"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

2/26/2012

TRADISI MAGIBUNG



Sampai dengan pengujung abad ke–20, awal abad ke–21 dalam upacara agama (Hindu) dan acara adapt masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem, masih dilaksanakan perjamuan magibung. Magibung adalah makan bersama dalam satu talam atau dulang dengan jumlah enam sampai delapan orang. Perjamuan magibung memiliki tata tertib tak tertulis, tetapi wajib ditaati oleh peserta. Dari segi sejarah kebudayaan magibung tidak sekadar acara makan bersama demi terpenuhinya kebutuhan primer makan dan minum; tetapi memiliki asoek social, cultural, psikologis, dan religi. Dalam perjalanan sejarahnya semua aspek ini hadir, tetapi aspek yang satu lebih menonjol dari yang lain. Sebagai kegiatan yang melibatkan manusia dalam konteks tradisi dan agama, aspek social paling menonjol dan mengalami perubahan secara dinamis.
Di masa lalu, terutama di pedesaan, perjamuan magibung tidak terpisahkan dari upacara agama dan secara adat. Kehadirannya menjadi cirri khas yang menandai berlangsungnya suatu upacara agama atau acara adat. Sebagai salah satu bentuk tradisi, magibung tidak luput dari berbagai bentuk perubahan. Perubahan–perubahan ini terjadi karena alasan praktis, atau karena nilai filosofi aslinya tidak dipahami lagi. Dengan de,ikian yang tinggal hanya bentuk luarnya. Dewasa ini sangat jarang perjamuan magibung disertai oleh delapan orang dalam satu sela (kelompok). Makna filosofi delapan orang terkait dengan Pangider Nawa Sanga, gibungan berada di tengah – tengah sebagai pusat spiritual.
Perubahan dari delapan orang menjadi enam orang disebabkan oleh alasan praktis. Para peserta magibung bias lebih nyaman duduk di seputar gibungan. Di samping itu nilai filosofinya juga hilang. Perubahan lain adalah jenis dan warna lauknya. Jenis dan warna lauknya pun erat kaitannya dengan filosofi Nawa Sanga. Kini lauknya dibuat mengikuti selera umum masyarakat. Yang penting enak dan digemari banyak orang. Secara umum perubahan tata perjamuan magibung mengikuti sifat perubahan kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, “setiap kebudayaan berlangsung di dalam waktu dan selalu di dalam perubahan; hidup kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama lenyap untuk digantikan yang baru. Disitu senantiasa terjadi pembentukan, penciptaan kembali, dan pembaharuan.”(Kartodirdjo,1986:5). Secara khusus perubahan–perubahan magibung di sebabkan oleh dua faktor yaitu:
(1). Masyarakat tidak lagi memahami nilai dan makna filosofi magibung, karena tergerus oleh budaya instant yang praktis. Yang bertahan hanya forma luarnya.
(2). Masyarakat kini semakin terpengaruh oleh tata perjamuan modern yang berprinsip : praktis,nyaman,dan enak. Kebersamaan seperti dalam perjamuan magibung diubah menjadi kebersamaan tanpa mengintervensi privasi individu. Duduk tetap bersama tetapi makan dalam piring masing – masing.
Pelan tapi pasti perubahan–perubahan itu akan terus berlanjut, sebab perubahan itu erat kaitannya dengan perubahan nilai – nilai social dalam masyarakat. Usaha–usaha untuk mempertahankanperjamuan magibung masih ada. Alasannya adalah untuk melestarikan tradisi yang dianggap unik. Makna sosial magibung yang masih relevan engan zaman, seperti memupuk kebersamaan, menguatkan ikatan persaudaraan, mengakrabkan persahabatan, dan mengeratkan persatuan, ditonjolkan.
Dengan makna kontemporer banyak kantor dinas dan instansi yang menyelenggarakan suatu acara dengan perjamuan magibung. Hal ini menyebabkan timbulnya usaha jasa boga gibungan plus material boga modern. Misalnya : minumannya tidak lagi air dalam cerek tetapi aqua dalam gelas. Disamping itu ditambah buah– buahan untuk cuci mulut. Ini menunjukkan adanya kolaborasi antara perjamuan tradisional dengan perjamuan modern.
Persentuhan perjamuan megibung dengan perjamuan modern dalam segala akibat perubahannya, menyebabkan kita bias memprediksi bentuk perjamuan magibung di masa depan sebagai berikut :
(1). Perubahan akan terus berlangsung sesuai perkembangan zaman. Apapun bentuk perubahan itu semuanya menuju kea rah perjamuan yang praktis, nyaman dan enak.
(2). Gerakan memupuk kebersamaan dan mengeratkan persatuan/korp pada berbagai kantor dinas dan instansi akan melestarikan perjamuan magibung, meskipun bentuk pelaksanaannya sudah amat berbeda dengan bentuk aslinya di masa lalu.
(3). Perjamuan magibung tidak lagi menjadi primadona dalam upacara agama dan acara adapt di Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem). Disamping perjamuan magibung juga dilaksanakan perjamuan prasmanan.
Perjamuan prasmanan tampaknya semakin berkembang hingga menyentuh pedesaan. Disamping karena alasan praktis, pergaulan kesejagatan, lintas suku dan agama, memaksa si empunya acara menyiapkan perjamuan prasmanan. Sebab suku non Bali dan Umat non Hindu tidak mungkin di jamu dengan perjamuan magibung.
(4). Munculnya gerakan ajeg Bali menjadi pilar baru untuk melestarikan perjamuan magibung, dengan mengembalikan unsure keasliannya yang masih mungkin dilakukan. Inilah menjadi salah satu latar pemerintah Kabupaten Karangasem melksanakan perjamuan magibung missal hingga memperoleh penghargaan MURI.
Kekhawatiran akan lenyapnya tradisi perjamuan magibung memang beralasan mengingat perubahan nilai–nilai sosial yang mendasar dan menyeluruh berlangsung dengan cepat. Namun perjamuan magibung idak akan lenyap dalam masyarakat Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem), karena perjamuan magibung telah mendapat nilai dan makna baru. Disamping itu selama Desa Pakraman dan Banjar masih eksis di Bali, perjamuan magibung tidak akan lenyap lebih – lebih di wilayah pedesaan, sebab perjamuan magibung enjadi bagian integral dari tata perjamuan Banjar dan Desa Pakraman. Perjamuan magibung akan tetap eksis meski dengan wajah yang selalu berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar