Dalam
dunia pendidikan paradigma lama mengenai proses belajar mengajar bersumber pada
teori (atau lebih tepatnya asumsi) tabula rasa John Locke yang menyatakan bahwa
pikiran anak seperti kertas kosong yang putih dan siap menunggu coretan-coretan
gurunya. Dengan kata lain, otak seorang
anak sepeti botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan
kebikaksanaan sang mahaguru.
Tuntutan dalam dunia pendidikan
sudah banyak berubah. Kita tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama tersebut. Teori, penelitian
dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa para guru sudah
harus mengubah paradigma pengajaran.
Kita perlu menelaah kembali
praktik-praktif pembelajaran di sekolah-sekolah . peranan yang harus dimainkan
oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan
bermasyarakat di abad 21 akan sangat
berbeda dengan peranan
tradisional yang selama ini dipegang oleh sekolah-sekolah.
Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan juga sudah menjadi harapan
masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan
menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi
dan pengetahua. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai yang mahatahu
dan sumber informasi . lebih celaka lagi siswa belajar dalam situasi yang
membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengajar
nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi.
Tampaknya perlu adanya perubahan
dalam menelaah proses belajar siswa interaksi antara siswa dan guru. Sudah
seyogyanya kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa
bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa
saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain
itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa.
Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesame siswa yang lainnya. Bahkan banyak penelitian menunjukkan
bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (pear
teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. System
pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan
sesame siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai system “ pembelajaran gotong royong”
atau cooperative learning. Dalam system ini,
guru bertindak sebagai fasilitator.
Ada beberapa alas an penting
mengapa system pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah.
Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi social, ekonomi,
dan demografis yang mengharuskan sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik
dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam
dunia yang berubah dan berkembang pesat.
Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri
ini metode gotong royong tidak terlampau asing dan mereka telah sering menggunakannya dan
mengenalnya sebagai metode kerja
kelompok. Memang tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugarkan
para siswa untuk bekerja dalam kelompok.
Sayangnya, metode kerja kelompok
sering dianggap kurang efektif. Berbagai sikap dan kesan negative memang
bermunculan dalam pelaksanaan metode kerja kelompok. Jika kerja kelompok tidak
berhasil, siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul
perasaan tidak adil. Siswa yang pandai/rajin merasa rekannya yang kurang mampu
telah membonceng pada hasil kerja mereka. Akibatnya metode kerja kelompok yang
seharusnya bertujuan mulia, yakni menanamkan rasa persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa
berakhir dengan ketidakpuasan dan kekecewaan. Bukan hanya guru dan siswa yang
merasa pesimis mengenai penggunaan
metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang orang tua pun merasa was-was jika
anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok dengan siswa lain yang dianggap
kurang seimbang.
Berbagai dampak negative dalam
menggunakan metode kerja kelompok tersebut seharusnya bisa dihindari jika saja
guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian dalam mempersiapkan dan menyusun metode kerja
kelompok. Yang diperkenalkan dalam metode pembelajaran cooperative learning bukan
sekedar kerja kelompok melainkan pada penstrukturannya, jadi system pengajaran cooperative learning bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar
kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima
unsure pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan
positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama
dan proses kelompok.
Kekawatiran bahwa semangat siswa
dalam mengembangkan diri secara individual bisa terancam dalam menggunaan
metode kerja kelompok bisa dimengerti karena dalam penugasan kelompok yang
dilakukan secara sembarangan, siswa bukannya belajar secara maksimal, melainkan
belajar mendominasi ataupun melempar tanggung jawab. Metode pembelajaran gotong
royong distruktur sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota dalam satu
kelompok melaksanakan tanggung jawab pribadinya karena ada system akuntabilitas
individu. Siswa tidak bisa begitu saja membonceng jerih payah rekannya dan
usaha setiap siswa akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar