Sumbangan terpenting
postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah
pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian
diarahkan pada kompetensi masyarakat
tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat yang terpinggirkan, masyarakat marjinal.
Teori sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan
dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi
kultural. Sastra feminis berakar dari
pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan
laki-laki. Teori feminis muncul seiring dengan
bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan
bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan / kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap
individu mengejar apa yang mereka inginkan,
selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin
bahwa jika masyarakat ingin mencapai
kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka
masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan,
serta pendidikan yang sama dengan yang
dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).
Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki
dalam semua bidang. Teori ini berkembang
sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama,
karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba
untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem
hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa
harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan
pertentangan antara kelompok yang lemah
dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat
masyarakat patriarki, menolak sejarah dan
filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 :
186). Betty Friedan menyatakan menentang
diskriminasi seks di segala bidang kehidupan :
sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal,
Friedan ingin membebaskan perempuan dari
peran gender yang opresif, yaitu peranperan
yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang lebih rendah, atau tidak memberikan
tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di
dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49). Teori
feminisme memperlihatkan dua perbedaan
mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki.
Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis
sebagai hakikat alamiah, kodrati.
Sedangkan ungkapan masculinefeminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna,
2004 : 184). Kaum feminis
radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi,
melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah
keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal (Tong, 1998 : 71). Simon de Beauvoir
menyatakan bahwa dalam masyarakat
patriarkal, perempuan ditempatkan
sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia
kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden,
1985 : 137). Kedudukan sebagai Liyan
mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta
tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku
maskulin dan feminin yang diberlakukan
untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal
menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi
budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk
menunjukkan identitas dan perilaku gender.
Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis
seseorang. Masyarakat patriarkal
menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang,
penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan,
ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana,
bertanggung jawab, orisinil, kompetitif)
(Tong, 1998 : 72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal
dalam akademi, insitusi keagamaan, dan
keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi
perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi Diri
terhadap laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh
nilai-nilai kutural dan bukan oleh hakiaktnya,
oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai
Liyan, sebagai kelompok “yang lain”,
yang termajinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan
perempuan dari segi teori feminis akan
melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis
feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan
dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi. Feminisme selain
merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial,
dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai
budaya yang dianut suatu masyarakat,
suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan
antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan
psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan
yang mencoba cerdas kritis dalam
menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”.
Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan manusia dari masyarakat iirasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar