"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

12/23/2012

Tahapan-Tahapan Dalam Apresiasi Sastra



Pelaksanaan apresiasi sastra bisa berlangsung dengan baik serta mendapatkan hasil  yang optimal bila kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap dan terpadu (Maidar G. Arsyad,1993:157-158). Berkaitan dengan itu apresiasi dapat dibagi menjadi lima tahapan, diantaranya:
      a). Tahap Penikmatan
Tahapan penikmatan tentang apresiasi sastra menurut Suroto (1993:197) menyatakan, seseorang baru dapat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton/mendengarkan suatu karya seni/sastra. Hal tersebut tidak jauh beda dengan pendapat yang dikemukakan Natawijaya (1980: 2) yang menyatakan, bahwa seseorang hanya bersifat seperti penonton yaitu merasakan kesenangan. Dimana rasa senang itu muncul dalam diri seseorang karena penikmatan tersebut.
Dari kedua pendapat tersebut tentang penikmatan karya sastra,  dapat di lihat persamaannya yaitu sama-sama seperti penonton. Jika demikian, seseorang yang tergolong berada pada tahap penikmatan hanya dapat merasakan senang dan tidak senang. Dalam hal ini seseorang belum dapat memahami sepenuhya karya sastra tersebut. Sebagai contoh, jika menonton suatu film yang bahasanya tidak kita pahami, tetapi kita menyukai aktor film tersebut maka kita hanya bisa merasakan senang saja.
      b).  Tahap Penghargaan
            Seseorang dalam tahapan  ini melakukan tindakan dengan melihat kebaikan, manfaat atau nilai karya seni/sastra itu. Sangat dimungkinkan sesudah membaca atau mendengar karya sastra, penikmat merasakan adanya manfaat seperti rasa senang, memberikan hiburan, kepuasan, ataupun mampu memperluas pandangan dan wawasan hidupnya (Suroto,1993:158).
            Antara (1985:10) menyatakan” Pada tahapan penghargaan ini siswa diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana menimbulkan rasa kekaguman dan rasa senang. Pemberian rasa pujian, kekaguman dan puasnya kepada karya sastra sempurna, bernilai, bermanfaat, dan telah merasuk dalam diri siswa. Kadang-kadang pada siswa timbul rasa ingin memiliki atau mempunyai dan menguasai karya sastra tersebut”.
Berdasarkan dari kedua pendapat di atas, dapat dikatakan pada tahapan penghargaan ini seseorang tidak lagi terbatas pada perasaan senang atau tidak senang, tetapi sudah mulai bertindak untuk memperoleh kebaikan, manfaat atau nilai karya sastra tersebut. Manfaat itu dapat berupa perasaan senang, memberi hiburan, kepuasan, atau memperluas pandangan /wawasan hidup.
      c). Tahapan Pemahaman
Pada tahapan pemahaman, menutut Suroto (1993:158) penikmat melakukan tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, serta berusaha menyimpulkannya. Disini penikmat sudah mulai aktif meneliti dan menganalisis setiap komponen yang membentuk karya tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu.
Berdasarkan  pemahaman terhadap karya sastra itu,  si penikmat betul-betul selektif meneliti unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu karya sastra sehingga ia mampu memahami dan mengerti akan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
      d). Tahap Penghayatan
            Tahapan penghayatan merupakan tahapan pembaca menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penapsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya. Penikmat berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya hasil analisis tersebut, mengapa alur dan unsur-unsur yang lain demikian. Alasan-alasan yang dikemukakan tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal sehat (Suroto, 1993:158).
            Sementara Antara (1985:10) mengatakan, bahwa timbulnya rasa pemahaman terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik menimbulkan kemampuan menghayati dari aspek yang terkecil dari karya sastra tersebut misalnya: tema, bentuk, otograpi, mengkritik, dan membandingkan dengan lainnya.
            Sesuai dengan pendapat di atas, pada tahapan ini penikmat mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinyna, membuat penapsiran, menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya, menyakini apa dan bagaimana hakekat karya sastra itu.
       e).  Tahap Implikasi atau Penerapan.
            Menurut Natawijaya( 1979:3), tahapan ini bersifat memperoleh daya yang tepat guna, bagaimana dan untuk apa karya sastra diarahkan kepada suatu manfaat praktis, sesuai dengan tingkat penghayatan terhadap suatu cipta sastra. Pada tahapan ini diperoleh maksud untuk membuka pandangan sehingga melahirkan hal-hal yang baru.
            Melalui penghayatan tersebut, pada tahapan implikasi akan timbul kesadaran tentang kebenaran yang diungkapkan oleh sastrawan pada karya sastranya, kemudian menimbulkan ide-ide baru untuk menghasilkan sebuah kreativitas berupa penguasaan cipta sastra sehingga melahirkan  suatu yang baru. Karya sastra tersebut akan diarahkan untuk manfaat praktis berupa kepentingan sosial, politik dan budaya yang tepat guna.


MENULIS AKSARA BALI DI DAUN RONTAL



Menulis di atas rontal pada dasarnya berbeda dengan menulis biasa (aksara latin), dalam menulis rontal tidak terdapat jarak kata sepanjang rangkaian kata atau kalimatnya belum berakhir. Di dalam menulis rontal ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan : (1)  sarana-sarana yang diperlukan dalam menulis rontal, (2) cara menulis rontal.
 Sarana-Sarana Dalam Menulis Di Daun Rontal
            Sarana yang paling pokok ialah rontal siap tulis, disamping sarana-sarana lainnya. Untuk lebih jelasnya sarana-sarana itu adalah sebagai berikut : 
1.      Rontal atau daun tal yang siap ditulis.
2.      Pangrupak/ pangutik.
3.     Bantalan kasur kapuk ukuran kecil sebagai alat menulis.
4.     Dulang dari kayu sebagai tempat menulis.
5.     Penggaris dan pensil.
6.     Serbuk kemiri atau nagasari yang dibakar.
7.     Panakep dari kayu, bambu atau pupug (pelepah pohon enau) yang disesuaikan dengan ukuran rontal.
8.     Benang dan uang kepeng.
9.     Keropak kayu atau tempat penyimpanan.

 Cara Menulis Di Daun Rontal
            Menurut Geria (2008: 50) menyatakan ada sejumlah tata cara ritual kaitannya dengan penulisan di atas rontal disebutkan dalam Saraswati,  PNRI.Lt.147: 6a sebagai berikut :
1.      Sebelum memulai menulis harus memohon keselamatan  kepada Hyang Yosiswara yang difilsafatkan di kedua mata penulis. Bhagawan Reka pada ujung pengutik/pengrupak, sehingga tercapai sesuatu yang utama dan bermakna.
2.      Tidak boleh mematikan aksara dengan mencoret karena dapat berakibat pendek umur, antara lain (a) jika mencoret ulu akan berakibat buta dan sakit kepala, (b) jika mencoret suku akan berakibat sakit lumpuh (kaki lemas), (c) jika mencoret taleng dan wisah/bisah akan berakibat sakit pinggang.
Bertolak dari keterangan di atas, maka wajarlah jika dalam lontar jarang ditemui aksara yang dicoret atau dihapus (bukan berarti tidak ada kesalahan penulisan). Seandainya terjadi kesalahan harus dibubuhi pengangge (pakaian) tambahan sehingga aksara menjadi mati atau tidak berbunyi apa- apa. Menurut Jelantik (2008: 70-75) menyatakan dalam menulis rontal ada beberapa langkah yangf harus dilalui, seperti dalam uraian berikut :
1.     Pertama yaitu dengan membuat garis pinggir. Pada saat membuat garis pinggir, yang perlu diperhatikan yaitu jarak lobang ujung kiri (A), ke jarak lobang tengah (B) dan jarak lobang tengah (B) ke lobang paling kanan (C), jarak lobang A ke B lebih dekat dibandingkan jarak lobang B ke C. Ini artinya menulis rontal mulai dari ujung kiri (lobang A).
2.      Setelah proses di atas selesai barulah menulis, dengan pembuka, apakah bentuk panten, berbentuk mangajapa, atau carik kalih. Kemudian dilanjutkan dengan membuat mulastawa yaitu Om Awignamastu, tutup lagi dengan pembuka.
3.     Pada waktu menulis, rontal digenggam dengan tangan kiri, rontal yang digenggam jumlahnya lebih dari satu. Rontal yang akan ditulisi sama sekali tidak boleh ditulis seperti menulis buku (neplek di meja), jika rontal ini selesai ditulis karena neplek, rontal ini disamakan dengan ental tulah, dan tidak boleh dibaca, tidak boleh dibuang. Yang juga disebut ental yang ditulisi mulai dari lubang C, ini juga tidak boleh dibaca, biarkan rusak dengan sendirinya.
4.     Siapkan lungka-lungka, yaitu kasur kecil yang ukururannya 30 cm persegi yang fungsinya sebagai bantal/bersandarnya punggung tangan kiri.
5.      Dulang atau meja sebagai alas tangan waktu menyurat, dan juga siapkan canang cari, dupa dan sebagainya untuk memuja Sang Hyang Saraswati.
6.      Pengasah (sangihan) yaitu benda yang berfungsi untuk mengasah pengrupak. Apabila pengrupak kurang tajam sangat berpengaruh terhadap penulisan rontal, misalnya tulisan yang akan menjadi badag, yaitu besar-besar dan lontar tidak tergores.
7.      Waktu menulis rontal, sistem penulisannya menggunakan jajar sambung, bukan pasang jajar palas. Pasang jajar sambung artinya kata-kata yang akan ditulis dalam satu kalimat terus menyambung tanpa ada spasi, menyambungnya ke kanan dan jangan menggunakan adeg-adeg di tengah.
8.      Apabila satu halaman rontal sudah penuh baliklah rontal itu dari bawah ke atas, bukan dari ujung kanan ke kiri.
9.      Penyurat rontal hendaknya memahami oasang aksara Bali, hal ini disebabkan supaya tidak terjadi kesalahan makna terhadap isi lontar. Pasang aksara ini sangat berperan besar, sebab banyak kata-kata yang sama dalam pengucapannya, namun beda dalam penulisannya, dan berbeda pula maknanya.
10.   Siapkan penghitam lontar, yaitu buah kemiri yang disangrae (manyahnyah), sampai betul-betul gosong (hitam), buah jarak yang sudah kering dipohonnya juga baik dipergunakan. Ada juga orang yang menggunakan buah nagasari yang masak (ngulungang iba), cara membuatnya juga disangrae. Atau boleh penghitam yang lain pada waktu menghitamkan disebut dengan nyipat sastra.
11.   Jika proses di atas telah dilakukan, biarkan penghitam tersebut meresap sebentar, kemudian digosok satu arah ke kanan dengan kapas atau lap. Gosok atau di lap sampai bersih betul, guratan-guratan aksara bali yang tadinya hanya guratan yang tidak tampak akan kelihatan sangat jelas dan hitam hurufnya.

12.   Apabila satu judul lontar telah selesai disipat. Susunlah sesuai dengan halaman lontar. Satu judul lontar yang telah di tulis disebut satu cakep. Posisi atau letak halaman lontar, ialah untuk lontar halaman satu ditulis satu rai (satu muka) saja, yang diberi halaman adalah basang rontal, yaitu rontal yang sisiknya lebih halus kemudian pada waktu melanjutkan ke lontar berikutnya, letak halamannya di tundun (sisik rontal yang agak keras dan agak kasar).
13.   Siapkan benang kemong kurang lebih panjangnya antara 40-50 cm, yang fungsinya untuk menyusun menurut halaman lontar agar tidak berserakan. Masukkan benang tersebut pada B (ditengah).
14.   Siapkan penjepitnya yang dinamakan tapes lontar, fungsinya adalah agar daun lontar tetap lurus dan terhindar dari kelembaban udara. Biasanya lontar-lontar yang berada paling pinggir akan cepat robek dan jamuran jika tanpa tapes.
15.   Di kedua ujung benang diisi uang bolong (kepeng) masing-masing satu biji saja, yang bertujuan untuk mengancing agar tetap utuh dalam satu cakepan.
16.   Jika memungkinkan simpanlah cakepan anda dikeropak lontar, agar terjamin kawetannya. Untuk menjaga dan melestarikan isinya agar tidak hilang tanpa makna. Jangan sekali-kali menaruh lontar pada keben, apabila ditaruh pada neb bale yang jarang diambil dan dicocor hujan jika ini terjadi anda melakukan kesalahan besar, yaitu lontar akan gempel dan rusak, isinya hilang dan sulit dibaca.
17.   Pada waktu disimpan di keropak, berilah kapur barus secukupnya atau oleskan racun serangga pada waktu menyimpannya, dan lontar agar sering-sering dibaca.

18.  Cara merawat lontar yang paling baik adalah bukan disimpan pada gedong pelinggih yang keramat dan pingit (kecuali babad, prasasti, piagem, purana) cara perawatan yang paling baik adalah baca...baca...baca... dan di baca.
19.  Yang perlu diingat oleh penulis lontar ialah tentang ceciren yaitu identitas asal lontar yang ditulis, kapan selesai ditulis dan identitas penulis.

Pengertian Lontar



Untuk dapat memahami istilah rontal, maka akan dijelaskan pengertian yang dianggap perlu sehingga pembaca memperoleh pengertian yang jelas. Menurut Geria (2008: 47) dinyatakan istilah rontal adalah berupa bahan tulis (material writing) itu sendiri, dalam artian belum ada tulisan dengan kata lain istilah rontal lebih mengacu kepada bahan-bahan yang ditulis.
            Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rontal adalah daun ental yang sudah diolah yang belum ada tulisan yang sudah siap untuk ditulisi.  Dalam perspektif masyarakat Bali, rontal sangat mempunyai sifat yang keras, tinggi dan religius. Sebagai suatu yang mempunyai sifat yang keras, tinggi dan religius rontal sangat diindahkan oleh para ra kawi (pujangga) sebagai bahan untuk menuangkan segala petuah-petuah suci (Geria, 2008: 47). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan : (1) Aji Saraswati, PNRI 1L.254, lempir, baris 1-2) mengatakan istilah gebhang untuk menyebut rontal sebagai material palm yang bersifat secara religius, karena rontal diberlakukan sebagai lidah yang merupakan alat artikulasi hakiki munculnya kata-kata yang dipakai lambang untuk mengungkapkan isi sastra, (2) Sanghalangghyala Parwa, PNRI 1L.858, lempir 14) mengatakan betapa keras dan kuatnya batang pohon tal itu. Sehingga ra kawi  memilih satai untuk menyebut alih rupa Prabhu Rupini (penganut Budha) dalam dialog bathin dengan Prabhu Caya Purusa (penganut Siwa), (3) Ramayana, II.67, baris 41) mengatakan ketegapan dan ketinggian badan Rama Parasu sebagai satrya sakti mandraguna, kata satai juga dipilih oleh ra kawi sebagai  perbandingan  allegori kestriya tersebut, (4) Ramayana VI: 157, baris 4 dan 158, baris 1) mengatakan betapa sucinya rontal sebagai bahan untuk menulis sastra suci. Dikatakan juga ketakutan Sugriwa akan kesaktian kakaknya (Subali) dalam merebut Dewi Tara, sehingga terlebih dahulu menguji kesaktian panah Rama (penegak kebenaran) untuk tempat berlindung (Geria, 2008:48).
            Masyarakat Bali mengenal tiga jenis tal yaitu tal taluh (serat-seratnya sangat halus dan bentuknya mirip telur), tal goak (serat-seratnya agak kasar bentuknya mirip burung gagak), dan tal kedis (serat-seratnya agak halus namun ukurannya tidak mencukupi, bentuknya mirip (burung). Menurut Geria (2008:48) untuk mendapatkan rontal yang berkualitas tinggi, maka secara global proses pengolahannya sebagai berikut :
1). Daun tal (tentunya tal taluh atau egg type) yang telah diseleksi terlebih dahulu dijemur. Setelah agak kering, lalu dipotong-potong berbentuk segi empat panjang sesuai dengan ukuran yang dihendaki (masih ada lidinya, tanpa lidi).
2).  Direndam dengan air dingin, lalu direbus dengan air panas yang  telah dicampur dengan ramuan rempah-rempah untuk pengawet dan pewarna. Di Bali ramuan ini biasanya terdiri dari daun liligundi, dan pule, kunyit, warangan, gambir, dan lain-lain. Disamping untuk mendapatkan rontal yang tahan lama (bebas dari serangan serangga juga agar rontal berwarna kuning) dan tampak artisik.
3)   Dikeringkan untuk dihaluskan semua sisinya (pinggiran dan kedua permukannya).
4)   Dipres atau dijepit dengan papan kayu, diikat ( berlangsung 6-12 bulan) serta dilubangi pada sisi kana, kiri, tengah. Hal ini dilakukan untuk memperoleh daun tal siap tulis tidak melengkung.
5)  Untuk memudahkan penulisan, daun tal digarisi dengan  sepat (benang) yang telah dicelupkan di dalam air hitam pekat (campuran, serbuk arang).

1)     Lembar demi lembar disusun rapi dan daun rontal( daun tal) siap ditulisi.

Aksara Bali



Aksara merupakan lambang-lambang bunyi bahasa. Hanya lewat aksaralah suatu bahasa dapat dibaca dan di dokumentasikan. Masyarakat Bali memandang bahwa aksara Bali adalah alat untuk mempelajari semua pustaka yang sarat dengan berbagai ajaran ketuhanan dan keduniawian menuju kebahagiaan lahir batin (Geria, 2008:21).
              Aksara Bali adalah aksara tradisional masyarakat Bali dan berkembang di Bali. Aksara Bali merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan aksara Jawa, perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.
              Aksara Bali menurut bentuknya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1)  Aksara Wreastra, 2)  Aksara Swalalita, 3)  Aksara Modre.