Pengertian
Terjemahan
Bagi penerjemah pemula
proses menerjemahkan dikatakan lebih kompleks dari bentuk komunikasi
intralingual. Dalam konteks komunikasi interlingual penerjemah sebagai
perantara harus mampu mengungkapkan pesan (message)
atau maksud (intent) dari naskah
berbahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau sasaran dengan tepat (Hanafi,
1986:22). Menurut Lama (1980), kemungkinan ini disadari atau tidak berasal dari
adanya perbedaan sistem kebahasaan untuk menandai objek, mengungkapkan
perasaan, dan menyalurkan perasaan. Adapun ketidaksamaan itu dilandasi oleh
adanya perbedaan kebudayaan dari dua bahasa yang bersangkutan.
Hartono (2009:6), mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan
sebuah aktivitas membaca apa yang dikehendaki dan dituju oleh penulis (berupa
pesan yang dikemas dalam bentuk kata, frase, kalimat, dan keutuhan teks dan
mengandung nuansa makna denotative maupun konotatif) dan mereproduksi
keseluruhan pesan itu ke dalam bahasa yang dipahami oleh penerima pesan dalam
sebuah siklus yang simultan.
Moelyono dalam Safrina (2001:27) menyatakan penerjemahan
pada hakekatnya mengandung makna memproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa
sumber dengan padanan yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa
sasaran, baik dari jurusan arti maupun dari jurusan langgam atau gaya.
Surtiati dalam Safrina (2001:28) menjelaskan bahwa
menerjemahkan adalah memahami dan membuat paham orang lain. Syarat utama untuk
dapat memahami kemudian menceritakannya kembali dalam bahasa sasaran. Dari situ
dapat dilihat bahwa, melalui perubahan bentuk bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran, maknalah yang harus dapat dipentingkan atau dipertahankan oleh
penerjemah.
Selain itu Hanafi (1986:28), menyatakan bahwa terjemahan
adalah penggantian atau pemindahan isi dan bahasa dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran secara sepadan dan sesuai dengan maknanya.Dalam kegiatan penerjemahan
hendaknya bisa memindahkan isi yang merupakan pesan, sekaligus juga
mempertahankan bentuknya yang berupa gaya pengungkapan ataupun gaya bahasanya.
Isi yang erat kaitannya dengan bentuk dilandasi oleh fungsi terjemahan itu
sendiri, bukan hanyak bisa dibuktikan bermanfaat bagi diri penerjemahnya saja,
tetapi juga bagi pembacanya.
Menerjemahkan merupakan seni (art) yang didukung kecintaan, kemauan, dan dedikasi. Sebagai suatu
seni dalam menyampaikan pesan, baik makna dan gaya bahasanya, penerjemah
hendaknya membekali diri dengan kemampuan estetis. Penggunaan kata-kata harus
menunjukan kompetensi yang serba estetis. Selain itu, perbuatan menerjemahkan
juga merupakan suatu keterampilan yang bisa dipelajari, ditingkatkan,
dikembangkan, dan diajarkan. Kalau mereka yang berminat mau tekun dalam
prakteknya, setelah dibekali pengetahuan teoretis sebagai pegangan dasar.
Sebelum melakukan penerjemahaan, ada beberapa unsur dan unit
terjemahan yang perlu diketahui. Kedua hal ini akan sangat membantu penerjemah
terutama dalam hal pencapaian kualitas terjemahan.
a. Unsur Terjemahan
Menurut Priyono (1983), ada empat unsur yang terlibat dalam
proses terjemahan antara lain : isi, pembaca, situasi dan kondisi saat
terjemahan dibuat, dan situasi dan kondisi saat terjemahan diterima.
(1) Isi
terjemahan itu bermacam-macam, bisa berbentuk buku teks, novel, cerpen, puisi,
naskah drama, jurnal, makalah, dan sebagainya. Perbedaan isi ini membaca
implikasi dalam penggunaan bentuk dan gaya yang unik dank has.
(2) Pembaca
juga berbeda-beda, bisa digolongkan dalam beberapa kelompok, ditinjau dari
tujuan terjemahan atau tergantung kepada siapa terjemahan itu ditujukan.
(3) Situasi
dan kondisi saat terjemahan dibuat. Keadaan ini juga mempengaruhi produk
terjemahan. Seorang penerjemah yang menerjemahkan suatu naskah tanpa terikat
oleh waktu akan berbeda hasilnya dengan penerjemahan karena pesanan.
(4) Situasi
dan kondisi saat terjemahan diterima. Produk terjemahan seperti misalnya puisi
kalau dibaca dirumah dengan tenang hasilnya akan lain dengan puisi yang akan
dipentaskan. Ini karena suasana hati pembaca yang berbeda.
b. Unit
Terjemahan
Pembagian unit terjemahan semula terangkat dari asumsi yang
mengatakan bahwa apa yang sebenarnya diterjemahkan bukanlah bahasanya,
melainkan isinya. Namun itu bukan masalah karena baik isi dan bahasanya
merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Dari asumsi itu, maka lahirlah
bentuk pembagian seperti kata, istilah, idiom, frase, kalimat dan pribahasa. Tujuan
pembagian atau pemilahan naskah yang akan diterjemahkan menjadi kesatuan yang
kecil adalah untuk membandingkan atau menelaah ketepatan terjemahan pada naskah
itu. Membandingkan yang dimaksud disini, apabila naskah itu telah diterjemahkan,
kemudian bermaksud menemukan tepat tidaknya hasil itu, maka harus membuat
bandingannya dengan terjemahan yang dibuat secara bagian demi bagian.
Ragam
dan Cara Menerjemahkan
Sebelum menerjemahkan,
seorang penerjemah hendaknya dibekali pengetahuan tentang ragam terjemahan dan
cara menerjemahkan. Sehingga hasil (produk) terjemahan dapat memuaskan pembaca.
Terjemahan itu banyak ragam dan namanya. Semua itu tergantung dari sudut mana
menyoroti naskah yang dijadikan sasaran. Perlu diketahui setiap ragam
terjemahan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Menurut Hanafi (1986:54-58), ragam terjemahan dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu kata demi kata, terikat atau harfiah, dan bebas.
1. Terjemahan kata demi kata
Ragam terjemahan kata demi kata ini merupakan ragam yang
paling sederhana. Terjemahan ini dilakukan sebagaimana adanya, sesuai dengan
namanya yaitu dititikberatkan pada kata demi kata. Penerjemahan ini sangat
terikat pada tataran kata, sehingga susunan kata sangat dipertahankan. Dalam
melakukan tugasnya, penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber dalam
bahasa sasaran (Hartono,2009:17).
Kelebihan dari
terjemahan kata demi kata ini antara lain :
a. Bahasa aslinya tetap mendapat
perhatian karena raga ini berfungsi
mempertahankan kemurnian produk terjemahan sesuai naskah aslinya.
b. Cocok
untuk hal-hal tertentu saja, seperti naskah sakral (suci), dan tepat untuk
naskah yang pendek, demi menghemat tenaga dan waktu.
Kelemahan dari terjemahan ini yaitu
:
a. Makna yang
dilihat dari konteknya sering tidak tepat, lebih menonjol per suku kata, terutama bila naskah yang kalimatnya
cukup panjang dan kompleks.
b. Jika struktur kalimatnya sesuai dengan hasil
terjemahan maka terjemahan ini dapat disebut terjemahan harfiah. Sehingga batas
pembeda diantara keduanya nyaris tidak jelas karena adanya bagian-bagian yang
tumpang tindih.
Contoh:
“Tuanku
Raden Banterang, sejak tadi pagi hamba mencari tuanku. Tadi pagi hamba
mendengar percakapan permaisuri tuanku dengan kakak ipar tuanku tentang rencana
meraka untuk menuntut balas kematian ayahnya.”
Terjemahan:
“Ratu dewagung Raden Banterang,
saking inuni semeng titiang ngrereh cokor idewa. Inuni semeng titiang miragi
bebaosan rabin idewa sareng ipen cokor idewa indik pangrencanan ida pacang
ngwales sedan ajinnyane.”
2. Terjemahan Harfiah
Prioritas utama dalam terjemahan harfiah adalah pada bentuk
dan struktur kalimat yang digunakan penulisnya. Seorang penerjemah hendaknya
sadar kalau dirinya bukanlah penulis naskah asli, dan naskah itu bukanlah
miliknya. Penerjemah berkewajiban menjembatani pikiran penulis asli dengan
masyarakat pembaca yang tidak mengerti bahasa yang dipergunakan penulis asli
sesuai dengan maksud yang terkandung dalam naskah bahasa aslinya. Dalam proses
penerjemahannya, penerjemah mencari konstruksi gramatikal bahasa sumber yang
sepadan atau dekat dengan bahasa sasaran. Penerjemahan harfiah terlepas dari
konteks(Hartono,2009:19).
Kelebihan dari
terjemahan ini adalah :
a. Baik dari segi bentuk maupun
struktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Karena itu tugas penggarap
naskah bukan saja sebagai penerjemah tetapi juga berlaku sebagai transformer.
b. Gaya penulisan
penerjemahan lebih sesuai dan tepat seperti aslinya.
Adapun kelemahannya
yaitu :
a. Karena penekanan jatuh pada
bentuk dan strukturnya, maka makna menjadi terabaikan jika dilihat konteks
kalimatnya.
b. Terjemahan yang terlalu dogmatis
pada bentuk menghasilkan produk yang kurang luwes dibaca, penuh kekakuan dan
terkesan dipaksakan.
Contoh:
“Pada
suatu hari, Raden Banterang berburu binatang dengan disertai beberapa
pengiringnya. Dalam perburuan tersebut Raden Banterang terpisah dengan
pengiringnya. Ia berjalan seorang diri dan sampailah di sebuah sungai.”
Terjemahan:
“Sedek dina anu,Raden Banterang
lunga maboros sane kairing antuk panjakida. Ri sajeroning maboros punika
Raden Banterang mapasahang sareng panjakida. Ida mamargi praragan raris rauh
ring sisin tukade.”
3. Terjemahan Bebas
Ragam terjemahan bebas ini, berarti penerjemah dalam
menerjemahkan suatu naskah lebih mengutamakan isi, tidak terlalu terikat oleh
bentuk dan struktur kalimat pada naskah berbahasa sumber. Penerjemah bisa
melakukan modifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis
naskah mudah dimengerti oleh pembacanya. Menurut Hartono (2009,23), penerjemahan
ini berbentuk parafrase
yang lebih panjang daripada bentuk aslinya. Terjemahannya bersifat bertele-tele
dan panjang lebar, bahkan hasil
terjemahannya tampak seperti bukan terjemahan.
Kelebihan dari terjemahan bebas dapat dilihat dari
segi :
a. Makna mendapat kedudukan yang sangat
penting, karena makna merupakan sasaran pokok dalam memahami maksud penulis
yang terkandung dalam isi naskah.
b. Kreativitas dalam mengungkap sesuatu, serta
penerjemah dapat mengembangkan kemampuaannya semaksimal mungkin.
Adapun kelemahan dari
terjemahan ini yaitu :
a. Produk terjemahan tidak atau
bernilai kalua terjemahan yang dilakukan terlalu bebas, sehingga mengakibatkan
penyimpangan makna terlalu jauh.
b. Gaya penulisan penulis asli akan
terabaikan dan tersalin ke dalam gaya ciptaan penerjemah.
Contoh:
“Jawab
Surati: maaf kakanda, adinda telah berhutamg budi kepadanya. Dia telah
menyelamatkan adinda dari penderitaan. Maaf sekali lagi. Adinda tidak dapat
mengabulkan permintaan kakanda. Si kakak kandung nampak kecewa atas jawaban
Dewi Surati.”
Terjemahan:
“Surati nyawis: ampurayang tiang
beli, tiang sampun kambil rabi olih Raden Banterang. Ida sampun nyalametang
tiang saking kasengsaran. Malih pisan ampurayang tiang. Tiang tan sida nagingin
pikayun beli. Rakan ida marasa keciwa pisan ring atur Surati asapunika.”
Jika ingin menerjemahkan, penerjemah akan dihadapkan pada
masalah bagaimana cara menerjemahkan yang baik. Untuk dapat menghasilkan produk
terjemahan yang baik, penerjemah harus membaca naskah asli berulang kali, agar
betul-betul bisa memahami apa yang tersirat pada naskah tersebut. Memahami
tujuan yang terkandung dalam naskah asli, apakah penulis asli hanya bermaksud
menyampaikan informasi, mempengaruhi, berpropaganda dan sebagainya. Serta apa saja yang
dipergunakan untuk menyatakan maksudnya tersebut, apakah menggunakan banyak
kombinasi acuan (referensi), diagram, atau statistik. Jadi seorang penerjemah
paling tidak harus mengetahui cara yang digunakan penulis asli untuk
menyampaikan maksudnya.
Selain itu,
Salihen (2006:31-83) menyatakan bahwa jenis-jenis terjemahan menurut ciri-ciri
dan fungsi masing-masingdapat dibedakan menjadi:
a.
Terjemahan
Menurut Ragam Bahasa
Teori umum terjemahan melahirkan bagian-bagian yang
khusus yang masing-masing mempunyai spesifikasi ragam bahasa yang satu maupun
yang lain. Jenis terjemahan menurut ragam bahasa terdiri dari beberapa ragam
yaitu: sastra, jurnalistik, surat kabar, ilmiah, dan dokumen resmi.
b.
Terjemahan
Menurut Bentuk Teks
Jenis terjemahan menurut bentuk teks ini dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: terjemahan lisan dan terjemahan tertulis. Kedua ini
merupakan terjemahan semua ragam bahasa. Terjemahan lisan dapat dibagi lagi
menjadi terjemahan lisan konsekutif (disampaikan berurutan perkalimat), dan
terjemahan lisan simultan.
c.
Terjemahan
Menurut Hirarki Bahasa
Secara umum diketahui bahwa terjemahan sebagai proses
penggantian teks dalam satu bahasa ke bahasa lain tanpa mengubah tingkat isi
teks asli. Perlu dipahami, tugas penerjemah dalam melakukan pengalihbahasaan
adalah mencari dalam teks bahasa sumber satuan-satuan minimal yang layak
diterjemahkan. Misalnya dari satuan terkecil yaitu morfem, tingkat kata,
rangkaian kata-kata, tingkat kalimat, bahkan tingkat teks.
d.
Terjemahan
Menurut Tingkat Isi
Terjemahan menurut tingkat isi yaitu cara menyampaikan
isi teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran demi tercapainya hasil
terjemahan yang memadai, yang adekuat. Terjemahan yang adekuat yaitu terjemahan
yang dilakukan pada tingkat yang diperlukan, yang cukup tepat menyampaikan isi
bahasa sumber dengan mematuhi norma-norma bahasa sasaran.
Menurut
Bathgate dalam buku Seni
Menerjemahkan (1989:15) mengemukakan tujuh unsur, langkah, atau
bagian integral dari proses penerjemahan sebagai berikut.
a.
Penjajagan, yaitu menjajagi bahan yang
akan kita terjemahkan. Sebab bahasa terjemahan harus selaras dengan bahasa yang
diterjemahkan dalam hal makna dan gaya bahasanya, maka terlebih dahulu harus
tahu bahan yang hendak diterjemahkan bahasa siapa, apakah bahasa seorang pujangga, novelis, dan
sebagainya.
b.
Penguraian, tiap-tiap kalimat dalam
bahasa sumber harus di urai ke dalam satuan-satuan berupa kata-kata atau
frase-frase. Kemudian penerjemah harus dapat menentukan hubungan sintaksis
antara berbagai unsur kalimat itu.
c.
Pemahaman, setelah melihat satuan-satuan
dalam setiap kalimat atau unsur-unsur dalam bagian teks, kemudian penerjemah
berusaha memahami isi bahan yang akan diterjemahkan.
d.
Peristilahan, setelah pemahaman isi dan
bentuk dalam bahasa sumber, penerjemah kemudian berpikir tentang
pengungkapannya dalam bahasa sasaran. Terutama akan mencari istilah-istilah,
ungkapan-ungkapan dalam bahasa sasaran yang tepat, cermat, dan selaras.
e.
Perakitan, setelah masalah bahasa
sasaran diatasi dan bahan-bahan yang diperlukan sudah terkumpul maka tinggal
menyusunnya yang harus selaras dengan pemakai bahasa sasaran, serta dapat
menerjemahkan dengan tepat makna dan gaya bahasanya.
f.
Pengecekan, janganlah menganggap
pekerjaan penerjemahan selesai bila baru menghasilkan produk pertama. Produk
pertama harus diperiksa kesalahan-kesalahannya dalam penulisan kata dan
pemakaian tanda baca, harus diperbaiki
susunan-susunan kalimatnya untuk menghasilkan kalimat yang lebih efektif.
g.
Pembicaraan, cara yang baik untuk
mengakhiri proses penerjemahan adalah penerjemah mendiskusikan hasil
terjemahannya, baik menyangkut isinya maupun bahasanya.
Itulah beberapa cara atau langkah dalam menerjemahkan sebuah
naskah, yang mana cara-cara ini harus diikuti oleh penerjemah, jika cara-cara
ini diabaikan maka produk terjemahan akan sulit bisa diterima pembacanya.
Prioritas utama dalam terjemahan adalah makna, baru kemudian gaya (style). Disini makna yang dituntut
bukanlah sekedar makna yang bisa diambil begitu saja dari kamus, tetapi ia
harus merupakan hasil pilihan yang tepat, sepadan dengan konteks.
Kehadiran padanan
dalam suatu terjemahan sangatlah penting. Padanan merupakan kriteria yang
mendasar bagi suatu terjemahan. Akan tetapi kita sering terkecoh dan kurang
paham mengartikan padanan. Padanan bukanlah sinonim secara utuh. Kata sepadan
itu bukan berarti identik karena responsinya tidak sama. Ini disebabkan karena
adanya perbedaan budaya, sejarah dan situasinya. Sulit untuk kita pungkiri,
bahwa terjemahan hendaknya melahirkan response yang sepadan.
Seorang penerjemah selain mengomunikasikan ketepatan
makna dari suatu naskah, sebaiknya juga
bisa memberikan kesan akan rasa bahasa kepada
pembacanya. Rasa bahasa
hanya akan terdapat lewat pengungkapan
gaya yang dipergunakan penulisnya. Gaya
merupakan sifat khas yang paling
penting dalam tiap penulisan. Gaya merupakan hasil dari kepribadian penulis itu. Apa
yang dianggap benar penulisnya
berarti benar pula bagi penerjemahnya, sebab seorang penerjemah merupakan pelanjut
dari penulis.
Menurut Antara
(1981) dalam bukunya Teori Sastra menyatakan, fungsi dan tujuan pemakaian bahasa yang berseni itu ialah untuk
memberikan suatu lukisan atau uraian
yang mem buat para pendengarnya
atau pembacanya menjadi tertarik. Dengan demikian, kesan yang
timbul setelah membaca hasil karya
sastra tersebut ialah pemahama yang penuh keharuan atau kejelasan.
Cara seperti ini disebut orang dengan
istilah plastic bahasa atau secara umum
gaya bahasa.
Prinsip-prinsip Terjemahan
Etienne Dolet
(1509-1546) adalah bapak teori terjemahan yang merupakan orang pertama
memeperkenalkan teori-teori terjemahan yang dapat membantu penerjemah dalam
usaha untuk menghasilkan teks terjemahan yang dapat mengungkapkan warta atau
maklumat yang ingin disampaikan oleh penulis. Walau bagaimanapun, hal ini akan
dapat membantu penerjemah untukmemilih serta memadankan kaedah serta prinsip
yang bersesuaian dalam kerja-kerja penerjemahan. Adapun prinsip-prinsip
terjemahan yang dimaksud adalah:
a)
Penerjemah
harus benar-benar memahami isi dan hasrat penulis teks asal.
b)
Penerjemah
harus menguasai bahasa sumber dan bahasa penerima terjemahan dengan baik.
c)
Penerjemah
tidak boleh menerjemahkan perkataan demi perkataan.
d)
Penerjemah
hendaklah menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang biasa digunakan dalam bahasa
penerima.
e)
Penerjemah
harus mencipta semula kesan keseluruhan teks sumber yang betul melalui
pemilihan dan susunan perkataan yang dibuatnya.
|
Antara, I Gusti Putu. 1981. Teori Sastra. Fakultas Keguruan
Universitas Udayana Singaraja.
Arikunto, Suharsini. 1993. Prosedur
Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Diah Anggreni, Ni
Gusti Ayu. 2009. “Kemampun Menerjemahkan Wacana Berbahasa Indonesia ke Dalam
Bahasa Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 5 Denpasar Tahun Pelajaran 2009/2010”.
Denpasar: FPBS IKIP PGRI BALI.
Djajasudarma, T.Fatimah.1994. Wacana, Pemahaman dan Hubungan Antar Unsur.Bandung
: PT. Eresco.
Eriyanto,2001. Analisis Wacana.Yogyakarta: Lkis.
Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi
Research. Yogyakarta :
Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologis UGM.
Hanafi, Nurachman.1986. Teori
dan Seni Menerjemahkan. Nusa Tenggara Timur : Nusa Indah.
Hartono, Rudi.
2009. Teori Penerjemahan. Semarang:
CV Cipta Prima Nusantara Semarang.
Keraf, Gorys.1985. Argumentasi dan Narasi.
Jakarta : PT. Gramedia.
Lama, I Ketut. 1980. Rencana
Pengarahan Dalam Rangka Persiapan Penterjemahan Lontar Usada Bali. Singaraja.
Moeliona, Anton M,dkk. 1988. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Nasir.1983. Evaluasi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.
Netra, Ida Bagus. 1979. Metodelogi Penelitian. Singaraja :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Udayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar