"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

3/17/2012

STILISTIKA

Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan, dan lain-lain menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi
linguistic dari bahasa yang digunakan dalam teks sastra. Bagi Leech, stilistik adalah simple defind as the (linguistic) study of style. Wawasan demikian sejalan dengan pernyataan Cummings dan Simmons bahwa studi bahasa dalam teks sastra merupakan…branch of linguistic called stylistic. Dalam konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson beranggapan bahwa poetics (puitika) sebagai teori tentang system dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi jakobson 
Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure since linguistics  is the global science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of linguistic (Amminuddin :1995 :21).   
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik (Aminuddin :1995 :22). Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya (Wellek dan Warren : 1990 : 221).
Bertolak dari berbagai pengertian di atas, Aminuddin mengartikan stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa, (ii) gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin : 1995 :46).

Prosedur Kajian Stilistika
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
  1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
  2. Analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya.
  3. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin : 1995 :98).

Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin :1995 : 42).
Pada kritik sastra ini prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
  1. Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
  2. Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
  3. Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra (Aminuddin : 1995 :42-43).

Implikasi Analisis Kajian Stilistika dalam Puisi Goenawan Mohammad
Kwartin Tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama itu
Kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

  1. a.  Analisis Sistem Tanda yang Digunakan Pengarang              
Pada puisi Goenawan Mohammad di atas bila diperhatikan terdapat paparan gagasan dalam komunikasi keseharian, namun jika ditinjau lebih lanjut dalam setiap kata, larik, bait dan tanda yang digunakan tentulah memiliki beban maksud penutur. Misalnya pada larik “sesuatu yang kelak retak” dapat menuasakan gagasan kehidupan manusia itu tidak abadi. Serta penggunaan lambang retak biasanya mengacu pada benda yang mudah pecah namun di sini pengarang ingin memberikan efek emotif sehingga retak tak lagi mengacu pada makna realitas namun secara asosiatif dihubungkan dengan kematian atau kefanaan tubuh manusia.

  • b.  Analisis Gaya Pemilihan Kata
Gaya pemilihan kata pada dasarnya digunakan pengarang untuk memberikan efek tertentu serta untuk penyampaian gagasan secara tidak langsung sehingga memiliki kekhasan tersendiri. Pada puisi Goenawan Mohammad pun terdapat manipulasi penggunaan kata misalnya pada larik “Apa yang berharga pada tanah liat ini” Penggunaan kata tanah liat pada paparan tersebut dapat diartikan dengan apa yang berharga dari tubuh manusia ini apabila pengarang menuliskan gagasan dengan “Apa yang berharga pada tanah liat ini, tanah liat hanyalah tanah yang halus. Tentu asosiasinya menjadi lain.

  • c.  Analisis Penggunaan Bahasa Kias
Bahasa kias merupakan penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang umum dengan umum,yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan ataupun analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru (Aminuddin : 1995 : 227).
Kiasan yang dimaksud memiliki tujuan untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih subyektif dalam bahasa puisi. Pada puisi Goenawan Mohammad kiasan yang banyak digunakan adalah metafora yakni kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan langsung itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh klasik : Lintah darat, bunga bangsa, kambing hitam dan sebagainya (Herman J. Waluyo : 1987 : 84). Dalam “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” Goenawan Mohammad, wajah manusia dikiaskan sebagai sebuah keramik tanpa nama.

d.  Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian dan data konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran atau cita rasa.
Baris-baris puisi Goenawan yaitu “Pada keramik  tanpa nama itu kulihat kembali wajahmu”  menunjukkan adanya pengimajian secara visual (melukiskan sesuatu melalui imaji penglihatan).

e. Analisis penggunaan bunyi
Pada kutipan puisi Goenawan Mohammad terdapat kesamaan rima yakni pada kata “ini” yang terdapat dalam baris ke-5 dan “ilusi” pada baris ke-6 serta terdapat juga kesamaan rima yakni pada baris ke-7 pada kata “kelak retak.”

f. Analisis Makna puisi
Pada puisi Goenawan Mohammad gagasan yang ingin disampaikan dalam puisi “Kwartin Tentang Sebuah Poci” adalah kehidupan yang tak abadi namun dipaparkan semisal dalam larik pada keramik tanpa nama itu / kulihat  kembali wajahmu dapat diasosiasikan, keramik pada larik tersebut maknanya adalah benda yang terbuat dari tanah liat dan sifatnya mudah pecah hal ini disamakan dengan manusia yang merupakan benda dan tubuhnya bisa rusak kemudian larik mataku belum tolol, ternyata / untuk sesuatu yang tak ada dapat diasosiasikan dengan melihat sesuatu yang akan musnah untuk larik Apa yang berharga pada tanah liat ini / selain separuh ilusi dapat diasosiasikan sebagai apa yang berharga pada tubuh manusia selain bayang-bayang dan larik terakhir yaitu sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi dapat diasosiasikan dengan tubuh manusia ini seakan hanya bayang-bayang yang suatu saat akan rusak / tidak abadi dan melalui tubuh manusia yang tak abadi ini manusia membuat sesuatu yang abadi.        

Daftar Rujukan

Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Waluyo, Herman. J. 1987. Teori dan Apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene, dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusasteraan.

RENUNGAN

         Dalam renungan ini, ku ingin curahkan segala curahq kedunia maya ini, sekian tahun telh berlalu  tak terasa lepas dari masa masa sekolah dan hingga kiniq sarjana, namun belom cukup rasa na jiwa sll merasa kekurangan. Hingga suatu ketika saya merasa terangkat harkat dan martabaat saya walaupun boleh dibilang saya dari kaum kecil,,, Atas Izin Tuhan akhirnya saya bisa menjadi seseorang pendidik biarpun baru, setidaknya saya melalui ini akan belajar lebih memahami arti sebuah pendidikan, arti sebuah makna yang tergores di tiap-tiap buku catatan sekolahq.
          Setelah berjalan beberapa bulan hingga kini saya belom pula bisa memenuhi kebutuhanq pa lagi untuk membantu orang tuaq yang sedang dalam kesusahan,,,, saya percaya Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Penyanyang,contohnya sudah jelas buat saya dengan alunan doa dan usaha yang ku lakukan ternyata Puji Syukuuur Tuhan Memberikan pekerjaan pada saya dan adik saya dikampung, memang kesabaran dan jerih payang itu sll ada namun dengan keiklasaan serta doa yg tulus disertai usaha saya yakiin permasalahan ini akan cepat tuntas.
           Dari pengalaman hidupq sejak kecil hingga kini tak terlepas dari usaha dan kesadaran diri, bahwa kita ciptaan Tuhan kita dilahirkan diwajibkan untuk menjalankan karma serta memetik phala dari buah kehiddupan yg terdahulu. dalam perjalanan ini saya semakin nyakin dengan kekuatan TUHAN. Terimakasi ya,,,,,,, TUHAN,,,,,

3/01/2012

Wilangan (jenis) lan Struktur Frase


Wilangan frase katentuang manut daging (jenis unsur-unsurnyané). Wilangan unsur-unsur frase basa Bali kapérang manut kadi ring sor puniki.
a. Frase Nominal
            Frase Nominal (FN), frase unsur pusatnyané majenis kruna nomina, sakadi frase badan céléng. Makekalih unsur frase inucap ngranjing ring kruna nomina. Duaning asapunika, frase ring ajeng ngranjing widang frase nominal.
            Frase Nominal madué makudang-kudang struktur, minakadi ring sor puniki.
(a)   Nomina + Nomina
(7) bajun i mémé
(8) umah i kaki
(b) Nomina + Adjektiva
      (9) bunga barak
      (10) warna kuning
(c) Nomina + Konjungsi+Nomina
      (11) batis tekén lima
      (12) jagung wiadin juuk
(d) Nomina + Pronomina
      (13) umah ento
      (14) kurenanné
(e) Nomina + Adverbia
      (15) nasi dogén
      (16) pipis dogén
(f) Adverbia + Pronomina
      (17) tuah dané
      (18) tuah tiang
(g) Adverbia + Numeralia
      (19) tuah duang dasa
      (20) wantah satus
(h) Nomina + Nomina (berafiks)
      (21) nasi abakul
      (22) baas akarung.
b. Frase Adjéktival
            Frase Adjéktival (Fadj) wantah frase sané unsurnyané makasami marupa kruna adjéktiva utawi wantah unsur pusatnyané manten marupa kruna adjéktiva. Upaminnyané, frase jegég pesan wantah frase adjéktival, duaning unsur jegég pinaka unsur pusat majenis adjektiva. Asapunika taler frase dawa bawak pinaka frase adjéktival duaning makekalih unsurnyané majenis adjéktiva.
Frase adjéktival basa Bali manawi madué makudang-kudang struktur makadi:
(a)   Adjéktiva + Adjéktiva
(23) berag landung
(24) gedé tegeh
(b) Adjéktiva + Adverbia
      (25) mudah sajan
      (26) kedas sajan

(c) Adverbia + Adjéktiva
      (27) paling gedé
      (28) bas cenik.
c. Frase Vérbal
            Frase Vérbal (FV) wantah frase sané makasami unsurnyané majenis vérba utawi wantah unsur pusatnyané manten sané majenis vérba. Upaminipun, madaar majalan ngranjing ring frase vérbal duaning makekalih unsurnyané vérbal. Asapunika taler frase nulis alus pinaka frase vérbal, sané madué unsur inti, inggih punika nulis sané majenis vérba.
Frase vérbal basa Bali madué struktur kadi puniki.
(a)   Vérba + Vérba
(29) negak ngraos
(30) tundéna mulih
(b) Vérba + Adjéktiva
      (31) ngomong manis
      (32) mamunyi tinglis
(c) Adverbia + Vérba
      (33) suba majalan
      (34) tondén magaé
(d) Vérba + Préposisi + Vérba
      (35) mamaca tur nulis
      (36) luas utawi mulih.
d. Frase Préposisi
            Frase Préposisi (FPp) wantah frase sané kariinin olih préposisi pinaka penanda lan kadulurin olih katégori nomina utawi partikel (utaminnyané katerangan). Minakadinnyané, frase apa dogén wantah frase préposisi utawi frase partikel duaning makekalih unsuripun golongan partikel, inggih punika kruna pitakén lan panyelas.
Frase préposisi basa Bali madué struktur makadi ring sor.
(a)   Préposisi + Nomina
(37) ka gunung
(38) di Kelating
(39) uli tukadé
(b) Préposisi + Pronomina
      (40) tekén tiang
      (41) uli ia
(c) Préposisi + Katerangan
      (42) uli ibi
      (43) uli ibi sanja
      (44) uli jani.

2/28/2012

RINDU

Apa khabar rakan blogger? Beberapa hari tidak menulis membuatkan aku rindu pada blog tetapi terpaksa juga aku tahan dan pendamkan kerana beberapa hal yang perlu didahulukan. Harap-harap korang pengunjung dan pembaca tak rindukan aku. :D
Kali ini aku ambil peluang untuk menulis beberapa rangkap pantun sebagai pelepas rindu aku dan rindu pada pantun. He  he he …

menumbuk sambal sambil berdiri
bawang dan cabai melimpah raga
blogger terkenal menjadi selebriti
peminatnya ramai seantero dunia

pedasnya sambal cabainya merah
berulam bercicah si jantung pisang
menjadi terkenal bukannya mudah
segala langkah diperhatikan orang

hangatnya berapi menu hidangan
muka berpeluh senyuman berseri
sementara diri menjadi perhatian
tunjukkan contoh teladan terpuji

2/26/2012

TRADISI MAGIBUNG



Sampai dengan pengujung abad ke–20, awal abad ke–21 dalam upacara agama (Hindu) dan acara adapt masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem, masih dilaksanakan perjamuan magibung. Magibung adalah makan bersama dalam satu talam atau dulang dengan jumlah enam sampai delapan orang. Perjamuan magibung memiliki tata tertib tak tertulis, tetapi wajib ditaati oleh peserta. Dari segi sejarah kebudayaan magibung tidak sekadar acara makan bersama demi terpenuhinya kebutuhan primer makan dan minum; tetapi memiliki asoek social, cultural, psikologis, dan religi. Dalam perjalanan sejarahnya semua aspek ini hadir, tetapi aspek yang satu lebih menonjol dari yang lain. Sebagai kegiatan yang melibatkan manusia dalam konteks tradisi dan agama, aspek social paling menonjol dan mengalami perubahan secara dinamis.
Di masa lalu, terutama di pedesaan, perjamuan magibung tidak terpisahkan dari upacara agama dan secara adat. Kehadirannya menjadi cirri khas yang menandai berlangsungnya suatu upacara agama atau acara adat. Sebagai salah satu bentuk tradisi, magibung tidak luput dari berbagai bentuk perubahan. Perubahan–perubahan ini terjadi karena alasan praktis, atau karena nilai filosofi aslinya tidak dipahami lagi. Dengan de,ikian yang tinggal hanya bentuk luarnya. Dewasa ini sangat jarang perjamuan magibung disertai oleh delapan orang dalam satu sela (kelompok). Makna filosofi delapan orang terkait dengan Pangider Nawa Sanga, gibungan berada di tengah – tengah sebagai pusat spiritual.
Perubahan dari delapan orang menjadi enam orang disebabkan oleh alasan praktis. Para peserta magibung bias lebih nyaman duduk di seputar gibungan. Di samping itu nilai filosofinya juga hilang. Perubahan lain adalah jenis dan warna lauknya. Jenis dan warna lauknya pun erat kaitannya dengan filosofi Nawa Sanga. Kini lauknya dibuat mengikuti selera umum masyarakat. Yang penting enak dan digemari banyak orang. Secara umum perubahan tata perjamuan magibung mengikuti sifat perubahan kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, “setiap kebudayaan berlangsung di dalam waktu dan selalu di dalam perubahan; hidup kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama lenyap untuk digantikan yang baru. Disitu senantiasa terjadi pembentukan, penciptaan kembali, dan pembaharuan.”(Kartodirdjo,1986:5). Secara khusus perubahan–perubahan magibung di sebabkan oleh dua faktor yaitu:
(1). Masyarakat tidak lagi memahami nilai dan makna filosofi magibung, karena tergerus oleh budaya instant yang praktis. Yang bertahan hanya forma luarnya.
(2). Masyarakat kini semakin terpengaruh oleh tata perjamuan modern yang berprinsip : praktis,nyaman,dan enak. Kebersamaan seperti dalam perjamuan magibung diubah menjadi kebersamaan tanpa mengintervensi privasi individu. Duduk tetap bersama tetapi makan dalam piring masing – masing.
Pelan tapi pasti perubahan–perubahan itu akan terus berlanjut, sebab perubahan itu erat kaitannya dengan perubahan nilai – nilai social dalam masyarakat. Usaha–usaha untuk mempertahankanperjamuan magibung masih ada. Alasannya adalah untuk melestarikan tradisi yang dianggap unik. Makna sosial magibung yang masih relevan engan zaman, seperti memupuk kebersamaan, menguatkan ikatan persaudaraan, mengakrabkan persahabatan, dan mengeratkan persatuan, ditonjolkan.
Dengan makna kontemporer banyak kantor dinas dan instansi yang menyelenggarakan suatu acara dengan perjamuan magibung. Hal ini menyebabkan timbulnya usaha jasa boga gibungan plus material boga modern. Misalnya : minumannya tidak lagi air dalam cerek tetapi aqua dalam gelas. Disamping itu ditambah buah– buahan untuk cuci mulut. Ini menunjukkan adanya kolaborasi antara perjamuan tradisional dengan perjamuan modern.
Persentuhan perjamuan megibung dengan perjamuan modern dalam segala akibat perubahannya, menyebabkan kita bias memprediksi bentuk perjamuan magibung di masa depan sebagai berikut :
(1). Perubahan akan terus berlangsung sesuai perkembangan zaman. Apapun bentuk perubahan itu semuanya menuju kea rah perjamuan yang praktis, nyaman dan enak.
(2). Gerakan memupuk kebersamaan dan mengeratkan persatuan/korp pada berbagai kantor dinas dan instansi akan melestarikan perjamuan magibung, meskipun bentuk pelaksanaannya sudah amat berbeda dengan bentuk aslinya di masa lalu.
(3). Perjamuan magibung tidak lagi menjadi primadona dalam upacara agama dan acara adapt di Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem). Disamping perjamuan magibung juga dilaksanakan perjamuan prasmanan.
Perjamuan prasmanan tampaknya semakin berkembang hingga menyentuh pedesaan. Disamping karena alasan praktis, pergaulan kesejagatan, lintas suku dan agama, memaksa si empunya acara menyiapkan perjamuan prasmanan. Sebab suku non Bali dan Umat non Hindu tidak mungkin di jamu dengan perjamuan magibung.
(4). Munculnya gerakan ajeg Bali menjadi pilar baru untuk melestarikan perjamuan magibung, dengan mengembalikan unsure keasliannya yang masih mungkin dilakukan. Inilah menjadi salah satu latar pemerintah Kabupaten Karangasem melksanakan perjamuan magibung missal hingga memperoleh penghargaan MURI.
Kekhawatiran akan lenyapnya tradisi perjamuan magibung memang beralasan mengingat perubahan nilai–nilai sosial yang mendasar dan menyeluruh berlangsung dengan cepat. Namun perjamuan magibung idak akan lenyap dalam masyarakat Bali (khususnya di Kabupaten Karangasem), karena perjamuan magibung telah mendapat nilai dan makna baru. Disamping itu selama Desa Pakraman dan Banjar masih eksis di Bali, perjamuan magibung tidak akan lenyap lebih – lebih di wilayah pedesaan, sebab perjamuan magibung enjadi bagian integral dari tata perjamuan Banjar dan Desa Pakraman. Perjamuan magibung akan tetap eksis meski dengan wajah yang selalu berubah.

2/24/2012

Kecerdasan Intrapersonal Anak Kian Rapuh


KECERDASAN intrapersonal adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri dengan memiliki konsep diri yang jelas serta citra diri yang positif. Dari kecerdasan intrapersonal inilah seseorang -- sebutlah seorang anak -- akan menjadi unik dan otentik, tidak terombang-ambing oleh pengaruh luar.
Kecerdasan intrapersonal yang terus diasah akan mengantarkan orang pada suara hati yang benar, yang menuntun dan memandunya pada jalan yang benar seperti diungkapkan oleh penyanyi Nugie dalam lagunya "Lentera Jiwa". Namun demikian, dunia modern yang gegap gempita ini seakan tidak mengizinkan anak-anak untuk masuk ke dalam dirinya sendiri. Justru sebaliknya, segala aktivitas cenderung menyedot dan membetot jiwa anak-anak dari rumah batinnya.

Permainan-permainan di mal-mal yang ingar-bingar memekakkan telinga, televisi, handphone, playstation yang merampas seluruh perhatian anak adalah contoh-contoh bagaimana jalan menuju diri sendiri kini sudah terhalang. Apakah gejala kian rapuhnya kecerdasan intrapersonal juga ditandai dengan hilangnya rasa malu, rasa bersalah, dan rasa bertanggungjawab?

Dari Perasaan


Praktik pendidikan kita lebih menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek emosional (perasaan). Dalam buku "A Study of School", John Goodlad (1984) menemukan di antara 1.000 kelas yang ditelitinya hanya sedikit sekali yang memberi pengalaman akan perasaan pada para siswanya. Pada umumnya suasana pembelajaran sangat kering dan kaku, tanpa sentuhan emosional. Banyak guru juga mengajar "tanpa hati", tanpa ekspresi, sekadar menyampaikan informasi dan fakta-fakta yang beku.

Padahal anak-anak perlu disentuh aspek emosionalnya melalui cara mengajar guru sendiri yang juga ekspresif dan penuh perasaan. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk mengungkapkan kegembiraan, ketakutan dan kemarahan sehubungan dengan topik pengajaran yang sedang berlangsung. Demikian juga, jarang sekali orangtua yang bertanya kepada anaknya, "Bagaimana perasaanmu hari ini?" Pertanyaan selalu berkisar, "Kamu dapat nilai berapa?" atau "Ulangannya bisa atau tidak?"

Anak-anak harus dilatih untuk mengungkapkan perasaan, termasuk perasaan negatifnya, secara konstruktif.

Orangtua dan guru harus berani mengakui dan menghargai perasaan apa yang sedang dialami anak, bukannya menilai dan menghakiminya. Misalnya, anak sedang marah tidak serta merta kita larang atau anggap jahat.

Biarlah anak belajar merasakan dan mengelola rasa amarahnya, mengungkapkannya secara verbal. Membiasakan anak membuat buku harian (diary) merupakan strategi positif bagi anak untuk mengenali gejolak perasaannya, bergaul akrab dengan dirinya sendiri, dan memiliki privacy-nya sendiri.

Thomas Amstrong (2002), pakar Multiple Intelligence, menyampaikan satu metode pengembangan kecerdasan intrapersonal dengan memberi kesempatan untuk refleksi selama satu menit. Artinya, setelah satu topik selesai, anak-anak diberi waktu jeda untuk mawas diri atau merenung.

Kesempatan ini digunakan oleh anak-anak untuk menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman hidupnya. Guru bisa membantu dengan pertanyaan dan menciptakan suasana dengan memperdengarkan musik instrumen yang cocok. Misalnya, setelah anak-anak belajar dengan topik "Tumbuhan-tumbuhan", guru memberi pertanyaan yang harus direnungkan, "Bayangkan andaikata dunia ini tanpa tumbuhan, apa yang terjadi dengan hidupmu?" atau "Sadarkah kamu bahwa tumbuhan hidupnya bukan untuk dirinya sendiri melainkan dikorbankan untuk makhluk hidup lainnya, termasuk manusia?". Suasana tenang dan hening akan membantu anak-anak masuk dalam dirinya sendiri.

Belajar Memilih

Salah satu langkah untuk menjadi diri sendiri adalah membuat keputusan atau memilih. Kemampuan untuk memilih perlu ditumbuhkan sejak dini di lingkungan rumah maupun sekolah. Misalnya, pada saat-saat tertentu anak-anak diberi kebebasan untuk memilih pakaian, mainan, atau makanannya sendiri. Kurangi campur tangan orangtua untuk hal-hal yang bersifat pribadi, biarlah anak belajar menjadi dirinya sendiri melalui pilihan-pilihannya sendiri.

Di lingkungan sekolah, guru bisa menawarkan pilihan-pilihan untuk tugas kelompok maupun individual. Misalnya, untuk pekerjaan rumah diambil dari beberapa halaman dan siswa boleh memilih sendiri beberapa nomer saja. Yang terpenting di sini, anak bisa belajar mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan yang menuntut pendapat atau opini pribadi juga perlu dikembangkan. Misalnya, "Bagaimana pendapatmu sehubungan dengan Pemilu 2009?" Biarlah setiap anak mengungkapkan pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Anak juga perlu belajar untuk berbeda dari yang lain, termasuk berbeda pendapat.

Kecerdasan intrapersonal akan menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan watak dan kepribadian seseorang. Dengan memiliki kecerdasan intrapersonal yang kuat, orang mampu melihat batas-batas dirinya sekaligus kelebihannya sehingga tidak perlu membangun pencitraan diri secara palsu. Dia juga akan memiliki integritas yang tinggi sehingga apa yang kelihatan, sama dengan apa sesungguhnya. Orang semacam ini tidak takut apa penilaian orang lain karena ia berdiri kokoh pada kekuatan diri sendiri yang sebenarnya.

Bangsa ini sangat membutuhkan manusia-manusia berkualitas semacam ini, bukan orang-orang yang tak tahu diri dengan kepalsuan berbungkus pencitraan diri semu.
Sumber: Balipost

PAPAOSAN LENGKARA

1 Pangertian Lengkara
            Lengkara punika marupa pupulan kruna, taler sering marupa kruna pinaka pasaur lengkara sadurungnyané. Pinaka dasar pupulan kruna utawi krunané punika kabaos lengkara inggih punika: (a) runtutan ucapan utawi tulisan sané madaging unteng pikayunan sané jangkep manut uger-uger tata basa; (b) runtutan ucapan sané madaging alunan suara (nada) ring pamuput madaging panees suara panguntat (intonasi final). Ring basa sané kasurat (basa tulis), lengkara ketahnyané kakawitin antuk aksara murda (huruf kapital) miwah ring panguntat madaging cecirén (tanda) cecek (titik), pitakén, miwah pisuruh (seru). Ngiring cingak conto kadi ring sor puniki.
Nyén ento?
Tiang.
Énggalin mai!
Siapé ané belina ibi suba mati.
Lengkara sané kabaos paripurna sakirangnyané madaging jejering lengkara (subjék) miwah linging lengkara (prédikat). Kawigunan (fungsi) lianan sakadi panandang (objék) miwah katerangan (keterangan) nénten ngwetuang lengkara punika jangkep.
2 Lengkara Nganutin Tetujon
            Nganutin tetujon bebaosan, lengkara kapérang dados tigang soroh inggih punika lengkara pamidarta, lengkara pitakén, miwah lengkara panguduh.
2.1 Lengkara Pamidarta
            Lengkara Pamidarta inggih punika lengkara sané nlatarang pariindikan. Panees lengkara ring untat ketahipun rata, sakadi:
Jani ada paméran di lapangan.
Ibi sanja umah I Darmané puun.
Dugas bomé macedar, tiang sedek maca buku.
Dugas odalané di Pura Désa Luh Nérti makamén songkét.
2.2 Lengkara Pitakén
            Lengkara Pitakén marupa lengkara sané tetujonipun nunas pasaur saking sang sané katakénin. Panees ring panguntat lengkara ketah ipun ngunggahang (intonasi tanya) miwah sering nganggén kruna pitakén, sakadi:
Ada paméran di lapangan?
Dija ada paméran?
Ada apa di kota Tabanan?
Sira sané rauh mriki?
2.3 Lengkara Panguduh
            Lengkara Panguduh inggih punika lengkara sané tetujonipun ngandikain anak tiosan mangda maparilaksana utawi ngambil pakaryan. Lengkara panguduh punika wénten panguduh sané alus miwah sané kasar, sakadi: 
1.     Gus alihang jebos salep ratun, kayang niki baktaang meriki nggih!
2.     Pak malih bénjang sawatara jam 19.00 Wita bukak kunci banjaré nggih!
3.     Pak madé yan sampun wénten madu geruh télpon titiang nggih!
4.     Luh, buin mani ngusaba di Désa ngerejang nah!
5.     Yan di rediténé sangkepin banjaré ka Désa nah!
6.     Jero mangku malih purnama sane jagi rauh niki tuntun titian ngelukat ka Tirta   
        Empul nggih!
7.     Buk nikayang sareng rabin ibuké, ring raihina buda puniki bajaré sangkep nggih!
8.     Adi yan mani semeng ka peken lebihin meli darang kopi, kerana tukang mani orin
        beli megarapan nah!
9.     Tu ngidiolas beliang bapa roko ka warung abongkos jani!
10.  De bagus nyan sanjané barengin meme ngalap bungan pacahé ka carik, cang aba
       ka peken mani nah!
11.  Jero ngidiolas tunasang titiang wangsupadanIda, yening janten jero benjang nangkil
       ka pura Lempuyang nggih!
12.  Man yan payu  kepasih, payu alihang bapa nyen yéh pasih wadahin jerégané nah!
13.  Alit-alité makesami ring rahina Purnamané ngangge pakaian adat ngeranjing  nggih!
14.  Adi ngidiolas nah, suratang  jep tulisan ené nganggo aksara bali nah!
15.  Mé yan ada timpal yangé teka ngalih buku, né duur mejané to baang  makejang
       nah!

 
      3 Lengkara Nganutin Wangun
            Nganutin wangunipun, lengkara kabinayang dados lengkara tunggal miwah lengkara masusun.
    3.1 Lengkara Tunggal
            Lengkara Tunggal, inggih punika lengkara sané polannyané asiki, sakirangnyané madaging jejering lengkara, linging lengkara, ring asapunapiné madaging panandang (objék) miwah katerangan, sakadi:
Mén Putu meli nasi
Ni Sari ngadep bunga di peken
Linuhé nguugang umah ibi sanja.
Semengan pesan pegawéné suba masuk ka kantor.
    3.2 Lengkara Masusun
Lengkara Masusun, inggih punika lengkara tunggal sané sampun kawrediang ngwangun susun anyar tur sakirangnyané madaging kalih lengkara tunggal. Lengkara masusun kabinayang malih dados tetiga inggih punika lengkara masusun pepadan, lengkara masusun matingkat, miwah lengkara masusun pepetan.
    3.2.1 Lengkara Masusun Pepadan
            Lengkara Masusun Pepadan inggih punika lengkara masusun sané lengkaranipun kantun sapadan utawi sederajat. Lengkara puniki ketah kagabungang antuk kruna napi, nanging, sakéwala, miwah sané lianan. Indayang cingak lengkara ring sor puniki.
Beli Wayan negak ditu, tiang dini.
Nyoman ngoyong driki napi milu ka umah Pan Danuné?
Adinné jemet, nanging belinné kiul.
Ia anak suba malajah, sakéwala nu masih belog.
      3.2.2 Lengkara Masusun Matingkat
            Lengkara Masusun Matingkat puniki kawangun antuk lengkara sané paiketannyané nénten sumaih. Silih sinunggil lengkarannyané kabaos inan lengkara (induk kalimat), lengkara sané lianan kabaos pranakan lengkara (anak kalimat), sakadi:
Nyoman Sokasti teka dugasé tiang sedek nulis surat di kamar.
Madé Cenik ngeling krana tusing menék kelas.
Ia malali mulih nuju bulan purnama.
Di subané ada anak nepukin makejang anaké sing bani malali kema.
    3.2.3 Lengkara Masusun Pepetan
            Lengkara Masusun Pepetan  inggih punika lengkara masusun sané ngutamayang mepetang wangun lengkara sané pateh, sakadi:
Cariké ento mara belina. Cariké ento jani suba gadéanga.
- Cariké ento mara belina, jani suba gadéanga.
I Sekar belianga nasi. I Guru tusing belianga nasi.
- I Sekar belianga nasi, I Guru tusing belianga.
Nyoman Ruja malali ka Jakarta. Nyoman Ruja malali ka Bandung, Nyoman Ruja malali ka Yogyakarta.
- Nyoman Ruja malali ka Jakarta, ka Bandung, lan ka Yogyakarta.
      4. Lengkara Nganutin Paindikan Jejering Lengkara
            Nganutin paindikan jejering lengkaranipun, lengkara-lengkara basa Baliné kabinayang dados lengkara lumaksana miwah lengkara linaksana.
  4.1 Lengkara Lumaksana
            Lengkara Lumaksana inggih punika lengkara sané jejering lengkarannyané nglaksanayang pakarya. Linging lengkarannyané ketah marupa kruna tiron mapangater anusuara, sakadi:
Beli Madé nusuk saté.
Mbok Putu ngaé rujak.
Adinné nulis surat ibi sanja di ampiké.
I juru boros manah kijangé ento.
   4.2 Lengkara Linaksana
Lengkara Linaksana, inggih punika lengkara sané jejering lengkarannyané keni paindikan. Linging lengkarannyané ketah marupa kruna tiron mapangater ka- miwah mapangiring –in, miwah –a, sakadi:
Saténé katusuk baan Beli Madé.
Tiang dukaina ring I Guru.
Bungané adepa tekén Luh Sari di Peken Badung.
Adinné maekin belinné.
Galengé tegakina tekén panakné.

 
Pustaka Acuan

Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anom, I Gusti Ketut. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali
Bawa, I Wayan lan I Wayan Jendra. 1981. Struktur Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cook S.J, Walter A. 1971. Introduction to Tagmemic Analysis. London-New York-Sydney-Toronto; Holt, Rinehart & Wiston.
Elson, Benjamin & Velma Pickett. 1969. An Introduction to Morphology and Syntax. Santa Ana, California: Summer Institute of Linguistics.
Ramlan, M. 1976. “Penyusunan Tata Bahasa Sruktural Bahasa Indonesia” (dalam Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia, ed. Yus Rusyana dan Samsuri). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sulaga, I Nyoman dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tim Penyusun. 2006. Tata Basa Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Tinggen, I Nengah. 1984. Tata Basa Bali Ringkes. Singaraja: Rhika.