Semua Desa
Pakraman Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis.
Pada awalnya, ketika masyarakat Adat di
Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam
rapat (paruman/sangkepan) Desa. Tetapi lama kelamaan, ketika Prajuru Adat sudah mengenal baca tulis,
aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat Desa itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak tahun 1969, ada kecendrungan Desa Pakraman pembuat awig-awig
dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai
dengan Pedoman Penulisan Awig-awig
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan awig-awig dianggap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini
proyek pembinaan untuk mendorong Desa Pakraman untuk membuat awig-awig tertulis telah dilakukan
secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang
terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat
pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid) dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum
bagi masyarakat (Krama Desa), pasti
bagi Prajuru Adat, dan pasti bagi
pemerintah. Disamping itu, penulisan awig-awig
penting untuk dilakukan dalam rangka
penemuan hukum (rechtsvinding), yaitu
untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum Adat. Dalam bentuknya yang tertulis,
hukum Adat akan mudah ditemukan
terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang
akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi
pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001:1:2).
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa Desa Pakraman terutama Desa Pakraman yang pernah mengikuti
lomba, ditemukan awig-awig yang
ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi
aksara), yaitu dengan aksara Bali
dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis di
daun lontar bahkan di atas lempengan
perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang
umumnya mengikuti pola yang dilakukan oleh pemerintah melalui
pembinaan-pembinaan, sesuai dengan pedoman penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan
contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sitematika awig-awig terdiri dari Murda Citta (Pembukaan) dan Batang
Tubuh. Batang Tubuh awig-awig terdiri
dari beberapa sargah (bab) yang
dibagi-bagi lagi dalam palet
(bagian) dan pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos
masih diuraikan lagi dalam beberapa laping
(ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sanskerta, seperti misalnya bab pertama disebut pratamas sargah, bab kedua disebut dwityas sargah, dan seterusnya.
Penomoran pawos menggunakan angka
dalam aksara Bali, yang bila
ditranslit ke dalam huruf Latin menjadi 1,2,3,4 dan seterusnya, sedangkan
penomoran kaping (ayat) menggunakan
alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na,
ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan
perundang-undangan, sistematika Awig-awig
Desa Pakraman menyerupai sistematika
UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok
(aturan-aturan pokok) mengenai kehidupan Desa
Pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih rinci
dituangkan dalam bentuk pararem.
Dalam pengertian luas, awig-awig
meliputi pula pararem, kadang-kadang keduanya tidak dibedakan
penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem
diartikan sebagai keputusan-keputusan paruman
yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga
golongan. Pertama, pararem penyahcah
awig, yaitu keputusan-keputusan paruman
yang merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig;
kedua, pararem ngele/pararem lepas, yaitu keputusan paruman
yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig
tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan ketiga, pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu persoalan hukum (perkara) tertentu, baik
yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita
Karana yang sudah dijelaskan di atas,
yaitu menyangkut aspek keagamaan atau parhyangan
(hubungan Krama Desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan Krama Desa
dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan Krama Desa dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada
bagian akhir awig-awig umumnya
dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada
ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian masalah ini dibuat
dalam bab tersendiri dengan judul Wicara Lan Pamidanda (Masalah dan
sanksi) Parwata, 2007:56).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar