"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

12/23/2012

Tembang Bali



        Tembang merupakan salah satu kesenian tradisional yang ada di Bali. Tembang merupakan bagian seni yang dituangkan dalam alunan suara, irama dan ritme dengan menggunakan laras pelog dan slendro (Budiyasa dan Purnawan, 1997:1). Tembang di Bali dikenal dengan sebutan Sekar. Tembang dibedakan atas empat, yaitu (a) Sekar Rare, (b) Sekar Alit, (c) Sekar Madia, dan (d) Sekar Agung.
                               a).     Sekar Rare
         Sekar Rare (gegendingan) tidak memiliki alunan-alunan seperti tembang lainnya. Sekar Rare (gegendingan) bersifat polos dengan menggunakan bahasa Bali lumrah. Sekar Rare merupakan tembang tertua di Bali yang sampai sekarang gegendingan tidak memiliki aturan yang pasti.  Sekar Rare dinyanyikan sesuai dengan suara gong yang lebih banyak menggunakan laras pelog. Sekar Rare dibedakan menjadi tiga, yaitu  (a) Gending Rare, (b) Gending Janger,dan (c) Gending Sangyang.  Gending Rare biasanya dipakai bermain oleh anak-anak. Gending rare ini menggambarkan suasana perasaan yang senang. Yang termasuk gending rare yaitu  Guak Maling Taluh, Meong-meong, Juru Pencar, Ongkek-ongke, Uncung-Uncung Semanggi.
   Gending Janger dinyanyikan oleh penari janger dan kecak dalam tarian janger. Gending janger menggunakan basa Bali kapara yang menggambarkan perasaan senang. Sekarang ini, Gending Janger sering digunakan dalam tarian-tarian genjek. Yang termasuk gending janger yaitu Embok Nyoman, dan Don Dapdap. Gending Sang Hyang, biasanya dinyanyikan oleh penari Sang Hyang pada waktu menari. Tujuan tari Sangyang yaitu untuk mengundang dewa yang dipuja oleh penari Sangyang itu sendiri, agar dewa yang dipuja datang dan merasuki penari Sang Hyang. Salah satu contoh Gending Sangyang adalah gending Sangyang Dedari. Berdasarkan keberadaannya Sekar Rare tidak hanya dinyanyikan oleh anak-anak saja, tetapi gending Sekar Rare juga dapat dinyanyikan oleh para remaja.
b).     Sekar Alit
          Sekar Alit sering disebut dengan pupuh atau macapat. Wangun atau bagian tembang yang termasuk Sekar Alit di Bali ada 14 pupuh, yaitu (1) Pupuh Dangdang, (2) Pupuh Durma, (3) Pupuh Ginada, (4) Pupuh Ginanti, (5) Pupuh Maskumambang, (6) Pupuh Mijil, (7) Pupuh Pangkur, (8) Pupuh Pucung, (9) Pupuh Semarandana, dan (10) Pupuh Sinom.
c).      Sekar Madia
             Sekar Madia sering disebut dengan istilah Kidung, yang digunakan untuk menyebutkan puisi-puisi berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Bali Alus. Contoh kidung yaitu Kidung Tantri, Kidung Alis-alis Ijo, Kawitan Wargasari, Demung, Malat, Puh Jerum .
d).      Sekar Agung 
               Sekar Agung disebut juga dengan istilah Wirama atau Kekawin. Dalam wirama terdapat aturan-aturan seperti guru, lagu, wretta dan matra. Guru yaitu suara atau vokal yang dinyanyikan dengan suara yang berat atau panjang. Lagu yaitu suku kata yang dinyanyikan dengan suara yang ringan dan pendek. Wretta yaitu banyaknya suku kata dalam satu baris. Sedangkan matra yaitu jumlah guru dan lagu dalam satu baris.
2.2.3     Pengertian Pupuh
       Telah dipaparkan di atas, bahwa pupuh merupakan istilah lain dari Sekar Alit. Pupuh merupakan bentuk lagu yang diikat oleh padalingsa yaitu banyaknya baris dalam satu bait. Selain diikat oleh aturan padalingsa, dalam pupuh juga terdapat guru wilangan dan guru dingdong. Guru Wilangan merupakan banyaknya suku kata dalam satu baris. Guru ding-dong merupakan huruf vokal yang terdapat pada akhir suku kata tiap-tiap baris dalam satu bait. Untuk lebih jelas padalingsa tiap-tiap pupuh dapat dilihat sebagai berikut.
1)     Pupuh Sinom, jumlah padalingsa dalam satu baitnya adalah 10 baris dengan komposisi sebagai berikut.
   Baris I, terdiri atas delapan suku kata, dengan akhiran vokal a (8a)

   Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
                         
   Baris III, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
               
   Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
             
   Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
             
   Baris VI, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal u (8u).
             
   Baris VII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

   Baris VIII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
             
   Baris IX, terdiri atas empat suku kata, yang berakhiran vokal u (4u).
             
   Baris X, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
             
Pupuh Sinom memiliki sifat yang romantis, enak didengar, yang cocok
digunakan untuk menyampaikan nasehat dan bercakap-cakap secara bersahabat.

2)     Pupuh semarandana, jumah padalingsa dalam satu baitnya adalah 7 baris dengan komposisi sebagai berikut.
   Baris I, terdiri atas delapan suku kata, dengan akhiran vokal i (8i).
                         
   Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
                         
   Baris III, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal o (8o).
              
   Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

   Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
                         
   Baris VI, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal u (8u).
                         
   Baris VII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
            

             Pupuh Semarandana disebut juga Asmarandana merupakan paduan antara kata Asmara dan dana (dhana) yang berarti api. Asmarandana berarti api asmara. Pupuh Semarandana memiliki sifat sedih akibat dirundung asmara.

3)     Pupuh Ginada, Jumlah padalingsa dalam satu baitnya adalah 7 baris dengan komposisi sebagai berikut.
   Baris I, terdiri atas delapan suku kata, dengan akhiran vokal a (8a).

   Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
                         
   Baris III, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
                         
   Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal u (8u).
                         
   Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
            
   Baris VI, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).

   Baris VII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

Karakteristik Pupuh Ginada, mencerminkan kesedihan, kekecewaan dan
merana. Hal ini cocok digunakan dalam pementasan yang tokohnya sedang bersedih dan merana.          
4)     Pupuh Ginanti, jumlah padalingsa dalam satu baitnya adalah 6 baris, dengan komposisi sebagai berikut.
    Baris I, terdiri atas delapan suku kata, dengan akhiran vokal u (8u).
              
    Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
              
    Baris III, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
              
    Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
            
    Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
            
    Baris VI, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
            
Pupuh Ginanti memiliki sifat senang atau riang, yang cocok untuk
menyampaikan ajaran agama yang berisi nasehat.
5)     Pupuh Durma, jumlah padalingsa dalam satu baitnya adalah 7, dengan komposisi sebagai berikut.
   Baris I, terdiri atas dua belas suku kata, dengan akhiran vokal a (12a).
              
   Baris II, terdiri atas tujuh suku kata, yang berakhiran vokal i (7i).

   Baris III, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal a (6a). 
              
   Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
            
   Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
            
   Baris VI, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal a (6a).
            
   Baris VII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

             Pupuh Durma, memiliki sifat yang keras, bengis, kasar. Pupuh Durma
mengungkapkan kemarahan dan emosi.
6)     Pupuh Dangdang Gula, jumlah padalingsa dalam satu baitnya adalah 12, dengan komposisi sebagai berikut :
   Baris I, terdiri atas delapan suku kata, dengan akhiran vokal i (8i).
              
   Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
              
   Baris III, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal e (8e).
            
   Baris IV, terdiri atas tujuh suku kata, yang berakhiran vokal u (7u).

   Baris V, terdiri atas sembilan suku kata, yang berakhiran vokal i (9i).
            
   Baris VI, terdiri atas tujuh suku kata, yang berakhiran vokal a (7a).

   Baris VII, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal u (6u).
                         
   Baris VIII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
            
   Baris IX, terdiri atas duabelas suku kata, yang berakhiran vokal i (12i).
            
   Baris X, terdiri atas tujuh suku kata, yang berakhiran vokal a (7a).
            
   Baris XI, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).

  Baris XII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
                                               
Pupuh Dandang memiliki sifat yang lembut, manis, dan menyenangkan.
Oleh karena itu, pupuh dang-dang sangat tepat digunakan untuk melukiskan perasaan yang menyenangkan dan perasaan kasih sayang.
7)     Pupuh Maskumambang, terdiri atas 5 baris dengan komposisi sebagai berikut.
   Baris I, terdiri atas empat suku kata, dengan akhiran vokal a (4a).
              
   Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).     

   Baris III, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal a (6a).

   Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
            
   Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

                         
Pupuh Maskumambang, memiliki sifat yang sedih, merana, yang cocok
untuk melukiskan keprihatinan.
8)     Pupuh Mijil, terdiri atas 9 baris dalam satu bait, dengan komposisi sebagai berikut. 
  Baris I, terdiri atas empat suku kata, dengan akhiran vokal u (4u).
              
  Baris II, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal i (6i).
              
  Baris III, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal o (6o).
              
  Baris IV, terdiri atas empat suku kata, yang berakhiran vokal e (4e).

            
  Baris V, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal e (6e).
            
  Baris VI, terdiri atas empat suku kata, yang berakhiran vokal u (4u).
            
  Baris VII, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal i (6i).
                      
  Baris VIII, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal i (6i).
            
  Baris IX, terdiri atas delapan / enam suku kata, yang berakhiran vokal u       
   
   (8/6u).
            
Pupuh Mijil, memiliki sifat yang penuh perasaan, yang melukiskan
perasaan kasih sayang dan memberikan nasihat kepada anak-anak.
9)       Pupuh Pucung, terdiri atas 6 baris dalam satu baitnya dengan komposisi sebagai berikut
   Baris I, terdiri atas empat suku kata, dengan akhiran vokal u (4u).
            
   Baris II, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal u (8u).

   Baris III, terdiri atas enam suku kata, yang berakhiran vokal a (6a).
              
   Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
                         
   Baris V, terdiri atas empat suku kata, yang berakhiran vokal u (4u).

   Baris VI, terdiri atas delapansuku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

Pupuh Pucung, mempunyai sifat santai, kendur dalam arti tidak tegang
Cocok untuk cerita yang tidak serius.
10)       Pupuh Pangkur, terdiri atas 9 baris dalam satu baitnya dalam komposisi
  sebagai berikut.
               Baris I, terdiri atas delapan suku kata, dengan akhiran vokal a (8a). 
              
  Baris II, terdiri atas empat suku kata, yang berakhiran vokal a (4a).
              
  Baris III, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
              
  Baris IV, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal u (8u).
            
  Baris V, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).

  Baris VI, terdiri atas empat suku kata, yang berakhiran vokal a (4a).
                         
  Baris VII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal u (8u).
                         
  Baris VIII, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal a (8a).
            
  Baris IX, terdiri atas delapan suku kata, yang berakhiran vokal i (8i).
                         
              Pupuh Pangkur, memiliki watak perasaan yang meledak-ledak dan memuncak, cocok untuk cerita yang serius.

Unsur-Unsur Pembangun Cerpen



Sebagai salah satu bentuk karya fiksi, cerpen tampil utuh dan lengkap karena dibangun oleh dua unsur pembangun, yaitu: Unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun yang berasal dari dalam tubuh karya sastra, yang meliputi: tema, amanat, alur atau plot, penokohan,  setting atau latar, gaya bahasa, dan sudut pandang. Unsur Ekstrinsik merupakan segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran suatu karya sastra, seperti faktor sosial,ekonomi, budaya, politik, keagamaan dan tata nilai masyarakat. Selanjutnya akan dipaparkan bagian-bagian dari unsur intrinsik tersebut sebagai berikut.  
 1. Tema
Sumardjo (1984:57) berpendapat bahwa tema adalah pokok pembicaraan dalam sebuah cerita. Pengarang atau sastrawan tidak semata-mata menyatakan apa yang menjadi inti permasalahan karyanya. Cerita bukan hanya sekadar berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri harus mempunyai maksud tertentu. Tema adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tolak penyusunan karangan dan sekaligus menjadi sasaran dari karangan tersebut (Baribin,1985:59). Yang menjadi unsur gagasan sentral, yang kita sebut tadi adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya tadi.
Jika kita membaca cerita rekaan, sering terasa bahwa pengarang tidak sekadar ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita; ada suatu konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra itu yang disebut tema (Sudjiman, 1988:50). Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekadar bacaan hiburan. Istilah tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2000:91) berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diceritakannya (Aminuddin, 2000:91) Esten (2000:22) berpendapat bahwa tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang.
Tema merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra. Ia masih bersifat netral, belum punya kecenderungan memihak karena ia masih merupakan persoalan Pendapat yang hampir sama juga dijelaskan oleh Sayuti (2000:187) bahwa tema merupakan gagasan sentral, yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui karya fiksi. Wujud tema dalam fiksi biasanya berpangkal pada alasan tindak atau motif tokoh. Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok pemasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Hakikatnya tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu (Suharianto, 2005:17).
2. Amanat
Menurut Sudjiman (1988:57) amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Jika permasalahan yang diajukan dalam cerita itu diberikan jalan keluarnya oleh pengarang maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat dalam karya sastra oleh pengarang dapat disampaikan secara eksplisit maupun implisit.
Eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita. Implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Berbeda dengan yang dikemukakan oleh Esten (2000, 22). Esten menjelaskan bahwa amanat itu adalah pemecahan suatu tema.

   3. Alur atau Plot
Unsur yang sangat menonjol, dalam sebuah karya fiksi adalah jalannya cerita. Fiksi di mulai dengan menceritakan suatu keadaan. Keadaan itu mengalami perkembangan dan pada akhirnya ditutup dengan sebuah penyelesaian, dan itulah yang dinamakan plot. Baribin (1985:61) menjelaskan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun secara logis. Dalam pengertian ini, alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang tidak terputus-putus. Sudjiman (1988:29) juga menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita rekaan, berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu dan peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yang disebut alur.
Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2000:83). Menurut Sayuti (2000:31), plot atau alur fiksi hendaknya diartikan tidak hanya sebagai peristiwa-peristiwa yang di ceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu, tetapi juga merupakan penyusunan yang dilakukan oleh penulisnya mengenai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan-hubungan kwalitasnya.
 Menurut Esten (1978:26) plot adalah urutan (sambung sinambung)  peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Biasanya plot dari cerita rekaan terdiri terdiri atas:
a). Situasi (mulai melukiskan keadaan).
b). Generating circumstances (peristiwa-peristiwa mulai bergerak)
c).  Rising action (keadaan mulai memuncak).
d). Klimaks (mencapai titik puncak).
e). Denouement (pemecahan soal, penyelesaian).
Secara kualitatif (menurut tingkatannya) alur ada dua macam yaitu:
a). Alur erat
b). Alur longgar
Dalam alur erat, hubungan satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya padu sekali, sehingga tidak dapat dipotong-potong. Dalam alur longgar, hubungan satu peristiwa satu dengan yang lain tidak begitu padu.
Alur atau plot ialah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang terpadu, bulat, dan utuh (Suharianto, 2005:18).

4. Penokohan
Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan  (Aminuddin,2000:79). Penokohan ialah bagaimana cara pengarang  menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan (Esten, 2000:27). Penokohan yang baik ialah penokohan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki oleh tema dan amanat.
Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya (Suharianto, 2005:20). Karena tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, maka hanya pengaranglah yang mengenal mereka dan oleh karena itu, tokoh-tokoh itu perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain.

Pengertian & Ciri-Ciri Cerpen



Mengingat cerpen merupakan bagian dari fiksi, tentu tidak semua bentuk fiksi dapat digolongkan kedalam cerpen. Persoalan itu muncul sehubungan dengan penanaman istilah cerpen atau cerita pendek yang tidak dapat hanya didasarkan atas panjang pendeknya cerita fiksi itu. Tetapi harus ada ukuran yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan sebuah bentuk fiksi termasuk cerpen atau bukan.
       Banyak para ahli yang sudah merumuskan apakah cerpen itu? Tetapi pada umumnya mereka berpendapat bahwa membuat rumusan yang sangat tepat, justru menyangkut persoalan panjang pendeknya suatu cerita. Tasrif (dalam Yudiono1981:19) yang menyatakan: ”Suatu cerita fiksi yang menggunakan jumlah kata yang berkisar antara 500 hingga 30.000 perkataan biasanya disebut dengan cerpen”.
            MenurutYudiono dalam Rampan (1995:10) cerpen adalah cerita yang bersumber pada suatu persoalan kehidupan, suatu nilai kehidupan yang menjadi tema cerita. Karena ada persoalan dan nilai kehidupan itu terjadilah serangkaian peristiwa, sementara Satyagraha Hoerip dalam Antara (1986:17), memaparkan “Cerpen adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian dari kejadian itu sendiri satu persatu dari apa yang terjadi di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan”.
            Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik suatu simpulan, di mana cerpen merupakan sebuah cerita rekaan berbentuk fiksi yang relatif pendek yang mengungkapkan tentang rentetan kejadian  dari salah satu sisi kehidupan manusia.

Ciri-Ciri Cerpen
            Banyak orang sudah mengenal cerpen  dan tema-tema yang diangkat dalam cerpen. Akan tetapi timbul pertanyaan beberapa ukuran panjang cerpen itu? Mengenai hal ini, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (1985:42) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai 2 jam. Panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short-short story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500 kata, ada cerpen yang panjangnya sedang (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story) yang terdiri atas puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata
           
            Menurut Tarigan ada beberapa ciri cerpen yaitu:
1.       Ciri-ciri utama cerpen adalah singkat, padu, intensif (brevity, unity, and intensity).
2.       Unsur-unsur utama cerpen adalah adegan, tokoh dan gerak (scene, character, and action).
3.       Bahasa cerpen haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, and alert).
4.       Cerpen harus mengandung interprestasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5.       Sebuah cerpen harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca.
6.       Cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritanya pertama-tama dapat menarik perasaan dan baru kemudian menarik pikiran.
7.       Cerpen mengandung detail-detail yang biasanya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
8.       Dalam sebuah cerpen, yang terutama menguasai jalan cerita adalah sebuah insiden.
9.       Cerpen harus mempunyai seorang pelaku yang utama.
10.    Cerpen harus mempunyai satu efek atau kesan yang menarik.
11.    Cerpen tergantung pada (satu) situasi.
12.    Cerpen memberikan impresi tunggal.
13.    Cerpen memberikan suatu kebulatan efek.
14.    Cerpen menyajikan satu emosi.
15.    Jumlah kata-kata yang terdapat dalam cerpen biasanya di bawah 10.000 kata (atau kira-kira 35 halaman kuarto spasi rangkap) (Tarigan, 1985:177-178). 

Tahapan-Tahapan Dalam Apresiasi Sastra



Pelaksanaan apresiasi sastra bisa berlangsung dengan baik serta mendapatkan hasil  yang optimal bila kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap dan terpadu (Maidar G. Arsyad,1993:157-158). Berkaitan dengan itu apresiasi dapat dibagi menjadi lima tahapan, diantaranya:
      a). Tahap Penikmatan
Tahapan penikmatan tentang apresiasi sastra menurut Suroto (1993:197) menyatakan, seseorang baru dapat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton/mendengarkan suatu karya seni/sastra. Hal tersebut tidak jauh beda dengan pendapat yang dikemukakan Natawijaya (1980: 2) yang menyatakan, bahwa seseorang hanya bersifat seperti penonton yaitu merasakan kesenangan. Dimana rasa senang itu muncul dalam diri seseorang karena penikmatan tersebut.
Dari kedua pendapat tersebut tentang penikmatan karya sastra,  dapat di lihat persamaannya yaitu sama-sama seperti penonton. Jika demikian, seseorang yang tergolong berada pada tahap penikmatan hanya dapat merasakan senang dan tidak senang. Dalam hal ini seseorang belum dapat memahami sepenuhya karya sastra tersebut. Sebagai contoh, jika menonton suatu film yang bahasanya tidak kita pahami, tetapi kita menyukai aktor film tersebut maka kita hanya bisa merasakan senang saja.
      b).  Tahap Penghargaan
            Seseorang dalam tahapan  ini melakukan tindakan dengan melihat kebaikan, manfaat atau nilai karya seni/sastra itu. Sangat dimungkinkan sesudah membaca atau mendengar karya sastra, penikmat merasakan adanya manfaat seperti rasa senang, memberikan hiburan, kepuasan, ataupun mampu memperluas pandangan dan wawasan hidupnya (Suroto,1993:158).
            Antara (1985:10) menyatakan” Pada tahapan penghargaan ini siswa diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana menimbulkan rasa kekaguman dan rasa senang. Pemberian rasa pujian, kekaguman dan puasnya kepada karya sastra sempurna, bernilai, bermanfaat, dan telah merasuk dalam diri siswa. Kadang-kadang pada siswa timbul rasa ingin memiliki atau mempunyai dan menguasai karya sastra tersebut”.
Berdasarkan dari kedua pendapat di atas, dapat dikatakan pada tahapan penghargaan ini seseorang tidak lagi terbatas pada perasaan senang atau tidak senang, tetapi sudah mulai bertindak untuk memperoleh kebaikan, manfaat atau nilai karya sastra tersebut. Manfaat itu dapat berupa perasaan senang, memberi hiburan, kepuasan, atau memperluas pandangan /wawasan hidup.
      c). Tahapan Pemahaman
Pada tahapan pemahaman, menutut Suroto (1993:158) penikmat melakukan tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, serta berusaha menyimpulkannya. Disini penikmat sudah mulai aktif meneliti dan menganalisis setiap komponen yang membentuk karya tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu.
Berdasarkan  pemahaman terhadap karya sastra itu,  si penikmat betul-betul selektif meneliti unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu karya sastra sehingga ia mampu memahami dan mengerti akan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
      d). Tahap Penghayatan
            Tahapan penghayatan merupakan tahapan pembaca menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penapsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya. Penikmat berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya hasil analisis tersebut, mengapa alur dan unsur-unsur yang lain demikian. Alasan-alasan yang dikemukakan tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal sehat (Suroto, 1993:158).
            Sementara Antara (1985:10) mengatakan, bahwa timbulnya rasa pemahaman terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik menimbulkan kemampuan menghayati dari aspek yang terkecil dari karya sastra tersebut misalnya: tema, bentuk, otograpi, mengkritik, dan membandingkan dengan lainnya.
            Sesuai dengan pendapat di atas, pada tahapan ini penikmat mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinyna, membuat penapsiran, menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya, menyakini apa dan bagaimana hakekat karya sastra itu.
       e).  Tahap Implikasi atau Penerapan.
            Menurut Natawijaya( 1979:3), tahapan ini bersifat memperoleh daya yang tepat guna, bagaimana dan untuk apa karya sastra diarahkan kepada suatu manfaat praktis, sesuai dengan tingkat penghayatan terhadap suatu cipta sastra. Pada tahapan ini diperoleh maksud untuk membuka pandangan sehingga melahirkan hal-hal yang baru.
            Melalui penghayatan tersebut, pada tahapan implikasi akan timbul kesadaran tentang kebenaran yang diungkapkan oleh sastrawan pada karya sastranya, kemudian menimbulkan ide-ide baru untuk menghasilkan sebuah kreativitas berupa penguasaan cipta sastra sehingga melahirkan  suatu yang baru. Karya sastra tersebut akan diarahkan untuk manfaat praktis berupa kepentingan sosial, politik dan budaya yang tepat guna.