"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

12/23/2012

Pengertian Lontar



Untuk dapat memahami istilah rontal, maka akan dijelaskan pengertian yang dianggap perlu sehingga pembaca memperoleh pengertian yang jelas. Menurut Geria (2008: 47) dinyatakan istilah rontal adalah berupa bahan tulis (material writing) itu sendiri, dalam artian belum ada tulisan dengan kata lain istilah rontal lebih mengacu kepada bahan-bahan yang ditulis.
            Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rontal adalah daun ental yang sudah diolah yang belum ada tulisan yang sudah siap untuk ditulisi.  Dalam perspektif masyarakat Bali, rontal sangat mempunyai sifat yang keras, tinggi dan religius. Sebagai suatu yang mempunyai sifat yang keras, tinggi dan religius rontal sangat diindahkan oleh para ra kawi (pujangga) sebagai bahan untuk menuangkan segala petuah-petuah suci (Geria, 2008: 47). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan : (1) Aji Saraswati, PNRI 1L.254, lempir, baris 1-2) mengatakan istilah gebhang untuk menyebut rontal sebagai material palm yang bersifat secara religius, karena rontal diberlakukan sebagai lidah yang merupakan alat artikulasi hakiki munculnya kata-kata yang dipakai lambang untuk mengungkapkan isi sastra, (2) Sanghalangghyala Parwa, PNRI 1L.858, lempir 14) mengatakan betapa keras dan kuatnya batang pohon tal itu. Sehingga ra kawi  memilih satai untuk menyebut alih rupa Prabhu Rupini (penganut Budha) dalam dialog bathin dengan Prabhu Caya Purusa (penganut Siwa), (3) Ramayana, II.67, baris 41) mengatakan ketegapan dan ketinggian badan Rama Parasu sebagai satrya sakti mandraguna, kata satai juga dipilih oleh ra kawi sebagai  perbandingan  allegori kestriya tersebut, (4) Ramayana VI: 157, baris 4 dan 158, baris 1) mengatakan betapa sucinya rontal sebagai bahan untuk menulis sastra suci. Dikatakan juga ketakutan Sugriwa akan kesaktian kakaknya (Subali) dalam merebut Dewi Tara, sehingga terlebih dahulu menguji kesaktian panah Rama (penegak kebenaran) untuk tempat berlindung (Geria, 2008:48).
            Masyarakat Bali mengenal tiga jenis tal yaitu tal taluh (serat-seratnya sangat halus dan bentuknya mirip telur), tal goak (serat-seratnya agak kasar bentuknya mirip burung gagak), dan tal kedis (serat-seratnya agak halus namun ukurannya tidak mencukupi, bentuknya mirip (burung). Menurut Geria (2008:48) untuk mendapatkan rontal yang berkualitas tinggi, maka secara global proses pengolahannya sebagai berikut :
1). Daun tal (tentunya tal taluh atau egg type) yang telah diseleksi terlebih dahulu dijemur. Setelah agak kering, lalu dipotong-potong berbentuk segi empat panjang sesuai dengan ukuran yang dihendaki (masih ada lidinya, tanpa lidi).
2).  Direndam dengan air dingin, lalu direbus dengan air panas yang  telah dicampur dengan ramuan rempah-rempah untuk pengawet dan pewarna. Di Bali ramuan ini biasanya terdiri dari daun liligundi, dan pule, kunyit, warangan, gambir, dan lain-lain. Disamping untuk mendapatkan rontal yang tahan lama (bebas dari serangan serangga juga agar rontal berwarna kuning) dan tampak artisik.
3)   Dikeringkan untuk dihaluskan semua sisinya (pinggiran dan kedua permukannya).
4)   Dipres atau dijepit dengan papan kayu, diikat ( berlangsung 6-12 bulan) serta dilubangi pada sisi kana, kiri, tengah. Hal ini dilakukan untuk memperoleh daun tal siap tulis tidak melengkung.
5)  Untuk memudahkan penulisan, daun tal digarisi dengan  sepat (benang) yang telah dicelupkan di dalam air hitam pekat (campuran, serbuk arang).

1)     Lembar demi lembar disusun rapi dan daun rontal( daun tal) siap ditulisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar