"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

1/18/2013

HUBUNGAN AWIG-AWIG,RSI YADNYA DAN TRI HITA KARANA

Dapat dipahami bahwa awig-awig  adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang sesungguhnya menjadi karakter Desa Pakraman yang membedakan dengan kesatuan masyarakat  hukum Adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = Tiga, Hita = Kesejahteraan, Karana = sebab).
Tiga unsur tersebut adalah sanghyang jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), Bhuana (alam semesta), dan manusa (manusia) (Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat dikemukakan bahwa Konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam diatas, yaitu sebagai berikut.
a.      Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
b.     Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c.      Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi Tri Hita Karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan.
Disamping nilai keseimbangan, nilai Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsepsi ini. Nilai Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik  sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran tradisional  masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis, relegius magis dan Komunal… Manusia  dilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat dipisahkan dengan penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu   manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga.
Untuk dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis Bali beragama Hindu). Senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya suasana yang harmonis dalam   masyarakat, baik vertikal  (dalam hubungan manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan repleksi dari filsafat Tri Hita Karana. Dalam kontek hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala (Sudantra, 2001:2).
Dalam bahasa Awig-awig Desa Pakraman, cita-cita di atas umumnya dirumuskan dengan kalimat “Ngarajegang sukertan Desa saha pawongan sekala kalawan niskala, seperti misalnya dapat dilihat dalam pawos 3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3).
Yadnya merupakan persembahan, pemujaan, atau kurban suci secara tulus ikhlas. Dalam ajaran hindu dikenal adanya lima macam yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Butha Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Rsi Yadnya.
Sebagai seorang anak didik (murid, siswa, atau mahasiswa) baik dalam sistem pendidikan formal atau tidak, pelaksanaan Rsi Yadnya merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Rsi atau guru adalah sosok yang selama ini memberikan kita pendidikan, bimbingan, dan pengetahuan. Atas segala pengorbanan yang telah diberikan oleh guru atau para Rsi sudah sepatutnya kita menghaturkan yadnya.
Uraian di atas senada dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Tri Rna. Ajaran Tri Rna adalah ajaran yang menyatakan bahwa setiap manusia sejak lahir sudah terikat dengan hutang (Rna) yang harus dilunasi semasih hidupnya. Salah satu dari ketiga hutang tersebut adalah hutang jasa kepada maha Rsi atau guru yang telah berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya, serta tuntunan hidup suci untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Artinya, manusia sebagai makhluk tertingi sudah sewajarnya menyadari akan keberadaan dirinya yang diciptakan dan dipelihara atas dasar yadnya.
Dikaitkan dengan hakikat atau konsep dari ajaran Tri Hita Karana, Rsi Yadnya merupakan kegiatan yadnya yang melingkupi ketiga bagian dari Tri Hita Karana, baik itu parahyangan, pawongan, maupun palemahan.
Pertama, Rsi Yadnya merupakan wujud parahyangan. Hal ini tidak terlepas dari konsep bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber tunggal, yaitu Dewi Saraswati. Melalui pelaksanaan Rsi Yadnya kita berharap Sang Dewi kembali melimpahkan segala pengetahuan kepada umatnya.
Kedua, Rsi Yadnya juga merupakan wujud pawongan di dalam Tri Hita Karana, yaitu pemeliharaan hubungan antarsesama manusia. Yadnya ini dapat dilakukan dengan jalan selalu menghormati dan mengamalkan segala ajaran yang telah diberikan guru atau Rsi di sekolah.
Ketiga, tidak dapat dipungkuri lagi bahwa alam lingkungan adalah tempat belajar yang paling dekat dan murah. Seorang yogi belajar pada alam untuk memperoleh ketenangan, seorang penyair belajar dari alam dalam memupuk imajinasi, dan petani belajar pada alam sebelum menanam tumbuh-tumbuhan. Dengan memelihara alam (Palemahan) dalam eksistensinya sebagai sumber belajar sesungguhnya kita telah melaksanakan Rsi Yadnya.

SANGSI BAGI PELANGGAR AWIG-AWIG

Sanksi dari, awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan). Kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini dan literatur hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi Adat. Secara umum, bentuk-bentuk  pamidanda (sanksi Adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang  atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala)  disebut panyangaskara danda. Bentuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di datas sangat bervariasi dari sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag (hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibanya di Desa). Bentuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai Krama Desa). Bentuk sanksi dari golongan  panyagaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin Desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian Desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya dilakukan oleh Desa Pakraman secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari Prajuru Banjar sampai Prajuru Desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi perlawanan dari Krama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara umum awig-awig dan sanksi Adat ditaati oleh Krama Desa. Ketaatan Krama Desa terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditaati karena merupakan kesepakatan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) Desa, pada suatu forum dimana semua Krama Desa mempunyai hak suara yang sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuaatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara pasupati atau pemelaspasan.

BENTUK DAN SISTEMATIKA AWIG-AWIG

  Semua Desa Pakraman Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika masyarakat Adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam rapat (paruman/sangkepan) Desa. Tetapi lama kelamaan, ketika Prajuru Adat sudah mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat Desa itu kemudian dicatat sehingga gampang  diingat. Belakangan, terutama sejak tahun 1969, ada kecendrungan Desa Pakraman pembuat awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan awig-awig dianggap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek  pembinaan untuk mendorong Desa Pakraman untuk membuat awig-awig tertulis telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid) dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (Krama Desa), pasti bagi Prajuru Adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan awig-awig penting untuk dilakukan dalam rangka  penemuan hukum (rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum Adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum Adat akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001:1:2).
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa Desa Pakraman terutama Desa Pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig  yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dilakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan pedoman penulisan Awig-awig Desa Pakraman  yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sitematika awig-awig terdiri dari Murda Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang Tubuh awig-awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam palet (bagian)  dan pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam beberapa laping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sanskerta, seperti misalnya bab pertama disebut pratamas sargah, bab kedua disebut dwityas sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf Latin menjadi 1,2,3,4 dan seterusnya, sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan perundang-undangan, sistematika Awig-awig Desa Pakraman menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan pokok) mengenai kehidupan Desa Pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, kadang-kadang keduanya tidak dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig; kedua, pararem ngele/pararem lepas, yaitu keputusan paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam  awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan ketiga, pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu persoalan hukum (perkara) tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau parhyangan (hubungan Krama Desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan Krama Desa dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan Krama Desa dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig umumnya dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian masalah ini dibuat dalam bab tersendiri  dengan judul Wicara Lan Pamidanda (Masalah dan sanksi) Parwata, 2007:56).

HAKIKAT PUISI



Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat tentang arti sebuah puisi, jelaslah bagi kita betapa sukarnya memberikan batasan yang tepat terhadap kata puisi tersebut. Namun demikian bukanlah menjadi alasan untuk tidak mungkin untuk mendekati puisi dengan baik, sebab masih ada sifat-sifat utama yang dimilikinya untuk mengerti dan memahami sebuah puisi.
I.A. Richards dalam Siswanto, menyatakan “puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan perpaduan dari tema, rasa, nada, dan amanat” (2008:124). Seirama dengan pendapat di atas, Rai Putra menyatakan hakikat puisi terdiri atas tema atau makna, rasa (feeling), nada, dan tujuan (2010:06).
Dari pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat puisi terdiri atas: 1) tema atau makna (sense); 2) rasa (feeling); 3) nada (tone); dan 4) amanat atau tujuan (intention). Keempat unsur tersebut merupakan catur tunggal, karena unsur satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang sangat erat. Berikut ini akan diuraikan hakikat dari sebuah puisi. 
   Tema atau Makna (sense)
            Siswanto mendifinisikan, tema adalah gagasan pokok permasalahan yang terdapat dalam puisi. Media puisi adalah bahasa. Karena bahasa berhubungan dengan makna maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun keseluruhan (2008:124).
            Rai Putra menyatakan, penyair dengan puisinya ingin mengemukakan sesuatu bagi para penikmatnya. Sang penyair ingin mengemukakan pengalaman-pengalamannya kepada para penikmat. Intinya puisi mengandung subject matter. Makna yang dikandung suatu subject matter disebut dengan makna (sense) dari puisi (2010:06).
            Sang penulis atau penyair melihat atau mengalami suatu peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan peristiwa itu, ia ingin mempermasalahkan hal-hal tersebut dengan cara sendiri kepada para pembaca atau penikmat puisi. Hal ini dilakukan karena karena setiap puisi mengandung subject matter untuk dikemukakan atau ditonjolkan dan hal tersebut tergantung dengan beberapa faktor seperti: lingkungan, agama, pekerjaan, pendidikan dari penyair. Tidak ada puisi tanpa subject matter, hanya saja sang penyair sangat lihai menyelubungi sehingga para penikmat atau pembaca puisi harus berusaha sekuat daya untuk menyikapi dan mengungkapkannya. 
Rasa (feeling)
Rasa dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisi (Siswanto, 2008:124). Dalam hal ini mengacu pada sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang dituangkan di dalam karyanya. Ada penyair yang menaruh sikap simpatik serta penuh belas kasihan terhadap objek permasalahan, ada juga penyair menaruh rasa benci, sikap marah/jengkel dan sebagainya.

Nada (tone)
Nada dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan erat dengan tema dan rasa (Siswanto, 2008: 125). Sikap penyair yang hendak ditanamkan terhadap pembaca karya puisinya berkaitan dengan emosional pengarang.
Amanat atau Tujuan (intention)
Amanat dalam puisi adalah pesan dan kesan yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca lewat karya-karyanya berupa puisi. Untuk menemukan pesan dan kesan dalam puisi sangat tergantung kepada pengalaman pembaca dan cara pandang pembaca terhadap puisi tersebut. Misalkan penyairnya seorang guru, maka dalam karya puisinya tersebut mengarah kedunia pendidikan. Dan jika kebetulan penyairnya seorang pendeta dan ulama, maka dalam karya puisinya akan lebih menonjolkan tentang hal-hal yang bersifat ajaran keagamaan (dharma).
Metode Puisi
Para penyair ingin mengungkapkan sesuatu dengan jelas dan seluas mungkin, namun dengan kata yang sesedikit mungkin. Untuk maksud tersebut diperlukan suatu metode yang baik beserta sarana-sarana yang diperlukan. Menurut Siswanto, metode dalam pusi meliputi: 1) perwajahan puisi, 2) diksi, 3) pengimajian, 4) kata konkret, 5) majas atau bahasa figuratife, dan 6) verifikasi (2008: 113).
Perwajahan Puisi (Tipografi)
Perwajahan dalam puisi adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Perwajahan puisi juga bisa mencerminkan maksud dan jiwa pengarangnya (Siswanto, 2008: 113). Pengaturan baris dalam puisi sangat berpengaruh terhadap maknaan puisi, karena menentukan kesatuan makna, dan juga berfungsi untuk memunculkan ketaksaan makna (ambiguitas). Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan suatu pernyataan. Bisa saja pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik. Misalnya, puisi kontemporer tifografinya bisa membentuk suatu gambar biasanya disebut dengan puisi konkret.
Diksi
Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Pilihan kata dalam karya puisi sangat penting. Kalau dipandang sepintas lalu, kata-kata yang digunakan dalam puisi pada umumnya sama saja dengan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, perlu diingat bahwa penempatan serta penggunaan kata dalam puisi dengan hati-hati dan teliti serta tepat.
Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan penyair, semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan betapa pentingnya diksi bagi suatu karya puisi. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan, membiaskan ruang, falsafah, amanat, efek, nada suatu puisi dengan tepat.
Imaji
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Siswanto, 2008:118). Pendapat lain, imaji adalah segala yang dirasakan atau yang dialami secara imajinatif (Rai Putra, 2010:07). 
Imaji berhubungan erat dengan kata konkret. Pilihan kata yang tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia, sehingga mendorong imajinasi atau daya bayang untuk mengungkapkan gambaran nyata dalam bentuk puisi.
Jadi, segala yang dirasakan atau dialami secara imajinatif dikenal dengan istilah imaji (imagery). Penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka merasa bahwa merekalah yang mengalami peristiwa perasaan jasmani dan sebagainya. 
Kata Konkret
Kata konkret dalam puisi adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indera. Dengan kata konkret akan memungkinkan imaji muncul (Siswanto, 2008:119).
Salah satu cara untuk membangkitkan daya bayang atau imajinasi para penikmat puisi adalah dengan mempergunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang konkret, yang dapat menyarankan suatu pengertian yang menyeluruh. Semakin tepat penyair memakai kata-kata yang penuh asosiasi, maka semakin baik dalam menjelmakan imaji, sehingga penikmat menganggap bahwa mereka benar-benar melihat, mendengar, merasakan, pendeknya mengalami segala sesuatu yang dialami oleh penyair. 
Bahasa Figuratif (Majas)
Cara lain untuk membangkitkan imajinasi adalah dengan memanfaatkan majas, yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Para penyair menggunakan berbagai majas untuk menjelmakan imajinasinya. Setiap orang terkadang ingin menyampaikan pendapat, pikiran dengan sejelas-jelasnya kepada orang lain dengan kata-kata saja belumlah begitu jelas, oleh karena itu dipergunakan gaya persamaan, perbandingan, serta kata-kata kias lainnya. Demikian pula para penyair mempergunakan aneka ragam majas untuk memperjelas maksud serta menjelmakan imaji.
Verifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)
Verifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritma, dan metrum (Siswanto, 2008: 121).
Dalam hal ini, beliau memberikan pengertian rima dalam puisi adalah persamaan bunyi pada puisi baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Ritma merupakan tinggi-rendah , panjang pendek, keras-lemahnya bunyi. Sedangkan istilah metrum disamakan dengan rima.
            Ritma dan Rima memiliki pengaruh yang sangat besar untuk memperjelas makna puisi. Erat sekali hubungannya dengan tema, rasa, nada, dan tujuan atau maksud dari karya puisi.
Kerangka Berpikir
Keterampilan menulis puisi Bali dengan pengamatan objek secara langsung menekankan pada pembelajaran yang berdasarkan situasi yang nyata. Siswa diarahkan pada penguasaan materi secara langsung, penguasaan kosa kata yang lebih banyak, serta dekat dengan lingkungan belajar siswa. Ini berarti siswa diajarkan materi belajar yang bersifat konkret, maka prestasi belajar siswa khususnya dalam menulis puisi Bali juga akan semakin baik.