedakan menjadi empat yaitu: (1) Pengarang; (2) Pembaca; (3); Kritikus; dan (4) Penerbit.

1.7.1    Hubungan Kritik Sastra dengan Pengarang.
Pengarang merupakan seorang atau sekelompok orang yang berperan dalam mencentuskan suatu ide-ide kreatif yang dituangkan kedalam karya tulis, baik berupa buku, artikel, majalah dan bentuk karya sastra lainnya. Ditinjau dari hasil karya sastra yang ditulis oleh pengarang akan kelihatan sejauh mana pendidikan, pengetahuan dan latar belakang penulis itu sendiri.Dilihat dari hubungan pengarang dan kritik sastra sangatlah erat sekali dimana seorang pengarang sudah pasti memperhatikan kaidah-kaedah keindahan atau pendekatan estetika dan berusaha mengungkapkan nilai-nilai keindahan karya sastra guna membangun kritik yang fositif untuk kemajuan bangsa dan nama pengarang itu sendiri. Bahkan pengarang membuat suatu kritik terhadap kehidupan ini sesuai dengan karakteristik jiwa pengarang itu sendiri untuk menuangkan ide atau gagasan yang terbenam dalam benaknya dan kehidupan masyarakat sosial, politik,serta prekonomian di suatu wilayah tertentu.

1.7.2    Hubungan Pembaca dengan Kritik Sastra.
Secara umum pembaca merupakan komponen yang sangat penting juga dalam karya sastra baik kritik sastra, sejarah sastra, dan teori sastra sebab tanpa adanya pembaca yang membaca hasil karya sastra tersebut maka pengarang, penerbit akan sangat rugi atas apa yang dibuat tersebut tidak mendapatkan suatu respon yang Positif oleh masyarakat pembaca. Hal ini akan mampu membuat suatu kesenjangan sosial budaya. Untuk mengendari kesenjangan tersebut suatu karya sastra haruslah menarik untuk dibaca, adanya unsur positif di-dalamnya, dan terjangkau untuk masyarakat agar karya sastra tersebut laku.

1.7.3    Hubungan Kritikus dengan Kritik Sastra.
Seorang Kritikus merupakan seorang pengeritik atau penimbang yang berperan sebagai perantara antara si pencipta dan orang banyak. (H.B. Jassin, 1983: 95 dalam Tifa Penyair dan Daerahnya. Tanpa adanya kritikus yang menyoroti hasil penciptaan pengarang maka pengarang merasa akan paling pintar dan egonya tinggi. Dengan adanya seorang kritikus yang menyoroti hasil karya pengarang, secara tidak langsung kritikus bertindak sebagai guru dan pelatih, sehingga nilai dan karyanya menjadi lebih baik/meningkat.


1.7.4    Hubungan Kritikus Dengan Penerbit
Penerbit merupakan suatu media penyalur karya tulis/karya satra untuk sutu kepentingan pribadi, kelompok maupun masyarakat, Bangsa dan Negara. hubungan Penerbit dengan kritik satra sangat penting juga sebab tanpa adanya penerbit, buku/ karya satra tersebut tidak akan beredar atau menyebar karena tidak diterbitkan. Serta tanpa adanya hubungan yang baik antara penerbit dengan penulis/pengarang, serta kritikus yang mempunyai nama maka penerbit bisa meragukan hasil karya tersebut sehingga bisa memperlamban proses penyebaran karya sastra tersebut.

            Dari ke-empat masyrakat sastra tersebut, hubungan ke-empatnya sangat erat  tidak bisa dipisahkan satu sama yang lainya. Jadi adanya Kritik satra tidak terlepas oleh masyarakat sastra itu sendiri. Bagi masyarakat dewasa ini kritik itu menyajikan hal-hal yang menarik berupa petunjuk atau intruksi, sehingga dengan demikian dapat membantu menaikkan tarap kehidupan umum, suatu bidang yang harus di kembangkan oleh para arif bijaksana.
           


















BAB II
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Melalui kritik dapat memperbaharui karya sasatra yang dibuat oleh seseorang sasatrawan untuk menyebarkan pengetahuan tentang kebudayaan massa lalu dan memperlihatkan kepada para pembaca yang terdapat dalam kehidupan, hubungan serta persesuaian suatu karya seni dengan pengalaman sendiri, dan relasi antara nilai-nilai agama dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

3.2 Saran-Saran
            Paper  ini  disusun  berdasarkan  materi  pelajaran  yang  diberikan dosen  pengasuh  mata  kuliah  dan  juga  teman-teman  yang  saling  bekerja sama.  Oleh  karena  itu,  kami  mempunyai  harapan  besar,  agar  dengan kehadiran paper ini dapat bermanfaat bagi kami maupun para pembaca.Disadari bahwa dalam penyusunan paper ini masih banyak terdapat kelemahan  dan  kekurangan  baik  dari  segi  materi  dan  teknis  penyusunan sehingga diharapkan kontrol dan kritik dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami mengucapkan  terima kasih kepada Bapak dosen pengasuh mata kuliah kami serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya paper ini.













TUGAS MATA KULIAH KRITIK SASTRA
”KRIRTIK SASTRA DAN MASYARAKAT SASTRA”











 











OLEH:

I Made Juliadi Supadi                       Nim: 2007.II.0019







PROGRAM STUDY PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH
BIDANG ILMU PENDIDIKAN  BAHASA DAN SASTRA DAERAH BALI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI BALI
2010/2011





PRAKATA


Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, maka paper yang berjudul : Kritik Sastra dan Masyarakat Sastra dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
            Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, namun setidak-tidaknya atas bimbingan Bapak dosen, dan bantuan serta partisipasi dari teman-teman, serta dari berbagai buku-buku yang penulis jadikan sebagai acuan.
            Dalam penulisan paper ini, penulis selalu mengharuskan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi semua pihak yang berkepentingan. Terlebih bagi penulis ataupun para pembaca.







                                                      Penulis

                                  


                                                          (........................................)











 

DAFTAR PUSTAKA


Cabiklunik.blogspot.com/2009/01/oase-budaya-kritik.html.Sumber: Jurnal Nasional,  Minggu, 18 Januari 2009.Diakses 25-02-10.
Esten, Mursal. 1982. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkulture, Bandung; Angkasa.
Jassin, H.B. 1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esie, Jakarta; Gunung Agung.
Krieger, Murray. “Criticism as a Secondary Art”, dalam What Is Criticism?, editor Paul Hernadi. 1981. Bloomingtoon: Indiana University Press.
Tarigan,Prof;DR. Henry guntur. 1993, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung;Angkasa Bandung.