"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

7/10/2011

Belajar dan pembelajaran Teori Kognitivisme



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang masalah

Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah  pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan ( Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Teori Perkembangan Kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata/skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya. Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas beberapa tahap.
Dalam hal pemerolehan bahasa ibu Piaget mengatakan bahwa (1) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (2) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (3) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu. Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1.      Bagaimana belajar dalam pandangan kognitivisme?
2.      Bagaimana teori belajar menurut  Piaget?
3.      Bagaimana teori belajar menurut  Vygotsky??
4.      Bagaimana teori belajar menurut  Bruner?
5.      Bagaimana aplikasi teori kgnitif dalam kegiatan pembelajaran?


1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
1.      Untuk mengetahui belajar dalam pandangan kognitivisme.
2.      Untuk mengetahui teori belajar menurut Piaget.
3.      Untuk mengetahui teori belajar menurut Vygotsky
4.      Untuk mengetahui teori belajar menurut Bruner.
5.      Utuk mengetahui aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran?





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Belajar dalam pandangan kognitivisme
Kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut sebagai model kognitif atau perceptual. Didalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Belajar disini dipandang sebagai perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubugan dengan konteks seluruh situasi tersebut.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
Manusia melakukan pengamtan mula-mula secara keseluruhan, kemudian menganalisis apa yang diamati untuk selanjutya disintesiskan kembali.Teori ini mengangap bahwa pengertian merupan inti belajar. Belajar yang sebenarnya selalu belajar tentang pengertian (insigtht learning).memahami apa yang di pelajari merupakan hal yang utama.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya.
Galloway  (1976) mengemukakan bahwa belajar merupan suatu proses internal yang mencakup ingatan,retensi,pengolahan informasi,emosi dan faktor-faktor lain.Proses belajar meliputi pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikan dengan stuktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Prinsip kognitivisme banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
Ø      Si belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
Ø      Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
Ø      Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian
Adapun kritik terhadap teori kognitivisme adalah:
Ø      Teori kognitif lebih dekat kepada psikologi daripada kepada teori belajar, sehingga aplikasinya dalam proses belajar mengajar tidaklah mudah
Ø      Sukar dipraktekkan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin memahami “struktur kognitif” yang ada dalam benak setiap siswa.
2.2 Teori Perkembangan Piaget
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata (skema) tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize.
Piaget mengemukakan bahwa ada 4 aspek yang besar yang ada hubungnnya dengan perkembangan kognitif :
a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembanagn dari susunan syaraf.
b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan stimulus-stimulusdalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu.
c. Interaksi social, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu
d. Keseimbangan, adalah suatu system pengaturan sendiri yang bekerja untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, penglaman fisis, dan interksi social.
Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Pieget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatuyang dapat didefinisikan secara kuatitatif. Ia mnyimpulakan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Intelegensi menurut Piaget itu sendiri terdiri dari tiga aspek,
1.      Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas
2.       Isi ; disebut  juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3.      Fungsi ; disebut fungtion, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektul.
Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi.
·         Organisasi ; berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk system-sistem yang koheren.
·         Adaptasi ; yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.   
Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual.
Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium – disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimulasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitf yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami.
Proses belajar akan terajadi jika  mengekuti tahap-tahap asimilas, akomodasi dan ekuilibrasi(penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informosi baru kedalam struktur kogntif yang telah dimiliki indidvidu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitf kedalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tanpa pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan didalam struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan diatas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan stuktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkrmbangan tertentu. Menurut piaget,proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tetentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berbeda di luar 9tahap kognitifnya. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia yaitu :
a.      Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan berdasarkan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.
Kemampuan yang dimilikinya ntara lain:
1)      Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang brbeda dengan objek sekitarnya.
2)      Mencari ransangan melalui sinar lampu dan suara.
3)      Suka memperhatikan sesuatu lebi lama.
4)      Mendepinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
5)      Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tepatnya.

b.      Tahap preoperasional (umur 2-7-8 tahun)
Ciri pokok pekembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intiutif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembankan konsepnya,  walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi  kesalahan dalam memahami objek.
Karakteristik tahap ini adalah:
1)      Self counter nya sangat menonjol.
2)      Dapat mengklafikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok
3)      Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda.
4)      Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kritria,termasuk criteria yang benar.
5)      Dapat  menyusun benda-benda secara berderet tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan  yang agak abstraks. Dalam menerik kesimpulan sering tidak diungkapan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinys secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik taha ini adalah:
1)      Anak dapat mebentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya
2)      Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
3)      Anak dapat melakukan sesuatu terhadapa sejumlah ide.
4)      Anak mampu meperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti terhadap sejumlah objek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan masa pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan volume pada usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah objek adalah sama meskipun objek itu di kelompokan dengan cara yang berbeda.

c.       Tahap operasional kongkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanaya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat kongkrit. Operation adalah suatu tipe tidakan untuk memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karena kegiatan ini memerlukan proseses transformasi informasi kedalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan tidak mebuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemunkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menengani system klasifikasi.
Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah (undering problems) ia tidak sepenuhnya menydari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perceptual pasif. Uantuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran kongkret, sehingga ia mampuh menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.

d.      Tahap opersional formal (umur 11/12 – 18 tahun)
Cirri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan” model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-de-autctive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat:
1)      Bekerja secara efektif dan sistematis
2)      Manganalisis secara kombinasi. Dengan demikian telah diberikan dua kemungkinan penyebapnya, misalnya C1 dan C2 menghasilkan R, anak dapat merumuskan beberapa kemungkinan.
3)      Berpikir secara proposional, yakni menentukan macam-macam proposional tentang C1, C2 dan R misalnya.
4)      Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini mula-mula piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal operations paling lambat pada usia 15 tahun. Tetapi bberdasarkan penelitian maupun studi selanjutnya menemukan bahwa siswa bahakan mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan formal-operations.

Proses belajar dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasional, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional kongkret, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal. Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kogntif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif pada murudnya agar dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Pembelajaran yang dirancang dana dilaksanakan tidak sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.

2.3  Teori Vygotsky
Lev Semionovich Vygotsky (1896-1934), psikolog rusia memperkenalkan teori yang cukup berpengaruh dalam psikologi. Karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya penglaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada system-sistem isyarat (sign system). Dengan system-sistem isyarat inilah individu-individu tumbuh. System-sistem isyarat mengacu kepada symbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berpikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah. Teori vygotsky menyatakan secara tidak langsung bahwa perkembangan kognitif dan kemampuan untuk mengendalikan tindakan-tindakan diri sendiri mensyaratkan adanya system-sistem komuniikasi budaya, dan kemudian belajar menggunakan sisterm-sistem ini unutk menyesuaikan proses-proses berpikir diri sendiri.

Prinsip-prinsip kunci dari teori Vygotsky adalah sebagai berikut:
a.      Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar.
                        Vygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi social dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia(Slavin, 1997;McLeish, 1986). Menurut Vygotsky siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi social ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.

b.      Daerah perkembangan terdekat(zone of proximal development=ZPD)
                        Vygotsky memperkenalkan ide zone of proximal development (ZPD) sebagai suatu usaha untuk menguraikan dua masalah dalam psikologi pendidikan, yakni penilaian kemampuan intelektual anak, dan evaluasi praktek pengajaran (Wertsch, 1985). Vygotsky yakin bahwa belajar  terjadi  jika anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajri tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan proksimal mereka.
                        Vygotsky merencanakan adanya perbedaan (jarak) antara tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat perkmbangan actual adalah pemungsian intelektual indidvidu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan kemampuan sendiri.

c.       Pemagangan kognitif
                        Konsep ini diturunkan dari teori Vygotsky yang menekankan pada hakekat social dari belajar dan ZPD (Garden, dalam Slavin, 1997). Pemagangan mengacu pada proses  dimana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pkar yang dimaksud adalah orang yang menguasai permasalahan yang dipelajari, jadi berupa orang dewasa atau kawan sebaya. Dalam konteks kooperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompoknya.

      d . Perancahan (Scaffolding)
                        Perancahan (scaffolding) mengacu pada pemberian sejumlah bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada anak. Menurut Siavin (1997) memberikan scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah besar dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakn besar setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri.  

e.       Bergumam (Private Speech)
                        Ide ini penting karena menurut Vygotsky, private speeh dapat memperkuat interaksi social anak dengan orang lain. Private Speech dadapat dilihat pada seorang anak yag dihadapkan pada suatu masalah dalam sebuah ruangan dimana terdapat orang lain, biasanya seorang dewasa. Anak kelihatannya bernicara pada dirinya sendiri mengenai maalah tersebut, tetapi pebicaraanya diarahkan pada orang dewasa. Private Speech kemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses berpikir.
                       
Selain itu menurut Vygotsky (woolfolk, 1998), bahasa merupakan factor penting untuk perkembangan kognitif. Bahasa memiliki makna untuk menayakan ide-ide dan menyampaikan pertanyaan. Vygotsky mengakui adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian kedua garis perkembangan bahasa saling bertemu dan terjadi secara serentak. Dengan kata lain dapat diterangkan bahwa pikiran dan bahasa, pada tahap permulaan, berkembang secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi.
Menurut Slavin (1997), ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pelajaran kooperatif antara kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda. Sehingga siswa dapat berinterksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strateg-strategi pemecahan masalah yang efektif.



2.4  Teori belajar Menurut Bruner
Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengut setia teori kognitif, terutama dalam studi perkembangan kognitif. Bruner bersetuju dengan Piaget bahawa perkembangan kognitif kanak-kanak adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Walau bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran secara penemuan iaitu mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam keadaan baru (lebih kepada prinsip konstruktivisme).

Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
a.       Perkembangan intelektual ditandai dengan kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
b.      Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistim penyimpanan informasi secara realis.
c.       Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada diri orang lain melalui kata-kata atau lambing tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
d.      Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tuadengan anak diperlukan untuk perkembangan kognitifnya.
e.       Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia. Untuk memehami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep pada orang lain.
f.       Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk menggunakan beberapa alternative secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yng berurutan dalam berbagai situasi.
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanaya pengaruh kebudayaan terhadapa tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learnigng, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupanya. Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangn bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa perkembangn bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara melihat lingkunganya, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic.
1)      Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dana sebagainya.
2)      Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melaui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komarasi).
3)      Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruh oleh kemampuannya dalam berbahasa dan ligoka. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui symbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakkukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan system simbolnya. Meskipun begitutidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.

Perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan oaring tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculu) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukan cara mengurutksan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secar umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif oaring yang belajar.
Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng, 1989), menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan enetapkan contoh-contoh (objek-objek atau peristiwa-peristiwa) kedalam kelas dengan menggunakan dasar criteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pebentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk kategor-kategori baru. Jadi merupakan tindakan penemuan konsep.
Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu: 1) tindakan membentuk konsep, dan 2) tindakan pemahaman konsep. Artinya langkah pertama adalah pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep. Perbedaan antar keduanya adalah:
1)      Tujuan dan tekanan dari kedu bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
2)      Langkah-langkah dari kedua proses berpikir tidak sama.
3)      Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda.

Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui dari semua unsure dari konsep itu, meliputi;
1)      Nama
2)      Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
3)      Karakeristik, baik yang pokok maupun yang tidak.
4)      Rentangan karakteristik.
5)      Kaidah.

Pembelajaran yang diberikan selama ini disekolah lebih banyak menekankan pada perkembangan analisis, kurang mengembangkan kemampuan intuitif. Padahal berpiir intuitif sangat penting bagi mereka yang menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan sebagainya, sebap setiap disiplin mempunyai konsep-konsep prinsip, prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hun=bungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning).
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.   
Teori Bruner mempunyai ciri khas daripada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa  menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.


2.5  Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penatan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kogntif ini sudah banyak digunakan dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan  tujuan pembelajaran, Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.      Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2.      Anaak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3.      Keterlibatan siswa dalam siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siwa maka proses asimilsi dan akomodasi dapat terjadi dengan baik.
4.      Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
5.      Pemahaman dan retensi akan meningkatkan jika materi belajar disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6.      Belajar memahami akan lebih bermakana daripada menghafal.
7.      Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu di perhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
Ketiga tokoh aliran kognitif diatas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut Piget, hanya dengan mengaktifkan siswa secara optimal maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.. Teori vygotsky menyatakan secara tidak langsung bahwa perkembangan kognitif dan kemampuan untuk mengendalikan tindakan-tindakan diri sendiri mensyaratkan adanya system-sistem komuniikasi budaya, dan kemudian belajar menggunakan sisterm-sistem ini unutk menyesuaikan proses-proses berpikir diri sendiri. Sementara itu, Bruer lebih banyak memberikan kebebasan pada siswa untuk belajar sendiri melalui aktifitas menemukan (discovery).













BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari penjelasan materi diatas maka dapat simpulkan yaitu :
1.      Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah  pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan ( Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
2.      Menurut teori kognitivisme ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya.. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
3.      Menurut Pieget, perkembangan kognitif merupakan satu proses genetic, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan system saraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel sarafnyan dan makin meningkat pula kemampuannya.
4.      Teori vygotsky menyatakan secara tidak langsung bahwa perkembangan kognitif dan kemampuan untuk mengendalikan tindakan-tindakan diri sendiri mensyaratkan adanya system-sistem komuniikasi budaya, dan kemudian belajar menggunakan sisterm-sistem ini unutk menyesuaikan proses-proses berpikir diri sendiri.
5.      Dengan teorinya yang disebut free discovery learnigng, Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupanya.
6.      Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kogntif ini sudah banyak digunakan dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan  tujuan pembelajaran, tidak lagi,Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.

 3.2  Saran
                 Dengan selesainya makalah ini Penulis berharap Pembaca mendapat informasi tentang teori kognitivisme, karena teori ini sangat penting dalam kegiatan pembelajaran.
                 Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari Pembaca yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.

Soal Objektif dan Kunci Jawaban

DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri.     .Belajar dan Pembelajaran.Yogyakarta : Rineka Cipta
Dahar, Ratna Wilis.1989.Teori-teori Belajar.Jakarta : Erlangga.
Ratumanan,Tanwey.2000.Belajar dan Pembelajaran.Ambon : Unesa University Press
http://zaifbio.wordpress.com/2010/04/29/teori-teori-belajar-behaviorisme-gestalt-kognitivisme-konstruktivisme-cbsa-keterampilan-proses-sosial-ctl-pendekatan-komunikatif-pendekatan-tematik-integratif/(accses 04/29/2010 - Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran
http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/09/implementasi-dalam-teori-kognitivisme-dalam-tradisi-behaviorisme/

Aplikasi Metode Berbasis Masalah Dalam Mata Melajaran Matematika Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas X SMA PGRI Pokok Bahasan Ruang Dimensi Tiga Tahun Pelajaran 2006/2007.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan proses belajar mengajar yang fungsional dan efektif merupakan salah satu aspek dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dalam pelaksanaan tersebut, terjadi interaksi antara guru dalam keberadaannya untuk mengajar dan siswa dalam keberadaannya untuk belajar. Mengajar dalam hal ini, tentulah dengan menggunakan metode tertentu sebagai salah satu komponen dalam mencapai tujuan pembelajaran, yang dalam pelaksanaannya tidaklah terlepas dari jenis pendekatan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, peranan yang sangat menentukan dari penggunaan suatu metode pengajaran yang disertai jenis pendekatan tertentu, memerlukan metode pengajaran yang serasi dan jenis pendekatan yang tepat.
Metode pengajaran dapat dipahami sebagai “strategi dalam proses belajar mengajar” (Syah, 2004 : 214). Metode pengajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang  sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
1
Karakteristik pembelajaran matematika tidak terlepas dari tujuan pendidikan matematika secara umum, yaitu memberikan kesempatan dan pengalaman kepada siswa untuk meningkatkan kompetensinya sehingga siswa dapat menghargai matematika, mempunyai keyakinan akan kemampuan matematikanya, mampu memecahkan masalah, mampu menggunakan matematika sebagai alat komunikasi, dan belajar bernalar atau berargumentasi. Sehingga dalam proses belajar mengajar perlu disadari bahwa selain pembelajaran harus berawal dari apa yang diketahui siswa dan menarik bagi siswa, pembelajaran matematika perlu menekankan pada pemahaman konsep. Untuk itu pembelajaran hendaknya juga menitikberatkan pada peningkatan pemahaman terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari suatu materi pelajaran.
Berkaitan dengan pembelajaran matematika, agar pembelajaran tersebut lebih terarah, terstruktur dan terpadu, maka peranan guru sangat penting. Seorang guru harus memperhatikan cara penyampaian materi pelajaran matematika agar materi yang disampaikannya mudah diterima dan benar-benar tertanam pada benak siswa. Berbagai metode pengajaran atau pendekatan pengajaran matematika, baik yang merupakan penemuan baru maupun yang merupakan perkembangan dari metode-metode yang telah ada, hendaknya dapat meningkatkan kinerja akademik siswa.
Oleh karena itu, sebagai guru harus mencari atau memilih metode pembelajaran/metode mengajar yang tepat dan sesuai dengan kondisi siswa serta materi yang disampaikannya. Sebab dengan metode pembelajaran yang sama tetapi karakter siswa berbeda, hasilnya akan berbeda. Demikian juga untuk materi yang berbeda seorang guru tidak bisa menerapkan metode pembelajaran yang sama.
Metode pembelajaran yang dipilih diharapkan mempertimbangkan kemudahan bagi siswa dalam menangkap materi yang disampaikan oleh guru sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sesuai dengan kaidah yang berlaku Hal tersebut hendaknya melibatkan dunia nyata sebagai suatu konteks belajar bagi siswa. Dengan demikian, penyajian suatu masalah yang autentik dan bermakna akan dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan penemuan. Terutama untuk guru mata pelajaran matematika diharapkan lebih mempertimbangkan hal-hal berikut ini :
  1. Pengetahuan awal siswa.
  2. Karakteristik penyampaian materi.
  3. Sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam pembelajaran tersebut.

Berdasarkan masalah di atas, kami mencoba meneliti secara obyektif tentang aplikasi metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika terhadap prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007.

  1. B.     Identifikasi Masalah
Metode berbasis masalah dirancang untuk membantu guru memberi informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulai; dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Penilaian kelas digunakan sebagai proses untuk mengukur dan menentukan tingkat ketercapaian kompetensi, dan sekaligus untuk mengukur efektivitas proses belajar mengajar dan sebagai bahan pertimbangan dalam perbaikan proses belajar selanjutnya. Penilaian kelas yang disusun secara terencana dan sistematis memiliki fungsi motivasi, belajar tuntas, efektivitas pembelajaran dan umpan balik.

  1. C.    Pembatasan Masalah
Agar penelitian tindakan kelas ini dapat terarah serta dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka peneliti/penulis membatasi permasalahan atas beberapa hal sebagai berikut :
  1. Penelitian ini hanya meneliti tentang prestasi belajar siswa melalui metode berbasis masalah.
  2. Subyek penelitiannya adalah siswa kelas X SMA PGRI Sumenep tahun pelajaran 2006/2007.
  3. Materi penelitiannya adalah mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga pada semester genap tahun pelajaran 2006/2007.
  4. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007.

  1. D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dalam hal ini peneliti/ penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
“Sejauh mana prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007?”

  1. E.     Tujuan Penelitian
Pemilihan motode/model pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan kondisi siswa yang akan belajar dan sesuai pula dengan karakteristik mata pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Dengan demikian, setiap metode yang digunakan dalam suatu mata pelajaran belum tentu dapat diaplikasikan terhadap mata pelajaran lain, demikian sebaliknya.
Oleh karena itu, melalui penelitian tindakan kelas ini peneliti / penulis bermaksud :
“Mengetahui sejauh mana prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007”

  1. F.     Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat berguna untuk:
  1. Sebagai upaya untuk lebih meningkatkan prestasi belajar siswa dan turut serta menciptakan suasana kelas yang kondusif, khususnya dalam mata pelajaran matematika.
  2. Sebagai bahan pertimbangan untuk dapat memilih metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi siswa dan karakteristik mata pelajaran, serta sebagai peningkatan wawasan pengetahuan.


BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A.    Belajar

Belajar tidak hanya meliputi mata pelajaran, tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita. Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang yang mengakibatkan suatu perubahan dalam diri orang itu dalam waktu yang relatif lama sehingga dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi mampu mengerjakan (Syah, 2004 : 89). Muhibbin Syah menambahkan bahwa belajar sebenarnya merupakan kegiatan mental yaitu proses penyesuaian susunan pengetahuan yang telah ada pada otak siswa yang digoncangkan oleh masuknya informasi baru. Kegiatan mental itu terjadi karena dipicu oleh kegiatan fisik siswa berinteraksi dengan sumber belajar yang memuat berbagai informasi.
Belajar bisa dikatakan sebagai proses berubahnya tingkah laku siswa melalui berbagai pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu belajar adalah proses aktif belajar atau proses bereaksi terhadap situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses mengenal sesuatu melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu.
Dari berbagai pendapat tentang definisi belajar di atas, penulis akan memaparkan beberapa teori tentang belajar dalam rangka mendukung proses pembelajaran terhadap siswa. Teori-teori tersebut adalah teori psikologi tingkah laku dan teori psikologi kognitif. Terdapat beberapa teori belajar yang termasuk kedalam teori psikologi tingkah laku dan teori psikologi kognitif.

  1. Teori Psikologi Tingkah Laku
5
Menurut teori ini, bahwa tingkah laku seseorang dikendalikan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Jadi belajar merupakan suatu peristiwa terbentuknya hubungan antara stimulus (S) yang dirangsangkan kepada seseorang, dan respon (R) yang dilakukan orang tersebut sebagai akibat dari stimulus tadi.
Adapun guru matematika yang mengikuti aturan psikologi S-R berpendapat bahwa tingkah laku siswa dalam pembelajaran merupakan suatu respon terhadap situasi lingkungan belajar yang sedang berlangsung, sehingga melalui suatu proses terjadilah penguatan dengan harapan dapat mengubah tingkah laku siswa.
Tokoh-tokoh yang menganut teori S – R adalah :
  1. Teori Thorndike
Belajar terjadi karena adanya pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon dimana kejadian tersebut didasarkan pada hukum-hukum tertentu, diantaranya hukum kesiapan, hukum latihan, dan hukum akibat.
  1. Teori Skinner
Teori ini sama dengan teori di atas (teori Thorndike), hanya istilah ganjaran diganti dengan penguasaan karena ganjaran membuat rasa senang tapi kesiapan suatu akibat yang meningkatkan suatu respon.
  1. Teori Gagne
Menurut teori ini, bahwa belajar merupakan stimulus yang datangnya dari luar yang mengakibatkan perubahan tingkah laku secara tetap.

  1. Teori Psikologi Kognitif
Menurut teori ini, bahwa tingkah laku dari hasil belajar merupakan penstrukturan kembali pengalaman sebelumnya, sedangkan apa yang dipikirkan dan dipelajari berasal dari apa yang dikenal dari pengamatan. Belajar dan berpikir pada dasarnya melakukan perubahan struktur, sedangkan pengertian dari inti belajar dijelaskan pada beberapa teori belajar psikologi kognitif berikut ini :

  1. Teori Perkembangan Intelektual Piaget
Teori ini mengatakan bahwa proses berpikir manusia merupakan suatu perkembangan bertahap, berurutan melalui empat tahap. Urutan perkembangan tersebut untuk setiap orang tidak sama, sedangkan usia setiap orang memasuki periode berpikir yang lebih tinggi dan bergantung pada individu masing-masing. Keempat tahap berpikir tersebut adalah tahap sensor motor (0 – 2 tahun), tahap pra operasional (2 – 7 tahun), tahap operasional konkrit (7 – 12 tahun), dan tahap operasional formal (12 tahun ke atas).
  1. Teori Bruner
Selain mengemukakan urutan empat tahap berpikir (yang tidak dikaitkan dengan usia), Bruner mengemukakan pula empat teori belajar, yaitu :
1)     Teorema Konstruksi
Yaitu untuk memulai belajar konsep dan prinsip diawali dengan mengkonstruksi konsep dan prinsip tersebut.
2)     Teorema Notasi
Bahwa dalam permulaan belajar konstruksi dibuat dengan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan mental sehingga lebih mudah dimengerti oleh pembelajar (siswa).
3)     Teorema Perbedaan dan Variasi
Teorema ini menyatakan bahwa suatu konsep matematika akan lebih bermakna bagi pembelajar (siswa) jika dibandingkan dengan konsep lain.
4)     Teorema Konektivitas
Yaitu setiap konsep, struktur dan keterampilan matematika dikaitkan dengan struktur dan keterampilan lain.



  1. Teori Dienes
Teori ini menyatakan belajar matematika sebaiknya mengikuti tahap-tahap yang bertingkat sesuai dengan tahap perkembangan intelektual. Dienes berpendapat pula bahwa belajar matematika setiap orang melalui 6 (enam) tahap, yaitu :
1)       Permainan bebas.
2)       Permainan beraturan.
3)       Permainan mencari kesamaan sifat.
4)       Permainan dengan representasi.
5)       Permainan dengan simbolisasi.
6)       Permainan formalisasi.
  1. Teori Bermakna Ausabel
Ausabel berpendapat bahwa proses belajar akan lebih berhasil bila materi yang dipelajari bermakna yaitu sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki subyek belajar.

Dari teori-teori belajar yang telah penulis kemukakan di atas dapat ditemukan ciri-ciri belajar sebagai berikut :
  1. Adanya perubahan tingkah laku yang bersifat permanen dan berlaku dalam waktu relatif lama.
  2. Merupakan suatu proses yang berlangsung secara efektif yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan.
  3. Mengarah kepada pencapaian suatu tujuan yang ingin dicapai.

  1. B.     Metode Berbasis Masalah (Problem – Based Learning)
Metode berbasis masalah (Problem – Based Learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dengan materi pelajaran.
Metode berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Metode berbasis masalah dikenal dengan nama lain, seperti : Project – Based Teaching (pembelajaran proyek), Experience – Based Education (pendidikan berdasarkan pengalaman), Authentic Learning (pembelajaran autentik), dan Anchored Instruction (pembelajaran berakar pada kehidupan nyata). (Nurhadi, Yasin, Senduk, 2004 : 56).
Peran guru dalam metode berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Metode berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Secara garis besar metode berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri (penemuan).

  1. Ciri dan Tujuan Metode Berbasis Masalah
Penggunaan atau penerapan metode berbasis masalah memiliki ciri-ciri khusus, yaitu :
  1. Adanya pengajuan pertanyaan atau masalah.
  2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.
  3. Terjadi proses penyelidikan autentik berdasarkan metode.
  4. Menghasilkan produk atau karya dan didemonstrasikan.
Sedangkan tujuan dari penggunaan atau penerapan metode berbasis masalah adalah sebagai berikut :
  1. Mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual.
  2. Belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi.
  3. Menjadikan pembelajar yang otonom dan mandiri.

  1. Tahapan Metode Berbasis Masalah
Metode berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa.
Adapun tahapan-tahapan metode berbasis masalah dijelaskan dalam tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1

Tahapan Metode Berbasis Masalah
Tahapan

Tingkah Laku Guru

Tahap 1 : Orientasi siswa kepada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 : Mengorganisasi siswa untuk belajar Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan individual dan kelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.
Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
Tahap 5 : Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa nelakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
Sumber   :  Nurhadi, Yasin, Senduk. 2004.

  1. Lingkungan Belajar dan Sistem Manajemen
Tidak seperti lingkungan belajar yang terstruktur secara ketat yang dibutuhkan dalam pembelajaran langsung, atau penggunaan yang hati-hati kelompok kecil dalam pembelajaran kooperatif, lingkungan belajar dan sistem manajemen dalam pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses demokrasi, dan peranan siswa yang aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan tahapan, pembelajaran yang terstruktur dan dapat diprediksi dalam metode berbasis masalah, norma di sekitar pelajaran adalah norma inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat. Lingkungan belajar menekankan peranan sentral siswa, bukan guru yang ditekankan.

  1. C.    Prestasi Belajar
Dari uraian singkat di atas tentang belajar dapat dipahami bahwa dengan belajar seseorang akan mengalami perubahan, yaitu kearah yang lebih baik sehingga orang tersebut berhasil dalam belajarnya. Jadi orang tersebut akan mempunyai prestasi, yaitu hasil belajar yang dicapai atau perubahan tingkah lakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya setelah mengalami proses belajar.
Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar, yaitu (Syah, 2004 : 153) :
  1. Sangat Baik.
Dalam tingkatan ini, 80% – 100% dari materi pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa. Hal ini berarti bahwa prestasi belajar siswa sangat baik.
  1. Baik
Dalam tingkatan ini, 70% – 79% dari materi pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa. Hal ini berarti bahwa prestasi belajar siswa baik.
  1. Cukup Baik
Dalam tingkatan ini, 60% – 69% dari materi pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa. Hal ini berarti bahwa prestasi belajar siswa cukup baik.
  1. Kurang.
Dalam tingkatan ini, 50% – 59% dari materi pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa. Hal ini berarti bahwa prestasi belajar siswa kurang.
  1. Gagal
Dalam tingkatan ini, 0% – 49% dari materi pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa. Hal ini berarti bahwa siswa gagal dalam menerima pelajaran.

Ada beberapa faktor yang mendukung tercapainya tujuan pembelajaran atau keberhasilan dalam proses pembelajaran. Faktor-faktor tersebut adalah : tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, dan alat evaluasi. Faktor-faktor tersebut banyak memberikan kontribusi yang kuat dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar (≥ 60%).

  1. D.    Tinjauan Materi Ruang Dimensi Tiga
Berdasarkan Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mata pelajaran Matematika yang ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional melalui Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan (Puskur-Balitbang), maka contoh acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran mata pelajaran matematika kelas X SMA pokok bahasan ruang dimensi tiga adalah sebagai berikut :
  1. Standar Kompetensi
Menggunakan sifat dan aturan geometri dalam menentukan kedudukan titik, garis, dan bidang; jarak; sudut; dan volum.
  1. Kompetensi Dasar
    1. Memahami komponen benda ruang, menggambar dan menghitung volum benda ruang.
    2. Menggunakan abstraksi ruang untuk menggambar dan menghitung jarak dan sudut antara.
    3. Pengalaman Belajar
      1. Mengidentifikasikan komponen benda-benda ruang.
      2. Menghitung, menentukan dan memanipulasi volum benda ruang.
      3. Menggambar dan menghitung unsur-unsur dalam bangun ruang dengan menggunakan media audio visual.
      4. Berdiskusi dengan kelompok untuk menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan bangun ruang.
      5. Indikator
        1. Menentukan kedudukan titik, garis, dan bidang dalam ruang.
        2. Menentukan volum benda-benda ruang (kubus, balok, limas, prisma, kerucut, silinder, dan bola).
        3. Penilaian : kuis, ulangan harian, tugas individu, dll.
        4. Alokasi waktu : 18 x 45 menit.

Ruang Dimensi Tiga (Geometri Ruang) mempelajari bentuk, letak, ukuran dan sifat-sifat berbagai bangun geometri yang tidak terletak pada suatu bidang datar. Titik, garis dan bidang merupakan unsur pembangun geometri berdimensi tiga. Disini kita perlu memahami hubungan antara garis dengan garis, garis dengan bidang, bidang dengan bidang di dalam ruang berdimensi tiga.
Untuk menentukan letak sebuah titik di dalam ruang, kita dapat menggunakan suatu sistem koordinat. Salah satu sistem koordinat dapat dilihat dalam gambar. Letak suatu titik dinyatakan oleh koordinatnya, yaitu (x,y,z); x menyatakan jarak titik itu dari bidang-YOZ, y menyatakan jaraknya dari bidang-XOZ, dan z menyatakan jaraknya dari bidang-XOY.
Bangun ruang yang dibatasi seluruhnya oleh bidang datar dinamakan polieder, yang artinya berisisi banyak, misalnya balok, kubus, prisma, piramida. Sedangkan bangun setengah bola, misalnya, bukanlah polieder karena bangun tersebut dibatasi oleh bangun datar dan sebuah permukaan lengkung. Luas permukaan suatu bangun ruang pada dasarnya dapat dihitung sebagai jumlah luas seluruh permukaan batasnya. Selain luas, kita juga sering tertarik pada volumnya.
Adapun materi ruang dimensi tiga yang diajarkan pada semester genap kelas X SMA adalah sebagai berikut:
  1. Garis dan bidang di dalam ruang
    1. Hubungan antara garis dengan garis
Dua garis l1 dan l2 di dalam ruang berdimensi tiga ada 4 (empat) kemungkinan hubungan antara dua garis :
1)       Kedua garis itu sejajar;
2)       Kedua garis itu berimpit (berpotongan pada lebih dari satu titik potong);
3)       Kedua garis itu berpotongan pada tepat satu titik potong; atau
4)       Kedua garis itu tidak sejajar namun juga tidak berpotongan.
  1. Hubungan antara garis dengan bidang
Suatu garis l  dan suatu bidang E mungkin :
1)       Sejajar;
2)       Berpotongan di titik tunggal L; atau
3)       Garis l terletak pada bidang E.
  1. Hubungan antara bidang dengan bidang
Dua bidang E1 dan bidang E2 di dalam ruang mungkin :
1)       Sejajar;
2)       Berimpit; atau
3)       Berpotongan.
  1. Koordinat Ruang
Jarak antara dua titik sembarang P (x1, y1, z1) dan Q (x2, y2, z2) dapat dihitung dengan menggunakan rumus jarak :
│PQ│ = √ (x1 – x2)2 + (y1 – y2)2 + (z1 – z2)2
  1. Beberapa Bangun Ruang
    1. Kubus
Volum kubus ABCD EFGH
V   =    luas alas x tinggi
=    (AB x BC) x CH
=    sisi x sisi x sisi
=    s x s x s


  1. Balok
Volum balok ABCD EFGH
V   =    luas alas x tinggi
=    (AB x BC) x CH
=    panjang x lebar x tinggi

  1. Limas
Volum limas ABCDE
V   =    ½ x luas alas x tinggi
=    ½ x (AB x BC) x TE


  1. Prisma
Volum prisma ABC DEF
V   =    luas alas x tinggi
=    luas alas segitiga x tinggi prisma
=    (½ x a x t) x tprisma



  1. Kerucut
Volum kerucut
V   =    ½ x luas alas lingkaran x tinggi
=    ½ x (π r2) x t



  1. Bola
Volum bola
V   =    ¾ π r3




  1. E.     Aplikasi Metode Berbasis Masalah dalam Mata Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Ruang Dimensi Tiga
Dalam menerapkan metode berbasis masalah di kelas, yang perlu diperhatikan adalah fase-fasenya agar metode / pendekatan ini terlaksana dengan baik. Yang patut dikembangkan dan diterapkan kepada siswa adalah bagaimana siswa bekerja sama satu sama lain agar termotivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
Adapun langkah-langkah metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga yang dapat diaplikasikan di kelas adalah sebagai berikut :
  1. Awal kegiatan (pendahuluan)
    1. Aktifitas guru
1)      Guru memeriksa pemahaman siswa pada materi sebelumnya.(tahap 1)
2)      Guru mengaitkannya materi yang akan dipelajari dengan mengajukan beberapa pertanyaan. (tahap 1)
3)      Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. (tahap 1)
4)      Guru menjelaskan logistik yang dibutuhkan dan memberi motivasi.
(tahap 1)
  1. Aktifitas siswa
1)        Siswa mempersiapkan diri untuk mengikuti pembelajaran. (tahap1)
2)        Siswa aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tentang pokok bahasan ruang dimensi tiga yang akan dipelajari. (tahap 1)
  1. Kegiatan inti
    1. Aktifitas guru
1)      Guru menyampaikan materi tentang pokok bahasan Ruang Dimensi Tiga dengan penuh perhatian dan kejelasan serta membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari. (tahap 2)
2)      Guru memberi permasalahan untuk diselesaikan oleh siswa baik secara individu maupun kelompok untuk menemukan konsep. (tahap 2)
3)      Guru membimbing siswa untuk mencari informasi yang sesuai dan melakukan percobaan atau eksperimen agar memperoleh kejelasan dalam memecahkan masalah. (tahap 3)
4)      Guru mengecek tingkat pemahaman siswa dan membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan strategi penyelesaian masalah.
(tahap 4)
5)      Guru membantu siswa dalam membagi tugas dengan temannya jika masalah yang diberikan dikerjakan secara kelompok. (tahap 4)
6)      Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses-proses yang digunakan. (tahap 5)
  1. Aktifitas siswa
1)        Siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan pokok bahasan segitiga. (tahap 2)
2)        Siswa menemukan konsep untuk menyelesaikan masalah. (tahap 2)
3)        Siswa mencari informasi yang sesuai dan melakukan percobaan atau eksperimen agar memperoleh kejelasan dalam memecahkan masalah. (tahap 3)
4)        Siswa mengerjakan soal-soal secara berkelompok dan melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan adan proses-proses yang digunakan. (tahap 4)
  1. Penutup
    1. Aktifitas guru
1)         Guru mengevaluasi hasil penemuan konsep dan penyelesaian masalah yang dilakukan oleh siswa. (tahap 5)
2)        Guru memberi contoh penyelesaian masalah. (tahap 5)
3)        Guru membimbing siswa merangkum materi pelajaran. (tahap 5)
4)        Guru memberikan tugas PR tentang soal-soal yang belum sempat dibahas di kelas. (tahap 5)
5)        Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. (tahap 5)


  1. Aktifitas siswa
1)        Siswa menganalisa dan mengevaluasi hasil penemuan konsep dan proses pemecahan masalah yang telah dipelajari. (tahap 5)
2)        Siswa mencari cara lain atau strategi pemecahan masalah yang lain dengan bimbingan guru. (tahap 5)
3)        Siswa merangkum materi atau sub pokok bahasan yang baru saja dipelajari. (tahap 5)
Pembelajaran dengan menggunakan metode berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu. Pembelajaran berbasis masalah juga bertujuan mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Pembelajaran berbasis masalah mengajukan situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

  1. F.     Dasar Pemikiran
Dalam melaksanakan penelitian ilmiah ini penulis beranjak dari beberapa dasar pemikiran sehubungan dengan pengaruh metode berbasis masalah terhadap prestasi belajar matematika kelas X SMA PGRI Sumenep pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007. Dasar pemikiran tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut :
Dalam aplikasi metode berbasis masalah, guru tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, mentrasfer ilmunya, menguasai kegiatan kelas atau semua kegiatan dalam proses belajar mengajar. Tetapi hendaknya mengusahakan agar kegiatan belajar mengajar yang berlangsung mengembangkan kemampuan berfikir dan keterampilan intelektual siswa dalam memecahkan masalah pada aspek metodik pelajaran matematika, yang mana siswa tengah dilibatkan untuk belajar berbagai peran orang dewasa melalui pengalaman nyata dan menjadikan siswa bersikap otonom dan mandiri dalam menyelesaikan masalah.
Selama ini, kelas dikondisikan sebagai tempat yang kurang menyenangkan yang didalamnya terdapat doktrin-doktrin yang mewajibkan siswa duduk mendengarkan materi yang disampaikan guru. Dengan diterapkannya metode berbasis masalah dalam proses belajar mengajar, maka siswa akan dapat mengembangkan kemampuan intelegensi dan keterampilan intelektual serta kompetensi diri dalam menyelesaikan suatu permasalahan menurut langkah-langkah yang sistematis sesuai dengan urutan langkah.
Melalui metode berbasis masalah ini diharapkan prestasi belajar siswa menjadi baik karena metode ini lebih menekankan pada peningkatan potensi diri peserta didik melalui pengembangan kemampuan berfikir dan keterampilan intelektual siswa, baik secara kelompok maupun individu.
Dari paparan di atas dijumpai beberapa perbedaan antara metode berbasis masalah dengan metode konvensional. Perbedaan tersebut dijelaskan dalam tabel 2.2 berikut ini :
Tabel 2.2
Perbedaan Metode Berbasis Masalah dan Metode Konvensional
Metode Berbasis Masalah
Metode Konvensional
  1. Siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan melalui masalah yang dihadapi dapat menemukan konsep.
  2. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata.
  3. Perilaku dibangun atas kesadaran diri yang tinggi.
  4. Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa.
  5. Siswa bertanggungjawab, memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing.
    1. Siswa adalah penerima informasi yang pasif.
 
  1. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis.
  2. Perilaku dibangun atas kebiasaan.

  1. Rumus harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan.

  1. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
Sumber   :  Nurhadi, Yasin, Senduk. 2004.

  1. G.    Rumusan Hipotesis
Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara atas permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002 : 64). Pada metode berbasis masalah seorang guru harus pandai merencanakan kegiatan yang akan dilakukan melalui pemberian dan pengembangan keterampilan berpikir pada peserta didik (siswa) sebagai bentuk orientasi dalam proses pembelajaran. Kemampuan guru dalam memilih dan merencanakan kegiatan ini dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan berfikir siswa sehingga hasil belajar siswa juga akan lebih baik bahkan terus meningkat.
Dari uraian di atas, peneliti / penulis mengajukan rumusan hipotesis sebagai berikut :
“Jika diajar dengan metode berbasis masalah maka prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep lebih baik dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007”


BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Identifikasi Variabel Penelitian

Istilah” variabel” merupakan istilah yang tidak pernah ketinggalan dalam setiap jenis penelitian. Variabel mempunyai arti ciri dari individu, objek gejala peristiwa yang dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif (Arikunto, 1999 : 97). Untuk kepentingan suatu penelitian, keberadaan variabel penelitian mutlak dibutuhkan untuk mengetahui dan menemukan jawaban dari maksud penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini, variabel penelitian yang digunakan ada 2 (dua) macam, yaitu :
  1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel perlakuan atau disengaja yang dimanipulasi untuk diketahui intensitasnya atau pengaruhnya terhadap variabel terikat. (Arikunto, 1999 : 101). Variabel bebas adalah variabel yang diasumsikan menyebabkan munculnya variabel lain.
Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah aplikasi metode berbasis masalah.
  1. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang muncul akibat adanya variabel bebas atau merupakan respon dari variabel bebas (Arikunto, 1999 : 101). Variabel terikat diasumsikan kemunculannya disebabkan oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah prestasi belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu premis bahwa variabel terikat menjadi tolak ukur atau indikator dari variabel bebas.




22


  1. B.     Teknik dan Pendekatan Penelitian
    1. Teknik Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan pendekatan penelitian yang bertujuan untuk menguji secara langsung pengaruh suatu variabel terhadap variabel yang lain, serta untuk menguji hipotesis hubungan sebab-akibat (Sukardinata, 2005:194). Suharsimi (1999 : 89) menjelaskan bahwa penelitian eksperimen sengaja mengusahakan timbulnya variabel-variabel yang selanjutnya dikontrol untuk mengetahui pengaruhnya. Dengan metode eksperimen peneliti dapat terjun langsung ke lapangan sehingga data yang terkumpul dapat lebih akurat dan memudahkan dalam analisis. Tentu saja dalam menggunakan teknik eksperimen ini peneliti bebas menentukan rancangan eksperimen mana yang sesuai dengan masalah penelitian.
Selain itu peneliti dapat mengamati secara langsung pengaruh metode berbasis masalah terhadap prestasi belajar siswa. Dengan demikian tujuan penelitian dapat dicapai, yaitu untuk mengetahui pengaruh metode berbasis masalah terhadap prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007.
Adapun langkah-langkah desain penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  1. Menentukan subyek penelitian, yaitu siswa kelas X SMA PGRI Sumenep tahun pelajaran 2006/2007.
  2. Pemberian tes awal (pre test) dengan terlebih dahulu diberi informasi tentang pokok bahasan yang akan dipelajari, yaitu pokok bahasan ruang dimensi tiga.
  3. Melaksanakan pembelajaran dengan metode berbasis masalah sebanyak 4 kali pertemuan (8 x 45 menit).
  4. Pada akhir pertemuan (telah selesai untuk satu pokok bahasan), diadakan tes akhir (post test).
  5. Melaksanakan pengujian terhadap data yang telah diperoleh melalui nilai pre test dan post test.
  6. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif , yaitu mendeskripsikan prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep yang diajar dengan metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika sub pokok bahasan ruang dimensi tiga.
Peneliti menggunakan penelitian kuantitatif karena data yang diambil nantinya berupa angka yang diperoleh dari nilai / skor pre test dan post test. Adapun mekanisme tes yang digunakan ada dua, yaitu :
  1. Pemberian tes awal (pre test)
Siswa diberi tes awal (pre test) di kelas sebelum pembelajaran dimulai dengan terlebih dahulu diinformasikan pokok bahasan yang akan dipelajari (pokok bahasan ruang dimensi tiga).
  1. Pemberian tes akhir (post test)
Setelah proses pembelajaran pokok ruang dimensi tiga selesai dilaksanakan,siswa kembali diberi tes akhir (post test). Siswa mengerjakan soal-soal post test setelah terlebih dahulu diberi perlakuan (treatment) yaitu diajarkan dengan metode berbasis masalah.
  1. Rancangan Penelitian
Pola desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola pemberian tes, yaitu tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Adapun rancangan atau tahapan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1

Tahapan penelitian

Tahap

Perlakuan

Tes
Pertama
Pemberian tes awal
Pre test
Kedua
Pembelajaran dengan menggunakan metode berbasis masalah
-
Ketiga
Pemberian tes akhir
Post test

Dalam tahapan penelitian di atas, peneliti membagi kedalam langkah-langkah penelitian, yaitu :
  1. Siswa diberi soal pre test untuk dikerjakan di kelas yang terlebih dahulu diberitahukan pokok bahasan yang akan dipelajari, yaitu pokok bahasan ruang dimensi tiga. Alokasi waktu 90 menit.
  2. Memberi perlakuan khusus, yaitu mengajar dengan menggunakan metode berbasis bermasalah. Alokasi waktu 8 x 45 menit (4 kali pertemuan).
  3. Setelah proses pembelajaran selesai (dengan metode berbasis masalah), maka siswa kembali diberi soal post test untuk dikerjakan di kelas pokok bahasan ruang dimensi tiga yang telah selesai dipelajari dalam pembelajaran metode berbasis masalah. Alokasi waktu 90 menit.
  4. Kemudian dibandingkan antara skor pre test dan skor post test yang diperoleh oleh masing-masing siswa. Jika sekiranya timbul perbedaan antara skor pre test dan skor post test, maka diasumsikan sebagai suatu dampak / akibat perlakuan mengajar dengan menggunakan metode berbasis masalah.
  5. Kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui prestasi belajar siswa melalui metode berbasis masalah.

  1. C.    Tempat dan Waktu Penelitian
    1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA PGRI Sumenep, Jl. KH. Mansyur No. 43 Sumenep yang merupakan salah satu sekolah swasta yang berstatus Akreditasi B sesuai SK. BAS Propinsi Jawa Timur Nomor : 04/5/BASDA-P/I/2005. Sekolah yang didirikan pada tahun 1982 ini berada di bawah naungan PPLP Dasmen PGRI Propinsi Jawa Timur.
Alasan dipilihnya SMA PGRI Sumenep sebagai obyek penelitian adalah :
  1. Peneliti merupakan salah satu pengajar pada tahun pelajaran 2006/2007 yang mengajar mata pelajaran matematika.
  2. Siswa banyak berasal dari luar kota yang kemampuan akademiknya masih kurang.
  3. Metode pembelajaran yang banyak digunakan guru adalah sistem ceramah, sehingga peneliti / penulis mencoba meneliti kemungkinan penggunaan metode berbasis masalah untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, khususnya pada siswa kelas X.
  4. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari dan Februari 2007. Adapun jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini tercantum pada tabel 3.2 sebagai berikut :

Tabel 3.2

Rencana  Kegiatan Penelitian
No.
Jenis kegiatan
Waktu
Uraian kegiatan
1.
Permohonan ijin penelitian kepada pihak sekolah. (SMA PGRI Sumenep)
5 Januari 2007
Meminta ijin kepada Kepala SMA PGRI Sumenep untuk mengadakan penelitian mengenai topik yang akan dibahas.
2.
Survey lapangan
5 Januari 2007
Mengadakan kegiatan survey lapangan tentang kondisi siswa, materi yang akan diangkat, media yang dibutuhkan, perlengkapan mengajar, dll. Disamping itu mengadakan koordinasi dengan guru matematika yang lain untuk menjadi teman sejawat dalam kegiatan observasi terhadap penelitian yang dilakukan.
3.
Tes Awal
6 Januari 2007
Pemberian pre test.
4.
Eksperimen
7 – 17 Januari 2007
Mengadakan eksperimen, yaitu proses belajar mengajar pada kelas X mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga menggunakan metode berbasis masalah.
5.
Tes Akhir
26 Januari 2007
Pemberian post test.
6.
Penilaian Hasil Tes
27 – 30 Januari 2007
Melakukan penilaian dan analisa terhadap hasil pre test dan post test.
7.
Menyusun Lapor-an Penelitian
1 – 7 Februari 2007
Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh melalui hasil pre test dan post test dengan menggunakan jenis analisis data yang telah ditentukan.

  1. D.    Populasi dan Sampel
    1. Populasi
Kelompok besar dan wilayah yang menjadi lingkup penelitian disebut populasi (Sukardinata : 2005 : 250). Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya (Sujana, 2002 : 6). Menurut Suharsimi (1999 : 115), yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dibagi dua macam, yaitu populasi terhingga : jika subyek yang ada didalamnya terhingga jumlahnya, dan populasi tak terhingga jika subyek yang ada didalamnya tak terhingga jumlahnya.
Dari beberapa pendapat tentang populasi di atas dapat diketahui bahwa keseluruhan obyek penelitian memiliki minimal satu sifat yang sama. Dan apabila dikaitkan dengan penelitian tindakan kelas ini populasinya adalah siswa kelas X SMA PGRI Sumenep tahun pelajaran 2006/2007 sebanyak 73 siswa (2 kelas), dengan rincian seperti pada tabel 3.3 berikut :

Tabel 3.3

Jumlah Populasi Penelitian

Kelas

Jumlah siswa
X-1
38 siswa
X-2
35 siswa
Jumlah
73 siswa
Sumber : BP SMA PGRI Sumenep
  1. Sampel
Sampel adalah kelompok kecil yang secara nyata kita teliti untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan (Sukardinata, 2005 : 250). Selanjutnya Suharsimi (1999 : 117) mengatakan bahwa sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti. Dalam penelitian tindakan kelas ini, peneliti bermaksud meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah populasi sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian populasi. Penelitian populasi hanya dapat dilakukan bagi populasi terhingga dan subyeknya tidak terlalu banyak.
Oleh karena itu jumlah sampel penelitian sama dengan jumlah populasi (atau disebut subyek penelitian), yaitu semua siswa kelas X SMA PGRI Sumenep tahun pelajaran 2006/2007. Adapun jumlah subyek penelitian terdapat pada tabel 3.4 berikut ini :

Tabel 3.4

Jumlah Subyek Penelitian

Kelas

Jumlah siswa
X-1
38 siswa
X-2
35 siswa
Jumlah
73 siswa
Sumber : BP SMA PGRI Sumenep

  1. E.     Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Menurut Suharsimi (1999 : 137) dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek mengatakan bahwa :
“Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah.”

Secara garis besar maka instrumen atau alat evaluasi yang digunakan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu tes dan non-tes. Dalam suatu penelitian diperlukan instrumen-instrumen penelitian yang telah memenuhi syarat yaitu validitas dan reliabilitas.
Validitas instrumen menunjukkan bahwa hasil dari suatu pengukuran menggambarkan segi atau aspek yang diukur. (Sukardinata, 2005 : 228). Suatu instrumen dikatakan valid atau memiliki validitas bila instrumen tersebut benar-benar mengukur aspek atau segi yang akan diukur. Validitas menunjukkan  suatu derajat atau tingkatan serta memiliki spesifikasi tidak berlaku umum. Validitas instrumen mencakup validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), validitas kriteria (criterion validity).
Menurut Suharsimi (1999 : 170) reliabilitas adalah suatu instrumen yang cukup dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai alat pengumpul data. Dari pengertian reliabilitas di atas, maka dapat diketahui bahwa instrumen penelitian dikatakan reliabel apabila alat ukur yang digunakan dapat memberikan hasil yang tetap dan dapat diandalkan bila melakukan pengukuran kembali.
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah dalam bentuk tes tertulis dan dikategorikan sebagai tes prestasi (achievement test) yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu. Instrumen berupa tes atau soal-soal tes yang terdiri dari banyak butir tes (item) yang masing-masing mengukur satu jenis variabel.
Alasan pemilihan penggunaan bentuk tes sebagai instrumen adalah
  1. Dapat mengadakan penelitian terhadap sejumlah anak dalam waktu relatif singkat.
  2. Dapat dikoreksi dengan mudah.
  3. Membutuhkan sedikit waktu dan tenaga.
Penelitian ini menggunakan instrumen tes yang diambil dari beberapa sumber (buku diktat dan LKS) sebanyak 10 (sepuluh) butir soal dalam bentuk essay dimana masing-masing butir soal memiliki bobot nilai. Setiap soal akan mendapat nilai maksimal (sesuai bobot nilai) jika cara yang digunakan sudah sesuai dengan prosedur penyelesaian dan hasilnya benar. Sedangkan apabila menggunakan prosedur sudah betul tapi hasil akhirnya salah maka akan mendapat nilai sesuai dengan pertimbangan seberapa jauh siswa menguasai langkah penyelesaian. Hal ini tidak berlaku sebaliknya, yakni siswa tidak akan mendapat nilai jika cara mengerjakan salah dan hasil akhirnya benar atau salah (nilai 0). Rentang jumlah nilai yang diperoleh siswa antara 0-100. Siswa dikatakan berhasil jika memperoleh nilai ≥60, dan kurang berhasil jika memperoleh nilai <60. Tes yang diberikan adalah pre test dan post test dengan alokasi waktu masing-masing 90 menit.

  1. F.     Teknik Analisis Data
    1. Jenis Analisis
Dalam penelitian ini dilakukan dua kali pengambilan data, yaitu data sebelum perlakuan (nilai pre test/01) dan data sesudah perlakuan (nilai post test/02). Perbedaan antara nilai pre test dan post test diasumsikan sebagai efek perlakuan. Setelah data diperoleh melalui pre test dan post test, dilaksanakan teknik analisis data menggunakan jenis analisis deskriptif. Adapun langkah-langkah yang diambil adalah sebagai berikut :
  1. Seluruh nilai yang diperoleh siswa, baik pre test maupun post test dimasukkan dalam satu tabel penilaian.
  2. Kemudian dicari selisih nilai post test dan pre test.
  3. Dicari prosentase tingkat prestasi belajar siswa dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(Syah, 2004)


  1. Norma Keputusan
Untuk mengetahui prestasi belajar siswa berdasarkan hasil pre test dan post test, maka prosentase tingkat prestasi belajar siswa dikonsultasikan dengan tabel berikut ini :

Tabel 3.5

Tingkat Prestasi Belajar Siswa

Tingkat Prestasi

Kategori
80% – 100%
Sangat Baik
70% – 79%
Baik
60% – 69%
Cukup Baik
50% – 59%
Kurang
< 50%
Gagal
Sumber : Syah, 2004

BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN

A.    Deskripsi Data Variabel

  1. Data Hasil Pre Test
Siswa diberi tes awal (pre test) pokok bahasan ruang dimensi tiga di kelas sebelum pembelajaran dengan metode berbasis masalah diberikan kepada siswa. Terlebih dahulu diinformasikan kepada siswa mengenai pokok bahasan yang akan dipelajari. Jumlah soal pre test yang diberikan sebanyak 10 (sepuluh) butir soal dalam bentuk essay.
Adapun nilai pre test siswa kelas X disajikan dalam gambar 4.1 :














32
Berdasarkan gambar 4.1 dapat  dilihat bahwa sebanyak 73 siswa mengikuti pre test : 3 anak mendapat nilai 25, 7 anak mendapat nilai 30, 18 anak mendapat nilai 35, 19 anak mendapat nilai 40, 9 anak mendapat nilai 45, 7 anak mendapat nilai 50, 3 anak mendapat nilai 55, 2 anak mendapat nilai 60, 1 anak mendapat nilai 80, 3 anak mendapat nilai 85, dan 1 anak mendapat nilai 90.
Siswa yang mendapat nilai ≥ 60 dikategorikan berhasil (tuntas) sedangkan siswa yang mendapat nilai < 60 dikategorikan kurang berhasil (tidak tuntas). Oleh karena itu berdasarkan nilai pre test siswa kelas X SMA PGRI Sumenep disimpulkan bahwa  7 anak tergolong berhasil / tuntas (9,6%) sedangkan 66 anak tergolong kurang berhasil / tidak tuntas (90,4%)
  1. Data Hasil Post Test
Setelah diberikan tes awal atau pre test dengan perolehan nilai setiap siswa seperti yang tersaji pada gambar 4.1 di atas, selanjutnya diberikan perlakuan kepada siswa berupa perlakuan variabel bebas (aplikasi metode berbasis masalah). Selanjutnya pada akhir pemberian materi dengan metode berbasis masalah, siswa kembali diberi tes akhir (post test). Hasil post test ini dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian untuk mengetahui sejauh mana prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep yang sebelumnya telah diajar dengan menggunakan metode berbasis masalah.
Pada akhirnya nilai yang diperoleh siswa dalam post test ini dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dalam pre test untuk selanjutnya dianalisis. Adapun hasil post test siswa kelas X SMA PGRI Sumenep dalam penelitian ini disajikan dalam gambar 4.2 berikut :












Berdasarkan gambar 4.2 dapat  dilihat bahwa sebanyak 73 siswa mengikuti post test : 1 anak mendapat nilai 50, 4 anak mendapat nilai 55, 9 anak mendapat nilai 60, 11 anak mendapat nilai 65, 14 anak mendapat nilai 70, 17 anak mendapat nilai 75, 6 anak mendapat nilai 80, 5 anak mendapat nilai 85, 1 anak mendapat nilai 90, 3 anak mendapat nilai 95, dan 2 anak mendapat nilai 100.
Siswa yang mendapat nilai ≥ 60 dikategorikan berhasil (tuntas) sedangkan siswa yang mendapat nilai < 60 dikategorikan kurang berhasil (tidak tuntas). Oleh karena itu berdasarkan nilai post test siswa kelas X SMA PGRI Sumenep dapat disimpulkan bahwa  68 anak tergolong berhasil / tuntas (93,2%) sedangkan 5 anak tergolong kurang berhasil / tidak tuntas (6,8%)

  1. B.     Analisis Data
Dalam proses pengumpulan data, peneliti mengadakan penelitian langsung ke lapangan, yakni pemberian pre test sebelum diberikan perlakuan khusus/sebelum diajarkan dengan metode berbasis masalah (01), dan pemberian post test setelah diberikan perlakuan khusus/setelah diajarkan dengan metode berbasisi masalah (02). Dari data yang berhasil dikumpulkan ditemukan bahwa terdapat selisih positif antara jumlah nilai post test (å 02)dengan jumlah nilai pre test (å 02).
Dengan demikian dapat dianalisis prosentase tingkat prestasi belajar siswa SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga.


x 100%


x 100%
% prestasi belajar        =
å 02å 02
å 02
5260 – 3140
3140
x 100%
∑ nilai post test – ∑ nilai pre test
∑ nilai pre test
=
=
=    67,5%

C.    Pengujian Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti / penulis mengajukan rumusan hipotesis sebagai berikut :
“Jika diajar dengan metode berbasis masalah maka prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep lebih baik dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007”
Untuk menguji atau membuktikan hipotesis tersebut di atas, peneliti menggunakan hasil analisis data mengenai prosentase prestasi belajar siswa yang menunjukkan prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga. Dari hasil analisis diperoleh tingkat prestasi belajar siswa sebesar 67,5 %. Hal ini menunjukkan bahwa prosentase tingkat prestasi belajar siswa tersebut berada dalam kategori cukup baik (60% – 69%). Dengan demikian prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep lebih baik dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007 melalui metode berbasis masalah.



BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN


A.    Simpulan
Dari hasil penelitian untuk mengetahui sejauh mana prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimesi tiga tahun pelajaran 2006/2007 dapat disimpulkan :
“ Bahwa prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/ 2007 yang diajar dengan metode berbasis masalah adalah cukup baik dengan tingkat prestasi belajar siswa  sebesar 67,5%”

B.     Implikasi
Metode berbasis masalah dirancang untuk membantu guru memberi informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Aplikasi metode berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulai; dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. Dengan demikian akan terwujud prestasi belajar siswa yang semakin meningkat.

C.    Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang prestasi belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep melalui metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun pelajaran 2006/2007 ini, maka kami sarankan :
  1. 36
    Seorang guru hendaknya dapat mencari dan memilih metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi peserta didik dan materi pelajaran yang akan disampaikan dengan mempertimbangkan pengetahuan awal peserta didik (siswa), karakteristik materi serta sarana dan prasarana yang akan digunakan.
  1. Metode berbasis masalah sangat cocok/sesuai digunakan dalam pembelajaran matematika, khususnya pada pokok bahasan ruang dimensi tiga kelas X SMA, karena dapat prestasi belajar siswa. Disamping itu dapat mengembangkan kemampuan berfikir, keterampilan memecahkan masalah serta keterampilan intelektual siswa.
  2. Dalam menerapkan metode berbasis masalah, seorang guru hendaknya dapat menciptakan dan mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Intinya, guru dapat menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna sehingga memberi kemudahan bagi siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri / penemuan.