"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

11/24/2011

SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

     Sutan Takdir Alisjahbana lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli. Ia pernah menjadi anggota Sociatte de Linguistique de Paris (sejak 1951) dan Comite Directeur de Federation Internationale des Societes de Philosophie di Brussel (1954-1959). STA, begitu dia disebut oleh publik. Banyak karya telah dihasilkannya, antara lain berupa novel, antologi puisi, kritik, buku mengenai kebudayaan, bahasa, serta filsafat. Layar Terkembang adalah salah satu novelnya yang mengangkat tema peranan wanita di antara kebudayaan Barat dan Timur. Beberapa antologi puisinya adalah Tebaran Mega (1936) dan Perempuan di Persimpangan Zaman (1980). Dalam tulisan ini, penulis akan membahas dua puisi yang diambil dari kumpulan sajak Perempuan di Simpang Jalan, yakni ”Kesunyian Baru” dan ”Sama-sama Bermimpi dan Berjuang”. Kedua puisi ini mengangkat tema perempuan.
Kesunyian Baru

Barbahagiakah aku sekarang,
Setelah membuktikan kecakapan jiwa dan raga
Setelah membanting tulang dan mencucurkan keringat,
Tak terkalahkan di segala gelanggang,
bebas dari suami
dan tak dibebani anak dan rumah?

Dalam kesibukan kerja dan bakti,
Penuh tanggung jawab dan siasat,
Dalam kepusingan menghadapi tandingan dan tantangan,
Penuh kepercayaan menangkis dan menyerang,
Datang mengetuk hati perempuanku yang abadi.
Dari jauh dan dalam ia menghimbau,
Merindukan cinta dan penyerahan.


Makin memanjang usiaku,
Dan tubuhku melewati puncak kecergasannya,
Makin menekan kehampaan dalam jiwaku.
Sebagai kembang yang melihat kelopaknya
Lesu melisut dan terkulai mengering
Hatiku meratapi koderat alam,
Yang tak mencapai tujuannya,
Karena terkelok ditengah jalan.

Lambat laun sadarlah aku,
Tak ada yang lebih agung memenuhi jiwa
Dari pada penyerahan cinta
Sebagai kekasih,
Sebagai ibu,
Yang seumpama matahari tak henti-hentinya
Mencurahkan panas dan cahyanya,
Memberi kehangatan dan tenaga
Ke seluruh buana.
Dalam sajak ”Kesunyian Baru”, Aku lirik mengungkapkan sebuah refleksi diri. Refleksi ini ia lakukan usai mencapai berbagai hal yang dinginkannya di waktu lampau. Ia telah membuktikan kecakapan jiwa dan raga, bekerja keras, serta berpisah dari suami dan anak. Dengan tercapainya itu semua, ia berharap mampu meraih kebahagiaan dan kebebasan. Dugaannya untuk mendapatkan kebahagiaan tak berakhir sesuai harapannya hingga ia bertanya pada dirinya sendiri. Hal ini terungkap pada bait pertama
Berbahagiakah aku sekarang,
Setelah membuktikan kecakapan jiwa dan raga,
Setelah membanting tulang dan mencucurkan keringat,
Tak terkalahkan di segala gelanggang,
bebas dari suami.
Dan tak dibebani anak dan rumah?
            Perjalanan yang ditempuh oleh Aku lirik begitu berat. Ia sibuk dalam menghadapi tantangan yang silih berganti. Saat perjalanan meraih kebahagiaan yang begitu keras, ia terpanggil nuraninya sebagai seorang perempuan yang lekat dengan kerinduan akan cinta dan penyerahan seperti yang diungkapkan dalam bait berikutnya
            Dalam kesibukan kerja dan bakti,
            Penuh tanggung jawab dan siasat,
            Dalam kepusingan menghadapi tandingan dan tantangan,
            Penuh kepercayaan menangkis dan menyerang,
            Datang mengetuk hati perempuanku yang abadi.
            Dari jauh dan dalam ia menghimbau,
            Merindukan cinta dan penyerahan.
            Pada bait ketiga, Aku lirik mengisahkan usianya yang semakin tua. Penurunan kekuatan dan kelincahan menjadikannya pesimis sebab ia tak mampu lagi beraktivitas sekeras dulu. Ia sedih sebab perjuangannya di waktu lalu yang begitu keras terhambat dengan keadaannya yang semakin renta. Ia tak mampu mencapai tujuannya.
            Makin memanjang usiaku,
            Dan tubuhku melewati puncak kecergasannya,
            Makin menekan kehampaan dalam jiwaku.
            Sebagai kembang yang melihat kelopaknya
            Lesu melisut dan terkulai mengering
            Hatiku meratapi koderat alam,
            Yang tak mencapai tujuannya,
            Karena terkelok ditengah jalan.
            Dalam refleksi yang dijalani, Aku lirik menyadari bahwa seorang perempuan memiliki tujuan naluriah yang selalu ingin dekat pada penyerahan cinta. Perempuan selayaknya mampu menebar cinta kasih sebagai ibu bagi anak-ankanya dan menebar cahaya di setiap penjuru lingkungannya. Ia menemukan kesadarannya di akhir bait puisi ini.
            Lambat laun sadarlah aku,
            Tak ada yang lebih agung memenuhi jiwa
            Dari pada penyerahan cinta
            Sebagai kekasih,
            Sebagai ibu,
            Yang seumpama matahari tak henti-hentinya
            Mencurahkan panas dan cahyanya,
            Memberi kehangatan dan tenaga
            Ke seluruh buana.


            ”Sama-sama Bermimpi dan Berjuang” dalam kumpulan sajak Perempuan di Persimpangan Zaman memiliki kesamaan dengan sajak sebelumnya, ”Kesunyian Baru”, yaitu mengangkat tema perempuan atas sebuah kesadaran.
Sama-sama Bermimpi dan Berjuang

Kekasihku sayang, aku tahu
Di zaman baru yang sedang mengorak kelopak
Pengasuhan dan pendidikan anak akan berkurang,
Berkat penuh sesaknya bumi kita.
Aku tahu, bahwa kemajuan zaman kita
Meringankan pekerjaan rumah
Bagi isteri dan ibu,
Sehingga dapatlah ia lebih bebas berkembang,

Wahai,
Dapatkah dalam masyarakat yang akan datang
Kami kaum perempuan
Mencapai hidup yang wajar,
Sebagai kekasih,
Sebagai ibu,
Dan sebagai pribadi,
Yang serta mengembangkan kebudayaan,
Dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran yang penuh?

Kekasihku, sayang, mari kita bersama,
Bermimpi dan berjuang dalam kemesraan kasih,
Girang membangun masyarakat dan kebudayaan,
Dimana tugas dan pekerjaan,
Hak dan kewajiban,
Dan bersama itu cinta dan bahagia,
rata terbagi antara umat manusia.

Tugu, 11 Juli 1976 

            Kesemua bait dalam puisi ini mengungkap celoteh seorang perempuan kepada pasangannya tanpa ada sahutan dari pihak pasangan. Pada bait pertama, Aku lirik menggambarkan keadaan di zaman modern ini dengan cukup kompleks, tentang pengasuhan, pendidikan, dan teknologi. Kemajuan zaman ini dirasa mampu memfasilitasi kehidupan seorang perempuan untuk terjun ke ranah publik.
            Kekasihku sayang, aku tahu
            Di zaman baru yang sedang mengorak kelopak
            Pengasuhan dan pendidikan anak akan berkurang,
            Berkat penuh sesaknya bumi kita.
            Aku tahu, bahwa kemajuan zaman kita
            Meringankan pekerjaan rumah
            Bagi isteri dna ibu,
            Sehingga dapatlah ia lebih bebas berkembang,
            Aku lirik meneruskan celotehannya dengan mengungkap sebuah harapan di masa mendatang. Di sini, disuratkan harapan dari seorang perempuan untuk mampu menjadi sebagai pasangan dan ibu sekaligus berperan dalam perkembangan kebudayaan, tanpa menelantarkan salah satunya.
Wahai,
Dapatkah dalam masyarakat yang akan datang
Kami kaum perempuan
Mencapai hidup yang wajar,
Sebagai kekasih,
Sebagai ibu,
Dan sebagai pribadi,
Yang serta mengembangkan kebudayaan,
Dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran yang penuh?
            Optimisme perempuan sangat terasa dalam bait terakhir puisi ini. Aku lirik mengajak pasangannya untuk melangkah bersama guna menggenggam cita-cita. Meraih mimpi dalam kemesraan kasih serta membangun masyarakat adalah harapannya. Ia yakin bahwa kesemua itu dapat diperoleh dengan melangkah bersama dengan membagi tugas sesuai porsi yang tepat hingga memunculkan hasil yang memang pantas didapat oleh keduanya, perempuan dan laki-laki.
            Kekasihku, sayang, mari kita bersama,
Bermimpi dan berjuang dalam kemesraan kasih,
Girnag membangun masyarakat dan kebudayaan,
Dimana tugas dan pekerjaan,
Hak dan kewajiban,
Dan bersama itu cinta dan bahagia,
rata terbagi antara umat manusia.
            Kedua sajak di atas, ”Kesunyian Baru” dan ”Sama-sama Bermimpi dan Berjuang”, membuktikan bahwa membincang perempuan tak ada habisnya. Hak, kewajiban, dan penghargaan, kesemuanya menjadi menarik saat dilekatkan padanya. Perempuan semakin menarik diperbincangkan saat ditelisik peranannya dalam ranah publik. Tuntutan untuk memperoleh porsi yang sama menjadi senjata ampuh untuk memperjuangkan hak perempuan. Apakah memang harus begitu? Apakah keadilan selalu merujuk pada kalkulasi angka senilai, 50:50?
            Dua jenis manusia  di dunia ini ada dua, perempuan dan laki-laki. Diciptakannya jenis yang lebih dari satu ini pasti ada maksudnya, saling melengkapi ataupun yang lain. Allah berfirman dalam QS An-Nisa:1 sebagai berikut
Wahai manusia!  Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan               perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga  dan mengawasimu.
            Jika dalam suatu situasi dan kondisi ditemukan lebih dari satu orang, secara otomatis, satu orang akan jadi pemimpin dan yang lain akan dipimpinnya. Jika tidak, kondisi dan situasi akan kacau karena tak ada yang bersedia dipimpin ataupun sebaliknya. Kepemimpinan bukan berarti mutlak dipahami bahwa satunya lebih tinggi dari yang lain, melainkan sebuah cara untuk menciptakan kondisi ideal secara bersama-sama sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik dengan sebelumnya menempatkan segala sesuatunya pada tempat yang tepat. Hal ini terlihat pada kemauan berjalan bebarengan Aku lirik dan pasangannya dalam sajak “Sama-sama Bermimpi dan Berjuang”. Di dalamnya terlihat bahwa keduanya memiliki kesadaran atas hak dan kewajiban.
            Kekasihku, sayang, mari kita bersama,
            Bermimpi dan berjuang dalam kemesraan kasih,
            Girang membangun masyarakat dan kebudayaan,
            Dimana tugas dan pekerjaan,
            Hak dan kewajiban,
            Dan bersama itu cinta dan bahagia,
            rata terbagi antara umat manusia.
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan akan mendapat suraga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan mendapat tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.
            Kedua ayat di atas, QS At-Taubah 71-72, memberikan jaminan dan kedudukan yang sama bagi mu’min laki-laki dan mu’min perempuan di hadapan Allah. Jika dipandang dari segala seginya, niscaya terlihat bahwa kedudukan perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Keduanya sama-sama memikul kewajiban dan mendapat hak. Keduanya bertugas menegakkan kebenaran dan keadilan, mengokohkan akhlak yang tinggi dalam pembangunan masyarakat, menjauhkan kerusakan akhlak, dan menentramkan bila terjadi kekacauan.

            Kesamaan memiliki hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan bukanlah berarti bahwa kesemua pekerjaan yang dapat dilakukan laki-laki dapat juga dilakukan oleh perempuan. Oleh sebab itu, meskipun sama-sama berhak dan sama-sama berkewajiban, pekerjaan harus dibagi. Jika keduanya mengerjakan pekerjaan yang sama akan timbul hasil yang sia-sia, bahkan ada yang tak terlaksana. Hal seperti ini mengisyaratkan kepada kita bahwa sebenarnya keadilan tak sepenuhnya ditunjukkan oleh kalkulasi angka senilai, 50:50, melainkan ketepatan dalam peletakan segala hal hingga memunculkan hasil yang memang tepat dan pantas didapat dengan kesadaran atas hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan seperti diungkap dalam kedua puisi di atas.

Bahan Pustaka

Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Perempuan di Perimpangan Jalan. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Al-Qur’anul karim
Hamka. 1984. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Irmler, Maria. Peny. 2008. Antologia de Poeticas. Jakarta: Gramedia.
Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi        Gender. Bandung: Mizan.
Rosidi, Ajip. 1975. Membicarakan Puisi Indonesia. Bandung: CV Peladjar Bandung.

2 komentar:

  1. Om swastyastu..

    rahajeng semeng bli.. salam kenal gih!

    BalasHapus
  2. sareng-sareng bli,,, lan suksma taler antuk makudang-kudang materi Bli Wayan,,,, moghi rahayu,,,,

    BalasHapus