Sanksi dari, awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk mengembalikan keseimbangan
apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan
kewilayahan (palemahan).
Kemasyarakatan (pawongan), dan
keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini dan literatur hukum
ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi Adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda
(sanksi Adat) ini terdiri dari tiga
golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik
disebut jiwa danda; serta sanksi yang
berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala)
disebut panyangaskara danda.
Bentuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di datas sangat bervariasi
dari sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha
danda yang paling ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari
golongan artha danda yang paling
ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag (hartanya disita untuk dijual
kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibanya di Desa). Bentuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang
makrama (dipecat sebagai Krama Desa).
Bentuk sanksi dari golongan panyagaskara danda, misalnya adalah
kewajiban nyarunin Desa (melakukan
upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian Desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya dilakukan
oleh Desa Pakraman secara berjenjang
melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari Prajuru Banjar sampai Prajuru
Desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang
ditimbulkan (masor singgih manut
kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi perlawanan dari Krama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga
muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara umum awig-awig dan sanksi Adat ditaati oleh Krama Desa. Ketaatan Krama
Desa terhadap awig-awig
disebabkan awig-awig tersebut
mempunyai legitimasi sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig
diterima dan ditaati karena merupakan kesepakatan bersama, dibuat secara
demokratis melalui rapat (paruman) Desa, pada suatu forum dimana semua Krama Desa mempunyai hak suara yang sama. Secara niskala, awig-awig
ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuaatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah
diadakan upacara pasupati atau pemelaspasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar