"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

12/23/2012

Pengertian & Ciri-Ciri Cerpen



Mengingat cerpen merupakan bagian dari fiksi, tentu tidak semua bentuk fiksi dapat digolongkan kedalam cerpen. Persoalan itu muncul sehubungan dengan penanaman istilah cerpen atau cerita pendek yang tidak dapat hanya didasarkan atas panjang pendeknya cerita fiksi itu. Tetapi harus ada ukuran yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan sebuah bentuk fiksi termasuk cerpen atau bukan.
       Banyak para ahli yang sudah merumuskan apakah cerpen itu? Tetapi pada umumnya mereka berpendapat bahwa membuat rumusan yang sangat tepat, justru menyangkut persoalan panjang pendeknya suatu cerita. Tasrif (dalam Yudiono1981:19) yang menyatakan: ”Suatu cerita fiksi yang menggunakan jumlah kata yang berkisar antara 500 hingga 30.000 perkataan biasanya disebut dengan cerpen”.
            MenurutYudiono dalam Rampan (1995:10) cerpen adalah cerita yang bersumber pada suatu persoalan kehidupan, suatu nilai kehidupan yang menjadi tema cerita. Karena ada persoalan dan nilai kehidupan itu terjadilah serangkaian peristiwa, sementara Satyagraha Hoerip dalam Antara (1986:17), memaparkan “Cerpen adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian dari kejadian itu sendiri satu persatu dari apa yang terjadi di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan”.
            Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik suatu simpulan, di mana cerpen merupakan sebuah cerita rekaan berbentuk fiksi yang relatif pendek yang mengungkapkan tentang rentetan kejadian  dari salah satu sisi kehidupan manusia.

Ciri-Ciri Cerpen
            Banyak orang sudah mengenal cerpen  dan tema-tema yang diangkat dalam cerpen. Akan tetapi timbul pertanyaan beberapa ukuran panjang cerpen itu? Mengenai hal ini, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (1985:42) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai 2 jam. Panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short-short story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500 kata, ada cerpen yang panjangnya sedang (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story) yang terdiri atas puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata
           
            Menurut Tarigan ada beberapa ciri cerpen yaitu:
1.       Ciri-ciri utama cerpen adalah singkat, padu, intensif (brevity, unity, and intensity).
2.       Unsur-unsur utama cerpen adalah adegan, tokoh dan gerak (scene, character, and action).
3.       Bahasa cerpen haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, and alert).
4.       Cerpen harus mengandung interprestasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5.       Sebuah cerpen harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca.
6.       Cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritanya pertama-tama dapat menarik perasaan dan baru kemudian menarik pikiran.
7.       Cerpen mengandung detail-detail yang biasanya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
8.       Dalam sebuah cerpen, yang terutama menguasai jalan cerita adalah sebuah insiden.
9.       Cerpen harus mempunyai seorang pelaku yang utama.
10.    Cerpen harus mempunyai satu efek atau kesan yang menarik.
11.    Cerpen tergantung pada (satu) situasi.
12.    Cerpen memberikan impresi tunggal.
13.    Cerpen memberikan suatu kebulatan efek.
14.    Cerpen menyajikan satu emosi.
15.    Jumlah kata-kata yang terdapat dalam cerpen biasanya di bawah 10.000 kata (atau kira-kira 35 halaman kuarto spasi rangkap) (Tarigan, 1985:177-178). 

Tahapan-Tahapan Dalam Apresiasi Sastra



Pelaksanaan apresiasi sastra bisa berlangsung dengan baik serta mendapatkan hasil  yang optimal bila kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap dan terpadu (Maidar G. Arsyad,1993:157-158). Berkaitan dengan itu apresiasi dapat dibagi menjadi lima tahapan, diantaranya:
      a). Tahap Penikmatan
Tahapan penikmatan tentang apresiasi sastra menurut Suroto (1993:197) menyatakan, seseorang baru dapat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton/mendengarkan suatu karya seni/sastra. Hal tersebut tidak jauh beda dengan pendapat yang dikemukakan Natawijaya (1980: 2) yang menyatakan, bahwa seseorang hanya bersifat seperti penonton yaitu merasakan kesenangan. Dimana rasa senang itu muncul dalam diri seseorang karena penikmatan tersebut.
Dari kedua pendapat tersebut tentang penikmatan karya sastra,  dapat di lihat persamaannya yaitu sama-sama seperti penonton. Jika demikian, seseorang yang tergolong berada pada tahap penikmatan hanya dapat merasakan senang dan tidak senang. Dalam hal ini seseorang belum dapat memahami sepenuhya karya sastra tersebut. Sebagai contoh, jika menonton suatu film yang bahasanya tidak kita pahami, tetapi kita menyukai aktor film tersebut maka kita hanya bisa merasakan senang saja.
      b).  Tahap Penghargaan
            Seseorang dalam tahapan  ini melakukan tindakan dengan melihat kebaikan, manfaat atau nilai karya seni/sastra itu. Sangat dimungkinkan sesudah membaca atau mendengar karya sastra, penikmat merasakan adanya manfaat seperti rasa senang, memberikan hiburan, kepuasan, ataupun mampu memperluas pandangan dan wawasan hidupnya (Suroto,1993:158).
            Antara (1985:10) menyatakan” Pada tahapan penghargaan ini siswa diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana menimbulkan rasa kekaguman dan rasa senang. Pemberian rasa pujian, kekaguman dan puasnya kepada karya sastra sempurna, bernilai, bermanfaat, dan telah merasuk dalam diri siswa. Kadang-kadang pada siswa timbul rasa ingin memiliki atau mempunyai dan menguasai karya sastra tersebut”.
Berdasarkan dari kedua pendapat di atas, dapat dikatakan pada tahapan penghargaan ini seseorang tidak lagi terbatas pada perasaan senang atau tidak senang, tetapi sudah mulai bertindak untuk memperoleh kebaikan, manfaat atau nilai karya sastra tersebut. Manfaat itu dapat berupa perasaan senang, memberi hiburan, kepuasan, atau memperluas pandangan /wawasan hidup.
      c). Tahapan Pemahaman
Pada tahapan pemahaman, menutut Suroto (1993:158) penikmat melakukan tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, serta berusaha menyimpulkannya. Disini penikmat sudah mulai aktif meneliti dan menganalisis setiap komponen yang membentuk karya tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu.
Berdasarkan  pemahaman terhadap karya sastra itu,  si penikmat betul-betul selektif meneliti unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu karya sastra sehingga ia mampu memahami dan mengerti akan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
      d). Tahap Penghayatan
            Tahapan penghayatan merupakan tahapan pembaca menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penapsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya. Penikmat berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya hasil analisis tersebut, mengapa alur dan unsur-unsur yang lain demikian. Alasan-alasan yang dikemukakan tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal sehat (Suroto, 1993:158).
            Sementara Antara (1985:10) mengatakan, bahwa timbulnya rasa pemahaman terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik menimbulkan kemampuan menghayati dari aspek yang terkecil dari karya sastra tersebut misalnya: tema, bentuk, otograpi, mengkritik, dan membandingkan dengan lainnya.
            Sesuai dengan pendapat di atas, pada tahapan ini penikmat mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinyna, membuat penapsiran, menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya, menyakini apa dan bagaimana hakekat karya sastra itu.
       e).  Tahap Implikasi atau Penerapan.
            Menurut Natawijaya( 1979:3), tahapan ini bersifat memperoleh daya yang tepat guna, bagaimana dan untuk apa karya sastra diarahkan kepada suatu manfaat praktis, sesuai dengan tingkat penghayatan terhadap suatu cipta sastra. Pada tahapan ini diperoleh maksud untuk membuka pandangan sehingga melahirkan hal-hal yang baru.
            Melalui penghayatan tersebut, pada tahapan implikasi akan timbul kesadaran tentang kebenaran yang diungkapkan oleh sastrawan pada karya sastranya, kemudian menimbulkan ide-ide baru untuk menghasilkan sebuah kreativitas berupa penguasaan cipta sastra sehingga melahirkan  suatu yang baru. Karya sastra tersebut akan diarahkan untuk manfaat praktis berupa kepentingan sosial, politik dan budaya yang tepat guna.


MENULIS AKSARA BALI DI DAUN RONTAL



Menulis di atas rontal pada dasarnya berbeda dengan menulis biasa (aksara latin), dalam menulis rontal tidak terdapat jarak kata sepanjang rangkaian kata atau kalimatnya belum berakhir. Di dalam menulis rontal ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan : (1)  sarana-sarana yang diperlukan dalam menulis rontal, (2) cara menulis rontal.
 Sarana-Sarana Dalam Menulis Di Daun Rontal
            Sarana yang paling pokok ialah rontal siap tulis, disamping sarana-sarana lainnya. Untuk lebih jelasnya sarana-sarana itu adalah sebagai berikut : 
1.      Rontal atau daun tal yang siap ditulis.
2.      Pangrupak/ pangutik.
3.     Bantalan kasur kapuk ukuran kecil sebagai alat menulis.
4.     Dulang dari kayu sebagai tempat menulis.
5.     Penggaris dan pensil.
6.     Serbuk kemiri atau nagasari yang dibakar.
7.     Panakep dari kayu, bambu atau pupug (pelepah pohon enau) yang disesuaikan dengan ukuran rontal.
8.     Benang dan uang kepeng.
9.     Keropak kayu atau tempat penyimpanan.

 Cara Menulis Di Daun Rontal
            Menurut Geria (2008: 50) menyatakan ada sejumlah tata cara ritual kaitannya dengan penulisan di atas rontal disebutkan dalam Saraswati,  PNRI.Lt.147: 6a sebagai berikut :
1.      Sebelum memulai menulis harus memohon keselamatan  kepada Hyang Yosiswara yang difilsafatkan di kedua mata penulis. Bhagawan Reka pada ujung pengutik/pengrupak, sehingga tercapai sesuatu yang utama dan bermakna.
2.      Tidak boleh mematikan aksara dengan mencoret karena dapat berakibat pendek umur, antara lain (a) jika mencoret ulu akan berakibat buta dan sakit kepala, (b) jika mencoret suku akan berakibat sakit lumpuh (kaki lemas), (c) jika mencoret taleng dan wisah/bisah akan berakibat sakit pinggang.
Bertolak dari keterangan di atas, maka wajarlah jika dalam lontar jarang ditemui aksara yang dicoret atau dihapus (bukan berarti tidak ada kesalahan penulisan). Seandainya terjadi kesalahan harus dibubuhi pengangge (pakaian) tambahan sehingga aksara menjadi mati atau tidak berbunyi apa- apa. Menurut Jelantik (2008: 70-75) menyatakan dalam menulis rontal ada beberapa langkah yangf harus dilalui, seperti dalam uraian berikut :
1.     Pertama yaitu dengan membuat garis pinggir. Pada saat membuat garis pinggir, yang perlu diperhatikan yaitu jarak lobang ujung kiri (A), ke jarak lobang tengah (B) dan jarak lobang tengah (B) ke lobang paling kanan (C), jarak lobang A ke B lebih dekat dibandingkan jarak lobang B ke C. Ini artinya menulis rontal mulai dari ujung kiri (lobang A).
2.      Setelah proses di atas selesai barulah menulis, dengan pembuka, apakah bentuk panten, berbentuk mangajapa, atau carik kalih. Kemudian dilanjutkan dengan membuat mulastawa yaitu Om Awignamastu, tutup lagi dengan pembuka.
3.     Pada waktu menulis, rontal digenggam dengan tangan kiri, rontal yang digenggam jumlahnya lebih dari satu. Rontal yang akan ditulisi sama sekali tidak boleh ditulis seperti menulis buku (neplek di meja), jika rontal ini selesai ditulis karena neplek, rontal ini disamakan dengan ental tulah, dan tidak boleh dibaca, tidak boleh dibuang. Yang juga disebut ental yang ditulisi mulai dari lubang C, ini juga tidak boleh dibaca, biarkan rusak dengan sendirinya.
4.     Siapkan lungka-lungka, yaitu kasur kecil yang ukururannya 30 cm persegi yang fungsinya sebagai bantal/bersandarnya punggung tangan kiri.
5.      Dulang atau meja sebagai alas tangan waktu menyurat, dan juga siapkan canang cari, dupa dan sebagainya untuk memuja Sang Hyang Saraswati.
6.      Pengasah (sangihan) yaitu benda yang berfungsi untuk mengasah pengrupak. Apabila pengrupak kurang tajam sangat berpengaruh terhadap penulisan rontal, misalnya tulisan yang akan menjadi badag, yaitu besar-besar dan lontar tidak tergores.
7.      Waktu menulis rontal, sistem penulisannya menggunakan jajar sambung, bukan pasang jajar palas. Pasang jajar sambung artinya kata-kata yang akan ditulis dalam satu kalimat terus menyambung tanpa ada spasi, menyambungnya ke kanan dan jangan menggunakan adeg-adeg di tengah.
8.      Apabila satu halaman rontal sudah penuh baliklah rontal itu dari bawah ke atas, bukan dari ujung kanan ke kiri.
9.      Penyurat rontal hendaknya memahami oasang aksara Bali, hal ini disebabkan supaya tidak terjadi kesalahan makna terhadap isi lontar. Pasang aksara ini sangat berperan besar, sebab banyak kata-kata yang sama dalam pengucapannya, namun beda dalam penulisannya, dan berbeda pula maknanya.
10.   Siapkan penghitam lontar, yaitu buah kemiri yang disangrae (manyahnyah), sampai betul-betul gosong (hitam), buah jarak yang sudah kering dipohonnya juga baik dipergunakan. Ada juga orang yang menggunakan buah nagasari yang masak (ngulungang iba), cara membuatnya juga disangrae. Atau boleh penghitam yang lain pada waktu menghitamkan disebut dengan nyipat sastra.
11.   Jika proses di atas telah dilakukan, biarkan penghitam tersebut meresap sebentar, kemudian digosok satu arah ke kanan dengan kapas atau lap. Gosok atau di lap sampai bersih betul, guratan-guratan aksara bali yang tadinya hanya guratan yang tidak tampak akan kelihatan sangat jelas dan hitam hurufnya.

12.   Apabila satu judul lontar telah selesai disipat. Susunlah sesuai dengan halaman lontar. Satu judul lontar yang telah di tulis disebut satu cakep. Posisi atau letak halaman lontar, ialah untuk lontar halaman satu ditulis satu rai (satu muka) saja, yang diberi halaman adalah basang rontal, yaitu rontal yang sisiknya lebih halus kemudian pada waktu melanjutkan ke lontar berikutnya, letak halamannya di tundun (sisik rontal yang agak keras dan agak kasar).
13.   Siapkan benang kemong kurang lebih panjangnya antara 40-50 cm, yang fungsinya untuk menyusun menurut halaman lontar agar tidak berserakan. Masukkan benang tersebut pada B (ditengah).
14.   Siapkan penjepitnya yang dinamakan tapes lontar, fungsinya adalah agar daun lontar tetap lurus dan terhindar dari kelembaban udara. Biasanya lontar-lontar yang berada paling pinggir akan cepat robek dan jamuran jika tanpa tapes.
15.   Di kedua ujung benang diisi uang bolong (kepeng) masing-masing satu biji saja, yang bertujuan untuk mengancing agar tetap utuh dalam satu cakepan.
16.   Jika memungkinkan simpanlah cakepan anda dikeropak lontar, agar terjamin kawetannya. Untuk menjaga dan melestarikan isinya agar tidak hilang tanpa makna. Jangan sekali-kali menaruh lontar pada keben, apabila ditaruh pada neb bale yang jarang diambil dan dicocor hujan jika ini terjadi anda melakukan kesalahan besar, yaitu lontar akan gempel dan rusak, isinya hilang dan sulit dibaca.
17.   Pada waktu disimpan di keropak, berilah kapur barus secukupnya atau oleskan racun serangga pada waktu menyimpannya, dan lontar agar sering-sering dibaca.

18.  Cara merawat lontar yang paling baik adalah bukan disimpan pada gedong pelinggih yang keramat dan pingit (kecuali babad, prasasti, piagem, purana) cara perawatan yang paling baik adalah baca...baca...baca... dan di baca.
19.  Yang perlu diingat oleh penulis lontar ialah tentang ceciren yaitu identitas asal lontar yang ditulis, kapan selesai ditulis dan identitas penulis.