Untuk dapat memahami istilah
rontal, maka akan dijelaskan pengertian yang dianggap perlu sehingga pembaca
memperoleh pengertian yang jelas. Menurut Geria (2008: 47) dinyatakan istilah
rontal adalah berupa bahan tulis (material writing) itu sendiri, dalam artian
belum ada tulisan dengan kata lain istilah rontal lebih mengacu kepada
bahan-bahan yang ditulis.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rontal
adalah daun ental yang sudah diolah
yang belum ada tulisan yang sudah siap untuk ditulisi. Dalam perspektif masyarakat Bali, rontal sangat mempunyai
sifat yang keras, tinggi dan religius. Sebagai suatu yang mempunyai sifat yang
keras, tinggi dan religius rontal sangat diindahkan oleh para ra kawi
(pujangga) sebagai bahan untuk menuangkan segala petuah-petuah suci (Geria,
2008: 47). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan : (1) Aji Saraswati, PNRI
1L.254, lempir, baris 1-2) mengatakan istilah gebhang untuk menyebut rontal
sebagai material palm yang bersifat secara religius, karena rontal diberlakukan
sebagai lidah yang merupakan alat artikulasi hakiki munculnya kata-kata yang
dipakai lambang untuk mengungkapkan isi sastra, (2) Sanghalangghyala Parwa,
PNRI 1L.858, lempir 14) mengatakan betapa keras dan kuatnya batang pohon tal
itu. Sehingga ra kawi memilih satai untuk menyebut alih rupa Prabhu
Rupini (penganut Budha) dalam dialog bathin dengan Prabhu Caya Purusa (penganut
Siwa), (3) Ramayana, II.67, baris 41) mengatakan ketegapan dan ketinggian badan
Rama Parasu sebagai satrya sakti mandraguna, kata satai juga dipilih oleh ra
kawi sebagai perbandingan allegori kestriya tersebut, (4) Ramayana VI:
157, baris 4 dan 158, baris 1) mengatakan betapa sucinya rontal sebagai bahan
untuk menulis sastra suci. Dikatakan juga ketakutan Sugriwa akan kesaktian
kakaknya (Subali) dalam merebut Dewi Tara, sehingga terlebih dahulu menguji
kesaktian panah Rama (penegak kebenaran) untuk tempat berlindung (Geria,
2008:48).
Masyarakat Bali mengenal tiga jenis tal yaitu tal taluh
(serat-seratnya sangat halus dan bentuknya mirip telur), tal goak
(serat-seratnya agak kasar bentuknya mirip burung gagak), dan tal kedis
(serat-seratnya agak halus namun ukurannya tidak mencukupi, bentuknya mirip
(burung). Menurut Geria (2008:48) untuk mendapatkan rontal yang berkualitas
tinggi, maka secara global proses pengolahannya sebagai berikut :
1). Daun tal (tentunya tal
taluh atau egg type) yang telah diseleksi terlebih dahulu dijemur. Setelah agak
kering, lalu dipotong-potong berbentuk segi empat panjang sesuai dengan ukuran
yang dihendaki (masih ada lidinya, tanpa lidi).
2). Direndam dengan air dingin, lalu direbus
dengan air panas yang telah dicampur
dengan ramuan rempah-rempah untuk pengawet dan pewarna. Di Bali ramuan ini
biasanya terdiri dari daun liligundi, dan pule, kunyit, warangan, gambir, dan
lain-lain. Disamping untuk mendapatkan rontal yang tahan lama (bebas dari
serangan serangga juga agar rontal berwarna kuning) dan tampak artisik.
3) Dikeringkan untuk dihaluskan semua sisinya
(pinggiran dan kedua permukannya).
4) Dipres atau dijepit dengan papan kayu, diikat
( berlangsung 6-12 bulan) serta dilubangi pada sisi kana, kiri, tengah. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh daun tal siap tulis tidak melengkung.
5) Untuk memudahkan penulisan, daun tal digarisi
dengan sepat (benang) yang telah
dicelupkan di dalam air hitam pekat (campuran, serbuk arang).
1)
Lembar demi lembar disusun rapi dan daun rontal( daun tal)
siap ditulisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar