Dapat
dipahami bahwa awig-awig adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang
sesungguhnya menjadi karakter Desa Pakraman yang membedakan dengan kesatuan
masyarakat hukum Adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara
tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = Tiga, Hita =
Kesejahteraan, Karana = sebab).
Tiga
unsur tersebut adalah sanghyang
jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), Bhuana
(alam semesta), dan manusa (manusia) (Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara
umum dapat dikemukakan bahwa Konsepsi Tri
Hita Karana berarti bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud
bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam
diatas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
b.
Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam
lingkungannya.
c.
Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan
demikian, sesungguhnya saripati konsepsi Tri
Hita Karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan.
Disamping
nilai keseimbangan, nilai Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai
konsepsi ini. Nilai Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang
antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta,
sedangkan nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan
sesamanya, baik sebagai individu maupun
kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat
kosmis, relegius magis dan Komunal… Manusia
dilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat dipisahkan dengan
penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu,
yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha
Kuasa. Semua itu, yaitu manusia, alam
semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan
berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga.
Untuk dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu
kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu). Senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya
suasana yang harmonis dalam masyarakat,
baik vertikal (dalam hubungan manusia
dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya dan lingkungan
alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan
bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan
repleksi dari filsafat Tri Hita Karana.
Dalam kontek hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat
diterjemahkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala (Sudantra, 2001:2).
Dalam bahasa Awig-awig
Desa Pakraman, cita-cita di atas umumnya dirumuskan dengan kalimat “Ngarajegang
sukertan Desa saha pawongan sekala kalawan niskala, seperti
misalnya dapat dilihat dalam pawos 3 Awig-awig
Desa Adat Kapal, Badung (2007:3).
Yadnya
merupakan persembahan, pemujaan, atau kurban suci secara tulus ikhlas. Dalam
ajaran hindu dikenal adanya lima macam yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Butha Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Rsi Yadnya.
Sebagai
seorang anak didik (murid, siswa, atau mahasiswa) baik dalam sistem pendidikan
formal atau tidak, pelaksanaan Rsi Yadnya
merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Rsi atau guru adalah sosok yang selama ini memberikan kita
pendidikan, bimbingan, dan pengetahuan. Atas segala pengorbanan yang telah
diberikan oleh guru atau para Rsi
sudah sepatutnya kita menghaturkan yadnya.
Uraian di
atas senada dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Tri Rna. Ajaran Tri Rna
adalah ajaran yang menyatakan bahwa setiap manusia sejak lahir sudah terikat
dengan hutang (Rna) yang harus dilunasi semasih
hidupnya. Salah satu dari ketiga hutang tersebut adalah hutang jasa kepada maha
Rsi atau guru yang telah berjasa
dalam memberikan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya, serta tuntunan hidup suci
untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Artinya, manusia sebagai makhluk
tertingi sudah sewajarnya menyadari akan keberadaan dirinya yang diciptakan dan
dipelihara atas dasar yadnya.
Dikaitkan
dengan hakikat atau konsep dari ajaran Tri
Hita Karana, Rsi Yadnya merupakan
kegiatan yadnya yang melingkupi ketiga bagian dari Tri Hita Karana, baik itu parahyangan,
pawongan, maupun palemahan.
Pertama, Rsi Yadnya merupakan wujud parahyangan. Hal ini tidak terlepas dari
konsep bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber tunggal, yaitu Dewi Saraswati. Melalui pelaksanaan Rsi Yadnya kita berharap Sang
Dewi kembali melimpahkan segala pengetahuan kepada umatnya.
Kedua, Rsi Yadnya juga merupakan wujud pawongan di dalam Tri Hita Karana, yaitu pemeliharaan hubungan antarsesama manusia.
Yadnya ini dapat dilakukan dengan jalan selalu menghormati dan mengamalkan
segala ajaran yang telah diberikan guru atau Rsi di sekolah.
Ketiga,
tidak dapat dipungkuri lagi bahwa alam lingkungan adalah tempat belajar yang
paling dekat dan murah. Seorang yogi belajar pada alam untuk memperoleh
ketenangan, seorang penyair belajar dari alam dalam memupuk imajinasi, dan
petani belajar pada alam sebelum menanam tumbuh-tumbuhan. Dengan memelihara
alam (Palemahan) dalam eksistensinya
sebagai sumber belajar sesungguhnya kita telah melaksanakan Rsi Yadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar