"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/07/2012

RAGAM DAN PRINSIP TERJEMAHAN


Bagi penerjemah pemula proses menerjemahkan dikatakan lebih kompleks dari bentuk komunikasi intralingual. Dalam konteks komunikasi interlingual penerjemah sebagai perantara harus mampu mengungkapkan pesan (message) atau maksud (intent) dari naskah berbahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau sasaran dengan tepat (Hanafi, 1986:22). Menurut Lama (1980), kemungkinan ini disadari atau tidak berasal dari adanya perbedaan sistem kebahasaan untuk menandai objek, mengungkapkan perasaan, dan menyalurkan perasaan. Adapun ketidaksamaan itu dilandasi oleh adanya perbedaan kebudayaan dari dua bahasa yang bersangkutan.
         Hartono (2009:6), mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan sebuah aktivitas membaca apa yang dikehendaki dan dituju oleh penulis (berupa pesan yang dikemas dalam bentuk kata, frase, kalimat, dan keutuhan teks dan mengandung nuansa makna denotative maupun konotatif) dan mereproduksi keseluruhan pesan itu ke dalam bahasa yang dipahami oleh penerima pesan dalam sebuah siklus yang simultan.
Moelyono dalam Safrina (2001:27) menyatakan penerjemahan pada hakekatnya mengandung makna memproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber dengan padanan yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa sasaran, baik dari jurusan arti maupun dari jurusan langgam atau gaya.
Surtiati dalam Safrina (2001:28) menjelaskan bahwa menerjemahkan adalah memahami dan membuat paham orang lain. Syarat utama untuk dapat memahami kemudian menceritakannya kembali dalam bahasa sasaran. Dari situ dapat dilihat bahwa, melalui perubahan bentuk bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, maknalah yang harus dapat dipentingkan atau dipertahankan oleh penerjemah. 
         Selain itu Hanafi (1986:28), menyatakan bahwa terjemahan adalah penggantian atau pemindahan isi dan bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara sepadan dan sesuai dengan maknanya.Dalam kegiatan penerjemahan hendaknya bisa memindahkan isi yang merupakan pesan, sekaligus juga mempertahankan bentuknya yang berupa gaya pengungkapan ataupun gaya bahasanya. Isi yang erat kaitannya dengan bentuk dilandasi oleh fungsi terjemahan itu sendiri, bukan hanyak bisa dibuktikan bermanfaat bagi diri penerjemahnya saja, tetapi juga bagi pembacanya.
         Menerjemahkan merupakan seni (art) yang didukung kecintaan, kemauan, dan dedikasi. Sebagai suatu seni dalam menyampaikan pesan, baik makna dan gaya bahasanya, penerjemah hendaknya membekali diri dengan kemampuan estetis. Penggunaan kata-kata harus menunjukan kompetensi yang serba estetis. Selain itu, perbuatan menerjemahkan juga merupakan suatu keterampilan yang bisa dipelajari, ditingkatkan, dikembangkan, dan diajarkan. Kalau mereka yang berminat mau tekun dalam prakteknya, setelah dibekali pengetahuan teoretis sebagai pegangan dasar.
         Sebelum melakukan penerjemahaan, ada beberapa unsur dan unit terjemahan yang perlu diketahui. Kedua hal ini akan sangat membantu penerjemah terutama dalam hal pencapaian kualitas terjemahan.
a.   Unsur Terjemahan
         Menurut Priyono (1983), ada empat unsur yang terlibat dalam proses terjemahan antara lain : isi, pembaca, situasi dan kondisi saat terjemahan dibuat, dan situasi dan kondisi saat terjemahan diterima.
(1) Isi terjemahan itu bermacam-macam, bisa berbentuk buku teks, novel, cerpen, puisi, naskah drama, jurnal, makalah, dan sebagainya. Perbedaan isi ini membaca implikasi dalam penggunaan bentuk dan gaya yang unik dank has.
(2) Pembaca juga berbeda-beda, bisa digolongkan dalam beberapa kelompok, ditinjau dari tujuan terjemahan atau tergantung kepada siapa terjemahan itu ditujukan.
(3) Situasi dan kondisi saat terjemahan dibuat. Keadaan ini juga mempengaruhi produk terjemahan. Seorang penerjemah yang menerjemahkan suatu naskah tanpa terikat oleh waktu akan berbeda hasilnya dengan penerjemahan karena pesanan.
(4) Situasi dan kondisi saat terjemahan diterima. Produk terjemahan seperti misalnya puisi kalau dibaca dirumah dengan tenang hasilnya akan lain dengan puisi yang akan dipentaskan. Ini karena suasana hati pembaca yang berbeda.

b.   Unit Terjemahan
         Pembagian unit terjemahan semula terangkat dari asumsi yang mengatakan bahwa apa yang sebenarnya diterjemahkan bukanlah bahasanya, melainkan isinya. Namun itu bukan masalah karena baik isi dan bahasanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Dari asumsi itu, maka lahirlah bentuk pembagian seperti kata, istilah, idiom, frase, kalimat dan pribahasa. Tujuan pembagian atau pemilahan naskah yang akan diterjemahkan menjadi kesatuan yang kecil adalah untuk membandingkan atau menelaah ketepatan terjemahan pada naskah itu.   Membandingkan yang dimaksud disini,  apabila naskah itu telah diterjemahkan, kemudian bermaksud menemukan tepat tidaknya hasil itu, maka harus membuat bandingannya dengan terjemahan yang dibuat secara bagian demi bagian.
           A.  Ragam dan Cara Menerjemahkan
         Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah hendaknya dibekali pengetahuan tentang ragam terjemahan dan cara menerjemahkan. Sehingga hasil (produk) terjemahan dapat memuaskan pembaca. Terjemahan itu banyak ragam dan namanya. Semua itu tergantung dari sudut mana menyoroti naskah yang dijadikan sasaran. Perlu diketahui setiap ragam terjemahan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
         Menurut Hanafi (1986:54-58), ragam terjemahan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kata demi kata, terikat atau harfiah, dan bebas.
1.   Terjemahan kata demi kata
         Ragam terjemahan kata demi kata ini merupakan ragam yang paling sederhana. Terjemahan ini dilakukan sebagaimana adanya, sesuai dengan namanya yaitu dititikberatkan pada kata demi kata. Penerjemahan ini sangat terikat pada tataran kata, sehingga susunan kata sangat dipertahankan. Dalam melakukan tugasnya, penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran (Hartono,2009:17). 
Kelebihan dari terjemahan kata demi kata ini antara lain :
a. Bahasa aslinya tetap mendapat perhatian karena raga ini berfungsi    mempertahankan kemurnian produk terjemahan sesuai naskah aslinya.
b.  Cocok untuk hal-hal tertentu saja, seperti naskah sakral (suci), dan tepat untuk naskah yang pendek, demi menghemat tenaga dan waktu.
Kelemahan dari terjemahan ini yaitu :
a.  Makna yang dilihat dari konteknya sering tidak tepat, lebih menonjol per suku  kata, terutama bila naskah yang kalimatnya cukup panjang dan kompleks.
b. Jika struktur kalimatnya sesuai dengan hasil terjemahan maka terjemahan ini dapat disebut terjemahan harfiah. Sehingga batas pembeda diantara keduanya nyaris tidak jelas karena adanya bagian-bagian yang tumpang tindih.
Contoh:
“Tuanku Raden Banterang, sejak tadi pagi hamba mencari tuanku. Tadi pagi hamba mendengar percakapan permaisuri tuanku dengan kakak ipar tuanku tentang rencana meraka untuk menuntut balas kematian ayahnya.”

Terjemahan:
“Ratu dewagung Raden Banterang, saking inuni semeng titiang ngrereh cokor idewa. Inuni semeng titiang miragi bebaosan rabin idewa sareng ipen cokor idewa indik pangrencanan ida pacang ngwales sedan ajinnyane.”         

2.   Terjemahan Harfiah
         Prioritas utama dalam terjemahan harfiah adalah pada bentuk dan struktur kalimat yang digunakan penulisnya. Seorang penerjemah hendaknya sadar kalau dirinya bukanlah penulis naskah asli, dan naskah itu bukanlah miliknya. Penerjemah berkewajiban menjembatani pikiran penulis asli dengan masyarakat pembaca yang tidak mengerti bahasa yang dipergunakan penulis asli sesuai dengan maksud yang terkandung dalam naskah bahasa aslinya. Dalam proses penerjemahannya, penerjemah mencari konstruksi gramatikal bahasa sumber yang sepadan atau dekat dengan bahasa sasaran. Penerjemahan harfiah terlepas dari konteks(Hartono,2009:19).
Kelebihan dari terjemahan ini adalah :
a. Baik dari segi bentuk maupun struktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Karena itu tugas penggarap naskah bukan saja sebagai penerjemah tetapi juga berlaku sebagai transformer.
b. Gaya penulisan penerjemahan lebih sesuai dan tepat seperti aslinya.

Adapun kelemahannya yaitu :
a. Karena penekanan jatuh pada bentuk dan strukturnya, maka makna menjadi terabaikan jika dilihat konteks kalimatnya.
b. Terjemahan yang terlalu dogmatis pada bentuk menghasilkan produk yang kurang luwes dibaca, penuh kekakuan dan terkesan dipaksakan.
Contoh:
“Pada suatu hari, Raden Banterang berburu binatang dengan disertai beberapa pengiringnya. Dalam perburuan tersebut Raden Banterang terpisah dengan pengiringnya. Ia berjalan seorang diri dan sampailah di sebuah sungai.”

Terjemahan:
“Sedek dina anu,Raden Banterang lunga maboros sane kairing antuk panjakida. Ri sajeroning maboros punika Raden Banterang mapasahang sareng panjakida. Ida mamargi praragan raris rauh ring sisin tukade.”

3.   Terjemahan Bebas
         Ragam terjemahan bebas ini, berarti penerjemah dalam menerjemahkan suatu naskah lebih mengutamakan isi, tidak terlalu terikat oleh bentuk dan struktur kalimat pada naskah berbahasa sumber. Penerjemah bisa melakukan modifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti oleh pembacanya. Menurut Hartono (2009,23), penerjemahan ini berbentuk parafrase yang lebih panjang daripada bentuk aslinya. Terjemahannya bersifat bertele-tele dan panjang lebar, bahkan hasil terjemahannya tampak seperti bukan terjemahan.
Kelebihan dari terjemahan bebas dapat dilihat dari segi :
a. Makna mendapat kedudukan yang sangat penting, karena makna merupakan sasaran pokok dalam memahami maksud penulis yang terkandung dalam isi naskah.
b. Kreativitas dalam mengungkap sesuatu, serta penerjemah dapat mengembangkan kemampuaannya semaksimal mungkin.
Adapun kelemahan dari terjemahan ini yaitu :
a. Produk terjemahan tidak atau bernilai kalua terjemahan yang dilakukan terlalu bebas, sehingga mengakibatkan penyimpangan makna terlalu jauh.
b. Gaya penulisan penulis asli akan terabaikan dan tersalin ke dalam gaya ciptaan penerjemah.
Contoh:
“Jawab Surati: maaf kakanda, adinda telah berhutamg budi kepadanya. Dia telah menyelamatkan adinda dari penderitaan. Maaf sekali lagi. Adinda tidak dapat mengabulkan permintaan kakanda. Si kakak kandung nampak kecewa atas jawaban Dewi Surati.”
Terjemahan:
“Surati nyawis: ampurayang tiang beli, tiang sampun kambil rabi olih Raden Banterang. Ida sampun nyalametang tiang saking kasengsaran. Malih pisan ampurayang tiang. Tiang tan sida nagingin pikayun beli. Rakan ida marasa keciwa pisan ring atur Surati asapunika.”

         Jika ingin menerjemahkan, penerjemah akan dihadapkan pada masalah bagaimana cara menerjemahkan yang baik. Untuk dapat menghasilkan produk terjemahan yang baik, penerjemah harus membaca naskah asli berulang kali, agar betul-betul bisa memahami apa yang tersirat pada naskah tersebut. Memahami tujuan yang terkandung dalam naskah asli, apakah penulis asli hanya bermaksud menyampaikan informasi, mempengaruhi, berpropaganda dan sebagainya. Serta apa saja yang dipergunakan untuk menyatakan maksudnya tersebut, apakah menggunakan banyak kombinasi acuan (referensi), diagram, atau statistik. Jadi seorang penerjemah paling tidak harus mengetahui cara yang digunakan penulis asli untuk menyampaikan maksudnya.
         Selain itu, Salihen (2006:31-83) menyatakan bahwa jenis-jenis terjemahan menurut ciri-ciri dan fungsi masing-masingdapat dibedakan menjadi:
a.    Terjemahan Menurut Ragam Bahasa
Teori umum terjemahan melahirkan bagian-bagian yang khusus yang masing-masing mempunyai spesifikasi ragam bahasa yang satu maupun yang lain. Jenis terjemahan menurut ragam bahasa terdiri dari beberapa ragam yaitu: sastra, jurnalistik, surat kabar, ilmiah, dan dokumen resmi.
b.   Terjemahan Menurut Bentuk Teks
Jenis terjemahan menurut bentuk teks ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: terjemahan lisan dan terjemahan tertulis. Kedua ini merupakan terjemahan semua ragam bahasa. Terjemahan lisan dapat dibagi lagi menjadi terjemahan lisan konsekutif (disampaikan berurutan perkalimat), dan terjemahan lisan simultan.
c.    Terjemahan Menurut Hirarki Bahasa
Secara umum diketahui bahwa terjemahan sebagai proses penggantian teks dalam satu bahasa ke bahasa lain tanpa mengubah tingkat isi teks asli. Perlu dipahami, tugas penerjemah dalam melakukan pengalihbahasaan adalah mencari dalam teks bahasa sumber satuan-satuan minimal yang layak diterjemahkan. Misalnya dari satuan terkecil yaitu morfem, tingkat kata, rangkaian kata-kata, tingkat kalimat, bahkan tingkat teks.
d.   Terjemahan Menurut Tingkat Isi
Terjemahan menurut tingkat isi yaitu cara menyampaikan isi teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran demi tercapainya hasil terjemahan yang memadai, yang adekuat. Terjemahan yang adekuat yaitu terjemahan yang dilakukan pada tingkat yang diperlukan, yang cukup tepat menyampaikan isi bahasa sumber dengan mematuhi norma-norma bahasa sasaran.   
Menurut Bathgate dalam buku Seni Menerjemahkan (1989:15) mengemukakan tujuh unsur, langkah, atau bagian integral dari proses penerjemahan sebagai berikut.
a.    Penjajagan, yaitu menjajagi bahan yang akan kita terjemahkan. Sebab bahasa terjemahan harus selaras dengan bahasa yang diterjemahkan dalam hal makna dan gaya bahasanya, maka terlebih dahulu harus tahu bahan yang hendak diterjemahkan bahasa siapa,  apakah bahasa seorang pujangga, novelis, dan sebagainya.
b.   Penguraian, tiap-tiap kalimat dalam bahasa sumber harus di urai ke dalam satuan-satuan berupa kata-kata atau frase-frase. Kemudian penerjemah harus dapat menentukan hubungan sintaksis antara berbagai unsur kalimat itu.
c.    Pemahaman, setelah melihat satuan-satuan dalam setiap kalimat atau unsur-unsur dalam bagian teks, kemudian penerjemah berusaha memahami isi bahan yang akan diterjemahkan.
d.   Peristilahan, setelah pemahaman isi dan bentuk dalam bahasa sumber, penerjemah kemudian berpikir tentang pengungkapannya dalam bahasa sasaran. Terutama akan mencari istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dalam bahasa sasaran yang tepat, cermat, dan selaras.
e.    Perakitan, setelah masalah bahasa sasaran diatasi dan bahan-bahan yang diperlukan sudah terkumpul maka tinggal menyusunnya yang harus selaras dengan pemakai bahasa sasaran, serta dapat menerjemahkan dengan tepat makna dan gaya bahasanya.
f.    Pengecekan, janganlah menganggap pekerjaan penerjemahan selesai bila baru menghasilkan produk pertama. Produk pertama harus diperiksa kesalahan-kesalahannya dalam penulisan kata dan pemakaian tanda  baca, harus diperbaiki susunan-susunan kalimatnya untuk menghasilkan kalimat yang lebih efektif.
g.   Pembicaraan, cara yang baik untuk mengakhiri proses penerjemahan adalah penerjemah mendiskusikan hasil terjemahannya, baik menyangkut isinya maupun bahasanya.    
         Itulah beberapa cara atau langkah dalam menerjemahkan sebuah naskah, yang mana cara-cara ini harus diikuti oleh penerjemah, jika cara-cara ini diabaikan maka produk terjemahan akan sulit bisa diterima pembacanya.
          Prioritas utama dalam terjemahan  adalah makna, baru kemudian gaya (style). Disini makna yang dituntut bukanlah sekedar makna yang bisa diambil begitu saja dari kamus, tetapi ia harus merupakan hasil pilihan yang tepat, sepadan dengan konteks.
          Kehadiran padanan dalam suatu terjemahan sangatlah penting. Padanan merupakan kriteria yang mendasar bagi suatu terjemahan. Akan tetapi kita sering terkecoh dan kurang paham mengartikan padanan. Padanan bukanlah sinonim secara utuh. Kata sepadan itu bukan berarti identik karena responsinya tidak sama. Ini disebabkan karena adanya perbedaan budaya, sejarah dan situasinya. Sulit untuk kita pungkiri, bahwa terjemahan hendaknya melahirkan response yang sepadan.
            Seorang  penerjemah selain mengomunikasikan ketepatan makna dari suatu naskah, sebaiknya  juga bisa memberikan kesan akan rasa bahasa kepada  pembacanya. Rasa  bahasa hanya  akan terdapat lewat  pengungkapan  gaya yang dipergunakan penulisnya. Gaya  merupakan sifat  khas yang  paling  penting dalam tiap penulisan. Gaya merupakan  hasil dari kepribadian penulis itu. Apa yang  dianggap benar  penulisnya  berarti  benar  pula bagi penerjemahnya, sebab  seorang penerjemah merupakan  pelanjut  dari penulis.
         Menurut  Antara (1981)  dalam bukunya Teori Sastra  menyatakan, fungsi dan tujuan pemakaian  bahasa yang berseni itu ialah untuk memberikan suatu  lukisan atau uraian yang mem buat  para pendengarnya atau  pembacanya  menjadi tertarik. Dengan demikian, kesan yang timbul  setelah membaca  hasil karya  sastra  tersebut ialah  pemahama yang penuh keharuan atau kejelasan. Cara seperti ini  disebut orang dengan istilah plastic bahasa atau secara umum  gaya bahasa.
        
2  Prinsip-prinsip Terjemahan
         Etienne Dolet (1509-1546) adalah bapak teori terjemahan yang merupakan orang pertama memeperkenalkan teori-teori terjemahan yang dapat membantu penerjemah dalam usaha untuk menghasilkan teks terjemahan yang dapat mengungkapkan warta atau maklumat yang ingin disampaikan oleh penulis. Walau bagaimanapun, hal ini akan dapat membantu penerjemah untukmemilih serta memadankan kaedah serta prinsip yang bersesuaian dalam kerja-kerja penerjemahan. Adapun prinsip-prinsip terjemahan yang dimaksud adalah:
a)   Penerjemah harus benar-benar memahami isi dan hasrat penulis teks asal.
b)   Penerjemah harus menguasai bahasa sumber dan bahasa penerima terjemahan dengan baik.
c)   Penerjemah tidak boleh menerjemahkan perkataan demi perkataan.
d)   Penerjemah hendaklah menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang biasa digunakan dalam bahasa penerima.
e)   Penerjemah harus mencipta semula kesan keseluruhan teks sumber yang betul melalui pemilihan dan susunan perkataan yang dibuatnya.

KASUSASTRAAN BALI


Kesusastraan Bali inggih punika saluiring karya sastra sane nyaritayang paindikan pasimakrama ( masyarakat ) ring Bali sane katuturang nganggen basa. Kasusastraan Bali kapalih dados kalih inggih punika: Kasusastraan Bali Purwa lan Kasusastraan Bali Anyar
1. Kesusastraan Bali Purwa Kasusastraan Bali purwa inggih punika saluiring karya sastra sane nyaritayang paindikan pasimakrama ring Bali sane durung keni pangaruh asing sane katuturang ngangge basa. Kasusastraan Bali purwa puniki kapalih malih dados kalih, inggih punika : Kasusatraan Gantian ( lisan ) à satua, cacimpedan, wawangsalan, miwah sane lianan (msl). Kasusastraan Sasuratan ( tulis ) à weda, babad, wariga, msl.
Wenten taler sane mamalih wangun kasusastraan Bali purwa dados kalih : Kasusastraan gancaran ( bebas ) à satua, cacimpedan, msl. Kasusastraan tembang ( terikat ) à kidung, kakawin, msl. Kasusastraan Bali kapalih malih dados : Kasusastraan struktural , inggih punika karya-karya sastra Bali sane nganggen basa Bali kemanten. Kasusastraan fungsional , inggih punika karya sastra sane kasurat nganggen basa Jawa kuna. Sastra purwa ketahnyane kapalih dados kalih soroh, inggih punika gancaran ( prosa ) dan tembang ( puisi ).
Kasusastraan tulis ring Bali minab sampun wenten tur nglimbak duk pamadegan Raja Waturenggong ring XVI. Ring pamadegan Dalem Gelgel puniki kawentenang pengawi- pengawi Bali wastannyane nglimbak kantos mangkin, inggih punika Dang Hyang Nirartha taler Ki Dauh Bale Agung. Dang Hyang Nirartha ngawentenang karya-karya sane nglimbak kantos mangkin, sakadi Kidung Sebun Bangkung, Sara Kusuma, Ewer, Mahisa Megat Kung, Dharma Sunia Keling, miwah sane lianan. Ki Dauh Bale Agung taler ngawentenang karya sastra, sakadi : Rereng Canggu, Wilet, Wukir Padelegan, Segaragunung, Jagul Tua, miwah sane lianan. Wenten makeh pisan pangawi taler karyannyane ring kasusastraan Bali purwa puniki sane kalestariang kantos mangkin. Kasusastraan Bali purwa puniki kapalih dados kalih inggih punika gancaran lan tembang.
 Gancaran ( prosa ) Wenten makeh soroh gancaran ring kasusastraan Bali purwa sakadi ring sor puniki : Satua, conto : satua Pan Belog, Pan Balang Tamak, I Siap Badeng. Babad, conto : babad Dalem, Blahbatuh, msl. Mitos , conto : Dewi Sri, Dalem Belingkah, msl. Legenda, conto : Pura Pulaki, Tirta Empul, msl. Prasasti , conto : prasasti Bebetin, Belanjong, msl. Epos , conto : Mahabharata, msl. Tantri, conto : Ni Diah Tantri, msl. Pralambang (Basita Paribasa), kapalih dados : Sesonggan, conto : abias pasih, suksmanipun nenten keni antuk ngwilangin katahipun. Sesenggakan, conto : buka batun buluane nglintik tuah abesik, suksmanipun kaucapang sakadi anake sane nenten madue nyama wiadin timpal, wantah ipun padidiana. Wewangsalan, conto : asep menyan majegau, nakep lengar aji kau. Kd.Apriliana Mandasari, s.s
 Peparikan, conto : be curik mabasa manis, bungkung pendok sedeng di tujuh, bajang cerik kenyungne manis, selat tembok makita nyujuh. Sloka, conto : buka slokane apa ane pamula, keto ane kapupu; suksmanipun napi same kakaryanin, sapunika teler pikolihipun; yening malaksana kaon, sinah kaon sane oacang kapanggih. Bladbadan, conto : mabuah jaka; beluluk; nguluk-nguluk. Sesawangan, conto : buka bulanne kalemahan, suksmanipun; kembang lemlem. Papindan, conto : boke malayah alu, tegesipun boke mirib layah alu masepak, muncukipun. Cacimpedan, conto : apake anak cerik matapel ? (blauk) Cecangkriman, conto : bapa pucung, indeng-indeng di alas agung, panake koryak-koryak, di kayune ya padingkrik, basang pelung, tendase majajambulan.
 Cecangkitan, conto : tiang suba lepas uli sekolah, tegesipun ipun ngalepasin sekolah (nenten masekolah). Raos ngempelin, conto : I puan ia teka ugane ibi ia ilang. Teges ipun : I. ugane = dugase, II. Ugane = ugan sampi. Sasimbing, conto : semunne nyukcuk langit, suksmanipun : kaucapang ring anake sombong. Sasemon, conto : sane mawangun gancaran : Apa perlune ngangasin nyuh pungul ? Ngencanin (meretenin) barang sane ta paguna. Sesapan, conto : anak nguduh : Kaki-kaki, I dadong jumah? Jumah. Anak Ngengken ? Anak gelem. Gelem kenken? Gelem nged nged nged 2. Tembang ( puisi ) Soroh tembang kapalih dados kalih, inggih punika: Gending - gending rare, conto : Made Cenik, Meong-meong, msl. - gending janger, conto : Don Dapdape, Putri Ayu, msl. - gending sanghyang, conto : Kukus Arum, Suaran Kumbang, msl.
 2. Kesusastraan Bali Anyar Kesusastraan Bali anyar inggih punika karya-karya sastra Bali sane nyaritayang indik parikrama ring Bali sane sampun keni iusan saking kebudayaan sane lianan. Kasusastraan Bali anyar puniki wenten rauh warsa 1910 sane kacihnain antuk karya-karya sane marupa cerpen. Tahun puniki taler makacihna “tonggak lahirnya sastra Bali anyar ( modern ) sane kakawitin antuk karya cerpen I Wayan Djiwa sane majudul “Peroempamaan, Beberapa Tjerita dalam Bahasa Bali ”. Kar I Wayan I Djiwa puniki taler kasarengin olih pengawi-pengawi sane lianan sane ngaryanin boya ja cerpen kemanten, nanging wenten taler karya-karya sane mawangun novel miwah drama. Kasusastraan Bali anyar puniki nglimbak tur kalastariang kantos mangkin.
 Kesusastraan Bali anyar puniki kapalih dados : 1. Gancaran ( prosa ) Cerpen, conto : Gamia Gamana, Kulkul Bulus, msl. Novel, conto : Gita Ning Nusa Alit, Sembalun Rinjani, msl. Drama, conto : Gusti Ayu Klatir, Masan Cengkehen Nedeng Mabunga. 2. Tembang ( puisi ) Soroh tembang ring kasusastraan Bali anyar puniki nenten kaiket antuk guru laghu, padalingsa, miwah sane lianan sakadi sane ngiket tembang ring kasusastraan Bali purwa. Conto : Idup lan Mati, Sasih Karo ring Bali, Margarana, msl.

11/05/2012

Teori Sastra Feminis



Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah  pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan  pada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat  yang terpinggirkan, masyarakat marjinal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang  berhubungan dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang banyak  memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar  dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah  kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Teori feminis muncul seiring  dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya  memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor  menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan /  kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka  inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses  pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa  jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka  masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta  pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).  Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai  persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini  berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya  konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme  mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang  mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat  terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa.  Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok  yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme  menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan  filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 : 186). Betty  Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan :  sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan  ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peranperan  yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang  lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di  dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49). Teori feminisme  memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki.  Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai  hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculinefeminine merupakan aspek  perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184).  Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender  mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau  sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal  (Tong, 1998 : 71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat
patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia  kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985 :  137). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan  kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202). Masyarakat patriarkal menggunakan  fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk  membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang  diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan  perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa  konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang  tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender.  Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.  Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan  perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan  persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa  ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif)  (Tong, 1998 : 72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam  akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan  subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan  perempuan untuk menginternalisasi Diri terhadap laki-laki. Jadi dapat disimpulkan  bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-nilai kutural dan bukan oleh  hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme berjuang agar nilai-nilai  kultural yang menempatkan perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok “yang  lain”, yang termajinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis  antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori  feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan  tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan  perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain  tuntutan emansipasi. Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik,  sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis.  Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu  masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan  tertentu serta melihat bagaimana  nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam  tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi  ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba cerdas  kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan  manusia dari masyarakat iirasional.

8/05/2012

UYUT ULIAN BE LUNGSURAN

Adaaah bli?] knapa man jeg adah-adah semengan mara bangun] ing tawaang bli too bee siape telaah ne kalungsur ibi] beeh man yan suba lungsuran baang be telah sing kenken daaar jak liyu] sing je keto bli] men kenken? luuh mrasa kuang ken be?] nah masalah be tiang sing ja kuang ne cang kedaar nyanan sing ada bli] keto sing kenken uyah bawang uyegaang man]
masalah nguyegag uyah bawang bli da ba sumania ken tiang] nah men keto man jni nu nyidayang masandekan bedik mesara ja mani lunsur aturanne ne linan] naah too ba bli lungsuran siape makejang auba amah meng tungkul bli ngadangin cekian dijaba pura ne linan masih sing rungu] ketoo,,,, men man ija tuni?] bli sing cara nawang keponakan bline nagih kamel jam dasa petengne tiang dimel bakat nyempang bli] beeh saja ba man sing rungu ken be, betawang ada lungsuran sing aba kamal tooh,,,,,, ] uyuut ba bli kaden man dini nyak luwuung masarene] ,,,,,, bersambung,,,,