PEMBELAJARAN TEORI SASTRA
PENDAHULUAN
Apakah
Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan
tidak akan menimbulkan kepuasan penanya. Namun demikian, jika seseorang ditanya
tentang apakah ia pernah membaca karya sastra. Jawabannya, “ya, pernah atau
belum”. Atau, jika seseorang ditanya apakah ia menyukai sastra, dengan segera
pula timbul jawabannya, “ya” atau “tidak”, sesuai dengan pengalaman keseharian
hidupnya bergaul dengan sastra. Ini berarti, secara konseptual yang ditanya
tidak dapat menjelaskan tentang “apa itu sastra”, tetapi dalam keseharian ia
mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya. Dalam kehidupan
keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra. Kata-kata mutiara,
ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan salah satu cirri khas
keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam situasi
berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang ke
arah bersastra. Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman
tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep
sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke
arah pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan
mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang
tertuang di dalam teori sastra. Sebaliknya juga, dengan memahami fenomena
kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan memahami pula teori sastra.
Melalui modul ini, secara umum diharapkan Anda dapat memahami hakikat sastra
dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam mempelajari apresiasi dan
kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya disajikan urutan
materi berupa:
1. Ruang Lingkup Ilmu
Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya
Sastra,
4. Struktur Karya
Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan
Pengkajian Sastra, serta
9. Aliran dalam Karya
Sastra.
Ruang Lingkup Ilmu Sastra
Ilmu
sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada
abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles (384-322 SM) menulis bukunya yang
berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai
teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para
teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory
of Literature Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre
Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
Ilmu
sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga
disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam
perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga
disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa
pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat
subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan,
sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada
pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra
suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu.
Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah
sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan
Amerika. Namun demikian, dalam praktiknya, pada waktu seseorang melakukan
pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.
Kegiatan Belajar 2
Pengertian Teori
Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra
Teori
sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip,
hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan
sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau
pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara
gejalagejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum
suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat
dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya
pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Kritik sastra juga
bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah
sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan
mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis,
mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang
bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra. Sejarah
sastra bagian dari
ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di
dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi
arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan
sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra
berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya,
karakteristik isi dan tematik.
Kegiatan Belajar 3
Hubungan Teori Sastra
dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek
yang terdapat di
dalam
karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan
kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar,
dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik
sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi
pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau
kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya
sastra dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas
karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi
sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi hubungan antara
teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu
sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke
periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan
sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari
penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan
terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada
periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra,
antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Hakikat
Sastra
Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan
mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka
masing-masing. Menurut A. Teeuw, sastra
dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam
bentuk tulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan
Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah pengertian, dan dari ke-5
pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah definisi.
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan
pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi, Faruk
mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni mencakup
segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis. Seiring dengan
meluasnya kebiasaan membaca dan menulis, pengertian tersebut menyempit dan
didefinisikan sebagai segala
hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupanyang
tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk
menggambarkan kehidupan itu. Untuk mempelajari sastra
lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5 karakteristik sastra yang mesti
dipahami. Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya,
sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya
sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus
mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat
yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan
berguna untuk kemaslahatan manusia. Ketiga,
dalam sastra harus disepakati adanya unsur
fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan,
merupakan unsur realitas yangtidak 'terkesan' dibuat-buat. Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni.
Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat
membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra. Kelima,
setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada
kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini
mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki
tanda-tanda, yang kurang lebih sama, dengan norma, adat, atau kebiasaan yang
muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.
Teks dan Konteks
Teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan
pragmatik merupakan sebuah kesatuan, sedangkan konteks adalah fungsi yang diacu
oleh teks. Baik teks maupun konteks, keduanya senantiasa hadir secara bersama
dan tidak dapat dipisahkan. Terdapat enam faktor yang menentukan sebuah teks.
Faktor tersebut selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor yang berperan dalam
tindak komunikasi. Keenam
factor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu
sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran.
Sementara itu, terdapat empat jenis teks, yakni: (1) teks acuan, (2) teks
ekspresif, (3) teks persuasif, dan (4) teks-teks mengenai teks. Teks acuan
dibedakan lagi menjadi tiga, yakni: (1) teks informatif, (2)
teks diakursif, dan
(3) teks instruktif. Pada akhirnya, semua pembahasan
mengenai teks harus bermuara pada bagaimana cara menilai teks-teks sastra.
Memang, ilmu sastra tidak memberikan penilaian pada teks, tidak menghakimi
baik-buruknya teks, tetapi ia bersama para ahli estetika dan juga kritikus
sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang
diungkapkan dalam sebuah penilaian.
JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan,
menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas
kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap
realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan
realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan
sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif. Jenis-jenis tersebut
antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman,
cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra
yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya Pada akhirnya,
semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara pada bagaimana
cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara komprehensif.
Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan
jenis
sastra imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.
Sastra Non-imajinatif
Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah
membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang
berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur
faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan
cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat
bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya, baik
sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi estetika
seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony =
keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu unsur). Sastra
non-imajinatif itu sendiri merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur
kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang
cenderung denotatif. Dalam praktiknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri
atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar,
catatan harian, dan surat-surat.
STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Unsur Intrinsik dan
Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur
ekstrinsik. Keterikatan yang erat antarunsur tersebut dinamakan struktur
pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung
membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah
unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra. Unsur intrinsik yang
terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri
dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis
karya sastra memiliki kesamaan. Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema,
amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima,
citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi
antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsure kemasyarakatan.
Unsur
Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur
intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa
terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa
yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya. Tema prosa fiksi
terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada
cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema
utama. Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur
maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur
campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi
pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita.
Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan
tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja
pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan menggunakan
metode (a) analitik, (b) dramatik, dan (c) kontekstual. Tokoh cerita akan
menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia.
Watak tokoh terdiri dari
sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada
tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a)
fisik, (b) psikis, dan (c) sosial. Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur.
Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada
dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak
dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang
menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui
secara pasti. Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui
penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang
adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya,
yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh
cerita terdiri dari (a) sudut pandang akuan, (b) sudut pandang diaan, (c) sudut
pandang campuran. Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang
bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek,
ataupun bahasa asing.
Unsur
Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik
yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari
tema, plot, tokoh, dialog,
karakter,
serta latar. Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema
yang kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya
konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang
terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama terbagi menurut peran
dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama,
tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat
penting, yaitu sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula
berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter dan latar yang saling berhubungan
erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.
PUISI
Pengertian
dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata
yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat
dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi
mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari
bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan
ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari
bentuk prosa.
Jenis-jenis
Puisi
Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern. Puisi lama adalah
puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya
pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif,
melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan
tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun,
seloka, gurindam, dan syair. Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa
penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari
kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang
terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina,
quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta. Puisi modern
adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan Belanda.
Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik,
puisi lirik, dan puisi dramatik.
Analisis
Unsur-unsur Intrinsik Puisi
Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan
menganalisis unsurunsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan
bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup (1) Gaya bunyi
yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni. (2) Gaya
kata yang membahas tentang pengulangan kata dan diksi. (3) Gaya kalimat yang
berisi gaya implisit dan gaya retorika. (4) Larik, dan (5) bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi,
tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan
puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak
dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada
setiap baitnya.
Penafsiran
Puisi
Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau
melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk
suatu keutuhan isi puisi. Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik
perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang
dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang
mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti
halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum
tentu sama dengan tema. Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah
pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.
PROSA
Pengertian
dan Ciri Prosa Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah
lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama
antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan
fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka
beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat
terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh
imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas mengatakan
“karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya
hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan,
biografi, otobiografi. Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang
dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang. Adapun ciri-ciri
prosa fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah
pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan
informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti
ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu
terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi.
Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada
penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk
berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan
dengan imajinasi.
Jenis-jenis
Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam
sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern. Sastra modern termasuk di
dalamnya prosa baru yang mencakup roman, novel, novel populer, cerpen.
Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup
cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita
pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah. Roman adalah salah satu jenis karya
sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang ditulis
dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang
mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa
tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman mencapai
puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis roman yang
termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola, Charles
Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini kemudian
disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust, Joyce,
Kafka, dan Faulkner. Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi
pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun
roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga
jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah. Novel dapat dibedakan
menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, dan novel
sejarah, serta novel populer. Cerita
jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan
novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya
tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah
ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.
Unsur
Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan
penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur
atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas
1.
Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi
permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;
2.
Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang
memulai memuncak;
3.
Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks
peristiwa ; dan
4.
Alur tutup Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan,
konflik, klimaks dan penyelesaian. Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam
sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu
juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan yang
diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar penokohan ini
tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita, gaya, pembayangan dan
amanat.
Unsur
Ekstrinsik dan Tingkat Penilaian karya Sastra
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang
melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan,
nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa
berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi
kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsure ekstrinsik yang sebenarnya ada
di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami
dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur
ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan
karya sastra dengan lebih tepat. Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa
fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis,
dan neveau metafisika/ transendental.
SELUK-BELUK DRAMA
Pengertian
Drama Laku dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk
memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena yang
ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus dipahami
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi interaksi atau komunikasi
manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga
situasi yang melingkungi dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di
mana dialog itu berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan
demikian, dalam laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan,
dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan yang
berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh karena itu,
drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu media untuk
menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan kebudayaannya melalui penanaman
nilai kultural/keagamaan, penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik
sosial.
Struktur
Drama
Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang
saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter.
Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh
yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan
perlahan-lahan dari awal sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog
sangat penting dan utama di dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan
melalui petunjuk pemanggungan. Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang
berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni
aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di dalam
dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog (ekstradialog).
Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan kejadian dalam drama
yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan secara logis, utuh,
dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu saja muncul karena adanya
tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan
ciri fisiknya.
Jenis
Drama
Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi
dan komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama
tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama
tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang
tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa
meskipun kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya
kebutuhan yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu,
semangat drama tragedy tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat
perjuangan, yakni perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia.
Adapun komedi menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau
gagal, kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi
memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang
menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup.
Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan
kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.
Pementasan
Drama
Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih
dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah
pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama secara kompak.
Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer.
Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep
produksi, yakni suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan
berbagai aspek pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut
pandang pemaknaan bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat
general, konkret, dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah
berbagai pihak tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya
pementasan yang berhasil.
TEORI-TEORI SASTRA
Teori Psikoanalisis
Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai
symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul
dalam bentuk gangguangangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya
muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam
ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia
yang hidup di dalam lamunan si
pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat
dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan
pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini
berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan
sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi
dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui
aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan
pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang
(terepresi) dalam ketaksadaran.
Teori Sastra
Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya
sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah
sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur
hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut
berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang
membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat
tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut
dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri
secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang
seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsure yang membangun
teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan
realitas sosial patriarki. karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk
membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra
perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan
membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang
tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana
teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis.
Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya
pada upaya membongkar anggapananggapan patriarki yang terkandung dalam cara
penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji
sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum
perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan
adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan,
baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para
sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya,
biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan.
Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu
pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
Teori Sastra
Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra
dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah
karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan
hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca.
Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya
terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah
yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang
diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu
dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan
konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia
lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan
bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan
pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1.
kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2.
pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3.
kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks
sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih
kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan
yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi
pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra
terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika
kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang
dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa
yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan
bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua
ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Supernaturalisme
dan Naturalisme serta Idealisme dan Materialisme Dalam Karya Satra
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah
istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham,
pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan
aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra
biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya
ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur
aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra
yang berada pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup,
berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan
alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam
ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham
tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural
mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib
yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan
alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme
dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah
perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan
masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari
paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham
ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena
kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan
dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama
sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam
kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan. Pada bidang seni
terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda,
yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai
tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada
dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.)
yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang
seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan
benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme
mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan
menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan
pikiran, pandangan yang nyata. Lawan aliran idealisme adalah aliran
materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada
materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4
sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini
digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang
bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni
rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga
dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan
alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi,
warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme
atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Idealisme
dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di-
“cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana,
misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga
dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis. Dalam aliran idealisme
terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan
surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialism ialah aliran
realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang
berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran
eksistensialisme. Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang
mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama
yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti
aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang
diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu
pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang
menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan
segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan
tuntutan
batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan,
kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan
menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang
idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana.
Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar
perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah
membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang
menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan
sesempurnasempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah
cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian
tidaklah selamanya benar. Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian
tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya
seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia.
Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat
bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya
manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya
ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang
berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi
oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat,
pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau
fabel. Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan
curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau
kejadiankejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa
dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula
berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap
ekspresionis ialah Chairil Anwar. Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan
yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan
kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa,
yang
meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini
memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali
Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada
karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya
Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali. Surealisme adalah aliran di dalam
kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar,
alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan
dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli
psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria
yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatic yang
dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan
dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana
yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu
bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang
asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada
kondisinya
semula.
Realisme
dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan
suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam
keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di
dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam
menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis
mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan
karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia
dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam,
tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber
inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni
lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang
diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini
bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra aliran
impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme
yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati
penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan
dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi
tertentu. Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada
masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan
berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara
terbuka. Semua idealism disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya
terselubung. Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain
ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi
W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa
fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang
berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan
alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai
karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan faktor
perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran
naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya.
Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan
realisme.
Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada
kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya. Dalam
kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840-
1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi
digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l’art pour art’)
melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang
karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel
Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an
bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998)
karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis.
Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari
naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia
yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia
bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang
dating menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan
yang
mempengaruhinya.
Eksistensialisme
dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya,
terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran
eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari
rasa ketidakpuasan terhadap dikotomialiran idealisme dan aliran materialisme
dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai
sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai
sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang
mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme
melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan
materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa
sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin
mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang
berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus
sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193). Kata eksistensi
berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti
ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke
luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan
dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia
berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa
yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya,
manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai
dalam membangun dirinya. Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia
ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul
Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi
terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti
manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia
sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri
dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang
eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah
rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai
manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap
manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan
sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang
bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan
oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain.
Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut
serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.
Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka
aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran
tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan
dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme
berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan
eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan
oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh
Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah
kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan
yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari
keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam
ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan. Di dalam
kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya
Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya,
Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu,
ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada
dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.
TEORI, KRITIK, DAN
SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan
sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan
yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra,
Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang
mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya,
kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Kesusastraan dapat
dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara
kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah.
Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria,
sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya
kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan
sejarah sastra.
Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu
persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya
kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra
tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan
teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra. Teori
sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu
secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu
pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak
mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan
generalisasi. Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk
memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan
standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga
perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari.
Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati
dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup,
kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud
untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut
menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra
pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang
digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman
pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat
berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan
interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu.
Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat
menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti
karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan
kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya
untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat
penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada
hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status
karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra
sangat merugikan keduanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmazaki.
(1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Bachri,
Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Damono, Sapardi
Djoko. (1994). Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Herfanda,
Ahmadun Yosi. (1996). Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Jabbar, Hamid.
(1998) . Super Hilang. Jakarta: Balai Pustaka.
Laurence,
Perrine. (1973). Sound and Sense: An Introduction to Poetry. New York: Harcout
Brace Javanovich.
Depdiknas.
(2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas.
(2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko,
Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Rosidi,
Ajip. (1977). Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka.
Sumarjo,
Jakob dan Saini, K. M. (1991). Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan,
Henri Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A.
(1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hartoko,
Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Semi, M.
Atar. (1988). Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sumardjo,
Jakob dan Saini, K.M. (1991). Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan,
Henry Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A.
(1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tohari,
Ahmad. (1991). Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
-----------------(1994).
Bekibar Merah. Jakarta: Gramedia.
------------------(1992).
Senyum Karyamin (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar
Teori Sastra. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar