"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/05/2012

Teori Sastra Feminis



Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah  pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan  pada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat  yang terpinggirkan, masyarakat marjinal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang  berhubungan dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang banyak  memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar  dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah  kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Teori feminis muncul seiring  dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya  memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor  menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan /  kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka  inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses  pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa  jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka  masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta  pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).  Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai  persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini  berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya  konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme  mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang  mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat  terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa.  Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok  yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme  menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan  filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 : 186). Betty  Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan :  sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan  ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peranperan  yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang  lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di  dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49). Teori feminisme  memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki.  Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai  hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculinefeminine merupakan aspek  perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184).  Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender  mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau  sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal  (Tong, 1998 : 71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat
patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia  kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985 :  137). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan  kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202). Masyarakat patriarkal menggunakan  fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk  membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang  diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan  perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa  konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang  tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender.  Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.  Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan  perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan  persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa  ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif)  (Tong, 1998 : 72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam  akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan  subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan  perempuan untuk menginternalisasi Diri terhadap laki-laki. Jadi dapat disimpulkan  bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-nilai kutural dan bukan oleh  hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme berjuang agar nilai-nilai  kultural yang menempatkan perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok “yang  lain”, yang termajinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis  antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori  feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan  tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan  perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain  tuntutan emansipasi. Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik,  sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis.  Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu  masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan  tertentu serta melihat bagaimana  nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam  tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi  ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba cerdas  kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan  manusia dari masyarakat iirasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar