"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

1/18/2013

BENTUK DAN SISTEMATIKA AWIG-AWIG

  Semua Desa Pakraman Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika masyarakat Adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam rapat (paruman/sangkepan) Desa. Tetapi lama kelamaan, ketika Prajuru Adat sudah mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat Desa itu kemudian dicatat sehingga gampang  diingat. Belakangan, terutama sejak tahun 1969, ada kecendrungan Desa Pakraman pembuat awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan awig-awig dianggap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek  pembinaan untuk mendorong Desa Pakraman untuk membuat awig-awig tertulis telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid) dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (Krama Desa), pasti bagi Prajuru Adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan awig-awig penting untuk dilakukan dalam rangka  penemuan hukum (rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum Adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum Adat akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001:1:2).
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa Desa Pakraman terutama Desa Pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig  yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dilakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan pedoman penulisan Awig-awig Desa Pakraman  yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sitematika awig-awig terdiri dari Murda Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang Tubuh awig-awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam palet (bagian)  dan pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam beberapa laping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sanskerta, seperti misalnya bab pertama disebut pratamas sargah, bab kedua disebut dwityas sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf Latin menjadi 1,2,3,4 dan seterusnya, sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan perundang-undangan, sistematika Awig-awig Desa Pakraman menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan pokok) mengenai kehidupan Desa Pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, kadang-kadang keduanya tidak dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig; kedua, pararem ngele/pararem lepas, yaitu keputusan paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam  awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan ketiga, pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu persoalan hukum (perkara) tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau parhyangan (hubungan Krama Desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan Krama Desa dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan Krama Desa dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig umumnya dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian masalah ini dibuat dalam bab tersendiri  dengan judul Wicara Lan Pamidanda (Masalah dan sanksi) Parwata, 2007:56).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar