PENGERTIAN FILOLOGI
Secara etymologi Filologi berasal dari bahasa Latin
yang terdiri dari dua kata philos dan
logos. Philos artinya cinta dan logos
artinya kata (logos berarti juga
ilmu). Jadi filologi itu secara harfiah berarti cinta pada kata-kata. Itulah
sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata. Kata-kata dipertimbangkan,
dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya dan sebagainya, sehingga
jelas bentuk dan artinya. Pengertian filologi ini kemudian berkembang; dari
pengertian cinta pada kata-kata menjadi cinta pada ilmu. Filologi tidak hanya
sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya, tetapi juga ilmu yang
menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah. Dari penelitian
filologi, kita dapat mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan
karya sastra itu, seperti kepercayaan, adat-istiadat dan pandangan hidup suatu
bangsa. Sejak sekitar abad ke-3 SM, istilah filologi sudah dipakai oleh para
ahli di Aleksandria (Baried, 1983: 1-2). Dikatakan bahwa kegiatan mereka adalah
berusaha mengkaji teks-teks lama yang berasal dari bahasa Yunani.
Pengkajian mereka terhadap teks-teks tersebut
bertujuan menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya
dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Usaha
mencari perbedaan bacaan yang terdapat di dalam teks (varian) akan diketahui
adanya bacaan yang rusak (Korup). Jadi tugas
filologi adalah untuk memurnikan teks dengan mengadakan kritik terhadap
teks, dan tujuan kritik teks ialah
menghasilkan suatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks yang sudah
dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula
merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk
kepentingan berbagai penelitian dalam bidang-bidang ilmu lain.
Dari urain di atas dapat disimpulkan, bahwa
Filologi merupakan penginterprestasikan kata-kata/teks- teks kuno dalam sebuah
kitab atau catatan sejarah sampai
mengungkap tentang masalah kebudayaan dari awal abad ke -20 sampai sekarang yang
digunakan khusus menelaah tentang naskah.
2. Edisi
Teks dan Kritik Teks dalam Filologi
Edisi teks atau sering dikenal dengan
istilah suntingan teks adalah (upaya)
menyusun suatu teks secara utuh setelah dilakukan pemurnian teks ke dalam
sesuatu bahasa. Pemurnian teks adalah
upaya untuk menentukan salah satu teks yang akan dipakai sebagai dasar
transliterasi naskah berdasarkan penelitian teks dengan suatu metode kritik
teks. Metode kritik teks meliputi
perbandingan naskah untuk mengelompokkan varian-varian yang ada dan
merekonstruksi garis penurunan naskah (stema) (Christomy, 1988: 7; Mass: 1972).
Jadi menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk
ditransliterasi, tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang
seksama.
Sebelum mengarah ke inventarisasi naskah, seorang
peneliti harus tau apa itu naskah. Naskah merupakan semua peninggalan tertulis
nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan
pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan
yang berbahasa Jawa; lontar bnyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan
Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan
pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini
disebut “manuscript” dan dalam bahasa
Belanda disebut dengan istilah “handschrift”.
Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu. Batu
yang mempunyai tulisan itu biasa disebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi.
Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu disebut epigrafi.
Langkah awal dari suatu penelitian teks adalah
menginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan terrealisasi pada
deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi naskah dapat dilakukan
setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog naskah.
Upaya memperoleh naskah kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke dalam
katalogus naskah dapat juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui
memiliki naskah tersebut..
Pentransliterasian
naskah yang tidak melalui suatu edisi kritis terdapat banyak kelemahan. Karena
besar sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapat
dibuktikan secara ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapat diragukan. Oleh
sebab itu setiap kajian teks harus didahului oleh suatu edisi kritis. Masalah
ini kelihatannya hanya sederhana, tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain
yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secara
filologis masih terdapat kelemahan, misalnya salah tulis, kurang lengkap
isinya, dsb.
Transliterasi
naskah yang tanpa didahului penelitian yang seksama, meskipun naskah yang
dipakai sebagai objek penelitian berupa naskah cetakan juga sering ada
kelemahan. Kebiasaan ini sering dilakukan oleh mahasiswa S-1 dalam penulisan
skripsinya. Di pihak lain ada contoh kasus yang perlu diperhatikan di sini
ialah, bahwa Hikayat Indera Bangsawan,
di Museum Pusat Jakarta terdapat 6 buah naskah, semua naskah sama isinya. Salah
satunya pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ternyata beberapa waktu kemudian
diketemukan koleksi v.d.W. 162 yang isinya lebih lengkap dari yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka (Fang, 1991: 175). Di
Singapura ada pengecapan naskah ini dengan batu tahun 1310 dan 1323 H atau 1890
dan 1862 M. di Aceh juga terdapat sadurannya dalam bahasa Aceh. Jika peneliti
terus saja percaya kepada naaskah cetakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
dan terbitan di Singapura, maka kesahihan sumber datanya kurang sempurna.
Itulah sebabnya edisi kritis itu amat perlu dilakukan.
3. Pengembangan
Penelitian Filologi
Dalam Pengembangan
penelitian, filologi pernah dipandang sebagai studi sastra secara ilmiah. Arti
ini muncul ketika teks-teks yang dikaji itu merupakan karya sastra yang
bernilai tinggi karya”Humoros”. Keadaan tersebut membawa filologi kepada arti
yang memperhatikan segi kesastraannya. Banyak filolog mempermasalahkan
perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra, dan kajian bidang
filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra. Karena kajian yang bersifat
filologis dengan melalui suatu edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian
yang lain dengan menggunakan metode literer. Hal itu dapat dipahami setelah
diketahui terlebih dahulu mengenai ruang lingkup pengembangan penelitian
filologi. Berikut dikemukakan ruang lingkup penelitian filologi dan
pengembangannya dalam bentuk skema.
SKEMA EDISI TEKS DAN KAJIAN TEKS
1.
|
PENGANTAR EDISI TEKS
|
PENDAHULUAN
Seperangkat
unsur Pendahuluan yang lazim bagi suatu penelitian: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Landasan Teori, Tujuan Penelitian, dsb.
|
2.
|
INTI EDIT TEKS
|
DESKRIPSI NASKAH
-
Informasi: Inventarisasi Naskah,
-
Keadaan Naskah: Tulisan, Bentuk Huruf, Bahasa,
Isi, dsb.
-
Sejarah Penurunan Naskah, dsb.
-
Transliterasi Naskah
|
3.
|
PELENGKAP EDISI TEKS
|
Penjelasan: Kandungan Teks
-
Daftar Kata Asing
-
Indeks
-
Terjemahan/Penafsiran
|
4.
|
KAJIAN TEKS
|
Metodologi:
-
Intrinsik
-
Ekstrinsik
-
Gabungan antara
Intrinsik-Ekstrinsik
|
5.
|
PENUTUP
|
Kesimpulan/Saran
-
Kepustakaan
-
Lampiran
|
Unsur-unsur
penelitian filologi yang paling penting adalah nomer 1) Pengantar
Edisi Teks, 2) Inti Edit Teks , 3) Pelengkap Edisi Teks dan , 5) Penutup. Studi yang
demikian ini sudah dianggap memenuhi persyaratan sebagai suatu edisi kritis. Unsur
nomer 4) Kajian Teks merupakan bagian yang memungkinkan
dikembangkannya penelitian filologi dengan berbagai disiplin ilmu terutama
bidang kebahasasan dan kesusastraan. Jadi jika sumber data itu sudah merupakan
hasil edisi kritis, pendekatan literer itu dapat diterapkan. Di sini terbuka
kesempatan bagi para filolog untuk menerapkan seperangkat pendekatan sastra
yang makin hari makin pesat perkembangannya. Dan di sini pula filolog dapat
menerapkan suatu kajian yang relevan dengan arus perkembangan ilmu pengetahuan.
Kajian
terhadap teks terbuka kemungkinan untuk mempergunakan berbagai pendekatan
literer, kebahasaaan, dan pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang
dapat dipakai (disesuaikan dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) adalah
pendekatan struktural, mimetik, pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional,
intertekstual, semiotik, dekonstruktif, penafsiran, dsb. Dapat pula dilakukan
dengan gabungan antara pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik
bahasa Roman Jakobson, lapis-lapis makna Roman Ingarden, dan berbagai
pendekatan semiotik. Dan pendekatan yang merupakan gabungan antara pendekatan
literer dengan pendekatan multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi
sastra, reseptif, feminisme atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus
tentang pendekatan reseptif (misalnya
analisis reseptif terhadap kitab Undang-undang dapat dikomparasikan dengan ilmu
hukum). Akhir-akhir ini banyak penulis yang menyukai pendekatan struktural,
fungsional, reseptif, dan intertekstual; tetapi jarang yang menggunakan
pendekatan yang lain sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini dapat memberi
peluang bagi penulis-penulis lain untuk mengembangkan penelitiannya dengan
variasi pendekatan yang praktis dan mutakhir. Dengan menggunakan pendekatan
mutakhir dan relevan dengan masalah kekinian akan menempatkan filologi sesuai
dengan arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga
peranan filologi dapat dirasakan manfaatnya dalam kalangan yang lebih luas
terutama di dunia ilmu pengetahuan.
Penutup
Langkah
pertama studi filologi adalah berupa edisi teks dan langkah berikutnya berupa
kajian teks. Kajian teks membuka peluang diterapkannya berbagai teori ilmu
pengetahuan guna memperluas cakrawala penelitiannya, sehingga studi filologi
akan dirasakan manfaatnya secara lebih luas. Tampaknya hal ini cukup menjadi
perhatian kita untuk mengantisipasi datangnya globalisasi dunia dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Weda Kusuma, I
Nyoman. 2010. Filologi. Denpasar:
Cetakan untuk mata kuliah
Saidi, shaleh Drs. 1079. Pengantar Filologi Indonesia. Denpasar: Fakultas Sastra UNUD
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
DAN DAERAH
BIDANG ILMU PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA BALI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI BALI
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar