"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/28/2011

MEMBACA DAN SASTRA ANAK


DAFTAR ISI
BAB I  PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
I.2. Tujuan
BAB II ISI
II.I Proses Membaca
II.2. Kaitan Membaca dan Sastra
II.3. Sastra Sebagai Lndasan Pengembangan Membaca
II.4. Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca
II.5. Pemanpaatan Bahan Ajar Sastra Bagi Penumbuhkembangan Kemampuan Membaca
II.6. Pengembangan Pembelajaran Membaca Berdasarkan Karya Sastra
BAB III PENUTUP
III.I. Kesimpulan
III.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang penting didalam dunia pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus mempelajari ilmu pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Agar kita dapat belajar dan mengetahui bagaimana cara kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Terutama bagi calon pendidik, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dirasakan memang sangat penting. Karena ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak didiknya, ia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apabila seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, maka akan dicontoh oleh anak-anak didiknya.
Dewasa ini, dari sekian banyak orang, yang bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar amat sedikit. Bahkan yang lebih parahnya masi ada diantara mereka yang sama sekali tidak bisa membaca (buta hurup). Oleh karena itu anak-anak harus belajar membaca dari kecil karena membaca angat penting. Dengan membacalah kita dapat berbagai macam pengetahuan. Disinilah peran seorang guru/pendidik yang harus memberantas buta hurup.
B. Tujuan
Pendidikan di Sekolah Dasar mertujuan memberikan bekal kemampuan dasar “membaca, menulis dan menghitung”, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanpaat bagi siswa sesuai tingkat perkembangannya. Kemudian, tujuan pembelajaran sastra adalah
BAB II
MEMBACA DAN SASTRA ANAK
A. Proses Membaca
Secara keseluruhan mata prlajaran Bahasa Indonesia di SD berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan menggunakan pikiran juga perasaan, serta membina persatuan dan kesatuan bangsa. Di SD, khususnya di kelas 1 dan 2 diutamakan pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia sederhana melalui membaca, menulis, mengarang dan imla (dikte) dengan menggunakan bahasa Indonesia baku. Untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan dasar menggunakan bahasa, dalam kegiatan kegiatan belajar di kelas 1 dan 2 diberikan pengetahuan sederhana tentang lingkungan alam dan sosial.
Menurut Spodek dan Saracho, membeca merupakan proses mendapatkan makna dari barang cetak. Ada dua cara yang ditempuh dalam membaca untuk memperoleh makna dari barang cetak yaitu :
3.    Langsung, yakni menghubungkan ciri penanda visual dari tulisan dengan maknanya.
4.    Tidak langsung, yakni mengidentifikasi bunyi dalam kata dan menghubungkannya dengan makna.
Cara pertama digunakan oleh pembaca lanjut dan yang kedua digunakan oleh pembaca permulaan.
Combs memilah kegiatan membaca menjadi tiga tahap yaitu:
4.    Tahap persiapan
Anak mulai menyadari tentang fungsi barang cetak, konsep tentang cara kerja barang cetak, konsep tentang huruf dan konsep tentang kata.
5.    Tahap perkembangan
Anak mulai memahami pola bahasa yang terdapat dalam barang cetak. Anak mulai belajar memasangkan satu kata dengan yang lain.
6.    Tahap Transisi
Anak mulai mengubah kebiasaan membaca bersuara menjadi membaca dalam hati. Anak mulai dapat melakukan kegiatan membaca dengan santai.
Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam pengajaran membaca yaitu:
1. Pengembangan aspek sosial anak
2. Pengembangan fisik
3. Pengembangan kognitif
B. Kaitan Membaca dan Sastra
Sartra berpungsi menghibur dan sekaligus mendidik, sehingga paling sedikit yang diperoleh dari sastra yaitu memahami kebutuhan akan kepuasan pribadi dan pengembangan kemampuan bahasa. Kepuasan pribadi anak-anak setelah membaca karya sastra sangat penting, artinya selain mereka diminta menguasai keterampilan membaca selanjutnya karya sastra juga berfungsi mengembangkan wawasan.
Dalam fungsi karya sastra dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dapat disebut sebagai nilai pendidikan. Banyak hasil pendidikan yang menunjukan keefektipan karya sastra dalam mengembangkan kemahiran berbahasan. Misalnya: Sorolski dkk, menemukan bahwa buku bergambar yang baik dapat merangsang peningkatan pikiran dan perasaan anak secara lisan.
d.    Sastra anak-anak dan pengembangan kebewaraan
Kebewaraan adalah kemampuan membaca dan menulis dalam menunaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia kerja dan kehidupan diluar sekolah (Tompkins, 1991:81). Pengembangan membaca dan menulis telah diamanatkan di dalam kurikulum Pendidikan Dasar khususnya pendiikan dasar yang diselenggarakan di SD.
Pelajaran Bahasa Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan membeca dan menulis (Kurikulum Pendidikan Tahun 1994). Pengembangan keberwacanaan dapat dilaksanakan melalui pemanpaatan ini anak-anak sebagai media pembelajaran membaca dan menulis. Pemanpaatan ini didasarkan pada asumsi bahwa sastra dapat mengembangkan bahasa, sastra dapat mengembangkan bahasa anak (Huck, 1987: Ellis, 1989)
Istilah keberwacanaan merupakan terjemahan “Literacy” dari bahasa Inggris. Semula, literacy diartikan sebagai pengetahuan tentang cara membaca (keberaksaraan) tetapi kemudian karena tujuan yang diharapkan bukan sekedar mengenal aksara atau tulisan. Para guru memperkrnalkan komputer pada anak SD dan mengembangkan keberwacanaan komputer (computer literacy).
Bagaimanapun, keberwacanaan adalah suatu alat atau sarana yang dipakai untuk belajar tentang dunia dan untuk berperan penuh dalam masyarakat.
e.    Awal kebewaraan
Keberwacanaan adalah proses yang dimulai sebelum pendidikan dasar berlanjut kemasa dewasa. Keberwacanaan dilakukan pada anak berumur 5 tahun atau pada saat memasuki taman kanak-kanak. Sebagai “persiapan” untuk pembelajaran membaca dan menulis yang akan dimulai secara formal pada tingkat pertama.
Imflikasi dari hal ini adalah bahwa dalam perkembangan anak-anak ada saat-saat yang tepat untuk mengajari mereka membaca. Persfektif tentang cara anak menjadi anak itulah yang disebut awal keberwacanaan (emergency literacy).
Berdasarkan keberwacanaan ditentukan oleh 4 komponen, atau 4 elemen umum yaitu:
5.    Pesan tekstual (textual intent)
6.    Daya tawar (negotiability)
7.    Bahasa digunakan untuk meningkatkan bahasa (language use to tinetune language)
8.    Pengambilan risik (risk takinag)
f.    Fungsi sastra anak-anak dalam pengebangan keberwacanaan
Pada bagian awal tulisan ini dikemikakan bahwa keberwacanaan mnengacu pada kemampuan membaca dan menulis. Terkait dengan dua kemampuan inilah fungsi sastra anak-anak dalam pengembangan keberwacanaan dijelaskan dengan memanfaatkan informasi (Huck, 1987: 15-16) menyimak cerita dapat memperkenalkan anak pada pola-pola bahasa dan mengembangkan kosakata serta maknanya, peran membaca juga cukup signifikan dalam pengembangan menulis.
Smith mengetakan pengembangan komposisi dalam menulis tidak dapat dikembangkan dalam menulis saja tetapi menuntut aktifitas membaca dan kegemaran membaca. Hanya dari bahasa tulis orang lain anak-anak dapat mengamati dan memahami konvesi serta gagasan secara bersama-sama (Huck, 1987).
C. Sastra Sebagai Landasan Pengembangan Membaca
Program pembelajaran sastra yang berlandaskan sastra menggunakan berbagai endekatan dan strategi untuk membentu keterampilan berbahasa. Pembelajaran bersifat terpadu yang sudah diterapkan dalam situasi kelas yang bagaimanapun. Jadwal membaca tiap hari dapat digabarkan dengan cara, yaitu waktu dua jam dipandang sudah sesuai karena keterampilan berkomunikasi dalam bidang membaca, menulis, menyimak dan berbicara diajarkan secara terpadu.
Kegiatan membaca sastra dapat dilakukan dengan cara:
a.    Kegiatan teraran
Guru memerlukan waktu khusus untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu kepada kelompok anak atau seluruh anak di kelas. Dalam keseluruhan program pembelajaran bahasa kegiatan terarah kadang-kadang berwujud pembelajaran strategi membaca. Misalnya murid menanggapi ilustrasi cerita, membuat ilustrasi hasil karya sastra sendiri, mendemonstrasikan peristiwa dan sebagainya.
b.    Kegiatan bebas
Anak-anak perlu sekali diberikan kesempatan untuk memprakarsai kegiatan-kegiatan mereka sendiri dan bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk membuat keputusan, mengatasi masalah, dan bertanggung jawab atas kegiatan belajar, mereka sendiri dapat mempersiapkan anak-anak menghadapi tuntutan dunia kerja dalam kehidupan yang sebenarnya.
c.    Kegiatan murid-guru
Diadakan diskusi antara murid dan guru untuk menolng anak-anak yang memerlukan peningkatan dalam hal keterampilan khusus atau pemahaman. Melalui diskusi-diskusi, murid dengan guru dapat mengumpulkan informasi penting mengenai minat anak, sikap terhadap kegiatan membaca dan perkembangan dalam keterampilan membaca dan keterampilan berpikir.
Diskusi murid dan guru tersebut hendaknya mengandung hal-hal berikut:
6.    Diskusi dapat difokuskan pada unsur-unsur bacaan, konsep atau permasalahan yang ada dalam bacaan pengarang atau jenis karya sastra.
7.    Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang menuju pada hal-hal tertentu sehingga murid yang bersangkutan terlihat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi (menganalisis, mensintesa dan mengevaluasi).
8.    Membaca nyaring bagian bacaannya dipilih sendiri oleh murid yaitu bagian yang dia sukai.
9.    Diskusi difokuskan pada proses pemilihan kegiatan, rencana untuk mengatasi hambatan penyelesaian tugas.
10.    Saran untuk kegiatan membaca selanjutnga dan petunjuk mengenai pengembangan ketermpilan.
d.    Karakteristik sastra sebagai bahan ajar kemampuan berbahasa
Sebagai bahasa ajar, sastra memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahan bahasa ajar yang lain, yaitu bahasa, struktur teks, isi pesan, asfek kejiwaan yang ditumbuhkembangkan dan strategi perangkapan isi teks yang diperlikan.
Bahasa teks sastra berciri kontatif atau kiasan, dilihat dari aspek semantis yang dikandungnya, bersifat informal bila dilihat dari segi bahasanya, banyak mengandumg majas, dan menonjolkan ciri wacana narasi dan deskrifsi. Dilihat dari isi, teks sastra mengandung pesan-pesan kemanusiaan, pesan-pesan ini bersifat tidak langsung.
Dilihat dari struktur teksnya, teks sastra mengandung karakter/tokoh, alur, peristiwa, setting, dan sudut penceritaan. Aspek kejiwaan meliputi daya nalar, kepekaan emosi, daya imajinasi, perluasan wawasan dan daya kreasi. Daya nalar ditumbuh kembangkan melalui pemahaman dan penghayatan terhadap permasalahan kemanusiaan dan lingkungan hidup. Emosi ditumbuh kembangkan melalui penghayatan karakter tokoh dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Daya imajinasi ditumbuh kembangkan melalui kegiatan berpikir asosiatif yakni mengasasikan peristiwa yang disuguhkan dalam teks sastra yang dibacanya dengan peristiwa sehari-hari. Daya kreasi ditumbuh kembangkan melalui kegiatan berpikir divergen (yang diarahkan untuk menumbuh kembangkan kebersamaan dan kemampuan anak mengemukakan pendapat), kegiatan berpikir rekreatif, dan kegiatan kreatif. Wawasan yang dimaksudkan disini adalah berkembangnya wawasan anak yang diakibatkan oleh aktifitas belajar yang telah dilakukannya.
Pembaca sastra memerlukan strategi baca yang berbeda dengan strategi membaca teks-teks nonsastra, itu disebabkan oleh bahasa sastra bersifat konotatif/kias, yang berarti pesan disajikan oleh pengarang secara terselubung. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, yaitu nilai keindahan dan nilai moral akan meresap dan berkembang dalam diri anak secara alami.
Karya sastra dapat menolong anak-anak memahami dunia mereka, membentuk sikap-sikap yang positif, dan menyadari hubungan dengan manusia. Lewat karya sastra anak-anak dapat mempelajari dan memaknai dunia mereka misalnya dengan membaca karya sastra yang melukiskan seorang anak yang sering menolong sehingga disayang oleh gurunya dan teman-temanya, anak akan mengerti bahwa mereka harus bersukap seperti itu agar banyak yang sayang.
D. Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca
Sebagaimana kita ketahui, bagi sebagian besar murid SD bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua. Dalam teori belajar bahasa Indonesia dikemukakan bahwa bahasa pertama (bahasa ibu) memiliki peran dalam keberhasilan belajar bahasa kedua, termasuk belajar membaca dan menulis.
Dulay dan Krahsen mengemukakan bahwa bahasa pertama dapat berpengaruh positif juga negatif terhadap proses belajar bahasa kedua.
-    Pengaruh positifnya adalah bahwa bahasa pertama yang dimiliki siswa dapat memperlancar proses belajar bahasa kedua.
-    Pengaruh  negatif: Bahasa pertama yang telah dikuasai siswa dapat menghambat proses penguasaan bahasa kedua.
Ellis menggunakan istilah transfer untuk menamai pengaruh positif dari bahasa pertama terhadap belajar bahasa kedua, dan istilah interferensi untuk menamai pengaruh negatif dari bahasa pertama terhadap belajar bahasa kedua. Belajar bahasa Indonesia pada hakekatnya adalah belajar berkomunikasi, meningkatkan kemampuan berpikir, dan memperluas wawasan, maka bahan pengajaran harus diarahkan pada kepentingan tersebut. Bahan pengajaran bersifat terpadu dan berkesinambungan dan dapat dipadukan dengan pelajaran lain. Penyajian bahan pengajaran bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pengajaran.
Pengajaran membaca yang baik adalah pengajaran yang didasarkan pada kebutuhan anak dan mempertimbangkan apa yang telah dikuasai anak. Rubin (1993) mengemukakan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengajaran membaca yaitu:
10.    Peningkatan ucapan
11.    Kesadaran fonemik (bunyi)
Kemampuan yang di ajarkan dalam kesadaran fonemik meliputi:
a.    pembedaan bunyi
b.    pembedaan huruf
c.    konsonan awal dan akhir
d.    vokal
e.    huruf-huruf tertentu dan bunyinya
f.    suku kata
12.    Hubungan antara bunyi-huruf
13.    Membedakan bunyi-bunyi
Hasil pengujian klinik menunjukan hal-hal :
a.    setiap individu berkemampuan beda dalam membedakan bunyi
b.    umumnya kemampuan membedakan bunyi dikuasai anak dengan sempurna pada usia 8 tahun
c.    ada hubungan positif antara lambatnya penguasaan kemampuan membedakan bunyi dengan ketidak tepatan pengucapan
d.    ada hubungan positif antara rendahnya kemampuan membedakan bunyi dengan kemampuan membaca
e.    kemampuan membedakan bunyi tidak ditentukan oleh tingkat intelegensi
untuk itu anak butuh perhatian khusus dalam membedakan bunyi. Latihan perlu terus menerus pada pengucapan bunyi-bunyi sejenis dan searti juga yang berbeda arti.
14.    Kemampuan mengingat
15.    Membedakan huruf
16.    Orientasi dari kiri kekanan
Dalam bahas Indonesia membaga menggunakan sistem dari kiri kekanan. Biasanya lebih cenderung pada yang kidal karena hasil penelitian Rubin (1993) yang kidal lebih cenderung memiliki orientasi dari kanan kekiri.
17.    Keterampilan pemahaman
18.    Penguasaan kosakata
Pengenalan kata merupakan proses yang melibatkan kemampuan mengidentifikasi simbol tulis, mengucapkan dan menghubungkannya dengan makna. Ribin (1993: 149) mengemukakan beberapa strategi untuk memperkenalkan kata yaitu:
a.    strategi pengucapan
Strategi untuk mengenali cara pengucapan suatu kata yaitu:
7.    analisis dan sintesis fonik
8.    keseluruhan kata atau metode menatap dan mengucapkan
9.    meminta seseorang untuk mengucapkan kata untuk anda
10.    unsur konteks (kata-kata yang melingkupi kata), unsurnya berupa definisi, contoh, perbandingan/konteks penjelasan yang dapat menggambarkan makna kata
11.    SAS (Structural Analisis and Synthesis) caranya membelah kata kedalam unit pengucapan
12.    melihat pengucapan dari kamus
b.    strategi pengenalan makna kata
Untuk mengajarkan makna kata dapat digunakan beberapa strategi yaitu:
5.    konteks, memanfaatkan konteks untuk memahami kata
6.    SAS untuk makna
7.    bertanya kepada orang lain tentang suatu makna kata
8.    memanfaatkan kamus
Berikut ini contoh kegiatan pembelajaran membaca :
d.    Kegiatan membedakan bunyi-bunyi
-    perdengarkan percakapan kepada anak
-    setelah diperdengarkan murid mempelajari huruf dan bunyi, kegiatannya berupa:
• sajikan kepada murid 3 kata yang diawali konsonan yang sama dan satu kata diawali konsonan berbeda
• sajikan kata-kata yang diawali dengan konsonan yang sama atau berbeda
Kegiatan membedakan bunyi juga dapat dilakukan dengan menggunakan model permainan, contoh:
3.    Membedakan bunyi dalam kalimat
Ucapkan sebuah kalimat dan ulangi bunyi awal dari setiap kata yang ada dalam kalimat, tugaskan anak untuk menambahkan kata yang memiliki bunyi awal yang sama. Contoh:     Adik suka permen
Pintu itu ditutup
4.    Saya melihat……
Ucapkan kalimat yang diawali kata saya melihat diikuti bunyi yang akan diajarkan!     Saya melihat d……….
Nita makan n……….
e.    Kegiatan membedakan huruf
Untuk kepentingan ini digunakan kartu-kartu huruf atau permainan huruf.
f.    Konsentrasi dan mengikuti perintah.
Problem umum yang dihadapi anak dalam membaca
Berikut ini dikemukakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak dalam membaca:
Tabel Kategori
No.    Kategori    Wujud
1    Pramembaca    1) kurang mengenali huruf
2    Membaca
Bersuara     2) membaca kata demi kata
3) pemparafrasean yang salah
4) miskin pelapalan(kesalahan pengucapan)
5) penghilangan
6) pengulangan
7) pembalikan
8) penyisipan
9) penggantian
10) menggunakan gerak bibir, jari telunjuk, menggelengkan kepala
3    Pecahan
Kode (Decoding)    11) kesulitan kesamaan
12) kesulitan vokal
13) kesulitan kluster, diftong, digraf
14) kesulitsn menganalisis struktur kata
15) tidak mengenali makna kata dalam kalimat
E. Pemanfaatan Bahan Ajar Sastra Bagi Penumbuhkembangan Kemampuan Berbahasa
Pengajaran bahasa Indonesia dimaksudkan untuk menyiapkan agar anak mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pengajaran yang demikian pada hakekatnya adalah pengajaran yang dimaksudkan untuk membentuk kompetensi komunikasi. Kompetensi ini memiliki empat unsur pokok yaitu pengetahuan dan penguasaan kaidah tatabahasa baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun sematik. Pengajaran apresiasi sastra dengan bahan bahan ajar sastranya, berfungsi sebagai wahana penbentukan kompetensi komunikasi khusus kepada anak. Kompetensi yang dimaksud disini adalah kompetensi komunikasi sastra dan kompetensi komunikasi bahasa yang lain yang berarah emotif-imajinatif.
Pengajaran bahasa dengan bahan ajar sastra mengajak anak untuk memahami karakteristik bahasa sastra sebagai salah satu ragam bahasa Indonesia, dan karakteristik komunikasi sastra sebagai salah satu bentuk komunikasi tulis bahasa Indonesia. Karakteristik komunikasi astra antara lain:
1. komunikasi ini bersifat tidak langsung
2. kehadiran penulis tidak dapat menggantikan kedudukan teks sastra yang ditulisnya
3. konteks komunikasi sastra berdimensi ganda
4. ada jarak antara realitas dalam teks dalam realitas kehidupan nyata dan antara teks sastra dengan penulisnya.
Pengajaran sastra dewasa ini dibagi dua golongan besar yaitu:
a. pengajaran tentang sastra, pengajaran tentang sastra berisi teori-teori sastra.
b. pengajaran sastra beranggapan bahwa untuk mengapresiasi karya sastra siswa harus langsung dikenalkan dan diakrabkan dengan karya sastra.
Kegiatan mengenal meliputi melihat, mendengar, menyimak, dan membaca. Kegiatan memahami meliputi kegiatan menafsirkan, mengartikan, memproposikan, mencari hubungan, menemukan pola, menarik kesimpulan dan menggeneralisasi.
Kedudukan pengajaran sastra dalam kurikulum 1994, dalam kurikulum 1994, tujuan dibagi atas:
1). Tujuan umum pengajaran, yakni tujuan yang harus dicapai oleh pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.
2). Tujuan khusus pemahaman, yakni tujuan agarsiswa menguasai dan mengembangkan kemampuan-kemampuan reseptif.
3). Tujuan khusus penggunaan, yakni tujuan agar siswa menguasai dan mengembangkan kemampuan-kemampuan produktif.
Kemampuan apresiasi sastra tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan apresiasi itu sendiri, memahami dan dapat mengapresiasi karya sastra Indonesia serta dapat mengkomunukasikan secara lisan dan tulisan. Tetapi juga pengajaran lewat sastra, pengajaran sastra yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan mengembangkan kepribadian.
F. Pengembangan Pembelajaran Membaca Berdasarkan Karya Sastra
Menurut teori Schema, sering membaca buku dengan jumlah banyak memungkinkan anak mengembangkan pengetahuan, selanjutnya memudahkan mereka juga dapat bervariasi bacaannya. Mereka akan memiliki apresiasi terhadap karya sastra dan kemumgkinannya mereka menjadi pembaca sepanjang hidupnya (North, 1989: 426)
Model Pegembangan Keberwacanaan Melalui Sastra
·    Model perencanaan pengembangan
Komponen-komponen pembelajaran yang perlu direncanakan meliputi tujuan pembelajaran, bentuk dan sifat pembelajaran, bahan pembelajaran serta prosedur pembelajaran (Norton & Norton, 1994:7).
Untuk merumuskan tujuan pembelajaran dapat menemukannya dari tujuan umum pengajaran. Bentuk prmbelajaran dibedakan atas pembelajaran klasikal kelompok dan individu. Agar epektif dibutuhkan kerjasama antara murid dan guru meliputi kelompok kecil dan individu. Aktivitas ini dibedakan menjadi aktivitas jangka pendek, jangka lama, dan aktivitas pojok belajar.
Bahan pembelajaran meliputi nama-nama buku, referensi, gambar-gambar pendukung media.
·    Strategi pengembangan
Beberapa strategi pengembangan dengan teknik utama latihan yang didasarkan pada uraian Johnson (1987) dalam Literacy Through Literature, untuk mendukung agar penerapan strategi bisa dilakukan diperlukan buku-buku sederhana dan menarik agar anak mudah juga tertantang membacanya.
Dalam memilih dan mengembangkan latihan, peran guru adalah menjamin tersedianya bahan, yaitu menyajikan cerita secara lisan dan melalui latihan membimbing dan memberikan bimbingan individu pada siswa yang nerusaha menerapkan latihan pada buku latihannya.
Jenis strategi diantaranya yaitu:
Teknik Cloze
Ringkasan Model Burgs (RBM)
RBM dikembangkan dari prosedur klos yang sudah lajim melalui dua cara; pertama siswa belajar melalui ringkasan bukan dengan teks asli, kedua kata-kata terpilih digantikan kata kosong awal kata, RBM juga disajikan sebagai permainan. Agar aplikasi ini tetap mengembangkan keterampilan anak perlu prosedur klos yang terbimbing sebagaimana contoh berikut:
Pada suatu hari para p………….. berdatangan menembaki b…………….. dan satwa lainya. Kehidupan yang semula tentram dan tenang akhirnya berubah menjadi kacau karena kedatangan pemburu. Keluarga c…………… yang semula bersatu, akhirnya terpaksa berpisah akibat pemburu yang serakah. S……………. yang masih tertinggal merasa terancam.
Cendrawasih dan burung yang lainnya selalu memohon kepada Tuhan agar melindungi keseimbangan alam.
Tangga cerita (story ladders)
Tangga cerita dibciptakan dengan membuat ringkasan cerita yang bagian akhir kalimatnya dihapus. Contoh berikut didasarkan pada cerita malin kundang:
3.    Dalam cerita ini malin kundang adalah………………………………………………………….
4.    Dia merantau ke…………………………………………………
3. Akhirnya dia pulang dan tida mengakui ibunya terus ibunya…………………………………………………………..
Anak ditugaskan mengkreasikan sendiri lanjutannya tapi bukan kalimat aslinya. Anak akan senang memprediksi cerita sebelum membaca dan merevisinya setelah membaca.
1. Dalam cerita ini malin kundang adalah…..…..
a. …………………………………………(prediksi sebelum membaca)
b. …………………………………………(prediksi sesudah membaca).
Sejak kurikulum SD 1975, kurikulum SD 1984, maupun kurikulum SD 1994 seperti sekarang. Pelajaran sastra Indonesia selalu dimasukan kedalam pengajaran bahasa Indonesia, khususnya di SD. Fungsi pelajaran bahasa Indonesia adalah:
a.    sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa
b.    sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan bahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
c.    sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan bahasa Indoneia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetehuan teknologi dan eni.
Tujuam megenai sastra yaitu:
-    Siswa mampu mengenal dan mampu membedakan bentuk-bentuk puisi, prosa dan drama.
-    Siswa mampu membedakan ragam bahasa sastra dan ragam bahasa lainnya.
Yang diperlukan dalam pembelajar sastra dan bahasa:
f.    Isi materi pelajaran
-    materi pelajaran harus relevan terhadap tujuan intruksional yang jarus dipakai
-    materi pelakaran haru sesuai taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa
-    materi pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa
-    materi pelajaran harus membantu untuk melihat diri secara aktif, baik dengan berpikir atau dengan mengadakan kegiatan
-    msteri pelajaran harus sesuai dngan prosedur didaktik yang diikuti
-    materi pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran yang tersedia
Dengan demikian apabila peran guru dan penilaian isi materi pelajaran itu menyediakan bacaan yang bermutu, memberi kebenasan kepada anak untuk memilih bacaan yang disukainya.
g.    Guru
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan proses pengajaran satra di kelas, guru dituntut mempu melaksanakan tugasnya secara propesional. Guru harus memiliki 10 kopetensi yaitu:
1)    Kemampuan menguasai bahan materi bidang study.
2)    Kemampuan mengelola program belajar mengajar.
3)    Kemampuan mengelola kelas.
4)    Kemampuan menggunakan media dan sumber.
5)    Penguasaan landasan-landasan pendidikan.
6)    Kemampuan mengelola interaksi belajar megajar.
7)    Kemampuan menilai kemampuan siswa.
8)    Pengenalan fungsi dan program layanan dan bimbingan dan konseling di sekolah.
9)    Pengenalan dan penyelenggaraan admisistrasi sekolah.
10)    Pemahaman prinsip-prinsip dan penafsiran hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
h.    Siswa
Siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam pembelajaran sastra. Dalam pengajaran siswa di SD, problem yang berkaitan dengan siswa yang dapat di identifikasi antara lain motivasi minat belajar sastra, serta lingkungan belajar siswa. Timbulnya motivasi dan minat siswa belajar yang rendah tidak terlepas dari faktor lingkungan siswa, karena lingkungan merupakan sarana yang sangat mempengaruhi dalam belajar sastra. Tujuan utama pengajaran sastra hendaknya memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman bersastra baik secara reseptif maupun secara produktif. Siswa juga diberi pengetahuan tentang lukisan, lagu, melukis, selanjutnya bersastra.
i.    Bentuk kegiatan belajar mengajar
Kean & Personke (1976:341) mengarahkan bahwa sebaiknya disekolah dasar, sastra jangan dipandang sebagai suatu subjek yang harus di ajak terapi sebagai suatu wahana untuk mendapatkan pengalaman, yang menyenangkan, menyedihkan, lucu, menakutkan dan lainnya. Dalam kegiatan belajar ada 2 pendekatan; pertama bertitik tolak pada pandangan bahwa sastra mempunyai kedudukan yang sama dengan bidang study yang lainnya; kedua bertitik tolak pada pandangan bahwa sastra sebagai suatu yang kehadirannya untuk dinikmati dan memberikan kesenangan. Karena kedua pendekatan itu bertentangan untuk itu yang lebih sesuai adalah menggabungkan kedua pendekatan tersebut karena muara terakhir pengajaran sastra adalah terbunanya apresiasi & kegemaran terhadap sastra yang disadari oleh pengetahuan sastra dan keterampilan bersastra.
j.    Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana merupakan komponen pengajaran yang tak kalah penting. Perpustakaan dan kelengkapan koleksi buku-buku sastra sangat menunjang kelancaran pengajaran sastra. Demikian pula media dan alat-alat pengajaran yang lengkap sangat menentukan keberhasilan pembelajaran sastra. Problem yang dapat di identifikasi  adalah sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah SD.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mempunyai arti yang cukup penting. Poin yamg lebih penting ladi di dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terutama adalah membaca. Karena ketika kita duduk dibangku SD, hal pertama yang harus kita pelajari adalah membaca, kemudian kita akan dapat menulis juga menghitung serta merangkai berbagai macam kalimat. Jika begitu kita akan dapat membacakan karya-karya sastra. Sastra juga sarana yng diberikan untuk mengembangkan kreatifitas anak di dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
B.    Saran
Sebagai seorang calon pendidik ada beberapa hal yang sapat kita lakukan diantaranya:
4.    Pendidik harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika memberikan pengajaran kepada anak didiknya.
5.    Pendidik harus memastikan bahwa anak-anak didiknya senang, suka, juga nyaman diajar oleh kita, agar mereka dapat menerima materi dengan baik dan tidak merasa terpaksa.
6.    Belajarlah terus agar menjadi guru yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Rusyana, Yus.1984. Bahasa dan sastra dalam gempitan pendidikan. Bandung: CV Dipenegoro
Rofi Uddin Ahmad dan Zuhri, Darmiyanti. 1998. Pendidikan Bahasa dan Sastra Inonesia dikelas Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi
http:/www.balipast.com/ balipastcetak/2004/12/12/apresiasi.htm

11/24/2011

SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

     Sutan Takdir Alisjahbana lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli. Ia pernah menjadi anggota Sociatte de Linguistique de Paris (sejak 1951) dan Comite Directeur de Federation Internationale des Societes de Philosophie di Brussel (1954-1959). STA, begitu dia disebut oleh publik. Banyak karya telah dihasilkannya, antara lain berupa novel, antologi puisi, kritik, buku mengenai kebudayaan, bahasa, serta filsafat. Layar Terkembang adalah salah satu novelnya yang mengangkat tema peranan wanita di antara kebudayaan Barat dan Timur. Beberapa antologi puisinya adalah Tebaran Mega (1936) dan Perempuan di Persimpangan Zaman (1980). Dalam tulisan ini, penulis akan membahas dua puisi yang diambil dari kumpulan sajak Perempuan di Simpang Jalan, yakni ”Kesunyian Baru” dan ”Sama-sama Bermimpi dan Berjuang”. Kedua puisi ini mengangkat tema perempuan.
Kesunyian Baru

Barbahagiakah aku sekarang,
Setelah membuktikan kecakapan jiwa dan raga
Setelah membanting tulang dan mencucurkan keringat,
Tak terkalahkan di segala gelanggang,
bebas dari suami
dan tak dibebani anak dan rumah?

Dalam kesibukan kerja dan bakti,
Penuh tanggung jawab dan siasat,
Dalam kepusingan menghadapi tandingan dan tantangan,
Penuh kepercayaan menangkis dan menyerang,
Datang mengetuk hati perempuanku yang abadi.
Dari jauh dan dalam ia menghimbau,
Merindukan cinta dan penyerahan.


Makin memanjang usiaku,
Dan tubuhku melewati puncak kecergasannya,
Makin menekan kehampaan dalam jiwaku.
Sebagai kembang yang melihat kelopaknya
Lesu melisut dan terkulai mengering
Hatiku meratapi koderat alam,
Yang tak mencapai tujuannya,
Karena terkelok ditengah jalan.

Lambat laun sadarlah aku,
Tak ada yang lebih agung memenuhi jiwa
Dari pada penyerahan cinta
Sebagai kekasih,
Sebagai ibu,
Yang seumpama matahari tak henti-hentinya
Mencurahkan panas dan cahyanya,
Memberi kehangatan dan tenaga
Ke seluruh buana.
Dalam sajak ”Kesunyian Baru”, Aku lirik mengungkapkan sebuah refleksi diri. Refleksi ini ia lakukan usai mencapai berbagai hal yang dinginkannya di waktu lampau. Ia telah membuktikan kecakapan jiwa dan raga, bekerja keras, serta berpisah dari suami dan anak. Dengan tercapainya itu semua, ia berharap mampu meraih kebahagiaan dan kebebasan. Dugaannya untuk mendapatkan kebahagiaan tak berakhir sesuai harapannya hingga ia bertanya pada dirinya sendiri. Hal ini terungkap pada bait pertama
Berbahagiakah aku sekarang,
Setelah membuktikan kecakapan jiwa dan raga,
Setelah membanting tulang dan mencucurkan keringat,
Tak terkalahkan di segala gelanggang,
bebas dari suami.
Dan tak dibebani anak dan rumah?
            Perjalanan yang ditempuh oleh Aku lirik begitu berat. Ia sibuk dalam menghadapi tantangan yang silih berganti. Saat perjalanan meraih kebahagiaan yang begitu keras, ia terpanggil nuraninya sebagai seorang perempuan yang lekat dengan kerinduan akan cinta dan penyerahan seperti yang diungkapkan dalam bait berikutnya
            Dalam kesibukan kerja dan bakti,
            Penuh tanggung jawab dan siasat,
            Dalam kepusingan menghadapi tandingan dan tantangan,
            Penuh kepercayaan menangkis dan menyerang,
            Datang mengetuk hati perempuanku yang abadi.
            Dari jauh dan dalam ia menghimbau,
            Merindukan cinta dan penyerahan.
            Pada bait ketiga, Aku lirik mengisahkan usianya yang semakin tua. Penurunan kekuatan dan kelincahan menjadikannya pesimis sebab ia tak mampu lagi beraktivitas sekeras dulu. Ia sedih sebab perjuangannya di waktu lalu yang begitu keras terhambat dengan keadaannya yang semakin renta. Ia tak mampu mencapai tujuannya.
            Makin memanjang usiaku,
            Dan tubuhku melewati puncak kecergasannya,
            Makin menekan kehampaan dalam jiwaku.
            Sebagai kembang yang melihat kelopaknya
            Lesu melisut dan terkulai mengering
            Hatiku meratapi koderat alam,
            Yang tak mencapai tujuannya,
            Karena terkelok ditengah jalan.
            Dalam refleksi yang dijalani, Aku lirik menyadari bahwa seorang perempuan memiliki tujuan naluriah yang selalu ingin dekat pada penyerahan cinta. Perempuan selayaknya mampu menebar cinta kasih sebagai ibu bagi anak-ankanya dan menebar cahaya di setiap penjuru lingkungannya. Ia menemukan kesadarannya di akhir bait puisi ini.
            Lambat laun sadarlah aku,
            Tak ada yang lebih agung memenuhi jiwa
            Dari pada penyerahan cinta
            Sebagai kekasih,
            Sebagai ibu,
            Yang seumpama matahari tak henti-hentinya
            Mencurahkan panas dan cahyanya,
            Memberi kehangatan dan tenaga
            Ke seluruh buana.


            ”Sama-sama Bermimpi dan Berjuang” dalam kumpulan sajak Perempuan di Persimpangan Zaman memiliki kesamaan dengan sajak sebelumnya, ”Kesunyian Baru”, yaitu mengangkat tema perempuan atas sebuah kesadaran.
Sama-sama Bermimpi dan Berjuang

Kekasihku sayang, aku tahu
Di zaman baru yang sedang mengorak kelopak
Pengasuhan dan pendidikan anak akan berkurang,
Berkat penuh sesaknya bumi kita.
Aku tahu, bahwa kemajuan zaman kita
Meringankan pekerjaan rumah
Bagi isteri dan ibu,
Sehingga dapatlah ia lebih bebas berkembang,

Wahai,
Dapatkah dalam masyarakat yang akan datang
Kami kaum perempuan
Mencapai hidup yang wajar,
Sebagai kekasih,
Sebagai ibu,
Dan sebagai pribadi,
Yang serta mengembangkan kebudayaan,
Dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran yang penuh?

Kekasihku, sayang, mari kita bersama,
Bermimpi dan berjuang dalam kemesraan kasih,
Girang membangun masyarakat dan kebudayaan,
Dimana tugas dan pekerjaan,
Hak dan kewajiban,
Dan bersama itu cinta dan bahagia,
rata terbagi antara umat manusia.

Tugu, 11 Juli 1976 

            Kesemua bait dalam puisi ini mengungkap celoteh seorang perempuan kepada pasangannya tanpa ada sahutan dari pihak pasangan. Pada bait pertama, Aku lirik menggambarkan keadaan di zaman modern ini dengan cukup kompleks, tentang pengasuhan, pendidikan, dan teknologi. Kemajuan zaman ini dirasa mampu memfasilitasi kehidupan seorang perempuan untuk terjun ke ranah publik.
            Kekasihku sayang, aku tahu
            Di zaman baru yang sedang mengorak kelopak
            Pengasuhan dan pendidikan anak akan berkurang,
            Berkat penuh sesaknya bumi kita.
            Aku tahu, bahwa kemajuan zaman kita
            Meringankan pekerjaan rumah
            Bagi isteri dna ibu,
            Sehingga dapatlah ia lebih bebas berkembang,
            Aku lirik meneruskan celotehannya dengan mengungkap sebuah harapan di masa mendatang. Di sini, disuratkan harapan dari seorang perempuan untuk mampu menjadi sebagai pasangan dan ibu sekaligus berperan dalam perkembangan kebudayaan, tanpa menelantarkan salah satunya.
Wahai,
Dapatkah dalam masyarakat yang akan datang
Kami kaum perempuan
Mencapai hidup yang wajar,
Sebagai kekasih,
Sebagai ibu,
Dan sebagai pribadi,
Yang serta mengembangkan kebudayaan,
Dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran yang penuh?
            Optimisme perempuan sangat terasa dalam bait terakhir puisi ini. Aku lirik mengajak pasangannya untuk melangkah bersama guna menggenggam cita-cita. Meraih mimpi dalam kemesraan kasih serta membangun masyarakat adalah harapannya. Ia yakin bahwa kesemua itu dapat diperoleh dengan melangkah bersama dengan membagi tugas sesuai porsi yang tepat hingga memunculkan hasil yang memang pantas didapat oleh keduanya, perempuan dan laki-laki.
            Kekasihku, sayang, mari kita bersama,
Bermimpi dan berjuang dalam kemesraan kasih,
Girnag membangun masyarakat dan kebudayaan,
Dimana tugas dan pekerjaan,
Hak dan kewajiban,
Dan bersama itu cinta dan bahagia,
rata terbagi antara umat manusia.
            Kedua sajak di atas, ”Kesunyian Baru” dan ”Sama-sama Bermimpi dan Berjuang”, membuktikan bahwa membincang perempuan tak ada habisnya. Hak, kewajiban, dan penghargaan, kesemuanya menjadi menarik saat dilekatkan padanya. Perempuan semakin menarik diperbincangkan saat ditelisik peranannya dalam ranah publik. Tuntutan untuk memperoleh porsi yang sama menjadi senjata ampuh untuk memperjuangkan hak perempuan. Apakah memang harus begitu? Apakah keadilan selalu merujuk pada kalkulasi angka senilai, 50:50?
            Dua jenis manusia  di dunia ini ada dua, perempuan dan laki-laki. Diciptakannya jenis yang lebih dari satu ini pasti ada maksudnya, saling melengkapi ataupun yang lain. Allah berfirman dalam QS An-Nisa:1 sebagai berikut
Wahai manusia!  Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan               perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga  dan mengawasimu.
            Jika dalam suatu situasi dan kondisi ditemukan lebih dari satu orang, secara otomatis, satu orang akan jadi pemimpin dan yang lain akan dipimpinnya. Jika tidak, kondisi dan situasi akan kacau karena tak ada yang bersedia dipimpin ataupun sebaliknya. Kepemimpinan bukan berarti mutlak dipahami bahwa satunya lebih tinggi dari yang lain, melainkan sebuah cara untuk menciptakan kondisi ideal secara bersama-sama sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik dengan sebelumnya menempatkan segala sesuatunya pada tempat yang tepat. Hal ini terlihat pada kemauan berjalan bebarengan Aku lirik dan pasangannya dalam sajak “Sama-sama Bermimpi dan Berjuang”. Di dalamnya terlihat bahwa keduanya memiliki kesadaran atas hak dan kewajiban.
            Kekasihku, sayang, mari kita bersama,
            Bermimpi dan berjuang dalam kemesraan kasih,
            Girang membangun masyarakat dan kebudayaan,
            Dimana tugas dan pekerjaan,
            Hak dan kewajiban,
            Dan bersama itu cinta dan bahagia,
            rata terbagi antara umat manusia.
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan akan mendapat suraga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan mendapat tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.
            Kedua ayat di atas, QS At-Taubah 71-72, memberikan jaminan dan kedudukan yang sama bagi mu’min laki-laki dan mu’min perempuan di hadapan Allah. Jika dipandang dari segala seginya, niscaya terlihat bahwa kedudukan perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Keduanya sama-sama memikul kewajiban dan mendapat hak. Keduanya bertugas menegakkan kebenaran dan keadilan, mengokohkan akhlak yang tinggi dalam pembangunan masyarakat, menjauhkan kerusakan akhlak, dan menentramkan bila terjadi kekacauan.

            Kesamaan memiliki hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan bukanlah berarti bahwa kesemua pekerjaan yang dapat dilakukan laki-laki dapat juga dilakukan oleh perempuan. Oleh sebab itu, meskipun sama-sama berhak dan sama-sama berkewajiban, pekerjaan harus dibagi. Jika keduanya mengerjakan pekerjaan yang sama akan timbul hasil yang sia-sia, bahkan ada yang tak terlaksana. Hal seperti ini mengisyaratkan kepada kita bahwa sebenarnya keadilan tak sepenuhnya ditunjukkan oleh kalkulasi angka senilai, 50:50, melainkan ketepatan dalam peletakan segala hal hingga memunculkan hasil yang memang tepat dan pantas didapat dengan kesadaran atas hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan seperti diungkap dalam kedua puisi di atas.

Bahan Pustaka

Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Perempuan di Perimpangan Jalan. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Al-Qur’anul karim
Hamka. 1984. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Irmler, Maria. Peny. 2008. Antologia de Poeticas. Jakarta: Gramedia.
Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi        Gender. Bandung: Mizan.
Rosidi, Ajip. 1975. Membicarakan Puisi Indonesia. Bandung: CV Peladjar Bandung.

SASTRA GAJAH MADA

Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Cerita rekaan merupakan jenis karya sastra yang beragam prosa. Berdasarkan panjang-pendeknya cerita, ada yang membeda-bedakan cerita rekaan – lazimnya disingkat cerkan – dengan sebutan cerita pendek atau cerpen, cerita menengah atau cermen, dan cerita panjang atau cerpan. Namun, patokan yang jelas tentang persyaratan panjang-pendek ini belum ada (Sudjiman, 1986: 11).
Salah satu cerita rekaan adalah novel atau kemasan ide pengarang yang dituliskan secara mendetil, artinya novel merupakan salah satu karya sastra yang menunjukkan adanya perubahan atau perkembangan alur/jalan cerita. Perkembangan ini menyebabkan perubahan jalan hidup tokoh.
Tema yang dikembangkan dalam cerita rekaan sangat beragam, salah satunya adalah cerita rekaan yang bertemakan kisah sejarah. Karya sastra sejarah ini dapat digolongkan sebagai bukti sejarah karena bersumber dari fakta sejarah. Akan tetapi, karya sastra sejarah tetaplah sebuah karya sastra yang terlahir dari imajinasi dan daya khayal pengarang meskipun pengarang mendapatkan data tulisannya dari fakta sejarah. Tidak ada yang benar-benar tahu sejarah masa lalu sebuah peradaban.

Salah satu karya sastra sejarah berupa novel adalah novel Gajah Mada Hamukti Palapa yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi. Novel ini merupakan buku ketiga dari lima seri tentang Gajah Mada yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi. Buku ini menceritakan latar belakang munculnya Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada demi mewujudkan impiannya menyatukan nusantara.
Sejarah kebesaran Majapahit pada dasarnya identik dengan sepak terjang Gajah Mada yang ia mulai sejak dikumandangkannya Sumpah Hamukti Palapa. Dari sumpah yang ketika dikumandangkan dilecehkan oleh beberapa pejabat Majapahit, Gajah Mada bekerja keras membangun kekuatan prajurit, terutama armada angkatan laut. Negara Majapahit pun kemudian  berubah menjadi negara yang besar dan berwibawa (Hariadi, 2008:x).
Hasil dari jerih payah Gajah Mada adalah Nusantara yang sekarang ini dikenal dengan nama Indonesia. Indonesia adalah pemberian terindah yang diberikan oleh Gajah Mada. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus berterima kasih pada Gajah Mada dan mulailah mencintai sejarah bangsa ini.
Sosok Langit Kresna Hariadi
Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi pada tahun 1959. Ia adalah anak bungsu dan satu-satunya anak dalam keluarganya yang memilih dunia tulis-menulis sebagai pelampiasan hobi, emosi, dan profesi.
Setelah Balada Gimpul, buku pertamanyya yang diterbitkan Balai Pustaka Jakarta, berturut-turut dengan kepala dinginya (dalam pengertian yang sebenarnya) lahir Kiamat Para Dukun diterbitkan oleh PT Era Intermedia, Libby 1, Libby 2, De Castaz, Alivia, Serong, Melibas Sekat Pembatas, Antologi Manusia Laminating yang diterbitkan oleh Qalam Press. Gama Media juga menerbitkan salah satu karyanya yang senafas dengan karyanya yang lain, yang lahir atas keprihatinannya terhadap pembantaian dukun santet di kampung halamannya, Banyuwangi, Kiamat Dukun Santet. Selain menjadi penulis, Langit Kresna Hariadi juga menjadi dalang dari cerita silat bersambungnya yang berjudul Beliung dari Timur.Gajah Mada adalah buku pertamanya yang diterbitkan oleh Tiga Serangkai, lumayan mencuri perhatian dan mengundang apresiasi (Hariadi, 2008:689-690).

Ringkasan Gajah Mada Hamukti Palapa

Cerita ini berawal dari perintah Ki Ajar Padmaguna, seorang kakek tua yang tinggal di sudut pelosok Majapahit, kepada anaknya, Branjang Ratus, untuk menemui saudara perempuannya, Sri Yendra. Ki Padmaguna menyuruh Branjang Ratus menemui Sri Yendra di kotapraja karena ia mendapat wangsit saudaranya tersebut sedang membutuhkan bantuan. Karena bakti sebagai seorang anak, Branjang Ratus pergi menemui bibinya. Ternyata, bantuan yang dibutuhkan bibinya adalah bantuan untuk mencuri dua pusaka kerajaan, yaitu cihna nagara gringsing lobbeng lewih laka dan songsong Udan Riwis. Kedua pusaka tersebut merupakan lambang negara Majapahit dan payung yang sering digunakan dalam acara penting di kerajaan.
Kemudian, terjadilah pencurian di istana yang disertai dengan gempa bumi. Kedua pusaka tersebut telah raib digondol maling. Istana gempar, pasukan Bhayangkara dengan segera mencari pencuri dua pusaka Majapahit itu.
Demi mempertanggungjawabkan kelalaiannya menjadi dua pusaka tersebut, Gajah Enggon dengan Pradhabasu, mantan prajurit Bhayangkara pergi mencari kedua pusaka itu di Ujung Galuh. Perjalanan ini dilakukan berdasarkan wejangan dari Ibu Permaisuri Gayatri, ibu dari Ratu Majapahit.
Di Ujung Galuh, Gajah Enggon berhasil menemukan titik terang. Ia melihat pencuri yang memakai cihna nagara dan membawa songsong Udan Riwis. Selain itu, ia juga dijodohkan dengan cucu Ki Agal, Rayi Sunelok.
Setelah itu, diketahui bahwa dua negara bawahan Majapahit, yaitu Keta dan Sadeng mengumpulkan kekuatan untuk melakukan makar atau pemberontakan melawan Majapahit.
Dengan keberanian dan kesigapan Pradhabasu, pemberontakan Keta dan Sadeng bisa dilacak sehingga Gajah Mada bisa mempersiapkan prajurit untuk menggempur Keta dan Sadeng. Penggempuran ini dibantu oleh pasukan yang dipimpin oleh Aditiawarman, sepupu Ratu Majapahit yang berasal dari Dharmasraya.
Pemberontakan Keta dan Sadeng berhasil dilumpuhkan oleh pasukan Majapahit. Otak dari pemberontakan itu diadili di ibukota. Akan tetapi, Ratu Majapahit tidak melimpahkan hukuman kepada para pemberontak tersebut, tetapi memberikan anugerah gelar karena telah berani membela negaranya dan menunjukkan kecintaannya kepada Majapahit meskipun dengan cara memberontak. Selain mereka, orang-orang yang berhasil mewujudkan kemenangan pihak Majapahit juga diberi anugerah gelar. Anugerah yang paling besar dilimpahkan kepada Gajah Mada. Gajah Mada ditunjuk menggantikan Mahapatih Arya Tadah yang harus turun jabatan karena sudah tua dan sakit-sakitan. Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit setelah ditunjuk oleh Ratu Majapahit.
Setelah pengangkatannya sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpah mengenai keinginannya meluaskan daerah kekuasaan Majapahit. Ia tidak akan menikmati nikmatnya dunia sebelum cita-citanya itu tercapai. Sumpah ini dikenal dengan nama Sumpah Hamukti Palapa.
Akhir cerita, terungkaplah misteri tentang pencuri dua pusaka kerajaan yang hilang. Ia adalah Branjang Ratus yang disuruh oleh Sri Yendra, atau Ibu Suri Gayatri, dengan tujuan menghilangkan kesengsaraan negara kerana kemarau panjang dan meredakan panas yang berlangsung di Majapahit. Semua berakhir bahagia. Gajah Mada berhasil menjadi Mahapatih Majapahit. Gajah Enggon mempunyai istri yang cantik dan berani. Pradhabasu bahagia karena anaknya yang cacat jiwanya menjadi normal dan perempuan yang selalu ada dalam ingatannya juga memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya.
Gajah Mada dan Sumpah Palapa
Awalnya saya mengira novel ini berkisah tentang Gajah Mada dan upaya Gajah Mada mewujudkan Sumpah Palapa. Saya kecewa ketika angan-angan saya tidak sesuai dengan cerita novel ini. Akan tetapi, kekecewaan saya terbayarkan dengan cerita yang menarik mengenai asal usul Sumpah Palapa. Saya benar-benar tidak tahu kebenaran yang melatarbelakangi Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa.
Saya menjadi tahu sejarah Majapahit ketika saya membaca novel. Meskipun saya tidak membaca kelima seri novel Gajah Mada, saya bisa merunut rentetan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa kerajaan Majapahit. Novel ini menggugah rasa ingin tahu saya atas kekuatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit yang mampu melakukan tindakan luar biasa untuk Nusantara.
Gajah Mada dengan Sumpah Palapa telah menciptakan sebuah kehidupan yang baik untuk Indonesia. Dengan penyatuan wilayah Nusantara, sekarang Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terdiri dari beragam suku bangsa.
Gajah mada adalah sosok yang bertanggung jawab dan sangat mencintai negerinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Gajah mada yang memperhatikan rumahnya, dilibas rasa cemas. Bukan rumahnya yang membuat cemas, tetapi keadaan istana (Hariadi, 2008:35).
Gajah Mada adalah orang yang tekun dan selalu berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik. Hal itu tercermin dalam ucapan Arya Tadah yang menjagokan Gajah Mada menjadi mahapatih. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
… Ketika kau berada dipangkat lurah prajurit, kau berangan-angan untuk bisa meraih jabatan lebih tinggi dengan pangkat senopati….(Hariadi, 2008:295)
Karena keberhasilanmu yang luar biasa, kau meraih jabatan cukup tinggi tanpa harus melalui tataran yang semestinya…(Hariadi, 2008:295)
Gajah Mada adalah sosok gagah berani sehingga ia dipilih menjadi mahapatih menggantikan Arya Tadah.
…orang yang diangkat menjadi mahapatih haruslah orang yang kuat, berlengan kekar, dan memiliki nafas yang panjang….(Hariadi, 2008:674)
Demi membangun Majapahit yang besar, Majapahit yang jaya dan gemilang, diperlukan tangan yang kukuh, kuat, dan kekar. Majapahit menunjuk Gajah Mada (Hariadi, 2008:676).
Kesimpulan
Tema yang dikembangkan dalam cerita rekaan sangat beragam, salah satunya adalah cerita rekaan yang bertemakan kisah sejarah. Karya sastra sejarah ini dapat digolongkan sebagai bukti sejarah karena bersumber dari fakta sejarah. Akan tetapi, karya sastra sejarah tetaplah sebuah karya sastra yang terlahir dari imajinasi dan daya khayal pengarang meskipun pengarang mendapatkan data tulisannya dari fakta sejarah. Tidak ada yang benar-benar tahu sejarah masa lalu sebuah peradaban.
Salah satu karya sastra sejarah berupa novel adalah novel Gajah Mada Hamukti Palapa yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi. Novel ini merupakan buku ketiga dari lima seri tentang Gajah Mada yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi. Buku ini menceritakan latar belakang munculnya Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada demi mewujudkan impiannya menyatukan nusantara.
Sejarah kebesaran Majapahit pada dasarnya identik dengan sepak terjang Gajah Mada yang ia mulai sejak dikumandangkannya Sumpah Hamukti Palapa. Dari sumpah yang ketika dikumandangkan dilecehkan oleh beberapa pejabat Majapahit, Gajah Mada bekerja keras membangun kekuatan prajurit, terutama armada angkatan laut. Negara Majapahit pun kemudian  berubah menjadi negara yang besar dan berwibawa (Hariadi, 2008:x).
Hasil dari jerih payah Gajah Mada adalah Nusantara yang sekarang ini dikenal dengan nama Indonesia. Indonesia adalah pemberian terindah yang diberikan oleh Gajah Mada. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus berterima kasih pada Gajah Mada dan mulailah mencintai sejarah bangsa ini.
Daftar Pustaka
Braginsky, V. I.. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal:Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta:INIS.
Hariadi, Langit Kresna. 2008. Gajah Mada Hamukti Palapa. Solo:Tiga Serangkai.
Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah:Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

SOSIOLOGI SASTRA

Pendahuluan
Karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa itu sendiri merupakan penggambaran ekspresi sosial. Melalui bahasa, sastra mendeskripsikan kehidupan manusia yang mencakup hubungan antarmasyarakat dan antarperistiwa, khususnya yang terjadi di dalam batin seseorang. Aspek yang menjadi bahan sastra ini merupakan ide yang mendasari pembentukan unsur-unsur yang menyusun suatu karya sastra menjadi kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur dalam karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pengarang dapat menampilkan kedua unsur tersebut secara langsung dengan tersurat atau tidak langsung dengan tersirat. Unsur intrinsik yang dikandung karya sastra di antaranya adalah tokoh dan penokohan, alur, latar, tema, dan amanat yang membangun karya sastra menjadi kesatuan yang utuh dan berisi. Unsur ekstrinsik merupakan hal-hal di luar unsur intrinsik yang mempengaruhi suatu karya sastra, seperti keadaan politik dan latar belakang pengarang.
Sastra memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat sehingga harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari hal tersebut adalah: a) karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh pencerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat, b) karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, c) medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, d) karya sastra mengandung estetika, etika, dan logika yang jelas merupakan kepentingan masyarakat, e) masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya sastra. Pertimbangan-pertimbangan tersebutlah yang mendorong kemunculan sosiologi sastra.
Unsur ekstrinsik yang dibahas dalam makalah ini adalah sosiologi, yaitu kehidupan manusia yang digambarkan dalam latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Sosiologi merupakan pendekatan terhadap karya sastra yang menganggap karya sastra adalah milik masyarakat. Pendekatan sosiologis memiliki dasar filosofis berupa hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Dalam memaknai karya sastra, pembaca tidak terbatasi oleh pemikiran pengarang. Mereka bebas mencari apa yang diungkapkan dalam karya sastra tersebut sesuai dengan pengetahuan dan sudut pandang mereka terhadap suatu fenomena kehidupan. Karya sastra bersifat multiinterpretasi, bebas tafsir, dan subjektif. Dengan demikian, perbedaan pemikiran antara pembaca dan pengarang menjadi hal yang tidak dapat dielakkan.
Namun, pembaca adalah bagian dari masyarakat. Begitu halnya dengan pengarang. Pengarang mengambil hal-hal yang terjadi di dalam masyarakat untuk diungkapkan atau memperkaya karya sastra yang ditulisnya. Karya sastra dimanfaatkan oleh pembaca sebagai referensi untuk mengembangkan pola pikir dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal ini menunjukkan adanya keterikatan pemikiran antara pengarang dan pembaca dalam menyikapi suatu karya sastra.
Kehadiran pengarang sebagai konseptor ide dalam karya sastra pun tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, dalam menganalisis suatu karya sastra, latar belakang pengarang perlu diketahui. Nh. Dini bernama lengkap Nurhayati Suhardini, lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Berpendidikan SMS (1956), kemudian kursus pramugari dan menjadi pramugari di GIA (1957-1960) dan terakhir mengikuti kursus B-1 Jurusan Sejarah (1957). Nh. Dini mulai menulis sejak tahun 1951. Pada tahun 1953 cerpen-cerpennya mulai dimuat di majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat. Selain menulis cerpen, Dini juga menulis sajak dan sandiwara radio, serta novel. Pernah bermukim di Jepang, Perancis, dan Amerika Serikat.
NH. Dini merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dan dilahirkan oleh pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ayahnya, Saljowidjojo telah wafat ketika Dini duduk di bangku SMP sedangkan ibunya adalah seorang pembatik. Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada tahun 1967. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Karya-karya NH Dini antara lain, Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1956), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1984), Polyboth (1984), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku
Dari biografi singkat NH. Dini di atas, terlihat adanya hubungan yang erat antara dirinya dengan karya sastra yang dibuatnya. Salah satunya yaitu Jepang sebagai latar tempat dalam novel Namaku Hiroko. Di dalam biografi di atas, kita mengetahui bahwa NH. Dini sempat bermukim di Jepang selama 3 tahun. Oleh karena itu, tentunya NH. Dini menyinggung kondisi sosial masyarakat Jepang melalui cerita-ceritanya. Hal ini menjadi sangat menarik ketika kita dapat menganalisis kondisi sosial apa saja yang kita temui dalam novel tersebut.


  1. Ringkasan Novel Namaku Hiroko
Novel ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang gadis Jepang bernama Hiroko. Hiroko adalah seorang gadis desa yang miskin dan tidak berpendidikan.  Dia yang sangat menyukai namanya sehingga dia selalu menyebut nama Hiroko di depan nama keluarganya. Di desa tempat tinggalnya, dia tinggal bersama Ayah, Ibu tiri, dan adik-adiknya. Harapannya untuk hidup secara layak di desa tidak memungkinkan lagi. Ayah Hiroko menanggung beban pekerjaan di ladang sendirian. Ibu tirinya membantu ayahnya di ladang dan juga mengurusi rumah, sedangkan kedua adik lelakinya cerewet dan hanya memikirkan diri sendiri.
Suatu ketika seorang tengkulak menawari sang ayah mempekerjakan Hiroko sebagai pembantu rumah tangga di kota. Dengan keadaan rumah yang demikian, Hiroko pun menerima pekerjaan tersebut. Akhirnya Hiroko dikirim ke kota untuk menjadi pembantu rumah tangga. Di kota, ia bekerja pada pasangan suami isteri yang belum beranak. Menurut Hiroko majikan prianya merupakan pria yang tidak bisa dikatakan tampan dengan gigi yang mendesak.
Hiroko merupakan gadis remaja yang memiliki daya tarik kuat yang tersimpan di tubuhnya. Inilah sebabnya ia menjadi incaran iseng nafsu tuannya. Namun, yang pertama kali mengenalkan kelezatan asmara pada Hiroko bukan masjikannya sendiri, tetapi ipar majikannya yang mempunyai wajah tampan dan terpelajar. Dari kejadian tersebut, beruntunlah kejadian yang serupa. Setelah ia beberapa kali digauli oleh Sanao, ipar majikannya, akhirnya ia jatuh juga menjadi sasaran majikannya sendiri yang tidak berwajah tampan. Pada peristiwa-peristiwa inilah rupanya tumbuh kesadaran terhadap Hiroko atas kelebihan yang tersimpan di dalam tubuhnya.
Hiroko mengundurkan diri dari majikan lamanya. Setelah berpindah-pindah kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota yang lebih besar, akhirnya ia mendapatkan kerja di sebuah toko pakaian yang dimiliki oleh seorang wanita misterius yang ternyata kelak diketahui juga bernama Hiroko yang juga dulunya berasal dari desa. Sejak nasib baiknya ini, hidup Hiroko memasuki masa terang. Saat itu, ada dua pekerjaan yang dia lakukan, pada siang hari dia bekerja di toko, malam harinya menjadi hostes dan akhirnya menjadi seorang penari telanjang.
Sebagai penari telanjang inilah, rezekinya semakin bertambah, pengalaman hidupnya semakin banyak, kecerdasannya semakin tumbuh, dan semangat materialipada akhirnya, Hiroko menemukan kekasih hatinya, seorang pria yang tampan dan kaya. Hiroko sangat mencintai kekasihnya itu sehingga ia rela menjadi simpanannya. Akhirnya, mereka hidup bersama dan mempunyai dua orang anak. Novel ini diakhiri dengan perkataan Hiroko yang mengatakan bahwa dia tidak pernah menyesal dengan jalan hidupnya yang pada saat itu menempati posisi sebagai simpanan dari suami sahabatnya sendiri.


  1. Kondisi Sosial Masyarakat Jepang di dalam Novel Namaku Hiroko
Novel-novel NH. Dini memiliki beberapa ciri yang tetap. Seluruh kejadian datang secara berurutan bersama tokoh utama. Orang-orang datang dan pergi dalam kehidupan tokoh utama. Tokoh utama itu selalu seorang wanita, yang meskipun tidak cantik benar, dia memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum laki-laki, dalam novel ini Hiroko mempunyai tubuh yang sintal, buah dada besar dan pantat yang menonjol, sehingga protagonis ini selalu mempunyai kekasih atau pengagum yang cukup banyak. Pengagum-pengagum tersebut biasanya dari berbagai bangsa. Akibatnya, tokoh utama ini menjadi seorang yang pemilih. Ia menjadi seorang pemilih laki-laki yang ahli.
Faktor ini ditambah dengan gaya penceritaan orang pertama yang berupa uraian kenangan masa lampaunya atau sebuah catatan harian, sehingga kita mengenal benar watak dan kepribadian si pencerita ini. Tokoh wanita ini menceritakan riwayatnya sendiri, seluruh kejadian dia nilai berdasarkan nilai-nilai yang dia anut. Seperti hal yang menyangkut dengan hubungan intim dengan lawan jenis secara bebas tanpa memperdulikan norma umum masyarakat dan penilaiannya terhadap laki-laki yang disukai dan tidak disukainya.
Tema cerita  pada setiap karya Dini tidak pernah berubah sejak dasawarsa 1050-an. Dini selalu menempatkan protagonisnya sebagai seorang wanita muda yang berada dalam kondisi sulit dan terdesak oleh lingkungannya tetapi selalu berjuang untuk lepas dan memperoleh kebahagiannya. Kadang-kadang perjuangan tokoh tidak berhasil, tetapi beberapa dari hasil karyanya digambarkan tokoh yang berhasil. Di dalam novel Namaku Hiroko ini menceritakan perjuangan tokoh wanita yang berhasil.
Dalam penelitian sosiologi sastra, karya sastra dinilai sebagai sebuah cermin masyarakat. Menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya1.
Di dalam novel Namaku Hiroko, kita mengetahui bahwa unsur lokalitas Jepang sangat kental membangun keutuhan isi cerita. Dengan membaca novel ini, kita pun mengetahui segala persoalan perempuan Jepang, salah satunya kedudukan sosial, selain itu di dalam novel ini juga terlihat bentrokan yang terjadi antara tradisi dan modernitas yang ada di dalam novel Namaku Hiroko.


  1. Persoalan Perempuan
Untuk memperoleh gambaran mengenai perempuan Jepang dalam karya sastra Namaku Hiroko ini, akan dilihat penggambaran tokoh perempuan yang disampaikan oleh pengarangnya. Gambaran tersebut diharapkan akan berbentuk deskripsi bagaimana mereka hidup dalam masyarakatnya.

  1. Posisi dan Kedudukan Perempuan
Kedudukan perempuan Jepang dalam masyarakatnya secara umum dapat terlihat dari tokoh-tokoh perempuan di dalam novel Namaku Hiroko. Kedudukan perempuan tersebut terbagi di dalam lingkungan rumah tangga, pekerjaan, dan lingkungan pendidikan.
Di dalam lingkungan rumah tangga, kedudukan perempuan dalam tokoh tersebut dapat terlihat dengan jelas dari kedudukan istri terhadap suaminya dan anak perempuan dengan ayahnya. Hubungan antara istri dan suaminya, dapat terlihat pada kutipan berikut ini.

Tuan sering pulang malam bersama pemuda itu. Mereka pulang mendekati pagi. Jika mereka pergi nyonya tidak tidur semalaman menunggunya. Segera setelah terdengar suaranya di lorong samping, nyonya melompat lalu menunggunya di depan pintu, bersimpuh menurut cara negeri kami2. Wanita setengah umur itu membiarkan si pemuda asing masuk ke dalam rumah. Kemudian nyonya membuka tali sepatu tuan sambil mengucapkan pertanyaan-pertanyaan yang beruntun seraya mendengarkan jawabannya. …. Dan selama itu nyonya tetap bersimpuh di depan pintu sehingga suaminya habis menceritakan kejadian malam itu. Barulah nyonya berdiri memberi jalan kepada suaminya masuk ke kamar dan tidur. (NH: 17–18)

Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa di dalam rumah tangga, perempuan Jepang berkedudukan di bawah suaminya. Stereotip yang tercipta adalah sebagai seorang istri, perempuan harus setia menunggu suaminya pulang. Sebagai istri yang baik, perempuan harus melayani suami dengan segenap hati seperti yang terlihat pada kutipan di atas, majikan Hiroko menunggu suaminya pulang dan dengan ketaatan sebagai istri, dia bersimpuh dan melayani suaminya dengan membukakan tali sepatunya.
Namun, dari cerita selanjutnya, tokoh Hiroko berkata bahwa dia baru sekali ini melihat kejadian seperti itu. Di desa tempatnya tinggal, dia tidak pernah melihat ibunya menunggu ayahnya sampai pulang dari minum-minum, bahkan ketika ayahnya pulang, ibunya malah menyingkir karena melihat ayahnya mabuk. Dengan demikian, ada perbedaan kedudukan perempuan sebagai istri di kota dan di desa. Di kota, seorang istri begitu melayani suaminya sedangkan di desa, hal tersebut biasa saja. Namun, dalam hal tunduk pada perintah suami, istri di kota dan di desa sama saja. Mereka cenderung melaksanakan perintah suaminya tanpa membantah. Hal ini juga berlaku kepada anak perempuan dari keluarga itu. Perintah orangtua, khususnya ayahnya, tidak pernah ia bantah.

Empat hari kemudian aku duduk di samping sopir truk yang membawa hasil panen desa ke kota. Waktu itu umurku hampir enam belas tahun. Sudah dua tahun aku tidak bersekolah. Keputusan yang diambil ayahku merupakan peraturan yang harus dituruti tanpa dirunding pihak yang bersangkutan. Pada waktu itu aku menerimanya dengan kewajaran abadi penuh ketaatan. Ayahku seorang yang menentukan dalam kehidupan kami. Dan aku yang dibesarkan dengan lingkungan adat kepala tunduk untuk mengiyakan semua perintah orangtua, tidak melihat alasan apa pun buat membantahnya. Padahal waktu itu aku khawatir. (NH:15)

Dalam kutipan tersebut, jelas otoritas sang ayah di dalam keluarganya sangat dipatuhi oleh Hiroko. Hiroko tidak berani membantah ataupun membela diri. Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang wajar. Hal ini kemungkinan disebabkan pernah adanya hukum yang berlaku di masyarakat bahwa seorang perempuan selayaknya tunduk kepada ayahnya, kemudian kepada suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak laki-laki nya yang menduduki posisi kepala keluarga (Okamura, 1983:6). Hal ini berlaku setelah perang dunia ketiga. Menurut Okamura, pada saat ini hukum tersebut telah dihapuskan tetapi pada kenyataan, seorang perempuan atau pun seorang istri masih menganut hukum tersebut. Kemungkinan karena memang sulit untuk menghapuskan sesuatu yang sudah turun temurun.
Dalam bidang pekerjaan, di dalam novel Namaku Hiroko, terlihat jelas perbedaan kedudukan perempuan dan laki-laki. Di dalam novel tersebut hanya sedikit perempuan yang diceritakan mempunyai jabatan pekerjaan yang tinggi. Kebanyakan diceritakan seperti stereorip yang ada bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga, istri yang hanya bekerja mengurus rumah, suami, dan anak, bahkan diceritakan kebanyakan perempuan desa di Jepang bekerja sebagai pembantu. Kalaupun ada, yang diceritakan adalah kesuksesan perempuan dengan pekerjaan yang tidak layak, seperti pemilik bar dan toko tetapi hal itu merupakan pemberian dari suami orang lain, ada juga diceritakan seorang perempuan yang sukses ketika menjadi penari telanjang sehingga mempunyai uang yang banyak.
Sebaliknya, di dalam novel ini diceritakan kesuksesan laki-laki atau para suami yang mempunyai pekerjaan yang bagus dengan gaji yang besar. Memang ada satu bagian yang menceritakan kesuksesan seorang perempuan yang berhasil dalam pengelolaan toko tetapi rumah tangganya diceritakan hancur. Hal ini membuktikan bahwa peranan laki-laki di dalam rumah tangga lebih besar dibandingkan perempuan. Dengan kata lain, jika perempuan di Jepang ingin sukses, dia harus rela tidak memiliki hubungan yang baik di dalam rumah tangganya.
Kedudukan dalam pendidikan di Jepang (abad ke-19) antara perempuan dan laki-laki ternyata dibedakan. Selama masa pendidikan wajib 6 tahun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan memperoleh pengajaran secara bersamaan; tidak ada diskriminasi dalam pelajaran-pelajaran yang diberikan. Perbedaan timbul pada tingkatan yang kedua: anak laki-laki melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah (5 tahun) atau pendidikan keterampilan, sedangkan anak-anak perempuan memasuki Sekolah Menengah Khusus bagi mereka (4 atau 5 tahun) (Okamura, 1983: 53-54).
Sistem diskriminasi ini berlandaskan sebuah sikap yang terungkapkan dalam pepatah feodal “pendidikan tak perlu bagi kaum wanita”. Gagasan ini merupakan pendukung dari stereotip perempuan dipersiapkan agar dia dapat baik dan mampu sebagai ibu rumah tangga sedangkan laki-laki diyakini sebagai pencari naskah. Dengan keterangan tersebut, Hiroko sebagai perempuan Jepang pada masanya tidak mendapatkan hak berpendidikan. Bahkan ayahnya, menyuruhnya berhenti bersekolah. Hal ini semakin memperjelas kedudukan perempuan di dalam rumah tangga, pekerjaan, dan pendidikan.

  1. Perempuan sebagai Penggoda
Ketika zaman pendudukan Jepang, umumnya diketahui bahwa sejumlah wanita Jepang didatangkan untuk menempati rumah-rumah penghibur tentara Jepang. Akan tetapi, karena biasanya rumah-rumah tersebut dilingkari tembok yang tinggi, masyarakat di luar tidak dapat mengenal mereka. Kemudian, sesudah Jepang ditaklukan dan diduduki oleh tentara Amerika, berbagai film yang bersifat romantis dibuat oleh pefilm-pefilm Amerika yang pada umumnya menggambarkan wanita Jepang sebagai makhluk-makhluk yang lemah lembut yang kehadirannya di dunia ini semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada kaum laki-laki (Tan, 1979: vii).
Penjelasan tersebut membuat stereotip bahwa kebanyakan perempuan di Jepang adalah wanita penghibur. Hal ini juga diangkat oleh NH. Dini sebagai pekerjaan dari tokoh utama, Hiroko, yaitu penari telanjang sekaligus kadang-kadang menjual tubuhnya. Dari sudut pandang seorang istri, tentulah Hiroko dianggap wanita penggoda. Apalagi ketika dia masih menjadi seorang pembantu, dia tidur dengan majikannya dan tidak dapat menolaknya kemudian. Ketika dia bekerja sebagai pelayan toko ada seorang laki-laki yang menyukainya dan ketika Hiroko mengetahui bahwa laki-laki itu kaya dan sudah beristri, Hiroko menunjukkan sikap jinak-jinak merpati yang membuat laki-laki itu malah semakin penasaran walaupun pada akhirnya Hiroko menghindari laki-laki itu.
Di akhir cerita, NH. Dini menceritakan bahwa Hiroko menjadi kekasih seorang laki-laki yang sudah beristri. Jelaslah dari itu semua NH. Dini menyetujui bahwa perempuan sebagai penggoda laki-laki meskipun NH. Dini juga menceritakan di dalam novelnya bahwa hal itu bukan sepenuhnya kesalahan perempuan.


  1. Tradisi versus Modernitas
Di dalam novel ini ada beberapa bentrokan yang terjadi antara tradisi dan modernitas. Bentrokan ini terjadi ketika sebuah tradisi dihadapkan kepada modernisasi kehidupan. Seperti halnya adat-adat yang dulunya masih berlaku tetapi ketika adat-adat tersebut sudah bertemu dengan zaman modern, adat-adat tersebut akan menjadi berkurang atau hilang sama sekali.
Ketika pertama kali Hiroko datang ke kota, dia sangat mengagumi kehidupan kota. Entah cara berpakaian orang-orang di sana, cara berdandan seorang perempuan, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang di luar batas, serta pembicaraan-pembicaraan antar pembantu. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang baginya. Pertemuan dua tradisi atau kebiasaan antara tradisi lama dan tradisi baru (modern) membuat Hiroko mengalami perkembangan dalam hal pemikiran maupun dalam hal fisik.
Dulunya, Hiroko seorang yang sederhana dan jalan pikirannya pun demikian. Masih banyak hal-hal yang dianggapnya tidak wajar. Akan tetapi, kemudian Hiroko mulai terbiasa dengan hal itu, dia mulai berpakaian seperti layaknya seorang kota dengan membeli baju-baju mahal dan berdandan untuk mempercantik diri. Hubungan dengan lawan jenis pun telah dia anggap sebagai hal yang wajar. Dulunya dia menghindar dari topik-topik tabu dalam pembicaraan antar pembantu, akhirnya dia mulai terbiasa, bahkan bercerita tentang kehidupan pribadinya. Bahkan yang lebih ekstrim, dia mengalami perubahan dalam pemikiran. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.

Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki. Baik dalam tata cara adat maupun undang-undang. Sejauh ingatanku, selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau menimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti juga aku menerima kebanyakan hal lainnya. Keluar dari rengkuhan keluarga, bekerja dari satu kota ke kota lain, bertambah luasnya lingkungan pergaulan, aku baru melihat kepincangan-kepincangan yang semula tidak kuperhatikan. (NH: 169)

Dari kutipan tersebut, jelaslah terlihat pemberontakan pemikiran oleh Hiroko. Pemikiran Hiroko mulai berkembang berdasarkan pengalamannya di kota besar. Dia dapat memikirkan hal tersebut karena pertemuan antara tradisi dengan modernisasi.

  1. Kesimpulan
Isi dari novel Namaku Hiroko merupakan tanggapan dari pengarang novel itu sendiri tentang masyarakat Jepang. NH. Dini yang sempat bermukim di Jepang selama tiga tahun karena ikut serta suaminya yang bertugas, jelas mengetahui seperti apa kehidupan masyarakat Jepang. Dari sudut pandangnya, NH. Dini memaparkan semuanya ke dalam tulisan secara apik. Untuk mengetahui adat istiadat, kebiasaan, penduduk Jepang, tentunya NH. Dini terjun langsung dengan memperhatikan kesekitarnya. Hal tersebut membuat pembaca karya-karyanya dapat mengetahui seperti apa keadaan yang terjadi di sana.
Di mulai dengan persoalan perempuan Jepang yang digambarkan masih dalam posisi yang kurang menguntungkan karena mereka masih terkungkung oleh adat dan pendidikan yang rendah. Dalam cerita ataupun kehidupan nyata, mereka muncul sebagai pembantu rumah tangga atau perempuan penggoda yang moralitasnya rendah. Dalam kedudukan sosial pun, masih terlihat adanya  ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menduduki posisi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki.
Pertemuan tradisi dan modernisasi ternyata membuat karakter seseorang berubah seperti yang terjadi dengan Hiroko. Awalnya Hiroko merupakan seorang gadis desa yang sederhana, setelah pindah ke kota, dia pun menjadi seorang yang modern, baik secara fisik maupun secara pemikiran. NH. Dini menggambarkan hal-hal tersebut secara tersirat dalam novel ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press.
Budianta, Melani, dkk.. 2006. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——————————. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Dini, Nh. 2002. Namaku Hiroko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Okamaru, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. :Surabaya Gajah Mada University Press.
Prijanto, Saksono, Erlis Nur Mujiningsih, dan Joner Sianipar. 2007. Novel Peranakan Tionghoa Tahun 1930-an: Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pusat Bahasa.
Sumarjo, Jakob. 1993. Novel Populer Indonesia Sebuah Kritik. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.
Thowok, Didik Nini. 2005. “Image Orang Jepang di Mata Didik Nini Thowok” dalam buku Image Jepang: Jepang di Mata Orang Indonesia. Jakarta: The Japan Foundation Jakarta.
Utorodewo, Felicia N., dkk. 2006. Bahasa Indonesia Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok.

Sastra dan Masyarakat

Sejak zaman dahulu, sastra diyakini mempunyai hubungan tertentu dengan masyarakat. Hal ini karena sastra adalah semacam lembaga sosial yang memakai medium bahasa. De Bonald mengatakan bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat”.
Hakikat hubungan antara sastra dengan masyarakat bisa dibagi menjadi tiga poin. Pertama adalah sosiologi pengarang. Termasuk di sini adalah latar belakang pengarang, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang. Kedua adalah isi karya sastra tersebut, terutama yang berkaitan dengan hal-hal sosial. Ketiga adalah dampak karya sastra tersebut terhadap pembaca dan masyarakat secara umum.
Sejauh manakah latar belakang pengarang menyumbang hubungan antara sastra dan masyarakat? Statistik menunjukkan bahwa pengarang-pengarang Eropa berasal dari kelas menengah. Namun, ternyata pengarang-pengarang komunis seperti di Rusia tidak hanya berasal dari kelas menengah. Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa latar belakang pengarang hanya mempunyai andil kecil dalam menjawab hubungan antara sastra dan masyarakat.
Apakah sebuah buku benar-benar mempunyai hubungan dengan masyarakat? Apakah Uncle Tom’s Cabin benar-benar penyebab perang saudara di Amerika? Kohn-Bramstedt mengatakan bahwa hanya  orang yang mempunyai pengetahuan mendalam di luar sastra lah yang dapat merumuskan hubungan antara sastra dan masyarakat. Namun, jika ingin mencari buktinya, memang ada karya sastra yang mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis. Misalnya, pada zaman awal kebudayaan, kita menganggap bahwa lintah darat itu buruk. Citra buruk ini turun ke dalam karya Moliere yang berjudul L’avare, Shakespeare, ataupun Shylock. Memang jika diteliti lebih jauh, kita bisa mendapati ciri-ciri sosial pada zaman itu pada karya-karya sastra yang ada, misalnya alegori-alegori yang aneh atau gambaran kehidupan gembala dan alam pedesaan.
Tentang pengaruh karya sastra terhadap masyarakat, penulis sendiri belum bisa mengambil kesimpulan yang pasti. Hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan para sastrawan itu sendiri. Max Scheler, Max Weber, dan Karl Mannheim mengupas sosiologi pengetahuan. Namun, teori ini mempunyai kelemahan karena masih melihat dari satu sisi saja. Misalnya, Weber hanya membicarakan faktor agama saja. Bisa jadi hubungan sastra dan masyarakat itu terjadi lewat faktor yang lain (agama hanya salah satu saja). Kita baru bisa menjawab dengan pasti apakah sebuah karya sastra berpengaruh terhadap masyarakat kalau faktor penentu sosial dan bentuk-bentuk sastra sudah diketemukan.