"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

1/18/2013

AKSARA BALI



Aksara adalah lambang atau gambaran suara yang dikeluarkan oleh manusia (Gutama, 1985:19). Kridalaksana mengatakan aksara merupakan tanda-tanda grafis Yang  dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran (1984:4). aksara Bali adalah huruf suku kata, tanpa mendapat pengangge suara sudah dapat berfungsi sebagai suku kata (Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat 1 Bali), (1996:12). Jadi aksara Bali adalah huruf suku kata atau gambaran suara yang dipakai dalam penulisan bahasa Bali.
Nenek moyang aksara Bali berasal dari daratan India Utara yang dikenal dengan nama aksara Dewanagari. Sistem ejaan bahasa Bali menggunakan sistem silabik (suku kata). Ejaan ini menggambarkan satu suku silabik dengan dua buah fonem yaitu fonem vokal dan fonem konsonan. Menurut legenda Sang Aji Saka, yang memperingati kematian kedua prajuritnya yang berkelahi karena setia kepada sang raja, yang bunyinya sebagai berikut :
hncrk,
gt,
m\bswl,
pdjyz,
artinya wenten parekan/punakawan, ”ada prajurit”
artinya gati/setia, ”amat setia”
artinya makta sewala patra, ”membawa surat”
artinya pateh saktinipun, ”sama saktinya”.
                                                                                               
                                                                                                (Simpen,2004:1)

Dalam buku pasang aksara Bali disebutkan ”aksara Bali itu ada dua macam, yang disebut aksara suara dan aksara wianjana, serta dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu aksara wreastra, swalalita, dan modre” (Simpen,2004:1). Adapun aksara-aksara tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

1) Aksara Wreastra
Aksara wreastra adalah aksara Bali yang digunakan untuk menulis bahasa Bali  lumrah, aksara wreastra terdiri atas aksara suara (huruf Vokal) dan aksara wianjana (huruf Konsonan). Adapun aksaranya adalah sebagai berikut:
1)     Aksara suara (huruf vokal)
Aksara suaranya (huruf vokalnya) terdiri dari enam buah aksara, yaitu:
h
hi
hu
eh
eho
h)
   a
     i
     u
      e
     o
     é


2)     Aksara Wianjana (huruf konsonan)
Aksara wianjana (huruf konsonan) terdiri dari delapan belas buah, yaitu:
h,
n,
c,
r,
K,
d,
t,
s,
w,
     ha
    Na
     ca
     Ra
     Ka
    da
    Ta
     sa
     wa

l,
m,
g,
b,
\,
p,
j,
y,
Z,
    La
    Ma
   ga
    Ba
    nga
    pa
    Ja
    ya
    nya



2) Aksara Swalalita
Aksara swalalita adalah aksara Bali yang digunakan untuk menulis bahasa Kawi, Kawi tengahan, dan bahasa Sanskerta, seperti kidung, dan kekawin.
Aksara swalalita terdiri atas aksara suara (huruf vokal) dan aksara wianjana (huruf konsonan). Adapun aksaranya adalah sebagai berikut:
1) Aksara suara (huruf vokal)
Aksara suaranya (huruf Vokal) terdiri dari 10 buah, yaitu:
Á
Áo
÷
÷o
ú
úo
6
Ü
3
3o
    a
   ā
    i
   Ì
  u
  ù
 É
Ai
   o
   ō

2) Aksara Wianjana (huruf Konsonan)
Aksara wianjana (huruf Konsonan) di kelompokkan menjadi lima warga aksara, yaitu: kantia, talawia, murdania, dantia, dan ostia.
Adapun aksaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Warga aksara
NoNo
Aksara/
Warga
Alpa
prana
Maha
prana
Alpa
prana
Maha
prana
Anu
Suara
Arda
Suara
Usma
Wisarga
1
Kantia
k
ka
¼
Kha
g
ga
f
Gha
\
Nga
-
-
h
2
Talawia
c
ca
È
Cha
j
ja
ü
Jha
Z
Nya
y
ya
]
Ça
-
3
Murdania
`
Ţa
~
Ţā
a
dha
a
Dha
x
ņa
r
ra
[
Şa
-
4
Dantia
t
ta
[
Tha
d
da
a
Dha
n
na
l
la
s
Sa
-
5
Ostia
p
pa
|
Pha
b
ba
v
Bha
m
ma
w
wa
-
-
3) Aksara Modre
Aksara modre adalah aksara yang digunakan untuk menulis rerajahan-rerajahan japa mantra. aksara modre khusus untuk aksara suci yang mati (karena mendapat perlengkapan-perlengkapan dan lambang-lambang yang lainnya) yang dalam membacanya memerlukan lontar petunjuk yang disebut dengan kerakah (Jelantik, 2006:46).
Adapun aksaranya antara lain :
ö,
û,
mIIII,
3¸o
     Ang
Ung
Mang
Om

HUBUNGAN AWIG-AWIG,RSI YADNYA DAN TRI HITA KARANA

Dapat dipahami bahwa awig-awig  adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang sesungguhnya menjadi karakter Desa Pakraman yang membedakan dengan kesatuan masyarakat  hukum Adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = Tiga, Hita = Kesejahteraan, Karana = sebab).
Tiga unsur tersebut adalah sanghyang jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), Bhuana (alam semesta), dan manusa (manusia) (Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat dikemukakan bahwa Konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam diatas, yaitu sebagai berikut.
a.      Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
b.     Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c.      Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi Tri Hita Karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan.
Disamping nilai keseimbangan, nilai Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsepsi ini. Nilai Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik  sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran tradisional  masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis, relegius magis dan Komunal… Manusia  dilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat dipisahkan dengan penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu   manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga.
Untuk dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis Bali beragama Hindu). Senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya suasana yang harmonis dalam   masyarakat, baik vertikal  (dalam hubungan manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan repleksi dari filsafat Tri Hita Karana. Dalam kontek hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala (Sudantra, 2001:2).
Dalam bahasa Awig-awig Desa Pakraman, cita-cita di atas umumnya dirumuskan dengan kalimat “Ngarajegang sukertan Desa saha pawongan sekala kalawan niskala, seperti misalnya dapat dilihat dalam pawos 3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3).
Yadnya merupakan persembahan, pemujaan, atau kurban suci secara tulus ikhlas. Dalam ajaran hindu dikenal adanya lima macam yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Butha Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Rsi Yadnya.
Sebagai seorang anak didik (murid, siswa, atau mahasiswa) baik dalam sistem pendidikan formal atau tidak, pelaksanaan Rsi Yadnya merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Rsi atau guru adalah sosok yang selama ini memberikan kita pendidikan, bimbingan, dan pengetahuan. Atas segala pengorbanan yang telah diberikan oleh guru atau para Rsi sudah sepatutnya kita menghaturkan yadnya.
Uraian di atas senada dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Tri Rna. Ajaran Tri Rna adalah ajaran yang menyatakan bahwa setiap manusia sejak lahir sudah terikat dengan hutang (Rna) yang harus dilunasi semasih hidupnya. Salah satu dari ketiga hutang tersebut adalah hutang jasa kepada maha Rsi atau guru yang telah berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya, serta tuntunan hidup suci untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Artinya, manusia sebagai makhluk tertingi sudah sewajarnya menyadari akan keberadaan dirinya yang diciptakan dan dipelihara atas dasar yadnya.
Dikaitkan dengan hakikat atau konsep dari ajaran Tri Hita Karana, Rsi Yadnya merupakan kegiatan yadnya yang melingkupi ketiga bagian dari Tri Hita Karana, baik itu parahyangan, pawongan, maupun palemahan.
Pertama, Rsi Yadnya merupakan wujud parahyangan. Hal ini tidak terlepas dari konsep bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber tunggal, yaitu Dewi Saraswati. Melalui pelaksanaan Rsi Yadnya kita berharap Sang Dewi kembali melimpahkan segala pengetahuan kepada umatnya.
Kedua, Rsi Yadnya juga merupakan wujud pawongan di dalam Tri Hita Karana, yaitu pemeliharaan hubungan antarsesama manusia. Yadnya ini dapat dilakukan dengan jalan selalu menghormati dan mengamalkan segala ajaran yang telah diberikan guru atau Rsi di sekolah.
Ketiga, tidak dapat dipungkuri lagi bahwa alam lingkungan adalah tempat belajar yang paling dekat dan murah. Seorang yogi belajar pada alam untuk memperoleh ketenangan, seorang penyair belajar dari alam dalam memupuk imajinasi, dan petani belajar pada alam sebelum menanam tumbuh-tumbuhan. Dengan memelihara alam (Palemahan) dalam eksistensinya sebagai sumber belajar sesungguhnya kita telah melaksanakan Rsi Yadnya.

SANGSI BAGI PELANGGAR AWIG-AWIG

Sanksi dari, awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan). Kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini dan literatur hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi Adat. Secara umum, bentuk-bentuk  pamidanda (sanksi Adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang  atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala)  disebut panyangaskara danda. Bentuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di datas sangat bervariasi dari sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag (hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibanya di Desa). Bentuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai Krama Desa). Bentuk sanksi dari golongan  panyagaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin Desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian Desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya dilakukan oleh Desa Pakraman secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari Prajuru Banjar sampai Prajuru Desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi perlawanan dari Krama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara umum awig-awig dan sanksi Adat ditaati oleh Krama Desa. Ketaatan Krama Desa terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditaati karena merupakan kesepakatan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) Desa, pada suatu forum dimana semua Krama Desa mempunyai hak suara yang sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuaatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara pasupati atau pemelaspasan.