Sampai dengan pengujung abad ke–20, awal abad ke–21
dalam upacara agama (Hindu) dan acara adapt masyarakat Bali, khususnya di
Kabupaten Karangasem, masih dilaksanakan perjamuan magibung. Magibung adalah
makan bersama dalam satu talam atau dulang dengan jumlah enam sampai delapan
orang. Perjamuan magibung memiliki tata tertib tak tertulis, tetapi wajib
ditaati oleh peserta. Dari
segi sejarah kebudayaan magibung tidak sekadar acara makan bersama demi terpenuhinya
kebutuhan primer makan dan minum; tetapi memiliki asoek social, cultural,
psikologis, dan religi. Dalam
perjalanan sejarahnya semua aspek ini hadir, tetapi aspek yang satu lebih
menonjol dari yang lain. Sebagai kegiatan yang melibatkan manusia dalam konteks
tradisi dan agama, aspek social paling menonjol dan mengalami perubahan secara
dinamis.
Di masa lalu, terutama di pedesaan,
perjamuan magibung tidak terpisahkan dari upacara agama dan secara adat.
Kehadirannya menjadi cirri khas yang menandai berlangsungnya suatu upacara
agama atau acara adat. Sebagai salah satu bentuk tradisi, magibung tidak luput
dari berbagai bentuk perubahan. Perubahan–perubahan ini terjadi karena alasan
praktis, atau karena nilai filosofi aslinya tidak dipahami lagi. Dengan
de,ikian yang tinggal hanya bentuk luarnya.
Dewasa ini sangat jarang perjamuan
magibung disertai oleh delapan orang dalam satu sela (kelompok). Makna filosofi
delapan orang terkait dengan Pangider Nawa Sanga,
gibungan berada di tengah – tengah sebagai pusat spiritual.
Perubahan dari delapan orang menjadi
enam orang disebabkan oleh alasan praktis. Para peserta magibung bias lebih
nyaman duduk di seputar gibungan. Di samping itu nilai filosofinya juga hilang. Perubahan lain adalah jenis dan
warna lauknya. Jenis dan warna lauknya pun erat kaitannya dengan filosofi Nawa Sanga. Kini lauknya dibuat mengikuti selera umum masyarakat. Yang
penting enak dan digemari banyak orang.
Secara umum perubahan tata perjamuan
magibung mengikuti sifat perubahan kebudayaan seperti yang dikatakan oleh
Sartono Kartodirdjo, “setiap kebudayaan berlangsung di dalam waktu dan selalu
di dalam perubahan; hidup kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama
lenyap untuk digantikan yang baru. Disitu senantiasa terjadi pembentukan,
penciptaan kembali, dan pembaharuan.”(Kartodirdjo,1986:5). Secara khusus
perubahan–perubahan magibung di sebabkan oleh dua faktor yaitu:
(1). Masyarakat tidak lagi memahami
nilai dan makna filosofi magibung, karena tergerus oleh budaya instant yang
praktis. Yang bertahan hanya forma luarnya.
(2). Masyarakat kini semakin
terpengaruh oleh tata perjamuan modern yang berprinsip : praktis,nyaman,dan
enak. Kebersamaan seperti dalam perjamuan magibung diubah menjadi kebersamaan
tanpa mengintervensi privasi individu. Duduk tetap bersama tetapi makan dalam
piring masing – masing.
Pelan tapi pasti perubahan–perubahan
itu akan terus berlanjut, sebab perubahan itu erat kaitannya dengan perubahan
nilai – nilai social dalam masyarakat.
Usaha–usaha untuk
mempertahankanperjamuan magibung masih ada. Alasannya adalah untuk melestarikan
tradisi yang dianggap unik. Makna sosial magibung yang masih relevan engan
zaman, seperti memupuk kebersamaan, menguatkan ikatan persaudaraan,
mengakrabkan persahabatan, dan mengeratkan persatuan, ditonjolkan.
Dengan makna kontemporer banyak
kantor dinas dan instansi yang menyelenggarakan suatu acara dengan perjamuan magibung. Hal ini menyebabkan timbulnya usaha jasa boga gibungan
plus material boga modern. Misalnya : minumannya tidak lagi air dalam cerek
tetapi aqua dalam gelas. Disamping itu ditambah buah– buahan untuk cuci mulut.
Ini menunjukkan adanya kolaborasi antara perjamuan tradisional dengan perjamuan
modern.
Persentuhan perjamuan megibung
dengan perjamuan modern dalam segala akibat perubahannya, menyebabkan kita bias
memprediksi bentuk perjamuan magibung di masa depan sebagai berikut :
(1). Perubahan akan terus
berlangsung sesuai perkembangan zaman. Apapun bentuk perubahan itu semuanya
menuju kea rah perjamuan yang praktis, nyaman dan enak.
(2). Gerakan memupuk kebersamaan dan
mengeratkan persatuan/korp pada berbagai kantor dinas dan instansi akan
melestarikan perjamuan magibung, meskipun bentuk pelaksanaannya sudah amat
berbeda dengan bentuk aslinya di masa lalu.
(3). Perjamuan magibung tidak lagi
menjadi primadona dalam upacara agama dan acara adapt di Bali (khususnya di
Kabupaten Karangasem). Disamping perjamuan magibung juga dilaksanakan perjamuan
prasmanan.
Perjamuan prasmanan tampaknya
semakin berkembang hingga menyentuh pedesaan. Disamping karena alasan praktis,
pergaulan kesejagatan, lintas suku dan agama, memaksa si empunya acara
menyiapkan perjamuan prasmanan. Sebab suku non Bali dan Umat non Hindu tidak mungkin
di jamu dengan perjamuan magibung.
(4). Munculnya gerakan ajeg Bali menjadi pilar baru untuk melestarikan perjamuan magibung,
dengan mengembalikan unsure keasliannya yang masih mungkin dilakukan. Inilah menjadi
salah satu latar pemerintah Kabupaten Karangasem melksanakan perjamuan magibung
missal hingga memperoleh penghargaan MURI.
Kekhawatiran akan lenyapnya tradisi
perjamuan magibung memang beralasan mengingat perubahan nilai–nilai sosial yang
mendasar dan menyeluruh berlangsung dengan cepat. Namun perjamuan magibung idak
akan lenyap dalam masyarakat Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem), karena
perjamuan magibung telah mendapat nilai dan makna baru. Disamping itu selama
Desa Pakraman dan Banjar masih eksis di Bali, perjamuan magibung tidak akan
lenyap lebih – lebih di wilayah pedesaan, sebab perjamuan magibung enjadi
bagian integral dari tata perjamuan Banjar dan Desa Pakraman. Perjamuan magibung akan tetap
eksis meski dengan wajah yang selalu berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar