"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

2/28/2012

RINDU

Apa khabar rakan blogger? Beberapa hari tidak menulis membuatkan aku rindu pada blog tetapi terpaksa juga aku tahan dan pendamkan kerana beberapa hal yang perlu didahulukan. Harap-harap korang pengunjung dan pembaca tak rindukan aku. :D
Kali ini aku ambil peluang untuk menulis beberapa rangkap pantun sebagai pelepas rindu aku dan rindu pada pantun. He  he he …

menumbuk sambal sambil berdiri
bawang dan cabai melimpah raga
blogger terkenal menjadi selebriti
peminatnya ramai seantero dunia

pedasnya sambal cabainya merah
berulam bercicah si jantung pisang
menjadi terkenal bukannya mudah
segala langkah diperhatikan orang

hangatnya berapi menu hidangan
muka berpeluh senyuman berseri
sementara diri menjadi perhatian
tunjukkan contoh teladan terpuji

2/26/2012

TRADISI MAGIBUNG



Sampai dengan pengujung abad ke–20, awal abad ke–21 dalam upacara agama (Hindu) dan acara adapt masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem, masih dilaksanakan perjamuan magibung. Magibung adalah makan bersama dalam satu talam atau dulang dengan jumlah enam sampai delapan orang. Perjamuan magibung memiliki tata tertib tak tertulis, tetapi wajib ditaati oleh peserta. Dari segi sejarah kebudayaan magibung tidak sekadar acara makan bersama demi terpenuhinya kebutuhan primer makan dan minum; tetapi memiliki asoek social, cultural, psikologis, dan religi. Dalam perjalanan sejarahnya semua aspek ini hadir, tetapi aspek yang satu lebih menonjol dari yang lain. Sebagai kegiatan yang melibatkan manusia dalam konteks tradisi dan agama, aspek social paling menonjol dan mengalami perubahan secara dinamis.
Di masa lalu, terutama di pedesaan, perjamuan magibung tidak terpisahkan dari upacara agama dan secara adat. Kehadirannya menjadi cirri khas yang menandai berlangsungnya suatu upacara agama atau acara adat. Sebagai salah satu bentuk tradisi, magibung tidak luput dari berbagai bentuk perubahan. Perubahan–perubahan ini terjadi karena alasan praktis, atau karena nilai filosofi aslinya tidak dipahami lagi. Dengan de,ikian yang tinggal hanya bentuk luarnya. Dewasa ini sangat jarang perjamuan magibung disertai oleh delapan orang dalam satu sela (kelompok). Makna filosofi delapan orang terkait dengan Pangider Nawa Sanga, gibungan berada di tengah – tengah sebagai pusat spiritual.
Perubahan dari delapan orang menjadi enam orang disebabkan oleh alasan praktis. Para peserta magibung bias lebih nyaman duduk di seputar gibungan. Di samping itu nilai filosofinya juga hilang. Perubahan lain adalah jenis dan warna lauknya. Jenis dan warna lauknya pun erat kaitannya dengan filosofi Nawa Sanga. Kini lauknya dibuat mengikuti selera umum masyarakat. Yang penting enak dan digemari banyak orang. Secara umum perubahan tata perjamuan magibung mengikuti sifat perubahan kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, “setiap kebudayaan berlangsung di dalam waktu dan selalu di dalam perubahan; hidup kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama lenyap untuk digantikan yang baru. Disitu senantiasa terjadi pembentukan, penciptaan kembali, dan pembaharuan.”(Kartodirdjo,1986:5). Secara khusus perubahan–perubahan magibung di sebabkan oleh dua faktor yaitu:
(1). Masyarakat tidak lagi memahami nilai dan makna filosofi magibung, karena tergerus oleh budaya instant yang praktis. Yang bertahan hanya forma luarnya.
(2). Masyarakat kini semakin terpengaruh oleh tata perjamuan modern yang berprinsip : praktis,nyaman,dan enak. Kebersamaan seperti dalam perjamuan magibung diubah menjadi kebersamaan tanpa mengintervensi privasi individu. Duduk tetap bersama tetapi makan dalam piring masing – masing.
Pelan tapi pasti perubahan–perubahan itu akan terus berlanjut, sebab perubahan itu erat kaitannya dengan perubahan nilai – nilai social dalam masyarakat. Usaha–usaha untuk mempertahankanperjamuan magibung masih ada. Alasannya adalah untuk melestarikan tradisi yang dianggap unik. Makna sosial magibung yang masih relevan engan zaman, seperti memupuk kebersamaan, menguatkan ikatan persaudaraan, mengakrabkan persahabatan, dan mengeratkan persatuan, ditonjolkan.
Dengan makna kontemporer banyak kantor dinas dan instansi yang menyelenggarakan suatu acara dengan perjamuan magibung. Hal ini menyebabkan timbulnya usaha jasa boga gibungan plus material boga modern. Misalnya : minumannya tidak lagi air dalam cerek tetapi aqua dalam gelas. Disamping itu ditambah buah– buahan untuk cuci mulut. Ini menunjukkan adanya kolaborasi antara perjamuan tradisional dengan perjamuan modern.
Persentuhan perjamuan megibung dengan perjamuan modern dalam segala akibat perubahannya, menyebabkan kita bias memprediksi bentuk perjamuan magibung di masa depan sebagai berikut :
(1). Perubahan akan terus berlangsung sesuai perkembangan zaman. Apapun bentuk perubahan itu semuanya menuju kea rah perjamuan yang praktis, nyaman dan enak.
(2). Gerakan memupuk kebersamaan dan mengeratkan persatuan/korp pada berbagai kantor dinas dan instansi akan melestarikan perjamuan magibung, meskipun bentuk pelaksanaannya sudah amat berbeda dengan bentuk aslinya di masa lalu.
(3). Perjamuan magibung tidak lagi menjadi primadona dalam upacara agama dan acara adapt di Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem). Disamping perjamuan magibung juga dilaksanakan perjamuan prasmanan.
Perjamuan prasmanan tampaknya semakin berkembang hingga menyentuh pedesaan. Disamping karena alasan praktis, pergaulan kesejagatan, lintas suku dan agama, memaksa si empunya acara menyiapkan perjamuan prasmanan. Sebab suku non Bali dan Umat non Hindu tidak mungkin di jamu dengan perjamuan magibung.
(4). Munculnya gerakan ajeg Bali menjadi pilar baru untuk melestarikan perjamuan magibung, dengan mengembalikan unsure keasliannya yang masih mungkin dilakukan. Inilah menjadi salah satu latar pemerintah Kabupaten Karangasem melksanakan perjamuan magibung missal hingga memperoleh penghargaan MURI.
Kekhawatiran akan lenyapnya tradisi perjamuan magibung memang beralasan mengingat perubahan nilai–nilai sosial yang mendasar dan menyeluruh berlangsung dengan cepat. Namun perjamuan magibung idak akan lenyap dalam masyarakat Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem), karena perjamuan magibung telah mendapat nilai dan makna baru. Disamping itu selama Desa Pakraman dan Banjar masih eksis di Bali, perjamuan magibung tidak akan lenyap lebih – lebih di wilayah pedesaan, sebab perjamuan magibung enjadi bagian integral dari tata perjamuan Banjar dan Desa Pakraman. Perjamuan magibung akan tetap eksis meski dengan wajah yang selalu berubah.

2/24/2012

Kecerdasan Intrapersonal Anak Kian Rapuh


KECERDASAN intrapersonal adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri dengan memiliki konsep diri yang jelas serta citra diri yang positif. Dari kecerdasan intrapersonal inilah seseorang -- sebutlah seorang anak -- akan menjadi unik dan otentik, tidak terombang-ambing oleh pengaruh luar.
Kecerdasan intrapersonal yang terus diasah akan mengantarkan orang pada suara hati yang benar, yang menuntun dan memandunya pada jalan yang benar seperti diungkapkan oleh penyanyi Nugie dalam lagunya "Lentera Jiwa". Namun demikian, dunia modern yang gegap gempita ini seakan tidak mengizinkan anak-anak untuk masuk ke dalam dirinya sendiri. Justru sebaliknya, segala aktivitas cenderung menyedot dan membetot jiwa anak-anak dari rumah batinnya.

Permainan-permainan di mal-mal yang ingar-bingar memekakkan telinga, televisi, handphone, playstation yang merampas seluruh perhatian anak adalah contoh-contoh bagaimana jalan menuju diri sendiri kini sudah terhalang. Apakah gejala kian rapuhnya kecerdasan intrapersonal juga ditandai dengan hilangnya rasa malu, rasa bersalah, dan rasa bertanggungjawab?

Dari Perasaan


Praktik pendidikan kita lebih menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek emosional (perasaan). Dalam buku "A Study of School", John Goodlad (1984) menemukan di antara 1.000 kelas yang ditelitinya hanya sedikit sekali yang memberi pengalaman akan perasaan pada para siswanya. Pada umumnya suasana pembelajaran sangat kering dan kaku, tanpa sentuhan emosional. Banyak guru juga mengajar "tanpa hati", tanpa ekspresi, sekadar menyampaikan informasi dan fakta-fakta yang beku.

Padahal anak-anak perlu disentuh aspek emosionalnya melalui cara mengajar guru sendiri yang juga ekspresif dan penuh perasaan. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk mengungkapkan kegembiraan, ketakutan dan kemarahan sehubungan dengan topik pengajaran yang sedang berlangsung. Demikian juga, jarang sekali orangtua yang bertanya kepada anaknya, "Bagaimana perasaanmu hari ini?" Pertanyaan selalu berkisar, "Kamu dapat nilai berapa?" atau "Ulangannya bisa atau tidak?"

Anak-anak harus dilatih untuk mengungkapkan perasaan, termasuk perasaan negatifnya, secara konstruktif.

Orangtua dan guru harus berani mengakui dan menghargai perasaan apa yang sedang dialami anak, bukannya menilai dan menghakiminya. Misalnya, anak sedang marah tidak serta merta kita larang atau anggap jahat.

Biarlah anak belajar merasakan dan mengelola rasa amarahnya, mengungkapkannya secara verbal. Membiasakan anak membuat buku harian (diary) merupakan strategi positif bagi anak untuk mengenali gejolak perasaannya, bergaul akrab dengan dirinya sendiri, dan memiliki privacy-nya sendiri.

Thomas Amstrong (2002), pakar Multiple Intelligence, menyampaikan satu metode pengembangan kecerdasan intrapersonal dengan memberi kesempatan untuk refleksi selama satu menit. Artinya, setelah satu topik selesai, anak-anak diberi waktu jeda untuk mawas diri atau merenung.

Kesempatan ini digunakan oleh anak-anak untuk menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman hidupnya. Guru bisa membantu dengan pertanyaan dan menciptakan suasana dengan memperdengarkan musik instrumen yang cocok. Misalnya, setelah anak-anak belajar dengan topik "Tumbuhan-tumbuhan", guru memberi pertanyaan yang harus direnungkan, "Bayangkan andaikata dunia ini tanpa tumbuhan, apa yang terjadi dengan hidupmu?" atau "Sadarkah kamu bahwa tumbuhan hidupnya bukan untuk dirinya sendiri melainkan dikorbankan untuk makhluk hidup lainnya, termasuk manusia?". Suasana tenang dan hening akan membantu anak-anak masuk dalam dirinya sendiri.

Belajar Memilih

Salah satu langkah untuk menjadi diri sendiri adalah membuat keputusan atau memilih. Kemampuan untuk memilih perlu ditumbuhkan sejak dini di lingkungan rumah maupun sekolah. Misalnya, pada saat-saat tertentu anak-anak diberi kebebasan untuk memilih pakaian, mainan, atau makanannya sendiri. Kurangi campur tangan orangtua untuk hal-hal yang bersifat pribadi, biarlah anak belajar menjadi dirinya sendiri melalui pilihan-pilihannya sendiri.

Di lingkungan sekolah, guru bisa menawarkan pilihan-pilihan untuk tugas kelompok maupun individual. Misalnya, untuk pekerjaan rumah diambil dari beberapa halaman dan siswa boleh memilih sendiri beberapa nomer saja. Yang terpenting di sini, anak bisa belajar mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan yang menuntut pendapat atau opini pribadi juga perlu dikembangkan. Misalnya, "Bagaimana pendapatmu sehubungan dengan Pemilu 2009?" Biarlah setiap anak mengungkapkan pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Anak juga perlu belajar untuk berbeda dari yang lain, termasuk berbeda pendapat.

Kecerdasan intrapersonal akan menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan watak dan kepribadian seseorang. Dengan memiliki kecerdasan intrapersonal yang kuat, orang mampu melihat batas-batas dirinya sekaligus kelebihannya sehingga tidak perlu membangun pencitraan diri secara palsu. Dia juga akan memiliki integritas yang tinggi sehingga apa yang kelihatan, sama dengan apa sesungguhnya. Orang semacam ini tidak takut apa penilaian orang lain karena ia berdiri kokoh pada kekuatan diri sendiri yang sebenarnya.

Bangsa ini sangat membutuhkan manusia-manusia berkualitas semacam ini, bukan orang-orang yang tak tahu diri dengan kepalsuan berbungkus pencitraan diri semu.
Sumber: Balipost

PAPAOSAN LENGKARA

1 Pangertian Lengkara
            Lengkara punika marupa pupulan kruna, taler sering marupa kruna pinaka pasaur lengkara sadurungnyané. Pinaka dasar pupulan kruna utawi krunané punika kabaos lengkara inggih punika: (a) runtutan ucapan utawi tulisan sané madaging unteng pikayunan sané jangkep manut uger-uger tata basa; (b) runtutan ucapan sané madaging alunan suara (nada) ring pamuput madaging panees suara panguntat (intonasi final). Ring basa sané kasurat (basa tulis), lengkara ketahnyané kakawitin antuk aksara murda (huruf kapital) miwah ring panguntat madaging cecirén (tanda) cecek (titik), pitakén, miwah pisuruh (seru). Ngiring cingak conto kadi ring sor puniki.
Nyén ento?
Tiang.
Énggalin mai!
Siapé ané belina ibi suba mati.
Lengkara sané kabaos paripurna sakirangnyané madaging jejering lengkara (subjék) miwah linging lengkara (prédikat). Kawigunan (fungsi) lianan sakadi panandang (objék) miwah katerangan (keterangan) nénten ngwetuang lengkara punika jangkep.
2 Lengkara Nganutin Tetujon
            Nganutin tetujon bebaosan, lengkara kapérang dados tigang soroh inggih punika lengkara pamidarta, lengkara pitakén, miwah lengkara panguduh.
2.1 Lengkara Pamidarta
            Lengkara Pamidarta inggih punika lengkara sané nlatarang pariindikan. Panees lengkara ring untat ketahipun rata, sakadi:
Jani ada paméran di lapangan.
Ibi sanja umah I Darmané puun.
Dugas bomé macedar, tiang sedek maca buku.
Dugas odalané di Pura Désa Luh Nérti makamén songkét.
2.2 Lengkara Pitakén
            Lengkara Pitakén marupa lengkara sané tetujonipun nunas pasaur saking sang sané katakénin. Panees ring panguntat lengkara ketah ipun ngunggahang (intonasi tanya) miwah sering nganggén kruna pitakén, sakadi:
Ada paméran di lapangan?
Dija ada paméran?
Ada apa di kota Tabanan?
Sira sané rauh mriki?
2.3 Lengkara Panguduh
            Lengkara Panguduh inggih punika lengkara sané tetujonipun ngandikain anak tiosan mangda maparilaksana utawi ngambil pakaryan. Lengkara panguduh punika wénten panguduh sané alus miwah sané kasar, sakadi: 
1.     Gus alihang jebos salep ratun, kayang niki baktaang meriki nggih!
2.     Pak malih bénjang sawatara jam 19.00 Wita bukak kunci banjaré nggih!
3.     Pak madé yan sampun wénten madu geruh télpon titiang nggih!
4.     Luh, buin mani ngusaba di Désa ngerejang nah!
5.     Yan di rediténé sangkepin banjaré ka Désa nah!
6.     Jero mangku malih purnama sane jagi rauh niki tuntun titian ngelukat ka Tirta   
        Empul nggih!
7.     Buk nikayang sareng rabin ibuké, ring raihina buda puniki bajaré sangkep nggih!
8.     Adi yan mani semeng ka peken lebihin meli darang kopi, kerana tukang mani orin
        beli megarapan nah!
9.     Tu ngidiolas beliang bapa roko ka warung abongkos jani!
10.  De bagus nyan sanjané barengin meme ngalap bungan pacahé ka carik, cang aba
       ka peken mani nah!
11.  Jero ngidiolas tunasang titiang wangsupadanIda, yening janten jero benjang nangkil
       ka pura Lempuyang nggih!
12.  Man yan payu  kepasih, payu alihang bapa nyen yéh pasih wadahin jerégané nah!
13.  Alit-alité makesami ring rahina Purnamané ngangge pakaian adat ngeranjing  nggih!
14.  Adi ngidiolas nah, suratang  jep tulisan ené nganggo aksara bali nah!
15.  Mé yan ada timpal yangé teka ngalih buku, né duur mejané to baang  makejang
       nah!

 
      3 Lengkara Nganutin Wangun
            Nganutin wangunipun, lengkara kabinayang dados lengkara tunggal miwah lengkara masusun.
    3.1 Lengkara Tunggal
            Lengkara Tunggal, inggih punika lengkara sané polannyané asiki, sakirangnyané madaging jejering lengkara, linging lengkara, ring asapunapiné madaging panandang (objék) miwah katerangan, sakadi:
Mén Putu meli nasi
Ni Sari ngadep bunga di peken
Linuhé nguugang umah ibi sanja.
Semengan pesan pegawéné suba masuk ka kantor.
    3.2 Lengkara Masusun
Lengkara Masusun, inggih punika lengkara tunggal sané sampun kawrediang ngwangun susun anyar tur sakirangnyané madaging kalih lengkara tunggal. Lengkara masusun kabinayang malih dados tetiga inggih punika lengkara masusun pepadan, lengkara masusun matingkat, miwah lengkara masusun pepetan.
    3.2.1 Lengkara Masusun Pepadan
            Lengkara Masusun Pepadan inggih punika lengkara masusun sané lengkaranipun kantun sapadan utawi sederajat. Lengkara puniki ketah kagabungang antuk kruna napi, nanging, sakéwala, miwah sané lianan. Indayang cingak lengkara ring sor puniki.
Beli Wayan negak ditu, tiang dini.
Nyoman ngoyong driki napi milu ka umah Pan Danuné?
Adinné jemet, nanging belinné kiul.
Ia anak suba malajah, sakéwala nu masih belog.
      3.2.2 Lengkara Masusun Matingkat
            Lengkara Masusun Matingkat puniki kawangun antuk lengkara sané paiketannyané nénten sumaih. Silih sinunggil lengkarannyané kabaos inan lengkara (induk kalimat), lengkara sané lianan kabaos pranakan lengkara (anak kalimat), sakadi:
Nyoman Sokasti teka dugasé tiang sedek nulis surat di kamar.
Madé Cenik ngeling krana tusing menék kelas.
Ia malali mulih nuju bulan purnama.
Di subané ada anak nepukin makejang anaké sing bani malali kema.
    3.2.3 Lengkara Masusun Pepetan
            Lengkara Masusun Pepetan  inggih punika lengkara masusun sané ngutamayang mepetang wangun lengkara sané pateh, sakadi:
Cariké ento mara belina. Cariké ento jani suba gadéanga.
- Cariké ento mara belina, jani suba gadéanga.
I Sekar belianga nasi. I Guru tusing belianga nasi.
- I Sekar belianga nasi, I Guru tusing belianga.
Nyoman Ruja malali ka Jakarta. Nyoman Ruja malali ka Bandung, Nyoman Ruja malali ka Yogyakarta.
- Nyoman Ruja malali ka Jakarta, ka Bandung, lan ka Yogyakarta.
      4. Lengkara Nganutin Paindikan Jejering Lengkara
            Nganutin paindikan jejering lengkaranipun, lengkara-lengkara basa Baliné kabinayang dados lengkara lumaksana miwah lengkara linaksana.
  4.1 Lengkara Lumaksana
            Lengkara Lumaksana inggih punika lengkara sané jejering lengkarannyané nglaksanayang pakarya. Linging lengkarannyané ketah marupa kruna tiron mapangater anusuara, sakadi:
Beli Madé nusuk saté.
Mbok Putu ngaé rujak.
Adinné nulis surat ibi sanja di ampiké.
I juru boros manah kijangé ento.
   4.2 Lengkara Linaksana
Lengkara Linaksana, inggih punika lengkara sané jejering lengkarannyané keni paindikan. Linging lengkarannyané ketah marupa kruna tiron mapangater ka- miwah mapangiring –in, miwah –a, sakadi:
Saténé katusuk baan Beli Madé.
Tiang dukaina ring I Guru.
Bungané adepa tekén Luh Sari di Peken Badung.
Adinné maekin belinné.
Galengé tegakina tekén panakné.

 
Pustaka Acuan

Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anom, I Gusti Ketut. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali
Bawa, I Wayan lan I Wayan Jendra. 1981. Struktur Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cook S.J, Walter A. 1971. Introduction to Tagmemic Analysis. London-New York-Sydney-Toronto; Holt, Rinehart & Wiston.
Elson, Benjamin & Velma Pickett. 1969. An Introduction to Morphology and Syntax. Santa Ana, California: Summer Institute of Linguistics.
Ramlan, M. 1976. “Penyusunan Tata Bahasa Sruktural Bahasa Indonesia” (dalam Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia, ed. Yus Rusyana dan Samsuri). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sulaga, I Nyoman dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tim Penyusun. 2006. Tata Basa Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Tinggen, I Nengah. 1984. Tata Basa Bali Ringkes. Singaraja: Rhika.

1/05/2012

KRUNA SATMA

Sejumlah satuan teori yang dijadikan acuan dalam membahas permasalahan yang tercakup dalam pokok permasalahan dalam penelitian ini meliputi: (1) pengertian kruna satma, (2) ciri-ciri kruna satma, (3) macam-macam kruna satma, (4) penggunaan kruna satma dalam kalimat bahasa Bali. 

1  Pengertian Kruna Satma
Dalam bahasa daerah Bali dijumpai hal-hal seperti apa yang terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Yaitu lima macam ilmu bahasa: (1) tata bunyi (fonologi), (2) tata bentukan (morfologi), (3) tata kalimat (sintaksis), (4) tata wacana, (5) tata arti (semantik). Dalam pembahasan ini merupakan bagian dari tata bentukan (morfologi). Di mana tata bentukan tersebut terjadi disebabkan karena proses afiksasi, proses perulangan, dan proses komposisi atau pemajemukan. Berdasarkan hal-hal di atas kruna satma/kata majemuk merupakan hasil salah satu proses morfologi yang sering disebut dengan persenyawaan, pemajemukan atau komposisi.
Mengenai pengertian atau batasan kruna satma/kata majemuk sudah banyak dibicarakan oleh para ahli bahasa. Untuk lebih jelasnya mengenai batasan kata majemuk dipetik beberapa pendapat para ahli yaitu :
Antara (2003 : 63) dalam bukunya yang berjudul Sari Tata Basa Bali maosang kruna satma (kruna mangkep, kruna dwi binalingga eka sruti) utawi kata majemuk  (BI) inggih ipun gabungan kruna-kruna sane madue arti asiki. Kruna satma punika kawangun antuk kruna lingga kekalih, pada madue arti soang-soang, nanging yan kagabung pacang madue arti wantah asiki.
Upama kruna sapu angkepang ring kruna tangan pacang marupa saputangan. Artin sapu miwah tangan ring saputangan sampun matiosan awinan mateges asiki.
Keraf (1969 : 138) dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata majemuk adalah gabungan dua kata lebih yang memberikan satu kesatuan arti. Pada umumnya struktur kata majemuk sama seperti kata biasa, yaitu tidak dapat dipeahkan lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena gabungan itu sudah merupakan kekuatan yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, maka dalam memberikan sifat terhadap kata majemuk itu, kata sifat atau keterangan-keterangan lain yang menerangkan kesatuan itu harus memberikan keterangan atas keseluruhan kata sebagai satu kesatuan. Unsur yang menjadi dasar pembentukan kata majemuk telah bersatu menjadi hakikat-hakikat kebasaannya karena struktur kekataannya itu sudah ditampung di dalam kesatuan gabungan itu.
M. Ramlan (1979 : 34) dalam Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata majemuk adalah kata yang terdiri atas dua kata sebagai unsurnya.
Semua definisi diatas menunjukkan adanya kesamaan tentang konsep kruna satma/kata majemuk. Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kruna satma/kata majemuk (S1) adalah rangkaian dua buah kata atau lebih yang sedemikian eratnya sehingga menimbulkan pengertian baru. Jadi kruna satma itu terjadi aats dua kata atau lebih dan mengandung satu kesatuan arti. Disamping itu unsur-unsur yang membentuk kruna satma itu tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Jika unsur-unsur itu dipisahkan maka arti setiap unsur yang menjadi unsur kruna satma itu sudah tidak menonjol lagi, yang menonjol adalah arti baru yang ditimbulkan akibat persenyawaan usnru-unsur yang membentuk kruna satma/kata majemuk itu.
Contoh : Kelompok kata jebug arum yang terdiri atas unsur jebug “jebug” dan arum “arum”, arti masing-masing unsur yang membentuk kelompok itu tidak menonjol lagi, tetapi keduanya sudah membentuk arti baru yaitu jebugarum (buah yang dapat digunakan tanaman obat-obatan tradisional Bali).
Konstruksi yang mempunyai arti baru tidak dapat disisipio dengan kata lain. Kalau disisipi dengan kata lain, fungsinya sebagai kruna satma/ kata majemuk akan terganggu dan konstruktinya kan berbentuk frase.
Misalnya : -  Anak tua kata majemuk ini dapat disisipi kata ane sehingga menjadi anak ane tua, sehingga konstruksi ini bukan lagi kata majemuk, melainakn sudah menajdi konstruksi frase

2  Ciri-Ciri Kruna Satma
Ciri adalah suatu penanda yang dapat membedakan satu unsur dengan unsur yang lain, atau satu bentuk dengan bentuk yang lain. Ciri atau penanda untuk kata majemuk ada dua jenis yaitu ciri arti, ciri bentuk.
Anom (1975 : 84-85) dalam buku Morfologi Bahasa Bali, dalam Masalah Pembakuan Bahasa Bali mengemukakan bahwa : Oleh karena sukar membedakan struktur antara “KRUNA SATMA” (KS) sebagai PROSES MORFOLOGI dan FRASE sebagai peristiwa sintatik, perlu ditetapkan dulu ciri-ciri kruna satma itu yaitu :
A.     Bahwa diantara kedua unsurnya tidak dapat disisipkan unsur lain. Contoh jebugarum tidak dapat dikatakan jebug ane arum; tetapi lengis miik dapat dikatakan lengis ane miik. Maka jebugarum adalah kruna satma sedang lengis miik bukan. Beberapa contoh : galang kangin, suria kanta.
B.      Unsurnya walaupun sederajat tidak dapat berkomunikasi, misalnya ‘kaja kauh’, tidak pernah bebrentuk ‘kauh kaja’, contoh lain : kaja kangin, meme bapa, nyama braya.
C.      Kalau diikat denagn afiksasi kompleks itu mempersenyawakan unsurnya ‘togtog titih’ dalam bentuk katogtogtitihang, contoh lain : nyelemputihang, panyamabrayang.
D.     Ada sejenis kruna satma yang satu unsurnya merupakan unsur khusus, maksudnya hanya dapat tersusun bersama dengan unsurnya yang lain itu saja, seperti : peteng dedet, unsur dedet hanya tersusun bersama dengan peteng. Contoh lain : gede gangsuh, selem denges.
Ciri di luar struktur yang mengenai seluruh ciri yang lain ialah bahwa kruna satma itu menimbulkan satu makna yang khusus.
Antara (2003 : 64) dalam bukunya Sari Tata Basa Bali mengemukakan bahwa ciri kruna satma adalah :
Kruna satma merupa kruna tawah (unsur unik, BI)
Upama : kruna ngotngot wantah madue arti, yaning sampun kagabungan (angkepang) ring kruna selem, awinan ngotngot punika tan madue arti. Punika taler sane tawah sakadi :
denges wantah ring selem denges
ngalik wantah ring tegeh ngalik
ngaluh wantah ring miik ngalub
miwah sane lianan
Sehingga dari semua ciri-ciri yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kruna satma (kata majemuk) ada dua (2) yaitu ciri arti dan ciri bentuk.
1)   Ciri arti
            Ciri arti memang tidak tampak sehingga banyak pakar bahasa beranggapan bahwa sulit untuk membedakan kruna satma (kata majemuk) dengan frase dari segi arti. Namun arti adalah hal yang sangat penting dalam membedakan kruna satma dengan frase. Untuk dapat membedakan kruna satma (kata majemuk) dengan frase dari segi arti, maka hal tersebut harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yaitu kalimat.
Contoh :
(1)  Anak tuane enu besik ane idup
Orang tuanya masih satu yang hidup
(2)  Anak tua ento umurne satus taun lebih
Orang tua itu umurnya seratus tahun lebih
            Konstruksi sintaksis anak tuaorang tua’ dalam kalimat nomor (1) jelas membentuk satu arti baru, yaitu bisa berarti ‘ayah’ atau bisa berarti ‘ibu’. Arti yang dikandung dalam kata anak ‘orang’ dan tua ‘tua’ tidak lagi ditonjolkan. Keduanya sudah kehilangan otonominya. Oleh karena itu, konstruksi sintaksis anak tua ‘orang tua’ dalam konteks kalimat (1) berfungsi sebagai satu kata yaitu kata majemuk.
            Konstruksi sintaksis anak tua ‘oang tua’ dalam kalimat nomor (2) tidak menimbulkan arti baru. Baik kata anak ‘orang’ maupu kata tua ‘tua’ tap menonjolkan artinya masing-masing dan masih tetap mempertahankan otonominya. Oleh karena itu, konstruksi anak tua ‘orang tua’ dalam kalimat nomor (2) jelas bukan kata majemuk melainkan frase.
            Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa ciri arti mudah dipakai untuk membedakan kata majemuk (kruna satma) dengan frase. Kruna satma menimbulkan satu arti baru, sedangkan frase memiliki arti sebanyak arti yang dikandung oleh unsur-unsurnya.
2)   Ciri bentuk
            Ciri bentuk yang dimiliki oleh kata majemuk merupakan ciri yang dapat dilihat. Beberapa ciri bentuk yaitu :
a.    Salah satu unsur kata majemuk dapat berupa morfem unik
          Suatu konstruksi sintaksis jika salah satu unsurnya berupa morfem unik (MU) maka jelas konstruksi sintaksis tersebut termasuk kruna satma (kata majemuk).
Contoh : peteng dedetdedet adalah morfem unik, sehingga jelas konstruksi sintaksis ini adalah kruna satma (kata majemuk).
b.    Hubungan antar unsur kata majemuk (kruna satma) sangat rapat
          Karena kata majemuk adalah satu kata, maka hubungan antar unsur yang membentuknya sangat rapat atau bersifat tertutup. Oleh karena itu, tidak mungkin disisipkan suatu morfem lain diantara unsur-unsurnya, kalau disisipi bentuk lain, maka akan terjadilah konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal atau bisa juga terjadi konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal atau bisa juga terjadi kontruksi sintaksis yang gramatikal, tetapi hakikat kemajemukannya hilang.
Contoh : peteng dedet adalah kata majemuk (kruna satma). Diantara unsur peteng dan unsur dedet tidak disisipi suatu morfem lain. Seandainya dipaksakan menyisipkan morfem (lan), maka akan terjadilah konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal, yaitu peteng lan dedet.
c.    Unsur-unsur pembentuk kruna satma (kata majemuk) tidak dapat dibalik susunannya
          Seperti diketahui kruna satma (kata majemuk) adalah satu kata, maka hendaknya diperlakukan sama dengan kata lainnya. Contoh : kaja kauh tidak pernah berbentuk ‘kauh kaja’.
d.    Unsur-unsur kruna satma (kata majemuk) tidak dapat diperluas secara terpisah
          Contoh kruna satma sela kutuh diperluas dengan nguda maka kata nguda ‘muda’ ini hanya menjelaskan unsur sela ‘ketela’ dan bukan pula hanya menjelaskan unsur kutuh ‘pohon’. Akan tetapi keseluruhan kruna satma diatas bukan menjadi sela nguda kutuhketela muda pohon’, melainkan harus menjadi sela kutuh ngudaketela pohon yang muda’.

3  Macam-Macam Kruna Satma
1)     Kruna satma sepadan (kata majemuk setara)
           Yaitu kruna satma (kata majemuk) yang hubungan antara unsur-unsur yang membentuknya bersifat setara, unsur yang satu tidak menerangkan unsur yang lain.
Contoh :     olas asih ‘belas kasihan’
                            meme bapa ‘ibu bapak’
2)     Kruna satma tan sepadan (kata majemuk tidak setara)
           Yaitu salah satu unsurnya menerangkan unsur yang lain. Pada umumnya unsur kedua menerangkan unsur yang pertama.
Contoh :     gedang renteng ‘nama pepaya’
                            bale agung ‘nama bangunan, pura desa
3)     Kruna satma sane nganggen kruna tawah
           Yaitu salah satu unsurnya terdiri atas morfem unik yaitu morfem yang hanya ditemukan dalam bentuk gabungan kata majemuk seperti itu, sedangkan pemunculannya dalam bentuk gabungan lain tidak mungkin.
Contoh :     peteng dedet ‘gelap gulita’
                            nyurnyur manis ‘manis sekali’

4  Makna Kruna Satma (kata majemuk)
Kruna satma memiliki sejumlah makna sebagai berikut :
1)     Menyatakan melengkapi atau kumpulan dari kedua unsurnya.
Contoh :
meme bapa ‘ibu bapak’
cerik kelih ‘besar kecil’
kebus dingin ‘demam’
2)     Mengandung pengertian mengeraskan makna secara padu
Contoh :
olah asih ‘belas kasihan’
setset suranting “cobak cabik’
tresna asih ‘cinta kasih’
baag biing ‘merah padam’
mas manik ‘harta benda perhiaan’
3)     Inti makna pada unsur pertama, unsur kedua, merupakan penjelasan yang kemudian menimbulkan makna terpadu.
Contoh :
biu kayu ‘nama pisang’
kacang lindung ‘nama kacang panjang’
4)     Mengeraskan makna
Contoh :
selem denges ‘hitam legam’
seger oger ‘segar bugar’

5  Melihat dari kesekian makna kruna satma (kata majemuk) maka akan diajukan dalam beberapa contoh kalimat (lengkara) yaitu :
1)   Menyatakan melengkapi atau kumpulan adri kedua unsurnya
Contohnya :
-      I Putu Lara setata sebet karana tusing ngelah meme bapa
-      Cerik kelih pianakne ajak magarapan
2)   Mengandung pengertian menggerakkan makna secara padu
Contohnya :
-      Iraga  patut ngelah rasa olas asih teken anak ane kasengsaran.
-      Suba setset suanting bajune ento enu masi apikina.
3)   Inti makna pada unsur pertama, unsur kedua merupakan penjelasan yang kemudian menimbulkan makna terpadu.
Contoh :
-      Tiang demen pesan teken biu kayu
-      I meme meli kacang lindung lakar anggona lawar
4)   Menjelaskan makna
Contoh :
-      Selem denges kulitne karane sesai medendeng
-      Yening iraga seleg olah raga, sinah awake dadi seger oger
Sehingga dapat disimpulkan bahwa akan nampak jelas dapat dipahami mengenai makna dan cara penggunaan kruna satma (kata majemuk) dengan melihat makna kruna satma seperti yang telah dijelaskan diatas dan disertai contoh kalimat pada masing-masing makna kruna satma tersebut.
Penggunaan kruna satma dalam kalimat bahasa Bali adalah dengan memperhatikan kalimat (lengkara) yang menyertai kruna satma tersebut.