"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

1/18/2013

HUBUNGAN AWIG-AWIG,RSI YADNYA DAN TRI HITA KARANA

Dapat dipahami bahwa awig-awig  adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang sesungguhnya menjadi karakter Desa Pakraman yang membedakan dengan kesatuan masyarakat  hukum Adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = Tiga, Hita = Kesejahteraan, Karana = sebab).
Tiga unsur tersebut adalah sanghyang jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), Bhuana (alam semesta), dan manusa (manusia) (Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat dikemukakan bahwa Konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam diatas, yaitu sebagai berikut.
a.      Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
b.     Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c.      Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi Tri Hita Karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan.
Disamping nilai keseimbangan, nilai Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsepsi ini. Nilai Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik  sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran tradisional  masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis, relegius magis dan Komunal… Manusia  dilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat dipisahkan dengan penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu   manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga.
Untuk dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis Bali beragama Hindu). Senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya suasana yang harmonis dalam   masyarakat, baik vertikal  (dalam hubungan manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan repleksi dari filsafat Tri Hita Karana. Dalam kontek hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala (Sudantra, 2001:2).
Dalam bahasa Awig-awig Desa Pakraman, cita-cita di atas umumnya dirumuskan dengan kalimat “Ngarajegang sukertan Desa saha pawongan sekala kalawan niskala, seperti misalnya dapat dilihat dalam pawos 3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3).
Yadnya merupakan persembahan, pemujaan, atau kurban suci secara tulus ikhlas. Dalam ajaran hindu dikenal adanya lima macam yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Butha Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Rsi Yadnya.
Sebagai seorang anak didik (murid, siswa, atau mahasiswa) baik dalam sistem pendidikan formal atau tidak, pelaksanaan Rsi Yadnya merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Rsi atau guru adalah sosok yang selama ini memberikan kita pendidikan, bimbingan, dan pengetahuan. Atas segala pengorbanan yang telah diberikan oleh guru atau para Rsi sudah sepatutnya kita menghaturkan yadnya.
Uraian di atas senada dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Tri Rna. Ajaran Tri Rna adalah ajaran yang menyatakan bahwa setiap manusia sejak lahir sudah terikat dengan hutang (Rna) yang harus dilunasi semasih hidupnya. Salah satu dari ketiga hutang tersebut adalah hutang jasa kepada maha Rsi atau guru yang telah berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya, serta tuntunan hidup suci untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Artinya, manusia sebagai makhluk tertingi sudah sewajarnya menyadari akan keberadaan dirinya yang diciptakan dan dipelihara atas dasar yadnya.
Dikaitkan dengan hakikat atau konsep dari ajaran Tri Hita Karana, Rsi Yadnya merupakan kegiatan yadnya yang melingkupi ketiga bagian dari Tri Hita Karana, baik itu parahyangan, pawongan, maupun palemahan.
Pertama, Rsi Yadnya merupakan wujud parahyangan. Hal ini tidak terlepas dari konsep bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber tunggal, yaitu Dewi Saraswati. Melalui pelaksanaan Rsi Yadnya kita berharap Sang Dewi kembali melimpahkan segala pengetahuan kepada umatnya.
Kedua, Rsi Yadnya juga merupakan wujud pawongan di dalam Tri Hita Karana, yaitu pemeliharaan hubungan antarsesama manusia. Yadnya ini dapat dilakukan dengan jalan selalu menghormati dan mengamalkan segala ajaran yang telah diberikan guru atau Rsi di sekolah.
Ketiga, tidak dapat dipungkuri lagi bahwa alam lingkungan adalah tempat belajar yang paling dekat dan murah. Seorang yogi belajar pada alam untuk memperoleh ketenangan, seorang penyair belajar dari alam dalam memupuk imajinasi, dan petani belajar pada alam sebelum menanam tumbuh-tumbuhan. Dengan memelihara alam (Palemahan) dalam eksistensinya sebagai sumber belajar sesungguhnya kita telah melaksanakan Rsi Yadnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar