Pengembangan
Sastra Lokal sebagai Panasea bagi Pembentukan Karakter Bangsa
Oleh:
Rita Inderawati Rudy
JPBS
FKIP Universitas Sriwijaya
Email:
ritarudisaid@yahoo.com
Pendahuluan
Abad ke-21 menantang kita untuk lebih meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Lonjakan gejolak yang mewarnai persada ini tidak pernah
surut memojokkan bangsa Indonesia. Berbagai kemelut yang melanda bangsa
diharapkan mampu diatasi lewat jalur pendidikan. Pendidikan menjadi fenomena
yang muncul sebagai sebuah kekuatan utama yang mampu mempengaruhi kualitas
manusia. Dewasa ini, sering terjadi peristiwa yang kurang terpuji di kalangan
pelajar. Siswa sekolah menengah melakukan tawuran dan perkelahian, sedangkan
mahasiswa selain melakukan aksi perkelahian dan tawuran, mereka juga
menunjukkan sifat anarkhis dan destruktif.
Ilustrasi di atas membuka lebar mata dan cakrawala berpikir
SDM Indonesia yang kesehariannya bergelut dengan bahasa untuk turut mengambil
bagian dalam membangun karakter bangsa. Landasan pembangunan nasional
selayaknya tidak hanya bertumpu pada sains dan teknologi tetapi juga harus
berlandaskan humaniora. Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat menjadi
alternatif merajut tatanan kenegaraan dan menjadi alat pengendali arogansi
iptek adalah sastra. Membaca karya sastra tidak hanya menghibur,
tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat memperhalus budi pekerti
dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh iman dan
taqwa (Rudy, 2009). Sejalan dengan kenyataan ini, Husniah dan Arifani (2010)
mengemukakan hal berikut.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami
krisis moral yang berkepanjangan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang
kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi
bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup.
Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti
ialah sastra. Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian
besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan
memahami motif yang dilakukan setiap karakter baik yang protagonis maupun yang
antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya.
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran dijelaskan
oleh Rosenblatt dalam Rudy (2005:81) sebagai berikut: 1)
sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi, 2) sastra
mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap emosi, dan ukuran nilai sosial serta
pribadi, 3) sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola
hubungan, dan filsafat, 4) sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda
melalui pengalaman mengkaji karya sastra, 5) pengalaman sastra memungkinkan
pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan masalah-masalahnya secara objektif
dan memecahkannya dengan lebih baik, dan 6) sastra memberikan kenyataan kepada
orang dewasa sistem nilai yang berbeda sehingga mereka terbebas dari rasa
takut, bersalah dan tidak pasti.
Sepakat dengan rincian Rosenblatt di atas, aspek kecerdasan,
kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui sastra.
Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan mengaktifkan
penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, liar, dan meronta-ronta, bukan
gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau siapa pengarangnya yang menjadi
motor pencerdas tersebut. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi motor
penggerak yang efektif untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut.
Manfaat pembelajaran sastra sudah sangat banyak dikemukakan
para ahli sastra. Ironisnya, teori-teori yang membahas manfaat sastra belum
menyentuh tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori tersebut
harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya pembelajaran sastra yang
estetik, pembelajaran yang mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Pembelajaran sastra yang dapat mengembangkan ketiga aspek
penting tersebut telah diteliti dan dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa
apresiasi sastra dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat
meningkatkan kemampuan apresiasi sastra mahasiswa. Pada tahun 2005, Rudy
meneliti bahwa kemampuan menulis siswa SD dapat meningkat dengan mengapresiasi
karya sastra yang menggunakan respons pembaca dan simbol visual.
Penelitian-penelitian selanjutnya merupakan penelitian pengembangan yang
penulis lakukan agar pembelajaran sastra dengan kolaborasi respons pembaca dan
respons simbol visual berkontribusi positif terhadap apresiasi sastra dengan
memanfaatkan sastra lokal untuk turut melestarikan budaya lokal Indonesia.
Talib (2010) turut memberikan penekanan mengenai hal itu sebagai berikut.
Dengan melihat pentingnya peranan bahasa dan sastra lokal
dalam masyarakat, maka perlu dilakukan pelestarian sedini mungkin. Hal-hal yang
perlu dilakukan adalah dengan mengaktifkan kembali kegiatan pewarisan budaya
lokal atau leluhur yang mempunyai makna luhur baik melalui jalur keluarga,
terutama jalur pendidikan.
Jejak penelitian yang mengangkat respons pembaca dan respons
simbol visual sebagai paradigma baru apresiasi sastra yang mementingkan peran
pembaca ketika bergaul dengan karya sastra diikuti oleh peneliti-peneliti
lainnya sebagai bukti bahwa kolaborasi kedua respons efektif meningkatkan
kemampuan mengapresiasi karya sastra yang tidak hanya mencerdaskan
kognisi tetapi juga afeksi peserta didik. Selain itu, hasil penelitian
tersebut diaplikasikan dalam pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan
setidaknya oleh para peneliti lanjutan dan mahasiswa yang telah menjadi subjek
penelitian. Dengan demikian, kolaborasi respons hasil penelitian menjadi
obat mujarap yang ampuh (panasea) bagi pembentukan karakter peserta didik
karena unsur-unsur pembangun karya sastra bukan hanya diidentifikasi tetapi
dieksplorasi tanpa takut terbelenggu dalam kata-kata.
Paparan di atas memberikan gambaran singkat
mengenai pentingnya pembelajaran sastra diajarkan di seluruh jenjang pendidikan.
Makalah ini lebih jauh membahas tentang peta penelitian (roadmap)
mengapresiasi karya sastra dan pembelajaran apresiasi sastra sebagai mata
kuliah tambahan atau muatan lokal (local content) atau terintegrasi ke
dalam mata kuliah kepribadian dengan konsep literature for all di
jurusan atau program studi non bahasa di fakultas keguruan agar mahasiswa dapat
memperhalus budi pekerti dan mengembangkan watak dan kepribadian yang baik
selama menekuni perkuliahan. Pada akhirnya, pembelajaran apresiasi sastra dapat
diperkenalkan dan diimplementasikan pada fakultas-fakultas non kependidikan
dengan mengeksplorasi karya sastra lokal atau karya sastra dengan genre novel
atau karya sastra yang berlatar-belakang bidang keilmuan mahasiswa
masing-masing dan mengapresiasinya dengan mengaplikasikan kolaborasi respons
pembaca dan respons simbol visual.
Peta
Penelitian Pembelajaran Apresiasi Sastra
Gagasan mengedepankan konsep Literature for All
berawal dari penelitian-penelitan apresiasi sastra yang telah 12 tahun terakhir
ini penulis teliti dan kembangkan dengan memanfaatkan teori respons pembaca (reader
response strategy) yang dikenalkan oleh Beach dan Marshall (1990) dan teori
respons simbol visual (visual symbol response) yang dikemukakan oleh
Purves, dkk. (1991). Berikut ini dipaparkan beberapa penelitian yang dihasilkan
oleh penulis melatar-belakangi pengenalan konsep Literature for All
dalam mengapresiasi karya sastra sebagai media bagi
mahasiswa untuk mengidentifikasi dan mempertahankan budaya lokal, serta
memperoleh manfaatnya dalam memperhalus budi pekerti, membentuk karakter dan
mengembangkan kepribadian. Pertama, penelitian berlatar eksperimen
terhadap siswa SD dengan hasil: (a) model respons nonverbal dan verbal dalam
pembelajaran sastra secara keseluruhan dapat meningkatkan aspek keterampilan
menulis siswa, (b) model respons nonverbal dan verbal dalam pembelajaran sastra
mempunyai keunggulan dalam mengembangkan tiga ranah taksonomi yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor, dan (c) bentuk tes yang digunakan untuk
mengevaluasi pembelajaran sastra adalah tes subjektif (esei atau uraian)
sehingga siswa dapat secara bebas mengekspresikan perasaan, pikiran, dan
imajinasi mereka secara tertulis. Penelitian ini memfalsifikasi temuan
Mulyana (2000) bahwa apresiasi sastra mahasiswa dievaluasi dengan menggunakan
tes objektif (pilihan ganda).
Kedua, penelitian dan pengembangan di prodi bahasa Inggris
FKIP Universitas Sriwijaya dengan hasil penelitian sebagai berikut:
(a) Model pembelajaran sastra yang mengadopsi perspektif
estetik dirancang atas tiga unsur pokok pembangun model yaitu: orientasi model,
model pembelajaran, dan aplikasi model dengan mengolaborasikan respons pembaca
dan visual simbol berkontribusi positif terhadap pengembangan aspek-aspek
penting dalam pembelajaran yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor dan
mahasiswa sangat memerlukan model ini karena mereka adalah calon guru yang akan
terjun ke lapangan pendidikan. Bila diterapkan di jenjang pendidikan di bawah
tingkat universitas, model tersebut memfasilitasi siswa dalam mengolah otak,
rasa, dan aksi. Model ini akan terus berkembang sejalan dengan pengetahuan dan
teori yang dijadikan dasar menciptakan model pembelajaran karena bila dicermati
masih dapat dikembangkan lagi model tersebut berdasarkan indikator-indikator
yang terkandung dalam teori respons pembaca.
(b) Model pembelajaran sastra tidak terlepas dari
penyeleksian materi ajar berupa cerita pendek yang tepat digunakan di prodi
Bahasa Inggris. Media yang ditawarkan kepada mahasiswa adalah internet yang
menyediakan ribuan cerita pendek dengan latar cerita beragam (sosial, politik,
religi, budaya, dan ilmu pasti). Dari 30 cerpen yang dibrowsing oleh
mahasiswa, sekitar 75% memenuhi kriteria yang baik dengan beragam latar cerita.
(c) Model pembelajaran sastra hasil hibridasi dua
respons yang berbeda dapat diaplikasikan ke berbagai jenjang pendidikan dengan
menyediakan pertanyaan pemandu berdasarkan indikator yang dimiliki setiap respons.
Penyusunan pertanyaan pemandu dilatihkan kepada mahasiswa setelah membaca karya
sastra.
(d) Untuk kelengkapan model pembelajaran sastra tersebut,
peneliti merancang skenario pembelajaran sastra berdasarkan pembelajaran yang
telah dilakukan peneliti di prodi Bahasa Inggris JPBS FKIP Universitas
Sriwijaya.
Kedua, ujicoba keefektifan model pembelajaran respons
pembaca dan simbol visual dalam mengembangkan keterampilan menulis dan
berbicara mahasiswa dilakukan dengan cara merespons karya sastra merupakan
kelanjutan dari penelitian sebelumnya (Rudy, 2008). Model pembelajaran ini
secara keseluruhan dapat meningkatkan aspek keterampilan menulis dan berbicara.
Hal ini dapat dibuktikan dari kemampuan menulis mahasiswa di kelas
kuasi-eksperimen mengalami peningkatan dimulai dengan tes awal rata-rata 57,50
menjadi 73,98 pada nilai tes akhir. Sedangkan kemampuan berbicara mahasiswa
sebelum mendapat perlakuan sebesar 3,4% mengalami peningkatan sebesar 69%
menjadi 74,4% setelah menggeluti pembelajaran yang berbasis respons pembaca dan
simbol visual. Hasil apresiasi sastra ditinjau dari kualitas merespons dapat
disimpulkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor berkembang dari kurang
jelas dan kurang tepat menjadi jelas, tepat, dan rasional berdasarkan gagasan tentang
setiap tahap dari dua aspek pertama yang dikemukakan oleh mahasiswa.
Keempat, penelitian dan pengembangan tentang model pembelajaran seni
pertunjukan sastra lokal sebagai upaya mengembangkan pendidikan olah pikir,
rasa, dan karsa serta mendukung industri kreatif di Sumatera Selatan dengan
hasil sebagai berikut:
(a)
Model
pembelajaran apresiasi sastra, di samping berubah dari pengenalan respons
simbol visual menjadi pengenalan respons pembaca terlebih dahulu dengan argumen
yang kuat yaitu aspek kognitif dan afektif harus dikembangkan lebih dahulu
sebelum aspek psikomotor, mengalami pengembangan dalam beberapa aspek. Pada
respons “merinci”, mahasiswa tidak hanya merinci unsur-unsur intrinsik, tetapi
juga memberikan pendapat dan argumentasi tentang unsur-unsur intrinsik
tersebut. Sementara itu, respons “menghubungkan” setelah teori respons pembaca
ditelaah lebih dalam, dosen menambahkan indikator lainnya seperti kehidupan
sosial, budaya, dan religi. Sedangkan respons simbol visual menambah satu
kegiatan yang dapat mempertajam aspek psikomotor yaitu dengan memperagakan.
Dengan demikian, skenario proses pembelajaran ini mengalami perbaikan dalam hal
memulai pembelajaran dari respons pembaca diikuti dengan respons simbol visual,
penambahan indikator-indikator utama yang penting setelah membaca kembali teori
respons pembaca dan simbol visual, serta pengurangan atau pengefisienan waktu
dengan cara menggabungkan beberapa respons yang dianggap tidak sulit dalam satu
pertemuan. Di akhir pembelajaran, ada penambahan aktivitas motorik mahasiswa
dengan cara mengolaborasikan simbol visual tablo dan sosiogram untuk
menciptakan sebuah tampilan seni pertunjukan yang kreatif.
(b)
Berdasarkan hasil uji-t dapat
disimpulkan bahwa nilai rata-rata postes mahasiswa di prodi bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris mengalami peningkatan yang signifikan setelah mengikuti
model pembelajaran seni pertunjukan sastra lokal dalam mengembangkan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor untuk mendukung industri kreatif di Sumatra Selatan.
(c)
Untuk mengetahui aspek-aspek yang
mempengaruhi mahasiswa dalam mengapresiasi sastra lokal digunakan angket khusus
yaitu LRQ yang terdiri atas aspek-aspek berikut personal insight, non
personal insight, insight combined, imagery vividness, empathy, leisure escape,
concern with author, dan rejection of literary values. Dari ke tujuh aspek,
yang sangat mempengaruhi mahasiswa bahasa Inggris adalah aspek empati.
(d) Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner dapat
disimpulkan bahwa respons yang digunakan sebagai paradigma baru apresiasi karya
sastra tersebut sangat efektif dalam mengembangkan kemampuan penalaran,
menajamkan emosional, dan memberikan warna baru dalam dunia apresiasi sastra.
Diteliti dan dikembangkannya strategi respons
pembaca selama satu dekade ini dapat ditelusuri dari beberapa temuan penelitian
yang sangat relevan dengan sintaksis atau rangkaian kegiatan pembelajaran yang
mengaplikasikan model respons pembaca. Barr (1991) dalam bukunya Handbook of
Reading Research mengedepankan banyak penelitian yang memfokuskan
penelitiannya pada respons pembaca. Pertama, pada penelitian yang dilakukan
Hansen ditemukan bahwa engaging “menyertakan” yang dilakukan pembaca
lebih bersifat pasif responsif terhadap puisi optimis dan emosi isi teks sastra
mempengaruhi emosinya. Sedangkan Shedd menemukan bahwa sikap pembaca
sangat mempengaruhi keikutsertaan emosinya pada strategi engaging. Oleh
karena itu, pembaca dengan sikap positif terhadap teks sastra menunjukkan
penyertaan emosi yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan sikap negatif.
Sikap ketertarikan seorang pembaca terhadap teks sastra cenderung menghantarnya
ke penerapan emosi dan daya intelektual yang lebih tinggi merupakan penelitian
yang dilakukan oleh Purves.
Penelitian-penelitian lain yang turut mewarnai
kegiatan engaging seperti yang dilakukan oleh Chasser (1977) dalam
rangka menyelesaikan disertasinya dengan siswa SD sebagai subjek penelitiannya,
Golden dan Guthrie (1986) meneliti siswa SD, dan Hansson (1986) meneliti proses
emosional siswa dengan membaca puisi dan prosa. Ketiga abstrak penelitian ini
dapat dilihat dalam Farrell dan Squire (1990:180).
Sementara itu, hasil penelitian yang membahas strategi conceiving belum
banyak dilakukan. Beach dan Wendler meneliti pemahaman mahasiswa terhadap
perilaku tokoh dalam aspek psikologisnya, sementara siswa sekolah menengah
memahami hal itu dari aspek fisik.
Strategi connecting mengaitkan sikap, pengalaman, dan pengetahuan
pembaca dengan teks sastra. Beach meneliti pembaca yang menyertakan pengalaman
hidupnya dan Lipson menyertakan sikap budaya. Sementara itu, Beach dan Harstle
menemukan persentase tinggi yang menghubungkan teks sastra yang dibacanya
dengan pengalaman dan sikap pribadi mereka.
Penelitian yang berhubungan dengan respons merinci (describing) dilaksanakan
oleh Singer dan Donlan. Temuan mereka adalah pembaca yang telah belajar tentang
cara bertanya dalam menghadapi teks sastra lebih mampu memahami cerita
dibandingkan dengan pembaca yang tidak pernah belajar tentang cara bertanya
dalam menghadapi teks sastra. Newkirk dalam penelitiannya menemukan bahwa
pembaca lebih mampu membuat strategi pemecahan tentang kesulitan yang dihadapi
ketika ia mampu mengartikulasi kesulitan dalam memahami teks.
Dalam respons menjelaskan (explaining),
Black dan Seifert menemukan bahwa sikap terhadap kegiatan membaca tentang
perilaku tokoh cerita, keyakinan, dan hubungan antar tokoh cerita melibatkan
kemampuan pembaca dalam menjelaskan perilaku tokoh cerita. Sementara Bruce
meneliti bahwa kecenderungan ciri teks sastra modern yang melepaskan atribut
motif dan keyakinan tokoh cerita berkontribusi positif terhadap kesulitan siswa
untuk menjelaskan perilaku tokoh cerita itu.
Hunt dan Vipond dalam penelitian mereka mengemukakan
kegiatan interpreting bahwa sebagian besar pembaca muda dan dewasa
sedikit sekali belajar tentang orientasi butir-butir petunjuk yang akan
membekali mereka untuk menginterpretasi amanat pengarang dalam karya sastra
tertentu. Penelitian yang dilakukan Svennson menghasilkan kesimpulan bahwa
siswa yang lebih menaruh perhatian pada sastra di sekolah dan di rumah
cenderung mampu melakukan kegiatan interpretasi. Sementara itu, Educational
Commission of the States menyimpulkan bahwa menggeneralisasi atau menganalisis
teks merupakan kegiatan yang paling sulit dibandingkan dengan kegiatan
menceritakan kembali, menyertakan, dan mengevaluasi pada saat merespons.
Sedangkan kesimpulan yang diperoleh Heath, Black, dan Seifert dalam penelitian
mereka adalah bahwa pengalaman pembaca dalam membaca karya sastra sangat
mempengaruhinya dalam berinterpretasi.
Kegiatan respons pembaca yang terakhir adalah judging.
Parnell menyimpulkan bahwa penilaian tingkat estetik mahasiswa berkorelasi
dengan tingkatan kedewasaan kognitif mereka. Peneliti lain seperti Binkney
menemukan perbedaan yang signifikan antara penilaian orang dewasa dengan siswa
sekolah menengah terhadap sebuah novel dalam hal kriteria, masalah,
rekomendasi, dan penampilannya.
Konsep Literature for All Sebagai Muatan Lokal Mata
Kuliah Kepribadian dalam Membentuk Karakter Bangsa
Gagasan konsep Literature for All dalam mengapresiasi
karya sastra secara spontan penting penulis kemukakan setelah mendapatkan
informasi baik secara lisan maupun tulisan bahwa masyarakat di mancanegara
apapun kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat masih tetap membaca karya
sastra untuk menumbuhkan sikap dan kepribadian yang berkarakter karena membaca
karya sastra telah mereka peroleh sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Ada 9 pilar karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal yaitu: 1)
cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, kedisiplinan,
dan kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih saying,
kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9)
toleransi, cinta damai, dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang harus
dikembangkan dalam diri peserta didik melalui apresiasi karya sastra.
Dalam pengamatan penulis, selama ini apresiasi karya sastra
hanya diberikan kepada siswa di seluruh jenjang pendidikan dan mahasiswa
pendidikan bahasa dan sastra dengan pendekatan struktural. Gejolak dan berbagai
fenomena yang terjadi di kalangan pelajar menyudutkan dunia pendidikan yang
gagal menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang berkarakter. Saat ini
percarian terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan kepribadian dan
menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa berupaya di
bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif menghasilkan SDM yang
bermental dan bermoral baik.
Penggalakan bentuk pembelajaran yang berkarakter
memotivasi penulis untuk menggagas konsep sastra untuk semua. Gagasan konsep
ini terinspirasi dari istilah education for all yang telah
dikumandangkan dalam satu dasawarsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional,
diikuti dengan science for all yang digaungkan oleh Kementrian Riset dan
Teknologi tiga tahun terakhir. Secara spesifik, konsep literature for all belum
pernah dikedepankan dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkarakter.
Meskipun demikian, banyak juga kalangan yang menginginkan pendidikan yang
berkarakter melalui pembelajaran sastra. Di antaranya, forumpurworejo.blogspot.com (2010) mengungkapkan:
Kerinduan generasi muda akan karya
sastra, memang tidak mengglobal, akan tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia
sastra kita. Ia semakin dijauhi saja. Padahal karya sastra dapat membentuk karakter
generasi bangsa kita. Adalah besar harapan pembentukan karakter generasi
bangsa, karakter masyarakat khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui
Dewan Kesenian Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni
semisal karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni
pedalangan, seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas
di Purworejo dapat tetap eksis dan terbina.
Kutipan
di atas diperkuat juga oleh pendapat Kotller (1990) bahwa majunya suatu bangsa
ditentukan oleh nilai dan karakter yang menjadi modal kehidupan sosial dan
berbangsa dimana kualitas dan perilaku masyarakat sebagai faktor budaya yang
menjadi modal sosial (social capital) merupakan kunci sukses
keberhasilan sebuah negara yang ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut
mempunyai budaya yang kondusif untuk maju. Sementara itu, kalangan
sastrawan yang diwakili oleh Putu Wijaya pun berharap pembelajaran sastra harus
dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa
hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa
(Wijaya, 2007). Berbagai pendapat tersebut pada akhirnya memfasilitasi penulis
untuk memberdayakan pembelajaran sastra berbasis respons pembaca dan simbol
visual yang sudah teruji melalui beberapa penelitian yang telah penulis lakukan
dalam kurun waktu 12 tahun ini untuk mengembangkan karakter bangsa sehingga
sembilan pilar karakter bangsa dapat terwujud.
Masalah pokok yang muncul ketika gagasan akan diimplementasikan
ke dalam pembelajaran adalah posisi yang tepat dari mata kuliah tersebut di
dalam kurikulum dan tenaga pengajarnya. Di awal telah dipaparkan bahwa gagasan
sastra untuk semua dapat menjadi muatan lokal atau terintegrasi dalam rumpun
mata kuliah kepribadian. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikutip dari
Bataviase.co.id berikut.
Dalam setiap perkembangan sastra ada rantai kerja sama
simbiosis mu-tualisme yang harus terbangun antara Pemerintah, media massa, LSM,
komunitas-komunitas seni dan sastra serta masyarakat. Di sinilah peranan setiap
komponen untuk saling menjaga dan mendukung, melestarikan sastra dan kebudayaan
Indonesia. Negara yang kaya akan kebudayaan dan suku. Kaya berbagai sudut
pandang tapi satu tujuan. Pastinya kita sebagai arek Indonesia tidak ingin
kecolongan. Upaya untuk mengenalkan kebudayaan kepada generasi penerus harus
terus dilakukan. Mengembalikan muatan lokal. Namun, sebagian daerah di
Indonesia menghapus muatan lokal dari kurikulum.
Ironisnya,
muatan lokal di beberapa sekolah dihapuskan. Peniadaan muatan lokal dari
kurikulum beberapa daerah disinyalir karena kekurangpahaman pendidik dan
jajarannya terhadap esensi muatan lokal. Oleh karena itu, diharapkan makalah
ini dapat memberi manfaat di bidang pendidikan dengan memasukkan pembelajaran
apresiasi sastra ke dalam muatan lokal di perguruan tinggi fakultas pendidikan
sebagai bekal bagi mahasiswa calon pendidik di seluruh jenjang pendidikan.
Implementasi Pembelajaran Apresiasi
Sastra di Perguruan Tinggi
Gagasan konsep literature for all
dalam makalah ini dibatasi untuk mahasiswa keguruan non-kebahasaan.
Pembelajaran apresiasi sastra yang dimaksud tidak akan dilakukan secara
klasikal melainkan secara praktis
dengan memberikan seperangkat pertanyaan pemandu yang telah disusun berdasarkan
teori respons pembaca dan simbol visual. Mahasiswa tidak perlu lagi diberi
perlakuan model pembelajaran; mahasiswa dapat dengan segera mengapresiasi karya
sastra dengan panduan pertanyaan tersebut. Beach
dan Marshall (1991:28) mengedepankan strategi respons pembaca terdiri atas
tujuh strategi yaitu: menyertakan, merinci, menjelaskan, memahami,
menafsirkan, menghubungkan, dan menilai. Berikut ini penjelasan dan panduan
merespons karya sastra.
1. Menyertakan (engaging): Pembaca
selalu berusaha mengikutsertakan perasaannya terhadap karya sastra yang
dibacanya. Pembaca meleburkan diri ke dalam teks, membayangkan apa yang terjadi
dan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita.
Purves, dkk. (1990) menambahkan definisi di atas
bahwa ketika membaca karya sastra pembaca tidak hanya menyertakan perasaan
tetapi menyertakan pikiran dan imajinasi juga sebagaimana yang dikutip dari
pernyataan mereka “Literature and the arts exist in the curriculum as a
means for students to learn to express their emotions, their thought, and their
imaginations.”
Menurut Kimtafsirah (2003:6) pembaca yang
sedang “engaged” dengan teks, meleburkan diri dengan teks dalam istilah
Rosenblatt sedang menerapkan aesthetic reading. Dalam aesthetic reading,
pembaca seolah-olah masuk ke dalam teks dan hidup di sana agar dapat
memahami tingkah laku para tokoh cerita. Dengan demikian, pembaca dapat
merespons secara emosional dengan mudah sehingga pemahaman tercapai. Pertanyaan
yang dapat memandu respons menyertakan adalah:
a.
Can you feel what is
felt by the character? What does he/she feel?
b.
Would you do the same
thing if you were the character? Explain it.
c.
Can you imagine what
happens? Explain it.
2. Merinci (describing): Pembaca merinci atau
menjelaskan kembali informasi yang tertera di dalam teks.
Pembaca merinci tokoh-tokoh cerita, penokohan,
latar cerita, dan alur cerita. Artinya, pembaca menceritakan kembali cerita
yang telah dibacanya dan merinci peristiwa-peristiwa yang dianggap penting
untuk dipahami. Ketika membaca sebuah teks sastra, akan ditemukan hal-hal
yang berbeda dalam teks yang sama. Mahasiswa menceritakan bagian-bagian yang
menarik perhatian mereka, setidaknya dalam tiga kalimat. Sebelumnya, mereka dapat
merinci semua unsur pembangun karya sastra secara struktural seperti: tokoh dan
penokohannya, latar, dan alur cerita. Mahasiswa merinci isi cerita dengan
menjawab pertanyaan berikut.
a.
What do you think of the
character of the story? Is he/she good or bad? Do you like or dislike? Explain
your choice.
b.
Where does the story
happen? Do you like the setting? Why?
c.
Does the story tell
about good things?
d.
Is the story reasonable?
Is the style of the story communicative of figurative? Explain it.
e. What event in the story do you think is very important?
Why?
Penerapan respons ini dapat memfasilitasi peserta didik dalam
mencapai kejujuran, kasih sayang, dan kepedulian. Setelah membaca Malin
Kundang, pertanyaan pertama diajukan kepada mereka. Malin Kundang sebagai
tokoh yang durhaka dalam cerita itu menuai kritik yang tajam dari hasil
apresiasi. Peserta didik tidak akan menyukai tindakan dan perilaku sang tokoh.
Mereka belajar jujur, kasih sayang, dan peduli setelah mengapresiasi dan
mengeksplorasi cerita tersebut.
3. Memahami (conceiving): Pembaca
memahami tokoh, latar cerita, dan bahasa yang digunakan dalam sebuah cerita dan
memaknainya.
Dalam kegiatan ini, mahasiswa memahami para
tokoh cerita dengan menerapkan pengetahuan mereka tentang tingkah laku sosial
dalam masyarakat dan latar belakang budaya. Pemahaman terhadap tokoh cerita
tersebut didukung pula oleh pendapat Kimtafsirah (2003:7) bahwa pengetahuan
tentang teks tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman social behaviour dan
cultural background yang direfleksikan dari teks. Sebagai contoh, ketika
mahasiswa membaca cerita dengan adat istiadat dan latar budaya yang berbeda
dengan mereka maka mereka dapat memahami tingkah laku tokoh cerita tersebut bukan
berasal dari budaya mereka. Pertanyaan yang dapat memandu pemahaman mereka
adalah: Why does the character behave like what he/she does?
4. Menerangkan (explaining):
Mahasiswa mencoba menjelaskan sebaik-mungkin mengapa tokoh cerita melakukan
suatu tindakan.
a. A character is extremely hated by someone but he/she keeps
patient and obeys. What do you think of the character’s action?
b. Do you agree or disagree to the character(s)’ action?
Why?
5. Menghubungkan (connecting):
Mahasiswa menghubungkan pengalaman mereka dengan apa yang terjadi pada tokoh
cerita.
Kegiatan lain dalam strategi ini adalah menghubungkan cerita dengan cerita lain
atau film pernah dibaca atau ditonton. Kimtafsirah (2003:8) mengilustrasikan
seperti contoh berikut: setelah membaca karya Charles Dicken Oliver Twist,
mahasiswa dapat membandingkannya dengan film Ari Hanggara. Begitu juga
dengan Oemarjati (2005) yang menyarankan guru “menanyakan kepada para siswa, apakah ada yang pernah
membaca kisah yang serupa, atau menonton film atau sinetron dengan persoalan
dasar serupa dengan karya sastra yang sedang dibahas yaitu Siti
Nurbaya.”
Berdasarkan kegiatan-kegiatan dalam connecting tersebut, Penzenstadler
(1999) mengingatkan bahwa dengan segala sesuatu yang digunakan sebagai
media pembelajaran, guru dapat menolong siswa menghubungkan apa yang mereka
baca dengan dunia mereka (http://www.ade.org/ade/bulletin/n123/123036.htm).
a. Do you have the same experience with the character? Your
brother? Parents? Neighbor? Friend?
b.
Have you ever read book or watched film which is similar to the story
read? Tell the story and connect it.
c. Can you connect this story to social life? Culture?
Religion? How do you connect it?
6. Menafsirkan (interpreting): Siswa
menggunakan reaksi, konsepsi, dan koneksi yang mereka bentuk untuk
mengartikulasikan tema.
Kegiatan interpreting melibatkan penentuan makna-makna simbolik, tema,
atau peristiwa spesifik dari suatu teks. Dalam membuat penafsiran, biasanya yang
didiskusikan adalah apa yang teks “ungkapkan.” Interpretasi melibatkan
generalisasi, pernyataan yang dibuat bukan pernyataan yang ada di dalam teks
melainkan terimplisit di dalam teks. Pertanyaan berikut memandu mahasiswa
menafsirkan isi cerita:
a. In your point of view, what does the story talk about?
b. Choose one important and interesting word according to you,
then explain it. Why do you choose it?
7. Menilai (judging): Mahasiswa
memberikan pendapatnya tentang teks cerita, penulis cerita atau alur cerita.
Kegiatan menilai dapat dilakukan oleh mahasiswa dengan menjawab pertanyaan
berikut.
a. Is
the story interesting?
b. Is the story valuable? What values do you get from reading
the story?
c. What do you think of the author?
Ke
tujuh respons pembaca tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menajamkan
kognisi (merinci, menerangkan, memahami, dan menafsirkan) dan afeksi
(menyertakan, menghubungkan, dan menilai).
Kegiatan yang dapat mengembangkan aspek psikomotor adalah dengan cara
menerapkan satu atau lebih dari empat dimensi simbol visual yang dikemukakan
oleh Purves, dkk. (1990) berikut:
1.
Dimensi grafik: sosiogram, peta
cerita, grafik, diagram, dan kartun.
2.
Dimensi ilustrasi: poster, gambar,
foto, kolasi
3.
Dimensi film/video: naskah cerita,
animasi, efek khusus, dan film.
4.
Dimensi seni pertunjukan: tablo,
menari, pantomim, dan musik.
Dari
ke empat dimensi visual, dimensi terakhir yang sangat tepat digunakan untuk
penajaman aspek psikomotor.
Simpulan
Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter
bangsa (peserta didik) dapat diawali dengan kegiatan membaca karya sastra lokal
dan juga modern diikuti dengan mengapresiasi karya tersebut dengan cara merinci
isi cerita tentang apa dan bagaimana aspek intrinsik, menyertakan perasaan,
imajinasi, dan pikiran mereka pada tokoh cerita, menjelaskan mengapa tokoh
cerita berkarakter demikian, memahami apa yang telah dilakukannya dan
memberikan persetujuan atau tidak, menafsirkan makna yang terkandung dalam
karya sastra tersebut, menghubungkan dan membandingkan isi cerita dengan
pengalaman, cerita dan film yang serupa, budaya, kehidupan sosial dan religi,
serta menilai pengarang dan latar cerita.
Bila dihubungkan
dengan 9 pilar karakter yang harus dikembangkan melalui pembelajaran sastra
dengan konsep literature for all, yaitu respons merinci, menjelaskan,
memahami, dan menafsirkan dapat membentuk karakter dalam hal penalaran kritis,
sedangkan respons menyertakan, menghubungkan, dan menilai dapat memfasilitasi
peserta didik dalam membangun karakter yang termasuk dalam pilar berikut: 1)
kejujuran, 2) hormat dan sopan santun, 3) kasih sayang, kepedulian, dan
kerjasama, 4) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 5)
keadilan dan kepemimpinan, 6) baik dan rendah hati, 7) cinta tuhan dan alam
semesta beserta isinya, 8) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,
dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
DAFTAR
PUSTAKA
forumpurworejo.blogspot.com. Menggagas Pembentukan Karakter
Generasi Muda melalui Karya Sastra. http://bloggerpurworejo.com/2010/03/menggagas-pembentukan-karakter-generasi-muda-melalui-karya-sastra/ diakses 9 mei 2010
Grose, Carolyn. 2010. Storytelling
Across the Curriculum: From Margin to Center, from Clinic to Classroom. Diunduh
tanggal 12 Maret 2010. http://www.youtube.com/watch?v=AgJXXo97D4c
Harmer, Jeremy. 2007. The
Practice of English Language Teaching (4th ed). London:
Pearson Education, Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar