Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra
sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya
muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya
muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam
ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia
yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami
tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari
konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa
pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu
sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya
yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja
melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan
pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang
(terepresi) dalam ketaksadaran.
2.
Teori Sastra
Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah
karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya
adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang
mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur
tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun
konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam
kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa
konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks
sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas
sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai
unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan
tentang sistem sastra.
3.
Teori Sastra
Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai
cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini
adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran
atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti
akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang
tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana
teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis.
Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya
pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara
penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji
sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum
perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan
adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan,
baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para
sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya,
biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan.
Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu
pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
4.
Teori Sastra
Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya
sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna
sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri,
melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan
oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan
melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi
pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu
pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara
melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat
melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi
yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat
anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
a.
kaidah-kaidah
yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
b.
pengetahuan dan
pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
c.
kemampuan pembaca
menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita
tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks
keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke
zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita
terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini
dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya
belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita
juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri,
harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran
generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Memahami Karya Sastra
Tujuan utama dari pengajaran sastra adalah
untuk membentuk sikap yang apresiatif dan kreatif terhadap sastra dan bahasa
secara umum. Namun, bukan berarti sastra juga tak memberi sumbangan terhadap
perkembangan budi pekerti. Karena jika siswa atau mahasiswa sudah mampu
bersikap apresiatif terhadap karya sastra, maka mereka sekaligus juga mampu
menangkap nilai-nilai dan amanat yang ada dalam karya tersebut. Mengapa
demikian?
Sebuah karya sastra, misalnya karya yang monumental semacam
Mahabhatara dan Ramayana, memberikan amanat penting yang bisa menuntun seorang
manusia dalam menjalankan hidupnya di dunia nyata, Artinya selain belajar
menilai karya sastra, Sastra juga bisa menyerap nilai budi pekerti yang
terkandung di dalam karya itu.
Agar karya sastra bisa dipelajari dengan baik sehingga
merangsang untuk apresiatif maka sastra itu harus diajarkan dengan enak,
menarik dan kreatif.
baik segi instrinsik maupun ekstrinsik. Dalam pembelajaran
sastra di sekolah hal ini masalah pemahaman sastra ini sangat memprihatinkan
karena kegiatan “menilai” karya sastra baru sebatas pengetahuan (knowledge)
yang berkutat pada apa itu sastra, siapa pengarangnya dan lain-lain.
Jadi bukan ke inti persoalan bagaimana
sastra memberi ruang yang komprehensif pada siswa untuk menaruh penghargaan
pada sastra dan sastra memberi kontribusi fragmatis untuk kehidupannya sebagai
manusia berbudaya. Solusinya, nilailah karya sastra secara menyeluruh melalui
strategi penugasan dan diskusi.
untuk mampu menulis karya sastra yang
baik dan kreatif, Caranya, pertama, menumbuhkan motivasi siswa untuk menulis
kreatif. Kedua, penanaman teori
elementer tentang menulis kreatif (menulis sastra). Ketiga, pelatihan atau
pembelajaran penulisan kreatif secara kontinu dan adanya proses evaluasi dan
guru. Keempat, memberi ruang bagi karya sastra siswa, seperti majalah dinding,
majalah sekolah, media massa. Kelima, menumbuhkan iklim atau atmosfer pergaulan
kreatif ).
Proses belajar atau mengajar sastra di sekolah harusnya berani
untuk kcluar dari kurikulum resmi ynng ditetapkan oleh lembaga resmi
pendidikan. “Keluar” dari kurikulurn maksudnya adalah seorang guru harus berani
mendobrak batasan-batasan pengajaran sastra yang selama ini dilakukan secara
konvensional. Jika hanya mcngandalkan kurikulum rcsmi maka waktu yang efektif
untuk belajar sastra sangatlah terbatas. Apalagi selama ini
pelajaran sastra masih digabung dengan pelajaran bahasa secara umum.
Padahal, menurut Artawan, proses belajar sastra itu harus dilakukan secara kontinu karena
berkaitan dengan masalah nalar dan kepekaan. Kepekaan berbahasa, kepekaan
memahami masalah sosial, kepekaan dalam mengasah imajinasi, termasuk juga budi
pekerti, tak bisa diajarkan hanya dalam pertemuan yang sekali seminggu. Untuk
itu, seorang guru atau pihak sekolah harus memberikan ruang dan waktu lebih
banyak kepada pelajaran sastra di sekolah.
Misalnya, jika selama ini pelajaran sastra dilakukan di kelas sesuai batasan-batasan kurikulum, maka ruangnya bisa saja diperlebar tidak hanya dengan mengadakan ekstrakulikuler tetapi juga menyediakan les-les khusus sebagaimana dilakukan terhadap pelajaran komputer, bahasa Inggris, fisika dan sejenisnya
Misalnya, jika selama ini pelajaran sastra dilakukan di kelas sesuai batasan-batasan kurikulum, maka ruangnya bisa saja diperlebar tidak hanya dengan mengadakan ekstrakulikuler tetapi juga menyediakan les-les khusus sebagaimana dilakukan terhadap pelajaran komputer, bahasa Inggris, fisika dan sejenisnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar