"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

10/06/2011

PENELITIAN SASTRA: LAHAN YANG LUAS DAN BERLIMPAH


Maman S. Mahayana
Lahan atau objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu berlimpah. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi sesiapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.
Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu luas dan beragam. Dilihat dari rentang pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat melalui penelusuran secara paradigmatik, atau karya-karya yang sezaman dengan penelusuran secara sinkronik. Baik penelusuran secara paradigmatik, maupun sinkronik, mencakupi penelitian terhadap sastra tradisional –sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.
Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa –novel dan cerpen—, drama, dan esai kritik. Begitu juga perkara yang menyangkut media yang digunakannya: buku, majalah, suratkabar, atau naskah-naskah yang ditulis tangan, sebagaimana yang dilakukan para penulis naskah-naskah lama.
Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati. Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri. Resepsi pembaca tentang karya sastra yang sezaman (sinkronis) dan yang tidak sezaman sesuai perkembangannya (diakronik) dapat pula menjadi lahan penelitian.
Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Sejarah kesusastraan dengan berbagai masalahnya, berikut gejolak masyarakatnya, juga dapat menjadi lahan garapan penelitian sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.
Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit –termasuk media massa— sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang, seperti soal sastra lisan, pengalihan atau pengangkatan bentuk karya sastra ke bidang seni lain, seperti film atau drama, atau juga persoalan yang menyangkut karya-karya terjemahan. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.
Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang begitu berlimpah itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu, sungguh begitu luas dan berlimpah.
***
Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah dua) pendekatan —dari sejumlah pendekatan yang ada— yang dapat kita pandang tepat dan pas sebagai alat analisisnya.
Sejumlah hal itulah yang –barangkali—membuat kita –belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acapkali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademi.
***
Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan penelitian sastra, eloklah kita mencermati dahulu bagan berikut ini:

Berdasarkan bagan tersebut di atas, Ronald Tanaka membagi penelitian sastra atas dua sistem besar, yaitu sistem makro dan sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan gagasan Rene Wellek dan Austin Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai pendekatan esktrinsik dan pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai sistem makro, meliputi penelitian yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba memasalahkan keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang ditempatkannya dalam kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai pemberi makna, dan kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk memberi gambaran lebih  jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.
Sistem Pengarang
Pengarang dalam sistem sastra makro ditempatkan tidak lebih penting dari pembaca. Harus diakui, bahwa lahir dan hidupnya dunia kesusastraan dimungkinkan oleh keberadaan pengarang. Jadi, meskipun pengarang yang memungkinkan lahirnya karya sastra, dalam konteks sistem sastra, ia diperlakukan sama pentingnya dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam menghidupkan keberadaan dunia sastra. Pengarang sebagai kreator, penghasil karya sastra, di zaman modern ini, harus mendasari kemampuannya tidak lagi ada bakat alam, talenta, melainkan juga pada intelektualitas. Seorang pengarang modern, mutlak harus mempunyai kemampuan menciptakan sebuah dunia; dunia yang dibangunnya lewat bahasa. Kemampuan ini tentu saja akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja, jika ia juga tidak meluaskan cakrawala pengetahuannya. Dengan demikian, seorang pengarang modern dituntut mempunyai pengetahuan yang luas, agar ia terus berkarya dan tidak kehabisan bahan.
Persoalan itu, dalam sistem pengarang, akan membawa seorang peneliti menelusuri lebih jauh pada latar belakang pendidikan pengarang, kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya, lingkungan masyarakat, profesi kepengarangannya, ideologi yang dianut, dan masalah patronase (pengayoman). Jika kita hendak mempersempit masalahnya dan menghubungkannya dengan karya sastra (teks) yang dihasilkannya, maka kita dapat melakukan penelitian mengenai (a) pengarang dan karya-karyanya dengan fokus pada salah satu karyanya, (b) latar belakang pendidikan pengarang dan hubungannya dengan teks yang dihasilkannya, (c) kecenderungan pengarang tertentu –atau sejumlah pengarang—dalam satu komunitas sosial, (d) kecenderungan pengarang tertentu dalam hubungannya dengan kultur masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya, (e) kepengarangan sebagai sebuah profesi, (f) masalah ideologi pengarang dalam kaitannya dengan teks yang dihasilkannya, (g) teks dalam hubungannya dengan sistem pengayoman.
Sesungguhnya, penelitian mengenai persoalan tersebut di atas, termasuk ke dalam tema-tema umum yang masih mungkin dikerucutkan lebih tajam lagi. Gambaran tersebut sekadar hendak menegaskan, bahwa dari satu aspek saja –sistem pengarang—kita dapat melakukan berbagai macam penelitian sastra.
Sistem Penerbit
Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Dalam pengertian ini, di dalamnya termasuk media massa (majalah dan suratkabar) yang juga berperan sama. Dalam hubungannya dengan teks sastra, penerbit dan media massa sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, ekonomi). Oleh karena itu, di dalam proses penerbitan atau publikasi sebuah karya sastra, tidak terhindarkan adanya pihak lain yang terlibat dalam proses produksi atau reproduksi karya. Dalam hubungan itulah, keterlibatan pihak-pihak itu, seringkali ikut mempengaruhi struktur formal karya.
Hal lain yang berkaitan dengan sistem penerbit menyangkut persoalan distribusi dan penyebaran karya. Penerbit besar atau media massa nasional yang punya jaringan luas dalam soal distribusi akan lain pengaruhnya dibandingkan dengan penerbit swadaya atau media massa lokal. Dalam hal ini, tentu saja tugas peneliti menjadi sangat penting dalam usaha membuat pemetaan konstelasi kesusastraan sebuah komunitas.
Penelitian lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem penerbit, berurusan dengan beberapa hal berikut: (a) ideologi dan kepentingan penerbit, (b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, (c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, (d) faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit, (e) jaringan distribusi, dan (f) sasaran pembaca.
Dalam hubungan itu, keberadaan dan peranan penerbit dan media massa penting artinya dalam penelitian sastra, baik yang bersifat sinkronis, maupun diakronis.
Sistem Pembaca
Dalam sistem sastra makro, tidak dibedakan antara penikmat atau pembaca biasa, pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus (: peneliti). Ronald Tanaka menempatkan pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus ini dalam sistem kritik. Meski demikian, keberadaan pembaca dalam sistem ini tetap dianggap penting, karena dalam banyak hal, pembaca sering kali ikut mempengaruhi situasi dan kondisi kehidupan kesusastraan. Jadi, keberadaan pembaca tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka tak jarang, justru menjadi bahan pertimbangan pengarang dan penerbit. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis dengan sasaran pembaca tertentu, tidak hanya memaksa dan menyeret pengarang untuk mempertimbangkan masalah di luar teks, tetapi juga memaksa penerbit melakukan semacam kompromi, khasnya dengan pengarang. Akibat kompromi itulah, pengarang sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Memperbaiki, bahkan mengubah teks sejalan dengan keinginan penerbit yang berorientasi pada (selera) pembaca. Karya sastra populer –yang menekankan pada pemanjaan selera pembaca—dan sastra propaganda –yang berorientasi pada tujuan mempengaruhi ideologi pembaca— misalnya, merupakan contoh kasus ini.
Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem pembaca ini, beberapa di antaranya, menyangkut: (a) latar belakang dan kultur pembaca, (b) usia dan jenis kelamin pembaca, (c) pendidikan dan ideologi pembaca, (d) pemaknaan sebuah teks yang ditentukan oleh penguasaan (i) konvensi bahasa, (ii) konvensi budaya, (iii) konvensi sastra, dan (e) penerimaan pembaca terhadap sebuah teks (resepsi sastra) dalam kurun waktu yang sezaman (sinkronis) dan dalam rentang waktu tertentu (diakronis).
Sistem Kritik
Praktik kritik sastra yang membicarakan sebuah karya, penelitian serius terhadap karya sastra, seperti makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, atau esai dan resensi buku sastra yang dimuat media massa, merupakan salah satu bahan penelitian yang termasuk ke dalam sistem kritik. Karya-karya itu merupakan pandangan kritikus atau pembaca ahli. Di Indonesia para penulis kritik ini datang dari latar belakang pendidikan yang heterogen. Sesiapa pun yang merasa mempunyai kemampuan untuk menulis kritik dan tulisan-tulisan kritiknya telah banyak dipublikasikan, sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai kritikus. Masyarakat pendukung kesusastraan itu sendiri cenderung tidak memasalahkan latar belakang pendidikan penulis kritik. Oleh karena itu, kritik sastra di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu kritik akademis dan kritik umum.
Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat  dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, objektivitas  atas nilai yang dikemukakan, menjadi landasan. Artinya, ia mesti dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian.  Sementara itu, dalam kritik umum, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia ilmiah, mungkin saja tidak dianggap penting. Oleh karena itu, kerangka teoretis dan metodologi yang di dalam kritik akademis sangat penting, dalam kritik umum justru sering diabaikan. Hampir semua media massa (majalah dan suratkabar) lebih menyukai memuat kritik umum daripada kritik akademis. Masalahnya, kritik umum ditulis dalam bahasa yang sangat cair yang memungkinkan dapat dipahami oleh berbagai macam kalangan masyarakat.
Penelitian sastra yang berkaitan dengan sistem kritik ini, menyangkut beberapa hal berikut ini: (a) jenis media yang memuat tulisan kritik, (b) latar belakang pendidikan kritikus, (c) profesi penulis kritik, (d) ideologi yang dianut, (e) model penilaian yang digunakan, yaitu (i) penilaian absolut, (ii) relatif, (iii) perspektif.
***
Selain sistem sastra makro, Ronald Tanaka membicarakan juga ihwal sistem sastra mikro yang dalam istilah Rene Wellek dan Austin Warren disebut pendekatan intrinsik. Dalam sistem ini, teks sastra menjadi pusat perhatian. Teks diperlakukan tidak lagi terikat pada pengarangnya, mengingat teks dianggap otonom, unik, dan berbeda, baik dengan teks sastra yang lain maupun teks nonsastra. Secara ekstrem, pandangan ini membawa pada anggapan bahwa teks sastra hadir ke hadapan pembaca dalam keadaan yang sudah lengkap. Oleh karena itu, di sana tak ada lagi hubungannya dengan pengarang. “Pengarang telah mati!” begitu Roland Barthes, tokoh penting strukturalisme menegaskan pendiriannya.
Pandangan Tanaka tidak seekstrem itu. Dalam hal ini, teks diperlakukan sebagai jembatan yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Ia masih memberi peluang adanya keterkaitan antara teks dan konteksnya. Teks sastra boleh saja dikaitkan dengan pengarang, sejarah, sosio-budaya, filsafat, dan unsur ekstrinsik lainnya.
***
Demikianlah, sesungguhnya begitu berlimpah objek penelitian sastra yang dapat kita lakukan. Penelitian terhadap sejumlah unsur intrinsik sebuah karya sastra yang selama ini banyak dilakukan kalangan akademis –khasnya skripsi—misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa tak terhitung banyaknya penelitian mengenai itu. Jadi, sungguh ironis rasanya jika kaum akademis sendiri, kehilangan gairah untuk melakukan penelitian sejenis atau penelitian lain yang belum banyak digarap orang.
Di luar hal itu, masih ada pula kemungkinan penelitian dengan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain atau dengan karya nonsastra (intertekstualitas). Mungkin saja karya sastra dibandingkan dengan sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi atau bahkan antropologi. Model ini dapat pula dilakukan dengan membandingkan satu karya dari satu negara dengan karya lain dari negara yang berbeda atau satu karya yang berasal dari kultur etnik tertentu dengan kultur etnik lain (studi sastra bandingan).
***
Sejumlah Kendala
Jika berbagai kemungkinan penelitian sastra terbuka luas dan lempang dan objek-objek penelitian sastra begitu berlimpahnya, pertanyaannya kini: Mengapa –seperti telah disinggung—kaum akademis seperti kehilangan gairah untuk melakukan penelitian? Kendala apa saja yang menyebabkan masalah itu seperti penyakit kronis yang tak dapat disembuhkan. Bahwa kaum akademis menyadari adanya penyakit kronis itu, mengapakah penyakit itu dibiarkan hidup dan terus-menerus menggerayangi kegiatan kesehariannya.
Marilah kita coba membuat anatomi!
Pertama, terjebak rutinitas. Kecenderungan kaum akademis tidak (sempat) melakukan penelitian, karena mereka menikmati betul hidup dalam lingkaran rutinitas. Masalah pengajaran dan kegiatan administratif –di lingkungan kampus—sering kali menjadi kambing hitam. Pertanyaannya kini: tidak adakah waktu untuk membaca sesuatu (: buku) baru atau karya sastra terbitan baru? Jika masih sempat melakukan itu, tulislah! Tulisan inilah yang kelak dapat menjadi salah satu cikal-bakal objek penelitian.
Kedua, sergapan ketakutan. Dalam banyak kasus, ada kesan bahwa kaum akademis ini hidup dalam sergapan ketakutan berbuat salah, jika hendak melakukan penelitian. Inilah bahaya yang sebenarnya ditanamkan sendiri. Penelitian sastra sesungguhnya tidak berurusan dengan persoalan benar—salah. Dalam penelitian kualitatif, argumen menjadi sesuatu yang penting. Terterima atau tidak argumen itu, itu soal lain. Jadi, tumpahkan saja gagasan itu, baik atau buruk, itu persoalan nanti.
Ketiga, mengajar seperti kaset yang dapat diputar berulang-ulang. Benar atau tidak asumsi ini, suka atau tidak terhadap anggapan ini, kenyataannya tidak sedikit kaum akademis yang mengajar dengan pola seperti kaset. Dari semester ke semester, ia terus- menerus mengulang hal yang itu-itu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan inovasi. Revisi silabus dan satuan acara perkuliahan dalam setiap dua atau tiga tahun, sebenarnya dimaksudkan agar pola pengajaran tidak seperti kaset. Di samping itu, materi kuliah yang dipersiapkan, sering hanya ditulis pokok-pokoknya saja, tanpa berusaha menyusunnya kembali sebagai sebuah tulisan yang utuh. Menyusun kembali pokok-pokok kuliah itu sebenarnya dapat menjadi bahan ajar yang penting yang mungkin suatu saat dapat menjadi sebuah diktat, atau bahkan buku teks yang dapat juga dipelajari masyarakat luas.
Keempat, penelitian sekadar mengejar kum. Satu bahaya lain datang ketika kaum akademis melakukan penelitian sekadar mengejar kum sebagai usaha untuk kenaikan pangkat atau golongan. Cara amatiran model ini tentu saja sangat berbahaya, karena lambat laun, tidak mustahil bakal membunuh profesionalitas. Maka, bekerjalah secara profesional, sesuai dengan profesi dan kewajiban untuk melakukan penelitian.
Kelima, penghargaan tak manusiawi dan tak berbudaya. Karya-karya penelitian di dunia akademi, sering kali tidak mendapat penghargaan yang sewajarnya. Bahkan, tidak jarang pula sama sekali tidak dihargai, untuk tidak mengatakan tidak manusiawi dan tidak berbudaya. Institusi mestinya memberi penghargaan yang lebih beradab, baik penghargaan yang berupa materi, mapun nonmateri.
Keenam, pudarnya tradisi diskusi. Salah satu cara yang memungkinkan tumbuhnya kegairahan melakukan penelitian, kiranya dapat dimulai dengan menciptakan tradisi berdiskusi. Jurusan atau fakultas dapat memfasilitasinya atas nama seminar kecil. Jika tradisi ini rutin dilaksanakan dalam setiap semester dan dalam satu tahun diangkat ke dalam forum yang lebih luas berupa seminar, maka sangat mungkin kegiatan diskusi dan seminar menjadi sebuah kegiatan rutin. Kondisi ini pada gilirannya akan menumbuhkan kegairahan melakukan penelitian. Jika hasil seminar itu dikumpulkan kembali dan coba dipublikasikan dalam bentuk buku, maka dalam setiap tahun akan terbit sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan para pengajar itu.
Ketujuh, menikmati otoritas sebagai jago kandang. Bahaya lain yang secara laten datang dan memudarkan kegairahan melakukan penelitian adalah adanya sikap merasa besar di lingkungan sendiri. Oleh karena itu, kebiasaan mengirimkan makalah dalam seminar yang diselenggarakan di luar institusinya, seyogianya menjadi sasaran berikutnya jika tradisi diskusi dan seminar di lingkungan sendiri telah berjalan jadi kegiatan rutin
Kedelapan, keengganan menulis resensi atau esai untuk media massa. Salah satu kewajiban kaum akademi adalah membaca buku. Jika yang dibacanya itu buku baru, informasi tentang buku itu sering kali disampaikan hanya kepada mahasiswanya sendiri. Padahal, jika buku baru itu dibuat resensinya atau esai mengenai buku itu dan coba dipublikasikan di media massa, pengaruh informasi itu jauh lebih luas dan berwibawa. Jika resensi atau esai itu dikembangkan lebih luas dengan membandingkannya dengan buku lain dan sekaligus mencoba menggunakan kerangka teori dan metodologi, maka ia telah masuk kategori karya penelitian. Sayangnya, kaum akademi kurang menyadari pentingnya resensi atau esai ini sebagai salah satu usaha membuat tradisi penelitian.
Itulah beberapa kendala yang sering menghantui kaum akademis kita. Masalahnya kini terpulang pada diri masing-masing. Jika kita menyadari, betapa kegiatan penelitian itu sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesional kita, maka lakukanlah. Niscaya, kita akan merasakan sendiri bahwa sesungguhnya, penelitian itu memang asyik dan mengasyikkan. Percayalah, hasil penelitian kita itu, sangat mungkin suatu saat kelak, justru bakal ikut membesarkan kita sendiri. Apapun hasilnya, itu soal lain. Sebaliknya, jika Anda masih juga enggan melakukan penelitian, maka dalam kesempatan ini, saya hanya dapat berdoa: “Kembalilah ke jalan yang benar!” ***
Mklh/lokakarya/stba-lia/3—4 Juni 2003
DAFTAR PUSTAKA
Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London: Compton Printing Ltd.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi dan Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.
Luxemburg, Jan van., dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
_____________________. 1992. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.
Storey, Jhon (Ed.). 1996. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf.
Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-theory. Lisse: Peter de Rider Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

9/26/2011

FILOLOGI


 PENGERTIAN FILOLOGI

Secara etymologi Filologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata philos dan logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos berarti juga ilmu). Jadi filologi itu secara harfiah berarti cinta pada kata-kata. Itulah sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata. Kata-kata dipertimbangkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya dan sebagainya, sehingga jelas bentuk dan artinya. Pengertian filologi ini kemudian berkembang; dari pengertian cinta pada kata-kata menjadi cinta pada ilmu. Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya, tetapi juga ilmu yang menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah. Dari penelitian filologi, kita dapat mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra itu, seperti kepercayaan, adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa. Sejak sekitar abad ke-3 SM, istilah filologi sudah dipakai oleh para ahli di Aleksandria (Baried, 1983: 1-2). Dikatakan bahwa kegiatan mereka adalah berusaha mengkaji teks-teks lama yang berasal dari bahasa Yunani.
Pengkajian mereka terhadap teks-teks tersebut bertujuan menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Usaha mencari perbedaan bacaan yang terdapat di dalam teks (varian) akan diketahui adanya bacaan yang rusak (Korup). Jadi tugas filologi adalah untuk memurnikan teks dengan mengadakan kritik terhadap teks, dan tujuan kritik teks ialah menghasilkan suatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang-bidang ilmu lain.
Dari urain di atas dapat disimpulkan, bahwa Filologi merupakan penginterprestasikan kata-kata/teks- teks kuno dalam sebuah kitab atau catatan sejarah  sampai mengungkap tentang masalah kebudayaan dari awal abad ke -20 sampai sekarang yang digunakan khusus menelaah tentang naskah.



            2. Edisi Teks dan Kritik Teks dalam Filologi

            Edisi teks atau sering dikenal dengan istilah suntingan teks adalah (upaya) menyusun suatu teks secara utuh setelah dilakukan pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa. Pemurnian teks adalah upaya untuk menentukan salah satu teks yang akan dipakai sebagai dasar transliterasi naskah berdasarkan penelitian teks dengan suatu metode kritik teks. Metode kritik teks meliputi perbandingan naskah untuk mengelompokkan varian-varian yang ada dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema) (Christomy, 1988: 7; Mass: 1972). Jadi menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi, tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang seksama.
Sebelum mengarah ke inventarisasi naskah, seorang peneliti harus tau apa itu naskah. Naskah merupakan semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu. Batu yang mempunyai tulisan itu biasa disebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu disebut epigrafi.
Langkah awal dari suatu penelitian teks adalah menginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan terrealisasi pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi naskah dapat dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya memperoleh naskah kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke dalam katalogus naskah dapat juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui memiliki naskah tersebut..
            Pentransliterasian naskah yang tidak melalui suatu edisi kritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapat diragukan. Oleh sebab itu setiap kajian teks harus didahului oleh suatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya hanya sederhana, tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secara filologis masih terdapat kelemahan, misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya, dsb.
            Transliterasi naskah yang tanpa didahului penelitian yang seksama, meskipun naskah yang dipakai sebagai objek penelitian berupa naskah cetakan juga sering ada kelemahan. Kebiasaan ini sering dilakukan oleh mahasiswa S-1 dalam penulisan skripsinya. Di pihak lain ada contoh kasus yang perlu diperhatikan di sini ialah, bahwa Hikayat Indera Bangsawan, di Museum Pusat Jakarta terdapat 6 buah naskah, semua naskah sama isinya. Salah satunya pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ternyata beberapa waktu kemudian diketemukan koleksi v.d.W. 162 yang isinya lebih lengkap dari yang diterbitkan oleh Balai  Pustaka (Fang, 1991: 175). Di Singapura ada pengecapan naskah ini dengan batu tahun 1310 dan 1323 H atau 1890 dan 1862 M. di Aceh juga terdapat sadurannya dalam bahasa Aceh. Jika peneliti terus saja percaya kepada naaskah cetakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan terbitan di Singapura, maka kesahihan sumber datanya kurang sempurna. Itulah sebabnya edisi kritis itu amat perlu dilakukan.

           
3. Pengembangan Penelitian Filologi

            Dalam Pengembangan penelitian, filologi pernah dipandang sebagai studi sastra secara ilmiah. Arti ini muncul ketika teks-teks yang dikaji itu merupakan karya sastra yang bernilai tinggi karya”Humoros”. Keadaan tersebut membawa filologi kepada arti yang memperhatikan segi kesastraannya. Banyak filolog mempermasalahkan perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra, dan kajian bidang filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra. Karena kajian yang bersifat filologis dengan melalui suatu edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian yang lain dengan menggunakan metode literer. Hal itu dapat dipahami setelah diketahui terlebih dahulu mengenai ruang lingkup pengembangan penelitian filologi. Berikut dikemukakan ruang lingkup penelitian filologi dan pengembangannya dalam bentuk skema.

SKEMA EDISI TEKS DAN KAJIAN TEKS

1.
PENGANTAR EDISI TEKS                             
PENDAHULUAN
 Seperangkat unsur Pendahuluan yang lazim bagi suatu penelitian: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Landasan Teori, Tujuan Penelitian, dsb.
2.
INTI EDIT TEKS
DESKRIPSI NASKAH
-   Informasi: Inventarisasi Naskah,
-   Keadaan Naskah: Tulisan, Bentuk Huruf, Bahasa, Isi, dsb.
-   Sejarah Penurunan Naskah, dsb.
-   Transliterasi Naskah
3.
PELENGKAP EDISI TEKS

Penjelasan: Kandungan Teks
-   Daftar Kata Asing
-   Indeks
-   Terjemahan/Penafsiran
4.
KAJIAN TEKS
Metodologi:
-   Intrinsik
-   Ekstrinsik
-   Gabungan antara  Intrinsik-Ekstrinsik
5.
PENUTUP
Kesimpulan/Saran
-   Kepustakaan
-   Lampiran

            Unsur-unsur penelitian filologi yang paling penting adalah nomer 1) Pengantar Edisi Teks, 2) Inti Edit Teks , 3) Pelengkap Edisi Teks dan , 5) Penutup. Studi yang demikian ini sudah dianggap memenuhi persyaratan sebagai suatu edisi kritis. Unsur nomer 4) Kajian Teks merupakan bagian yang memungkinkan dikembangkannya penelitian filologi dengan berbagai disiplin ilmu terutama bidang kebahasasan dan kesusastraan. Jadi jika sumber data itu sudah merupakan hasil edisi kritis, pendekatan literer itu dapat diterapkan. Di sini terbuka kesempatan bagi para filolog untuk menerapkan seperangkat pendekatan sastra yang makin hari makin pesat perkembangannya. Dan di sini pula filolog dapat menerapkan suatu kajian yang relevan dengan arus perkembangan ilmu pengetahuan.
            Kajian terhadap teks terbuka kemungkinan untuk mempergunakan berbagai pendekatan literer, kebahasaaan, dan pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang dapat dipakai (disesuaikan dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) adalah pendekatan struktural, mimetik, pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional, intertekstual, semiotik, dekonstruktif, penafsiran, dsb. Dapat pula dilakukan dengan gabungan antara pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik bahasa Roman Jakobson, lapis-lapis makna Roman Ingarden, dan berbagai pendekatan semiotik. Dan pendekatan yang merupakan gabungan antara pendekatan literer dengan pendekatan multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi sastra, reseptif, feminisme atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus tentang pendekatan reseptif  (misalnya analisis reseptif terhadap kitab Undang-undang dapat dikomparasikan dengan ilmu hukum). Akhir-akhir ini banyak penulis yang menyukai pendekatan struktural, fungsional, reseptif, dan intertekstual; tetapi jarang yang menggunakan pendekatan yang lain sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini dapat memberi peluang bagi penulis-penulis lain untuk mengembangkan penelitiannya dengan variasi pendekatan yang praktis dan mutakhir. Dengan menggunakan pendekatan mutakhir dan relevan dengan masalah kekinian akan menempatkan filologi sesuai dengan arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga peranan filologi dapat dirasakan manfaatnya dalam kalangan yang lebih luas terutama di dunia ilmu pengetahuan.

           
Penutup

            Langkah pertama studi filologi adalah berupa edisi teks dan langkah berikutnya berupa kajian teks. Kajian teks membuka peluang diterapkannya berbagai teori ilmu pengetahuan guna memperluas cakrawala penelitiannya, sehingga studi filologi akan dirasakan manfaatnya secara lebih luas. Tampaknya hal ini cukup menjadi perhatian kita untuk mengantisipasi datangnya globalisasi dunia dewasa ini.


DAFTAR PUSTAKA






Weda Kusuma,  I Nyoman. 2010. Filologi. Denpasar: Cetakan untuk mata kuliah
Saidi, shaleh Drs. 1079. Pengantar Filologi Indonesia. Denpasar: Fakultas Sastra UNUD




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH
BIDANG ILMU PENDIDIKAN  BAHASA DAN SASTRA BALI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI BALI
2010

TEORI-TEORI SASTRA

1.     Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

2.     Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

3.     Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

4.     Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
a.     kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
b.     pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
c.      kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Memahami Karya Sastra

Tujuan utama dari pengajaran sastra adalah untuk membentuk sikap yang apresiatif dan kreatif terhadap sastra dan bahasa secara umum. Namun, bukan berarti sastra juga tak memberi sumbangan terhadap perkembangan budi pekerti. Karena jika siswa atau mahasiswa sudah mampu bersikap apresiatif terhadap karya sastra, maka mereka sekaligus juga mampu menangkap nilai-nilai dan amanat yang ada dalam karya tersebut. Mengapa demikian?
Sebuah karya sastra, misalnya karya yang monumental semacam Mahabhatara dan Ramayana, memberikan amanat penting yang bisa menuntun seorang manusia dalam menjalankan hidupnya di dunia nyata, Artinya selain belajar menilai karya sastra, Sastra juga bisa menyerap nilai budi pekerti yang terkandung di dalam karya itu.
Agar karya sastra bisa dipelajari dengan baik sehingga merangsang untuk apresiatif maka sastra itu harus diajarkan dengan enak, menarik dan kreatif.
baik segi instrinsik maupun ekstrinsik. Dalam pembelajaran sastra di sekolah hal ini masalah pemahaman sastra ini sangat memprihatinkan karena kegiatan “menilai” karya sastra baru sebatas pengetahuan (knowledge) yang berkutat pada apa itu sastra, siapa pengarangnya dan lain-lain.
Jadi bukan ke inti persoalan bagaimana sastra memberi ruang yang komprehensif pada siswa untuk menaruh penghargaan pada sastra dan sastra memberi kontribusi fragmatis untuk kehidupannya sebagai manusia berbudaya. Solusinya, nilailah karya sastra secara menyeluruh melalui strategi penugasan dan diskusi.
untuk mampu menulis karya sastra yang baik dan kreatif, Caranya, pertama, menumbuhkan motivasi siswa untuk menulis kreatif. Kedua, penanaman teori elementer tentang menulis kreatif (menulis sastra). Ketiga, pelatihan atau pembelajaran penulisan kreatif secara kontinu dan adanya proses evaluasi dan guru. Keempat, memberi ruang bagi karya sastra siswa, seperti majalah dinding, majalah sekolah, media massa. Kelima, menumbuhkan iklim atau atmosfer pergaulan kreatif ).
Proses belajar atau mengajar sastra di sekolah harusnya berani untuk kcluar dari kurikulum resmi ynng ditetapkan oleh lembaga resmi pendidikan. “Keluar” dari kurikulurn maksudnya adalah seorang guru harus berani mendobrak batasan-batasan pengajaran sastra yang selama ini dilakukan secara konvensional. Jika hanya mcngandalkan kurikulum rcsmi maka waktu yang efektif untuk belajar sastra sangatlah terbatas. Apalagi selama ini pelajaran sastra masih digabung dengan pelajaran bahasa secara umum.
Padahal, menurut Artawan, proses belajar sastra itu harus dilakukan secara kontinu karena berkaitan dengan masalah nalar dan kepekaan. Kepekaan berbahasa, kepekaan memahami masalah sosial, kepekaan dalam mengasah imajinasi, termasuk juga budi pekerti, tak bisa diajarkan hanya dalam pertemuan yang sekali seminggu. Untuk itu, seorang guru atau pihak sekolah harus memberikan ruang dan waktu lebih banyak kepada pelajaran sastra di sekolah.
Misalnya, jika selama ini pelajaran sastra dilakukan di kelas sesuai batasan-batasan kurikulum, maka ruangnya bisa saja diperlebar tidak hanya dengan mengadakan ekstrakulikuler tetapi juga menyediakan les-les khusus sebagaimana dilakukan terhadap pelajaran komputer, bahasa Inggris, fisika dan sejenisnya

Sirnanya Tradisi Penulisan Kritik Sastra


Sastera itu ada ramai penulis, tetapi tidak ramai kritikus besar. Yang bagus itu selalunya menulis bukan sahaja esei dan kritikan, tetapi juga fiksyen (Shahnon Ahmad, Virginia Woolf, Henry James), atau puisi (Goenawan, Sapardi, Coleridge, Emerson, Borges), atau memang dikenali sebagai penulis esei sahaja walaupun ada menulis puisi dan novel (Hazlitt, Johnson, Sontag). Kritikus sejati? Itu sangat sedikit. Harold Bloom ialah yang terbaik di zaman kita. Di Indonesia ialah H. B. Jassin. Sehingga sekarang, kedudukkannya belum ada pengganti.

Semasa Jassin meninggal dunia pada tahun 2000, Agus R. Sarjono menulis bahawa penulis-penulis Indonesia kini telah menjadi yatim piatu; mereka kehilangan rumah - kehilangan gereja - untuk mereka berteduh dan membina kamar peribadi; mereka kehilangan sang paus yang akan mengucup dahi dan memberkati kelahiran mereka sebagai sasterawan; mereka kehilangan pelita untuk menerangi sastera Indonesia keluar ke pentas antarabangsa - pentas universal seperti yang Jassin sendiri perjuangkan dari permulaan penulisannya sebagai kritikus. Jassin itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata.
...  
Begitu tinggi sekali orang Indonesia mengangkat kritikus mereka. Susah nak membayangkan negara lain melakukan penghormatan yang sama. Kalau kritikus itu diangkat sekali pun pada suatu zaman, dia mungkin dilupakan di zaman yang lain. Masih adakah orang membaca Jassin sekarang? Masih adakah orang membaca F. R. Leavis atau Allen Tate atau William Empson? Di universiti mungkin. Itupun teori Formalisme Baru sudah tidak dipandang oleh pensyarah dan sarjana. Terlalu mudah. Tidak cukup intelektual. Tidak cukup Melayu dan Islamik. Kita mesti mencipta teori kita sendiri. Begitulah seruan yang bergema dalam kitab-kitab tebal dan berkulit keras dan berhabuk para kritikus kita. Bunyinya hanya berdesis di celah daun-daun pintu dewan kuliah. Ia tidak sampai ke telinga pembaca. Apatah lagi para penulis. Teori akan hanya tinggal teori. Dan para kritkus yang menciptanya akan dilupakan begitu sahaja.
 
Memang mudah untuk kita menyalahkan masyarakat apabila tulisan kritikan tidak dibaca apatah lagi dipandang serius sebagai sebuah karya seni. Novelis dan penyair pun sama. Mereka menuduh pembaca kita sebagai mempunyai taste yang rendah. Jangan membaca Ramlee Awang Murshid dan Ilham Hamdani. Itu taste rendah. Tuduhan sama dilontarkan kepada mereka yang menonton wayang. Penulis dan pengkritik mengutuk mereka kerana menonton filem seram atau lawak-bodoh-ala-Senario. Itu taste rendah. Tetapi, kita mesti ingat, bahawa keinginan umum itu ialah hukum yang berada di luar batas seorang seniman. Dan seorang seniman itu sendiri juga bermula, dan kemudian kembali, dalam kelompok umum yang sama. Betul, dia mencipta. Dan dia mencipta menggunakan bahasa puisi - bahasa sastera - yang mengubah, memintal, melebih-lebihkan, merendah-rendahkan, mendramakan, dan mengindahkan bahasa umum sebuah masyarakat. Memang itu kerjanya. Dia ialah, seperti kata Paul Valery, tuhan dalam penulisannya. Tetapi pada sama dia juga bukan tuhan. Dia hanya manusia. Dia juga sebahagian, dan kadang-kadang tidak sebahagian, daripada keinginan umum yang dia sendiri ingin mengelak untuk memuaskan keinginan peribadinya. Dia tahu dia tidak boleh tunduk sepenuhnya pada kehendak masyarakat. Tetapi, dia juga tahu, untuk dia memuaskan keinginannya, dia mesti memuaskan keinginan bahasa itu sendiri.
 
Saya pernah tulis bahawa tradisi kritikan di negara kita sudah mati. Ia mati bukan kerana tiada lagi buku dan tulisan kritikan di majalah. Ada. Memang sangat ada. Itu belum ambil kira penulis-penulis kita yang membuat ulasan buku di blog. Kemudian cuba anda masuk ke dalam sebuah majlis sastera. Perbincangan. Polemik. Kertas kerja! Semua ini dilakukan, kononnya, atas nama perbincangan ilmiah yang, sebenarnya, tidak membawa apa-apa sumbangan penting kepada perkembangan tradisi kritikan. Tetapi ia tetap kritikan. Seterusnya kita tengok pengkritik dan sarjana kita. Ramai bukan? Di Indonesia pun sama. Malah buku kritikan mereka lebih banyak daripada kita. Yang feminisnya; yang studi budayanya; yang pascakolonialnya; yang Derrida; yang Foucault; yang Lacan. Dan masing-masing ingin tampalkan label mereka di dinding dan jendela rumah sastera. Kamar Chairil Anwar dan Amir Hamzah itu pasti terlalu gelap kerana banyak sarjana yang menempelkan label di jendela mereka. Itu belum tengok kamar Ayu Utami. Atau Faisal Tehrani. Setiap hari masyarakat melintas depan rumah sastera ini dan mereka akan melihat dinding-dinding yang tertampal. Kalau di kota, manusia itu sudah jemu membaca iklan. Di kampung, manusia sudah mempunyai alam sebagai teman. Dia tidak memerlukan label. Jadi, akhirnya, rumah sastera itu akan tinggal sebagai sebuah rumah kertas sahaja.
 
Pengkritik sekarang hanya mencipta kertas. Pengumpul suratkhabar lama di belakang rumah sastera.
 
Seorang pengkritik seharusnya menulis dari dalam rumah itu. Dia harus membangunkan sebuah rumah sastera.
 
Untuk itu, dia mesti terlebih dahulu, selaku arkitek sastera, memahami asas binaannya. Dia mesti membina dari dalam sastera itu sendiri, bukan dari luar. Dia mesti membawa dirinya ke setiap kamar penulis dalam rumah itu; menyimpan sebanyak mungkin pengalaman hidup yang dikutipnya dari penulis-penulis yang dia telah berbual dan mengenali; kemudian dia mesti menguruskan rumah itu, mengikut desakkan intuisi, supaya semua orang berada di kamar dan tingkat yang sepatutnya. Label dan risalah orang luar sudah tidak penting buatnya. Kalau ada tetamu, pembaca, yang datang ke rumah itu, maka dia mesti menjemput, menerangkan, menjelaskan, dan mempengaruhi mereka untuk mencintai sastera. Ingat, mempengaruhi, bukan memaksa. Tidak ada paksaan dalam seni. Seperti seorang pengkritik tidak boleh memaksa penulis (bukan seorang penulis, tetapi banyak) untuk tunduk pada kehendaknya. Sudah cukup kalau dia dapat membangunkan dalam dirinya kata-kata yang akan mengikat roh dan pemikiran antara dirinya dengan penulis itu.