"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

10/20/2011

TRI HITA KARANA

Om Swastyastu,
Pada kesempatan yang baik ini saya akan mencoba menyampaikan sebuah paparan yang topiknya “TRI HITA KARANA. Ketertarikan saya untuk mengangkat topik ini tiada lain berangkat dari sebuah renungan yang menghasilkan sebuah kekaguman atas keadiluhungan konsep Tri Hita Karana yang saat ini menjadi primadona dalam konsep pembangunan bagi HINDU yang Mandara (aman, damai dan sejahtera).
Hadirin umat sedharma terkasih yang saya banggakan, telah banyak fenomena kehidupan disisi kita saat ini dapat kita jadikan sebagai refleksi untuk bangkit menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tujuan agama Hindu Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma” hanya akan dapat terwujud apabila di hati umat sedharma telah mampu menciptakan keselarasan, keharmonisan, serta keseimbangan dalam bergagai konteks kehidupannya. Konsep Tri Hita Karana yang mulai populer dan menjadi ikon HINDU dalam menata sendi-sendi kehidupan masyarakatnya sejak beberapa dasa warsa belakangan ini, sesungguhnya sudah ada sejak peradaban Hindu itu ada.
Pada zaman Majapahit Tri Hita Karana merupakan salah satu dari delapan belas rahasia sukses pemimpin besar Nusantara Gajah Mada pada waktu itu. Gajah Mada memasukkan konsep ajaran Tri Hita Wacana yang harus diikuti oleh para pemimpin Majapahit untuk mewujudkan cita-citanya mempersatukan Nusantara. Konsep Tri Hita Wacana yang dirumuskan oleh Gajah Mada itu, kini lebih dikenal dengan ajaran Tri Hita Karana sebagai sebuah doktrin keselarasan, keserasian, keharmonisan, dan keseimbangan dalam menata ke ajegan HINDU khususnya di Bali (Suhardana, 2008 : 77)
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :
1. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
2. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
3. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Selanjutnya ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat HINDU diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Parahyangan adalah merupakan kiblat setiap manusia (baca : Hindu) untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta ( sangkan paraning dumadi ) yang dikonkretisasikan dalam bentuk tempat suci, pawongan merupakan pengejawantahan dari sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri, bahwa manusia tak dapat hidup menyendiri tanpa bersama-sama dengan manusia lainnya (sebagai makhluk sosial). Sedangkan palemahan adalah merupakan bentuk kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, bahkan merupakan bagian dari alam itu sendiri.
Para Dewan Juri, hadirin umat sedharma, dan pemirsa yang berbahagia. Akhir-akhir ini telah kita saksikan bersama berbagai macam fenomena dan kejadian alam serta sosial yang sangat memprihatinkan kita semua. Umat manusia semakin menjauhkan diri dari Sang Penciptanya, degradasi moral kian memuncak, dan kepedulian terhadap lingkungannya sudah tergerus oleh keegoisan yang tak mengenal kompromi. Sudah saatnya dan belum terlambat buat kita untuk memulai berbenah diri. Konsep yang paling sederhana adalah marilah kita gali khazanah adiluhung yang telah diwariskan oleh para leluhur kita terdahulu, serta mari kita representasikan ke dalam bentuk tindakan nyata dengan tetap mengedepankan kepentingan bersama. Mari kita duduk bersanding dengan kejernihan hati yang jauh dari rasa apriori dan kemunafikan. A no bhadrah kratawo yantu wiçwatah, semoga pikiran yang jernih dan bijak datang dari segala penjuru.
Misalnya Bali dengan popularitasnya di mata dunia, tidak semata karena keindahan panoramanya akan tetapi lebih dari itu adalah karena taksu yang dimiliki Bali. Taksu Bali yang kami maksudkan adalah terletak pada keutuhan konsep Tri Hita Karana dalam setiap gerak perilaku masyarakat Balinya. Bali dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu memberi kontribusi besar yang turut mendongkrak menjadikan nama Bali semakin mendunia. Itu tiada lain karena konsep Tri hita Karana dan masyarakat Balinya yang religius dijiwai oleh ajaran Weda yang universal. Kita tidak menutup mata, bahwa masih banyak di belahan dunia ini memiliki keindahan alam yang jauh lebih asri dari Bali, dan bahkan tidak tertutup kemungkinannya telah mengadopsi serta mempraktekkan konsep Tri Hita Karana yang kita miliki. Timbul kemudian pertanyaan, “ Kenapa mereka tetap masih di bawah performa Bali ? Jawabannya adalah karena konsep Tri Hita Karana yang diadopsi dan masyarakat pendukungnya tidak dijiwai oleh spirit Weda.
Saudara-saudaraku umat sedharma yang saya banggakan, kembali kepada tema pokok dan judul dharma wacana kali ini, bahwasannya Tri Hita Karana sebagai konsep keselarasan hidup masyarakat Bali (baca: Hindu) memiliki spirit yang sangat kuat untuk mewujudkan HINDU yang siap dan tangguh dalam menghadapi tatanan masyarakat dunia yang semakin keras dan kompleks. Oleh karena itu mau tidak mau, rela tidak rela kita harus bersedia membuka diri untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya luar dengan semangat paramartha (tujuan mulia) serta tetap berlandaskan pada spirit dharma yang berstana dalam ajaran Weda. Saya yakin dengan demikian, HINDU ke depan merupakan kiblat dunia yang tiada duanya.
Dalam mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana yang dimaksud, sangat ditekankan bahwa ketiga unsurnya harus diaplikasikan secara utuh dan terpadu. Unsur parahyangan, pawongan, dan palemahan tidak ada yang menduduki porsi yang istimewa. Dia senantiasa seimbang dalam pemikiran, seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala tindakan. Sebagai konsep keharmonisan HINDU, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Unsur parahyangan dalam menjaga keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam berbagai bentuk aktivitas yadnya sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama, kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat, dsb.) untuk kepentingan ritual, kesemuanya itu membuat decak kagum orang-orang di luar sana. Dalam ranah pawongan, masyarakat Hindu dengan konsep manyama-braya, paras-paros sarpanaya, salunglung sabayantaka, dan Tat Twam Asi yang mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang ramah- tamah. Lebih-lebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap Hukum Karma Phala membuat kita semakin aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Sebelumnya saya mempunyai sebuah pertanyaan, “Adakah agama di dunia ini mempunyai hari raya yang terkait dengan lingkungan ?” Jawabnya adalah ‘tidak’ kecuali Hindu. Karena apabila agama lain ada upacara untuk itu, berarti ia memperkuat kultus berhala, sementara ia sangat alergi dengan hal-hal berhala. Bagaimana dengan Hindu ? Hindu bukan agama berhala, walau ada hari raya Tumpek Pengarah untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Kandang untuk segala macam ternak, Tumpek Landep untuk segala macam perabotan (senjata) sebagai sarana-prasarana mencari kehidupan, Nyepi untuk keharmonisan jagat raya, dan lain sebagainya. Karena substansi dari hari raya itu adalah persembahan yang tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai rasa syukur atas segala kemudahan yang dianugrahkan-Nya melalui media yang ada di alam semesta ini, dengan diiringi oleh sebuah permohonan semoga di anugerahkan kelestarian dan kemakmuran yang berkeseimbangan dan berkelanjutan.
Dalam Bhagawadgita, II.10 diuraikan :
“Sahayajnah prajah srstva
Puro ‘vaca prajapatih
Anena prasavisyadhvam
Esa vo’stv istakamadhuk”
“ Pada zaman dahulu, Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati) menciptakan alam semesta dan segala isinya dengan yadnya, serta bersabda: Wahai makhluk hidup dengan yadnya ini engkau akan berkembang dan peliharalah alam semesta ini menjadi sapi perahanmu”.


Bhagwadgita,VII.22 menegaskan :
“Sa taya sraddhaya yuktas,
Tasya ‘radhanam ihata,
Labhata ca tatah kãmãm,
Mayai’va vihitãm hi tãn.

“Diberkahi dengan kepercayaan itu dia mencari penyembahan pada itu dan dari itu pula dia dapat apa yang dicita-citakannya dan hasil mana adalah pemberian dari AKU sendiri.”
Pesan yang dapat dipetik dari sloka tadi adalah: bahwa kita harus senantiasa eling dan bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta jagat raya dengan segala isinya, selanjutnya membina hubungan yang harmonis di antara sesama manusia dan lingkungan sekitar. Maka dengan keyakinannya itu segala yang dicita-citakan akan tercapai sebagai berkah dari Yang Mahakuasa.
Umat sedharma dan pemirsa yang terkasih, dalam upaya menjaga keharmonisan alam semesta ini umat Hindu senantiasa menjaga keselarasan antara sekala dan niskala baik secara vertikal dengan Sang Pencipta dan lingkungan alamnya, maupun secara horizontal antar manusianya. Dengan demikian terciptalah energi positif yang dapat memberikan aura dan nuansa magis-spiritual. Ditambah lagi, dengan semakin eksisnya lembaga adat yang digerakkan atas konsep Tri Hita Karana menjadikan masayarakat HINDU semakin harmoni dan mandara. Umat HINDU akan semakin siap menghadapi segala tantangan pada era keterbukaan atau kesejagatan ini.
Umat sedharma dan pemirsa yang saya banggakan, sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya sampaikan pada forum ini akan tetapi mengingat terbatasnya waktu yang diberikan maka dharmawacana pada kesempatan ini saya akhiri dengan menghaturkan cakuping kara kalih, dan tidak lupa mohon maaf atas segala kekurangan yang ada pada diri saya.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om



Tidak ada komentar:

Posting Komentar