Pendahuluan
Karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa itu sendiri
merupakan penggambaran ekspresi sosial. Melalui bahasa, sastra
mendeskripsikan kehidupan manusia yang mencakup hubungan antarmasyarakat
dan antarperistiwa, khususnya yang terjadi di dalam batin seseorang.
Aspek yang menjadi bahan sastra ini merupakan ide yang mendasari
pembentukan unsur-unsur yang menyusun suatu karya sastra menjadi
kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur dalam karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua bentuk,
yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pengarang dapat menampilkan
kedua unsur tersebut secara langsung dengan tersurat atau tidak
langsung dengan tersirat. Unsur intrinsik yang dikandung karya sastra di
antaranya adalah tokoh dan penokohan, alur, latar, tema, dan amanat
yang membangun karya sastra menjadi kesatuan yang utuh dan berisi. Unsur
ekstrinsik merupakan hal-hal di luar unsur intrinsik yang mempengaruhi
suatu karya sastra, seperti keadaan politik dan latar belakang
pengarang.
Sastra memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat sehingga harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan
yang mendasari hal tersebut adalah: a) karya sastra ditulis oleh
pengarang, diceritakan oleh pencerita, disalin oleh penyalin, sedangkan
ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat, b) karya sastra hidup
dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat, c) medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam
melalui kompetensi masyarakat, d) karya sastra mengandung estetika,
etika, dan logika yang jelas merupakan kepentingan masyarakat, e)
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya sastra.
Pertimbangan-pertimbangan tersebutlah yang mendorong kemunculan
sosiologi sastra.
Unsur ekstrinsik yang dibahas dalam makalah ini adalah sosiologi,
yaitu kehidupan manusia yang digambarkan dalam latar sosial. Latar
sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok
sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain
yang melatari peristiwa. Sosiologi merupakan pendekatan terhadap karya
sastra yang menganggap karya sastra adalah milik masyarakat. Pendekatan
sosiologis memiliki dasar filosofis berupa hubungan hakiki antara karya
sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan
oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu
sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan
yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan
kembali oleh masyarakat.
Dalam memaknai karya sastra, pembaca tidak terbatasi oleh pemikiran
pengarang. Mereka bebas mencari apa yang diungkapkan dalam karya sastra
tersebut sesuai dengan pengetahuan dan sudut pandang mereka terhadap
suatu fenomena kehidupan. Karya sastra bersifat multiinterpretasi, bebas
tafsir, dan subjektif. Dengan demikian, perbedaan pemikiran antara
pembaca dan pengarang menjadi hal yang tidak dapat dielakkan.
Namun, pembaca adalah bagian dari masyarakat. Begitu halnya dengan
pengarang. Pengarang mengambil hal-hal yang terjadi di dalam masyarakat
untuk diungkapkan atau memperkaya karya sastra yang ditulisnya. Karya
sastra dimanfaatkan oleh pembaca sebagai referensi untuk mengembangkan
pola pikir dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal ini menunjukkan
adanya keterikatan pemikiran antara pengarang dan pembaca dalam
menyikapi suatu karya sastra.
Kehadiran pengarang sebagai konseptor ide dalam karya sastra pun
tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, dalam menganalisis suatu karya
sastra, latar belakang pengarang perlu diketahui. Nh. Dini bernama
lengkap Nurhayati Suhardini, lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di
Semarang. Berpendidikan SMS (1956), kemudian kursus pramugari dan
menjadi pramugari di GIA (1957-1960) dan terakhir mengikuti kursus B-1
Jurusan Sejarah (1957). Nh. Dini mulai menulis sejak tahun 1951. Pada
tahun 1953 cerpen-cerpennya mulai dimuat di majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat.
Selain menulis cerpen, Dini juga menulis sajak dan sandiwara radio,
serta novel. Pernah bermukim di Jepang, Perancis, dan Amerika Serikat.
NH. Dini merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dan dilahirkan
oleh pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ayahnya, Saljowidjojo telah
wafat ketika Dini duduk di bangku SMP sedangkan ibunya adalah seorang
pembatik. Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang,
pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire
Lintang dan Pierre Louis Padang. Anak sulungnya kini menetap di Kanada,
dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus
mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang dan tiga
tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya,
Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada tahun 1967. Dini
berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan
kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Karya-karya NH Dini antara lain, Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1956), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1984), Polyboth (1984), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku
Dari biografi singkat NH. Dini di atas, terlihat adanya hubungan yang
erat antara dirinya dengan karya sastra yang dibuatnya. Salah satunya
yaitu Jepang sebagai latar tempat dalam novel Namaku Hiroko. Di
dalam biografi di atas, kita mengetahui bahwa NH. Dini sempat bermukim
di Jepang selama 3 tahun. Oleh karena itu, tentunya NH. Dini menyinggung
kondisi sosial masyarakat Jepang melalui cerita-ceritanya. Hal ini
menjadi sangat menarik ketika kita dapat menganalisis kondisi sosial apa
saja yang kita temui dalam novel tersebut.
- Ringkasan Novel Namaku Hiroko
Novel ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang gadis Jepang
bernama Hiroko. Hiroko adalah seorang gadis desa yang miskin dan tidak
berpendidikan. Dia yang sangat menyukai namanya sehingga dia selalu
menyebut nama Hiroko di depan nama keluarganya. Di desa tempat
tinggalnya, dia tinggal bersama Ayah, Ibu tiri, dan adik-adiknya.
Harapannya untuk hidup secara layak di desa tidak memungkinkan lagi.
Ayah Hiroko menanggung beban pekerjaan di ladang sendirian. Ibu tirinya
membantu ayahnya di ladang dan juga mengurusi rumah, sedangkan kedua
adik lelakinya cerewet dan hanya memikirkan diri sendiri.
Suatu ketika seorang tengkulak menawari sang ayah mempekerjakan
Hiroko sebagai pembantu rumah tangga di kota. Dengan keadaan rumah yang
demikian, Hiroko pun menerima pekerjaan tersebut. Akhirnya Hiroko
dikirim ke kota untuk menjadi pembantu rumah tangga. Di kota, ia bekerja
pada pasangan suami isteri yang belum beranak. Menurut Hiroko majikan
prianya merupakan pria yang tidak bisa dikatakan tampan dengan gigi yang
mendesak.
Hiroko merupakan gadis remaja yang memiliki daya tarik kuat yang
tersimpan di tubuhnya. Inilah sebabnya ia menjadi incaran iseng nafsu
tuannya. Namun, yang pertama kali mengenalkan kelezatan asmara pada
Hiroko bukan masjikannya sendiri, tetapi ipar majikannya yang mempunyai
wajah tampan dan terpelajar. Dari kejadian tersebut, beruntunlah
kejadian yang serupa. Setelah ia beberapa kali digauli oleh Sanao, ipar
majikannya, akhirnya ia jatuh juga menjadi sasaran majikannya sendiri
yang tidak berwajah tampan. Pada peristiwa-peristiwa inilah rupanya
tumbuh kesadaran terhadap Hiroko atas kelebihan yang tersimpan di dalam
tubuhnya.
Hiroko mengundurkan diri dari majikan lamanya. Setelah
berpindah-pindah kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota yang lebih
besar, akhirnya ia mendapatkan kerja di sebuah toko pakaian yang
dimiliki oleh seorang wanita misterius yang ternyata kelak diketahui
juga bernama Hiroko yang juga dulunya berasal dari desa. Sejak nasib
baiknya ini, hidup Hiroko memasuki masa terang. Saat itu, ada dua
pekerjaan yang dia lakukan, pada siang hari dia bekerja di toko, malam
harinya menjadi hostes dan akhirnya menjadi seorang penari telanjang.
Sebagai penari telanjang inilah, rezekinya semakin bertambah,
pengalaman hidupnya semakin banyak, kecerdasannya semakin tumbuh, dan
semangat materialipada akhirnya, Hiroko menemukan kekasih hatinya,
seorang pria yang tampan dan kaya. Hiroko sangat mencintai kekasihnya
itu sehingga ia rela menjadi simpanannya. Akhirnya, mereka hidup bersama
dan mempunyai dua orang anak. Novel ini diakhiri dengan perkataan
Hiroko yang mengatakan bahwa dia tidak pernah menyesal dengan jalan
hidupnya yang pada saat itu menempati posisi sebagai simpanan dari suami
sahabatnya sendiri.
- Kondisi Sosial Masyarakat Jepang di dalam Novel Namaku Hiroko
Novel-novel NH. Dini memiliki beberapa ciri yang tetap. Seluruh
kejadian datang secara berurutan bersama tokoh utama. Orang-orang datang
dan pergi dalam kehidupan tokoh utama. Tokoh utama itu selalu seorang
wanita, yang meskipun tidak cantik benar, dia memiliki daya tarik
tersendiri bagi kaum laki-laki, dalam novel ini Hiroko mempunyai tubuh
yang sintal, buah dada besar dan pantat yang menonjol, sehingga
protagonis ini selalu mempunyai kekasih atau pengagum yang cukup banyak.
Pengagum-pengagum tersebut biasanya dari berbagai bangsa. Akibatnya,
tokoh utama ini menjadi seorang yang pemilih. Ia menjadi seorang pemilih
laki-laki yang ahli.
Faktor ini ditambah dengan gaya penceritaan orang pertama yang berupa
uraian kenangan masa lampaunya atau sebuah catatan harian, sehingga
kita mengenal benar watak dan kepribadian si pencerita ini. Tokoh wanita
ini menceritakan riwayatnya sendiri, seluruh kejadian dia nilai
berdasarkan nilai-nilai yang dia anut. Seperti hal yang menyangkut
dengan hubungan intim dengan lawan jenis secara bebas tanpa
memperdulikan norma umum masyarakat dan penilaiannya terhadap laki-laki
yang disukai dan tidak disukainya.
Tema cerita pada setiap karya Dini tidak pernah berubah sejak
dasawarsa 1050-an. Dini selalu menempatkan protagonisnya sebagai seorang
wanita muda yang berada dalam kondisi sulit dan terdesak oleh
lingkungannya tetapi selalu berjuang untuk lepas dan memperoleh
kebahagiannya. Kadang-kadang perjuangan tokoh tidak berhasil, tetapi
beberapa dari hasil karyanya digambarkan tokoh yang berhasil. Di dalam
novel Namaku Hiroko ini menceritakan perjuangan tokoh wanita yang berhasil.
Dalam penelitian sosiologi sastra, karya sastra dinilai sebagai
sebuah cermin masyarakat. Menurut Laurenson dan Swingewood (1971)
terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1)
penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut
diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi
sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai
manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya1.
Di dalam novel Namaku Hiroko, kita mengetahui bahwa unsur
lokalitas Jepang sangat kental membangun keutuhan isi cerita. Dengan
membaca novel ini, kita pun mengetahui segala persoalan perempuan
Jepang, salah satunya kedudukan sosial, selain itu di dalam novel ini
juga terlihat bentrokan yang terjadi antara tradisi dan modernitas yang
ada di dalam novel Namaku Hiroko.
- Persoalan Perempuan
Untuk memperoleh gambaran mengenai perempuan Jepang dalam karya sastra Namaku Hiroko
ini, akan dilihat penggambaran tokoh perempuan yang disampaikan oleh
pengarangnya. Gambaran tersebut diharapkan akan berbentuk deskripsi
bagaimana mereka hidup dalam masyarakatnya.
- Posisi dan Kedudukan Perempuan
Kedudukan perempuan Jepang dalam masyarakatnya secara umum dapat terlihat dari tokoh-tokoh perempuan di dalam novel Namaku Hiroko. Kedudukan perempuan tersebut terbagi di dalam lingkungan rumah tangga, pekerjaan, dan lingkungan pendidikan.
Di dalam lingkungan rumah tangga, kedudukan perempuan dalam tokoh
tersebut dapat terlihat dengan jelas dari kedudukan istri terhadap
suaminya dan anak perempuan dengan ayahnya. Hubungan antara istri dan
suaminya, dapat terlihat pada kutipan berikut ini.
Tuan sering pulang malam bersama pemuda itu. Mereka pulang mendekati pagi. Jika mereka pergi nyonya tidak tidur semalaman menunggunya. Segera setelah terdengar suaranya di lorong samping, nyonya melompat lalu menunggunya di depan pintu, bersimpuh menurut cara negeri kami2. Wanita setengah umur itu membiarkan si pemuda asing masuk ke dalam rumah. Kemudian nyonya membuka tali sepatu tuan sambil mengucapkan pertanyaan-pertanyaan yang beruntun seraya mendengarkan jawabannya. …. Dan selama itu nyonya tetap bersimpuh di depan pintu sehingga suaminya habis menceritakan kejadian malam itu. Barulah nyonya berdiri memberi jalan kepada suaminya masuk ke kamar dan tidur. (NH: 17–18)
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa di dalam rumah tangga,
perempuan Jepang berkedudukan di bawah suaminya. Stereotip yang tercipta
adalah sebagai seorang istri, perempuan harus setia menunggu suaminya
pulang. Sebagai istri yang baik, perempuan harus melayani suami dengan
segenap hati seperti yang terlihat pada kutipan di atas, majikan Hiroko
menunggu suaminya pulang dan dengan ketaatan sebagai istri, dia
bersimpuh dan melayani suaminya dengan membukakan tali sepatunya.
Namun, dari cerita selanjutnya, tokoh Hiroko berkata bahwa dia baru
sekali ini melihat kejadian seperti itu. Di desa tempatnya tinggal, dia
tidak pernah melihat ibunya menunggu ayahnya sampai pulang dari
minum-minum, bahkan ketika ayahnya pulang, ibunya malah menyingkir
karena melihat ayahnya mabuk. Dengan demikian, ada perbedaan kedudukan
perempuan sebagai istri di kota dan di desa. Di kota, seorang istri
begitu melayani suaminya sedangkan di desa, hal tersebut biasa saja.
Namun, dalam hal tunduk pada perintah suami, istri di kota dan di desa
sama saja. Mereka cenderung melaksanakan perintah suaminya tanpa
membantah. Hal ini juga berlaku kepada anak perempuan dari keluarga itu.
Perintah orangtua, khususnya ayahnya, tidak pernah ia bantah.
Empat hari kemudian aku duduk di samping sopir truk yang membawa hasil panen desa ke kota. Waktu itu umurku hampir enam belas tahun. Sudah dua tahun aku tidak bersekolah. Keputusan yang diambil ayahku merupakan peraturan yang harus dituruti tanpa dirunding pihak yang bersangkutan. Pada waktu itu aku menerimanya dengan kewajaran abadi penuh ketaatan. Ayahku seorang yang menentukan dalam kehidupan kami. Dan aku yang dibesarkan dengan lingkungan adat kepala tunduk untuk mengiyakan semua perintah orangtua, tidak melihat alasan apa pun buat membantahnya. Padahal waktu itu aku khawatir. (NH:15)
Dalam kutipan tersebut, jelas otoritas sang ayah di dalam keluarganya
sangat dipatuhi oleh Hiroko. Hiroko tidak berani membantah ataupun
membela diri. Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang wajar. Hal ini
kemungkinan disebabkan pernah adanya hukum yang berlaku di masyarakat
bahwa seorang perempuan selayaknya tunduk kepada ayahnya, kemudian
kepada suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak laki-laki nya yang
menduduki posisi kepala keluarga (Okamura, 1983:6). Hal ini berlaku
setelah perang dunia ketiga. Menurut Okamura, pada saat ini hukum
tersebut telah dihapuskan tetapi pada kenyataan, seorang perempuan atau
pun seorang istri masih menganut hukum tersebut. Kemungkinan karena
memang sulit untuk menghapuskan sesuatu yang sudah turun temurun.
Dalam bidang pekerjaan, di dalam novel Namaku Hiroko, terlihat
jelas perbedaan kedudukan perempuan dan laki-laki. Di dalam novel
tersebut hanya sedikit perempuan yang diceritakan mempunyai jabatan
pekerjaan yang tinggi. Kebanyakan diceritakan seperti stereorip yang ada
bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga, istri yang hanya bekerja
mengurus rumah, suami, dan anak, bahkan diceritakan kebanyakan perempuan
desa di Jepang bekerja sebagai pembantu. Kalaupun ada, yang diceritakan
adalah kesuksesan perempuan dengan pekerjaan yang tidak layak, seperti
pemilik bar dan toko tetapi hal itu merupakan pemberian dari suami orang
lain, ada juga diceritakan seorang perempuan yang sukses ketika menjadi
penari telanjang sehingga mempunyai uang yang banyak.
Sebaliknya, di dalam novel ini diceritakan kesuksesan laki-laki atau
para suami yang mempunyai pekerjaan yang bagus dengan gaji yang besar.
Memang ada satu bagian yang menceritakan kesuksesan seorang perempuan
yang berhasil dalam pengelolaan toko tetapi rumah tangganya diceritakan
hancur. Hal ini membuktikan bahwa peranan laki-laki di dalam rumah
tangga lebih besar dibandingkan perempuan. Dengan kata lain, jika
perempuan di Jepang ingin sukses, dia harus rela tidak memiliki hubungan
yang baik di dalam rumah tangganya.
Kedudukan dalam pendidikan di Jepang (abad ke-19) antara perempuan
dan laki-laki ternyata dibedakan. Selama masa pendidikan wajib 6 tahun,
baik anak laki-laki maupun anak perempuan memperoleh pengajaran secara
bersamaan; tidak ada diskriminasi dalam pelajaran-pelajaran yang
diberikan. Perbedaan timbul pada tingkatan yang kedua: anak laki-laki
melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah (5 tahun) atau pendidikan
keterampilan, sedangkan anak-anak perempuan memasuki Sekolah Menengah
Khusus bagi mereka (4 atau 5 tahun) (Okamura, 1983: 53-54).
Sistem diskriminasi ini berlandaskan sebuah sikap yang terungkapkan
dalam pepatah feodal “pendidikan tak perlu bagi kaum wanita”. Gagasan
ini merupakan pendukung dari stereotip perempuan dipersiapkan agar dia
dapat baik dan mampu sebagai ibu rumah tangga sedangkan laki-laki
diyakini sebagai pencari naskah. Dengan keterangan tersebut, Hiroko
sebagai perempuan Jepang pada masanya tidak mendapatkan hak
berpendidikan. Bahkan ayahnya, menyuruhnya berhenti bersekolah. Hal ini
semakin memperjelas kedudukan perempuan di dalam rumah tangga,
pekerjaan, dan pendidikan.
- Perempuan sebagai Penggoda
Ketika zaman pendudukan Jepang, umumnya diketahui bahwa sejumlah
wanita Jepang didatangkan untuk menempati rumah-rumah penghibur tentara
Jepang. Akan tetapi, karena biasanya rumah-rumah tersebut dilingkari
tembok yang tinggi, masyarakat di luar tidak dapat mengenal mereka.
Kemudian, sesudah Jepang ditaklukan dan diduduki oleh tentara Amerika,
berbagai film yang bersifat romantis dibuat oleh pefilm-pefilm Amerika
yang pada umumnya menggambarkan wanita Jepang sebagai makhluk-makhluk
yang lemah lembut yang kehadirannya di dunia ini semata-mata untuk
mengabdikan dirinya kepada kaum laki-laki (Tan, 1979: vii).
Penjelasan tersebut membuat stereotip bahwa kebanyakan perempuan di
Jepang adalah wanita penghibur. Hal ini juga diangkat oleh NH. Dini
sebagai pekerjaan dari tokoh utama, Hiroko, yaitu penari telanjang
sekaligus kadang-kadang menjual tubuhnya. Dari sudut pandang seorang
istri, tentulah Hiroko dianggap wanita penggoda. Apalagi ketika dia
masih menjadi seorang pembantu, dia tidur dengan majikannya dan tidak
dapat menolaknya kemudian. Ketika dia bekerja sebagai pelayan toko ada
seorang laki-laki yang menyukainya dan ketika Hiroko mengetahui bahwa
laki-laki itu kaya dan sudah beristri, Hiroko menunjukkan sikap
jinak-jinak merpati yang membuat laki-laki itu malah semakin penasaran
walaupun pada akhirnya Hiroko menghindari laki-laki itu.
Di akhir cerita, NH. Dini menceritakan bahwa Hiroko menjadi kekasih
seorang laki-laki yang sudah beristri. Jelaslah dari itu semua NH. Dini
menyetujui bahwa perempuan sebagai penggoda laki-laki meskipun NH. Dini
juga menceritakan di dalam novelnya bahwa hal itu bukan sepenuhnya
kesalahan perempuan.
- Tradisi versus Modernitas
Di dalam novel ini ada beberapa bentrokan yang terjadi antara tradisi
dan modernitas. Bentrokan ini terjadi ketika sebuah tradisi dihadapkan
kepada modernisasi kehidupan. Seperti halnya adat-adat yang dulunya
masih berlaku tetapi ketika adat-adat tersebut sudah bertemu dengan
zaman modern, adat-adat tersebut akan menjadi berkurang atau hilang sama
sekali.
Ketika pertama kali Hiroko datang ke kota, dia sangat mengagumi
kehidupan kota. Entah cara berpakaian orang-orang di sana, cara
berdandan seorang perempuan, hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang di luar batas, serta pembicaraan-pembicaraan antar pembantu.
Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang baginya. Pertemuan dua tradisi
atau kebiasaan antara tradisi lama dan tradisi baru (modern) membuat
Hiroko mengalami perkembangan dalam hal pemikiran maupun dalam hal
fisik.
Dulunya, Hiroko seorang yang sederhana dan jalan pikirannya pun
demikian. Masih banyak hal-hal yang dianggapnya tidak wajar. Akan
tetapi, kemudian Hiroko mulai terbiasa dengan hal itu, dia mulai
berpakaian seperti layaknya seorang kota dengan membeli baju-baju mahal
dan berdandan untuk mempercantik diri. Hubungan dengan lawan jenis pun
telah dia anggap sebagai hal yang wajar. Dulunya dia menghindar dari
topik-topik tabu dalam pembicaraan antar pembantu, akhirnya dia mulai
terbiasa, bahkan bercerita tentang kehidupan pribadinya. Bahkan yang
lebih ekstrim, dia mengalami perubahan dalam pemikiran. Seperti yang
terlihat pada kutipan di bawah ini.
Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki. Baik dalam tata cara adat maupun undang-undang. Sejauh ingatanku, selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau menimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti juga aku menerima kebanyakan hal lainnya. Keluar dari rengkuhan keluarga, bekerja dari satu kota ke kota lain, bertambah luasnya lingkungan pergaulan, aku baru melihat kepincangan-kepincangan yang semula tidak kuperhatikan. (NH: 169)
Dari kutipan tersebut, jelaslah terlihat pemberontakan pemikiran oleh
Hiroko. Pemikiran Hiroko mulai berkembang berdasarkan pengalamannya di
kota besar. Dia dapat memikirkan hal tersebut karena pertemuan antara
tradisi dengan modernisasi.
- Kesimpulan
Isi dari novel Namaku Hiroko merupakan tanggapan dari
pengarang novel itu sendiri tentang masyarakat Jepang. NH. Dini yang
sempat bermukim di Jepang selama tiga tahun karena ikut serta suaminya
yang bertugas, jelas mengetahui seperti apa kehidupan masyarakat Jepang.
Dari sudut pandangnya, NH. Dini memaparkan semuanya ke dalam tulisan
secara apik. Untuk mengetahui adat istiadat, kebiasaan, penduduk Jepang,
tentunya NH. Dini terjun langsung dengan memperhatikan kesekitarnya.
Hal tersebut membuat pembaca karya-karyanya dapat mengetahui seperti apa
keadaan yang terjadi di sana.
Di mulai dengan persoalan perempuan Jepang yang digambarkan masih
dalam posisi yang kurang menguntungkan karena mereka masih terkungkung
oleh adat dan pendidikan yang rendah. Dalam cerita ataupun kehidupan
nyata, mereka muncul sebagai pembantu rumah tangga atau perempuan
penggoda yang moralitasnya rendah. Dalam kedudukan sosial pun, masih
terlihat adanya ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan menduduki posisi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
laki-laki.
Pertemuan tradisi dan modernisasi ternyata membuat karakter seseorang
berubah seperti yang terjadi dengan Hiroko. Awalnya Hiroko merupakan
seorang gadis desa yang sederhana, setelah pindah ke kota, dia pun
menjadi seorang yang modern, baik secara fisik maupun secara pemikiran.
NH. Dini menggambarkan hal-hal tersebut secara tersirat dalam novel ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press.
Budianta, Melani, dkk.. 2006. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——————————. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Dini, Nh. 2002. Namaku Hiroko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Okamaru, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. :Surabaya Gajah Mada University Press.
Prijanto, Saksono, Erlis Nur Mujiningsih, dan Joner Sianipar. 2007. Novel Peranakan Tionghoa Tahun 1930-an: Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Pusat Bahasa.
Sumarjo, Jakob. 1993. Novel Populer Indonesia Sebuah Kritik. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.
Thowok, Didik Nini. 2005. “Image Orang Jepang di Mata Didik Nini Thowok” dalam buku Image Jepang: Jepang di Mata Orang Indonesia. Jakarta: The Japan Foundation Jakarta.
Utorodewo, Felicia N., dkk. 2006. Bahasa Indonesia Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar