"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

9/26/2011

TEORI-TEORI SASTRA

1.     Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

2.     Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

3.     Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

4.     Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
a.     kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
b.     pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
c.      kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Memahami Karya Sastra

Tujuan utama dari pengajaran sastra adalah untuk membentuk sikap yang apresiatif dan kreatif terhadap sastra dan bahasa secara umum. Namun, bukan berarti sastra juga tak memberi sumbangan terhadap perkembangan budi pekerti. Karena jika siswa atau mahasiswa sudah mampu bersikap apresiatif terhadap karya sastra, maka mereka sekaligus juga mampu menangkap nilai-nilai dan amanat yang ada dalam karya tersebut. Mengapa demikian?
Sebuah karya sastra, misalnya karya yang monumental semacam Mahabhatara dan Ramayana, memberikan amanat penting yang bisa menuntun seorang manusia dalam menjalankan hidupnya di dunia nyata, Artinya selain belajar menilai karya sastra, Sastra juga bisa menyerap nilai budi pekerti yang terkandung di dalam karya itu.
Agar karya sastra bisa dipelajari dengan baik sehingga merangsang untuk apresiatif maka sastra itu harus diajarkan dengan enak, menarik dan kreatif.
baik segi instrinsik maupun ekstrinsik. Dalam pembelajaran sastra di sekolah hal ini masalah pemahaman sastra ini sangat memprihatinkan karena kegiatan “menilai” karya sastra baru sebatas pengetahuan (knowledge) yang berkutat pada apa itu sastra, siapa pengarangnya dan lain-lain.
Jadi bukan ke inti persoalan bagaimana sastra memberi ruang yang komprehensif pada siswa untuk menaruh penghargaan pada sastra dan sastra memberi kontribusi fragmatis untuk kehidupannya sebagai manusia berbudaya. Solusinya, nilailah karya sastra secara menyeluruh melalui strategi penugasan dan diskusi.
untuk mampu menulis karya sastra yang baik dan kreatif, Caranya, pertama, menumbuhkan motivasi siswa untuk menulis kreatif. Kedua, penanaman teori elementer tentang menulis kreatif (menulis sastra). Ketiga, pelatihan atau pembelajaran penulisan kreatif secara kontinu dan adanya proses evaluasi dan guru. Keempat, memberi ruang bagi karya sastra siswa, seperti majalah dinding, majalah sekolah, media massa. Kelima, menumbuhkan iklim atau atmosfer pergaulan kreatif ).
Proses belajar atau mengajar sastra di sekolah harusnya berani untuk kcluar dari kurikulum resmi ynng ditetapkan oleh lembaga resmi pendidikan. “Keluar” dari kurikulurn maksudnya adalah seorang guru harus berani mendobrak batasan-batasan pengajaran sastra yang selama ini dilakukan secara konvensional. Jika hanya mcngandalkan kurikulum rcsmi maka waktu yang efektif untuk belajar sastra sangatlah terbatas. Apalagi selama ini pelajaran sastra masih digabung dengan pelajaran bahasa secara umum.
Padahal, menurut Artawan, proses belajar sastra itu harus dilakukan secara kontinu karena berkaitan dengan masalah nalar dan kepekaan. Kepekaan berbahasa, kepekaan memahami masalah sosial, kepekaan dalam mengasah imajinasi, termasuk juga budi pekerti, tak bisa diajarkan hanya dalam pertemuan yang sekali seminggu. Untuk itu, seorang guru atau pihak sekolah harus memberikan ruang dan waktu lebih banyak kepada pelajaran sastra di sekolah.
Misalnya, jika selama ini pelajaran sastra dilakukan di kelas sesuai batasan-batasan kurikulum, maka ruangnya bisa saja diperlebar tidak hanya dengan mengadakan ekstrakulikuler tetapi juga menyediakan les-les khusus sebagaimana dilakukan terhadap pelajaran komputer, bahasa Inggris, fisika dan sejenisnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar