BAB I
DEFENISI
TENTANG SASTRA DAN TEORI SASTRA
A.
DEFINISI TENTANG SASTRA
Berbicara
tentang definisi sastra, secara intuisi sedikit banyaknya tahu segala yang
hendak disebut sastra, tetapi begitu kita mencoba membatasinya segala itu luput
dari tangkapan kita. Memang seringkali secara umum dapat dilakukan bahwa
definisi sebuah gejala dapat kita dekati dari namanya. Sudah tentu definisi
semacam itu biasanya tidak sempurna, harus diperhalus atau diperketat kalau
gejala tersebut mau dibicarakan secara ilmiah, meskipun begitu manfaat tinjauan
dari segi pemakaian bahasa sehari-hari sebagai titik tolak. Seringkali cukup
baik. Dalam bahasa-bahasa Barat, gejala yang ingin kita perikan dan batasi
disebut literature (Inggris), literature (Jerman), litterature (Perancis), semuanya berasal dari bahasa Latin Litteratura. Kata Litteratura sebetulnya diciptakan sebagai
terjemahan dari kata Yunani grammatika; literatura dan grammatical masing-masing berdasarkan
kata littera dan gramma yang berarti “huruf” (tulisan,
letter). Menurut asalnya Litteratura dipakai untuk tata bahasa
danpuisi; literature dan seterusnya, umumnya berarti dalam bahasa Barat Modern: segala
sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sebagai bahan
banding, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta;
akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti
‘mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk atau instruksi’. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka, sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajar, buku petunjuk,
buku instruksi atau pengajaran’. Awalan su- berarti ‘baik, indah’ perlu dikenakan kepada karya-karya sastra untuk membedakannya dari bentuk
pemakaian bahasa lainnya.
Kata susastra nampaknya tidak terdapat
dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno (Gonda 1952; Zoetmulder 1982), jadi susastra adalah ciptaan Jawa
dan/atau Melayu. Pandangan-pandangan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa cirri khas sastra adalah
pemakaian bahasa yang indah. Persoalannya adalah tidak semua karya sastra
(terutama terlihat pada seni-seni modern) menggunakan bahasa yang indah dan
berbunga-bunga. Foucalt menyebutkan bahwa sastra modern lahir dan bertumbuh
di dalam kemapanan bahasa dan kungkungan pola-pola linguistik yang kaku. Oleh karena itu, sastra modern berlomba-lomba mentransgresikan dirinya
pada suatu ruang abnormal. Sastra modern justrumenawarkan suatu dunia dan
bahasa yang aneh dalam kesadaran masyarakat. Benarlah bahwa definisi mengenai ‘sastra’ dan upaya merumuskan
‘ciri khas sastra” sudah banyak
dilakukan orang, tetapi sampai sekarang agaknya belum memuaskan semua
kalangan. Luxemburg, et al (1986:3-13) menyebutkan alasan mengapa definisi-definisi mengenai sastra tidak
pernah memuaskan. Alasan-alasan itu adalah:
1) orang ingin
mendefinisikan terlalu banyak sekaligus tanpa membedakan definisi deskriptif (yang menerangkan apakah sastra itu) dari
definisi evaluatif (yang menilai suatu teks yang termasuk sastra atau
tidak);
2) sering orang mencari
sebuah definisi ontology yang normatif mengenai sastra yakni definisi yang mengungkapkan
hakikat sebuah karya sastra. Definisi semacam ini cenderung mengabaikan
fakta bahwa karya tertentu bagi sebagian orang merupakan sastra, tetapi bagi
orang yang lain bukan sastra;
3) orang cenderung
mendefinisikan sastra menurut standar sastra Barat, dan
4) definisi yang cukup
memuaskan hanya berkaitan dengan jenis tertentu (misalnya puisi) tetapi tidak
relevan diterapkan pada sastra pada umumnya.
Luxemburg, et al (1986) mengatakan bahwa
bukanlah hal yang mudah dapat dilakukan dalam memberi definisi sastra secara
universal. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, tetapi sastra adalah
sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil
tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
1. Sastra dihubungkan
dengan teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan
komunikatif yang praktis dan hanya berlangsung untuk sementara waktu saja.
2. Dalam sastra bahannya
diolah secara istimewa. Berlaku bagi puisi maupun prosa.
3. Sebuah karya sastra
dapat kita baa menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda.
4. Karya-karya yang
bersifat biografi, atau karya-karya yang menonjol karena bentuk dan gayanya
juga seringkali digolongkan sastra.
Lebih
lanjut, Luxemburg juga mengemukakan pandangannya dalam menilai sastra itu
sendiri, yakni
1. Karena sifat rekaannya,
sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak
menggugah kita untuk langsung bertindak; sastra memberikan kemungkinan atau
keleluasan untuk memperhatikan dunia-dunia lain, kenyataan-kenyataan yang hanya
hidup dalam angan-angan, sistem-sistem nilai yang tidak dikenal atau bahkan
yang tidak dihargai.
2. membaca karya sastra, kita dapat mengadakan
identifikasi dengan seorang tokoh, dengan orang-orang lain.
3. Bahasa sastra dan
pengolahan bahannya lewat sastra dapat membuka batin kita bagi
pengalamanpengalaman baru atau mengajak kita untuk mengatur pengalaman tersebut
dengan suatu cara baru.
4. Sastra merupakan sebuah
sarana yang sering dipergunakan untuk mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup
dalam masyarakat kita atau lingkungan kebudayaan kita. Hal ini tidak berarti
bahwa pendapatpendapat tersebut selalu bermutu.
B.
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TEORI SASTRA
Secara
umum, yang dimaksud teori adalah suatu sistem ilmu atau pengetahuan sistematik
yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang
diamati.teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum untuk suatu objek ilmu pengetahuan
dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan
dicek kebenarannya dan diverifikasi atau dibantah kesahihannya (diversifikasi)
pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Pertama-tama yang
diperlukan adalah bahwa istilah yang tepat untuk menyebut teori sastra, baik
bahasa Indonesia atau Inggris, belum ditemukan. Akibatnya definisi mengenai
hakikat, fungsi dan teori sastra tidak mudah dirumuskan. Bahkan istilah-istilah
yang digunakan utnuk menyebutkan konsep-konsep yang paling mendasar pun
berbeda-beda. Antara teori dan ilmu sastra belum ada pembatasan yang jelas.
Demikianlah pergelutan sastra menjadi ilmu menjadi hambatan-hambatan yang cukup
banyak. Juga dalam hal konsep-konsep keilmuannya (Kuntara Wiryamartana, 1992) Menurut
Wellek dan Warren (1993), sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya
seni. Sedangkan teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang
dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan
studi terhadap karya sastra disebut kritik sastra dan sejarah sastra. Ketiga
bidang ilmu tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan secara erat. Teori
sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra.
Kriteria, kategori, dan skema umum mengenai sastra tidak mungkin diciptakan
tanpa berpijak pada karya sastra kongkret. Demikian pula, teori sastra bukan
hanya sekadar alat bantu untuk mendukung pemahaman dan apresiasi perorangan
terhadap karya sastra (karena ini bukanlah tujuan sebuah ilmu sistematis).
Teori sastra justru diperlukan untuk mengembangkan ilmu sastra itu sendiri. Luxemburg,
et.al (1986) menggunakan istilah ilmu sastra dengan pengertian yang mirip
dengan teori sastra Wellek dan Warren. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari
teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat.
Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau
ciri-ciri khas kesastraan daan fungsi sastra dalam masyarakat) secara umum dan
sistematis. Teori sastra merumuskan kaidah-kaidah atau konvensi-konvensi
kesusastraan umum. Menurut Lefevere (1997), sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan
yang memiliki dimensi personal dan sosial sekaligus serta pengetahuan
kemanusiaan yang sejajar dengan bentuk hidup itu sendiri. Sastra penting
dipelajari sebagai sarana berbagi pengalaman (sharing) dalam mencari dan menemukan kebenaran
kemanusiaan. Berdasarkan pemahaman ini, Lefevere menyatakan bahwa untuk mencari
kedalaman (insight) pengalaman kemanusiaan ini diperlukan tidak saja sekedar ‘persepsi’
tetapi lebih dari itu ‘observasi’ persepsi hanya berfungsi sebagai peta yang
kita gunakan untuk mencari kebenaran dan kenyataan yang sesungguhnya. Dengan
melakukan observasi, kita ikut terlibat secara aktif dan perhatian kita dapat
kita arahkan kepada aspek-aspek tertentu yang menarik perhatian kita.
C.
HAKIKAT DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEORI SASTRA
Abrams
dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and Critical Tradition membandingkan model-model
teori sastra sepanjang masa dan menyimpulkan bahwa teori-teori itu sangat beeraneka ragam
dan terkadang mengacaukan.
Untuk dapat mempelajarinya dalam kerangka yang lebih sistematis, Abrams mengusulkan perlunya memperhatikan
‘situasi keseluruhan karya sastra’ sebagai patokan untuk membedakan
orientasi berbagai teori pendekatan sastra. Ditinjau dari sudut situasi
karya sastra itu, Abrams memberikan sebuah bagan sederhana, namun cukup efektif
sebagai berikut.
(REALITAS)
UNIVERSE
WORK
(KARYA)
ARTIST AUDIENCE
(PENCIPTA) (PEMBACA)
Dalam
bagan tersebut, terlihat adanya empat komponen utama, yakni: realitas, karya
sastra, pencipta, dan pembaca. Abrams membuat empat klasifikasi atau pendekatan
utama terhadap karya sastra berdasarkan empat aspek karya sastra tersebut.
Keempat pendekatan itu adalah : 1) pendekatan objektif (yang terutama
memperhatikan aspek karya sastra itu sendiri; 2) pendekatan ekspresif (yang
menitikberatkan aspek pengarang atau pencipta karya sastra); 3) pendekatan
mimetik (yang mengutamakan aspek semesta); dan pendekatan pragmatik (yakni
mengutamakan aspek pembaca). Gambaran singkat ini menunjukkan konsep pemikiran
teori sastra dari sisi lain. Dari pencipta yang mula-mula dipandang ‘memiliki
gaung jiwa yang agung’ (Wimmsatt & Beardsley, 1987:106) kemudian
disingkirkan mengenai ketidakmampuan bahasa sastra dalam menyajikan impian dan
harapan, pengalaman dan kekecewaan manusia. Orientasi lalu bergerak ke arah pembaca
yang diberi kebebasan penafsiran, mula-mula kebebasan relative sampai kepada
kebebasan mutlak untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi teks itu. ‘Puncak’
kesadaran teori sastra adalah tidak ada sesuatu di luar teks; tidak ada makna
transendetal di dalam teks sehingga pembaca itulah yang bertugas mengadakannya
dengan membongkar dan menyusun teks. Berikut ini beberapa uraian mengenai
hakikat dan relevansi teori sastra didasarkan pandangan Lefevere (1977) dan
Jauss.
1. Dalam sastra harus
menggunakan prosedur dan konsep-konsep repertoir. Repertoir-repertoir sastra
berfungsi mengidentifikasi gejalagejala sastra, perubahan dan pergeseran core (inti, pusat), dan periphery (pinggiran). Juga bersifat polyssystem—fleksibel yang menunjukkan
pusat tertentu yang dapat berubah-ubah.
2. Sastra tidak dapat
digolongkan sebagai masalah ilmiah yang dapat ditafsirkan secara tepat atau
secara tertutup; sastra adalah deskripsi pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan
dalam cita rasa (taste) seni.
3.Teori sastra dapat
mengembangakan disiplinnya dengan repertoir sastra yang menunjukkan kontinuitas
dan konteks genetik kultural.
4. Makna sebuah karya
sastra bersifat hipotesis bersama, jadi perlu menghindari subjektivitas.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah teori sastra akan menjadi
sangat jelas dan transparan—mencari “kebenaran” pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan-pengetahuan sastra, jika pembaca dalam menetapkan penerimaannya
dapat memperhatikan ketentuan-ketentuan umum (norma-norma sastra) dalam lingkup
genre sastra. Tolok ukur “kebenaran”nya
adalah pengalaman baru, cara pengucapan baru, dan ide-ide estetik baru. Wilayah
teori sastra yang demikianlah diharapkan mencapai relevansinya sebagai pemicu
proses pengembangan citarasa sastra, yang semakin cemerlang.
D.
Teori-Teori Sastra
1.
Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap
bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien
histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam
diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu,
dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan
diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang.
Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai
pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan
tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari
oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah
terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain,
ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi,
karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat
pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
2.
Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural
tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang
menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang
abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra
sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang
utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan
ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural
beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari
analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari
pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh
terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan
menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
3.
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat
karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu,
tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang
tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan
demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa
dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga
dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan
dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan
pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan
patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks
sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni
karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah
ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya
sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur
karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara
khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi
sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk
membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum
perempuan.
4.
Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha
mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam
pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui
teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian
makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya
dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai
dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian
konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra
dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca
tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya
konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya,
yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi
pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
a. kaidah-kaidah yang terkandung
dalam teks-teks sastra itu sendiri,
b. pengetahuan dan pengalaman
pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
c.
kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan
bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya
itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali
dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam
pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon
harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra,
kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih
penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita
sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran
generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
BAB II
KARYA SASTRA DAN
SISTEM SASTRA
- Hakikat Sastra
Satu hal yang hingga kini masih mengganggu keharmonisan
“rumah tangga” bahasa dan sastra adalah adanya anggapan bahwa antara bahasa dan
sastra tidak saling menguntungkan. Dalam pembakuan bahasa, misalnya, sastra
bahkan sering dianggap sebagai perusak bahasa. Pemakaian bahasa dalam (karya)
sastra tidak dipandang sebagai hasil proses kreatif berbahasa pengarangnya,
tetapi justru dicurigai dan dianggap sebagai suatu “keganjilan” berbahasa. Jika
sekarang ini masih ada anggapan bahwa sastra merupakan “perusak” bahasa,
mungkin orang yang beranggapan seperti itu belum mengetahui hakikat sastra yang
sesungguhnya: seni berbahasa. Sebagaimana seni-seni lainnya, sastra adalah
karya kreatif. Karya sastra, dengan demikian, harus dipandang sebagai hasil
kreativitas berbahasa pengarang. Bahwa pada kenyataannya masih banyak ditemukan
karya sastra yang memang amburadul
bahasanya, hal itu adalah sebuah keniscayaan. Pada dasarnya, pengarang adalah
pengguna bahasa (Indonesia). Sama dengan pengguna-pengguna bahasa Indonesia
lainnya, yang masih banyak tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar, tidak semua pengarang memiliki penguasaan bahasa Indonesia yang memadai.
Artinya, meskipun harus disadari bahwa tidak semua karya sastra dapat
mencerminkan kemahkotaan bahasa, hal itu tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar
untuk membuat generalisasi (perampatan) bahwa sastra adalah perusak bahasa.
Kenyataan bahwa masih banyak ditemukan karya sastra yang memang amburadul bahasanya justru
membuktikan bahwa sebagai kreator, pengarang sesungguhnya tidak dapat berbuat
semena-mena. Karena pada dasarnya hendak berkomunikasi dengan
pembaca/apresiator melalui tulisan/karyanya, pengarang harus tunduk mengikuti
norma-norma yang ada dalam khasanah bahasa, sastra, dan budaya agar kreasinya
itu dapat ditangkap dan dimaknai oleh apresiator. Kreasi yang semena-mena
(ekspresi simbolik yang terlampau subjektif dalam puisi-puisi gelap, misalnya)
akan menyulitkan apresiator dalam pemaknaan. Oleh karena itu, sastra (sebagai
hasil kerja kreatif berbahasa sastrawan) sebenarnya justru mempunyai peluang
yang sangat besar untuk dijadikan salah satu acuan dalam program perencanaan
bahasa. Mengapa demikian? Karena seorang pengarang pasti akan menggunakan
bahasa yang menurutnya mantap sebab tanpa kemantapan itu ia tidak berhasil
menjadi sastrawan. Artinya, setelah menulis, sastrawan pun berharap “kreasi”
bahasanya dapat diterima, dipahami, dan bahkan dijadikan model berbahasa oleh
masyarakat pembacanya. Dalam hal ini, cara sastrawan dalam menyusun kalimat dan
membuat uraian yang tepat dan lincah serta efisien dan memesona, misalnya,
dapat dijadikan model pemakaian bahasa yang baik dan benar.Sekadar contoh, simaklah
penggalan sajak “Doa” karya Chairil Anwar berikut ini.
Biar susah sungguh/mengingat Kau
penuh seluruh
Pilihan kata susah
sungguh pada baris I dan penuh seluruh
pada baris II sungguh merupakan contoh penggunaan bahasa yang sangat baik.
Kata-kata itu tidak hanya dapat memberi ketepatan makna yang diinginkan
Chairil, tetapi juga dapat menampilkan suasana sepi dan khusuk–yang justru
mendukung makna–sehingga “kemahkotaan” bahasa itu terlihat dengan jelas. Plastisitas
bunyi yang terungkap dari suasana keluh: (su)sah (sung)guh
dan (pe)nuh (selu)ruh membuktikan hal itu. Begitu pula,
betapa efisien dan memesonanya Iwan Simatupang membuka novelnya, Merahnya Merah, seperti berikut ini.
Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama
revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung
kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk
rumah sakit jiwa.
Kini, revolusi telah selesai. Telah
lama, kata sebagian orang. Ah! Barangkali juga tak selesai-selasai. Dia tak
tahu. Rumah sakit jiwa telah pula lama ditinggalkannya.
Begitulah, kalimat-kalimat Iwan Simatupang pada penggalan
itu sangat singkat dan padat. Temponya mengena. Ada emosi, tetapi arif dalam
mengemukakannya. Saya kira, kutipan tadi tidak hanya dapat dijadikan contoh
kalimat yang bagus, tetapi juga dapat dijadikan contoh perenggan (paragraf)
yang baik. Mari kita cermati sekali lagi kepiawian Iwan Simatupang dalam
memanfaatkan keterangan waktu sebagai sarana pengait kalimat sehingga
kekoherensian (kepaduan) paragrafnya betul-betul terjaga. Kata keterangan waktu
sebelum, selama, di akhir, sesudah, dan kini berhasil dimanfaatkan dengan baik sekali oleh Iwan guna
merakit kalimat-kalimatnya menjadi sebuah paragraf yang koheren/padu.
Penggunaan kata keterangan waktu secara terus- menerus dalam satu paragraf
seperti itu sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan. Dan, Iwan Simatupang
telah berani “mengikrarkannya”.Dari dua contoh tadi dapat diketahui bahwa
rupanya, untuk dapat membangun bahasa pengucapan yang baik, sastrawan harus
terlebih dahulu mengusai bahasa dan seluk-beluknya. Di samping harus mengenali
kelemahan dan kecermatan bahasa yang dipakainya sebagai media ekpresi serta
harus mengetahui situasi yang dihadapi bahasa itu dalam pemakaiannya
sehari-hari, sastrawan juga harus memahami kaidah-kaidah bahasa dan lingkungan
pemakaian bahasa tersebut.
B.
BAHASA SASTRA SEBAGAI BAHASA KHAS
Pada Bab
sebelumnya, agak sulit untuk menemukan definisi yang jelas mengenai istilah
sastra. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pandangan yang beragam tentang
istilah sastra. Oleh karena itu, dalam pembahasan kali ini, Wellek dan Warren
menawarkan cara yang paling mudah untuk memecahkan masalah ini adalah penggunaan
bahasa yang khas sastra. Bahasa adalah bahan baku kesusastraan. Untuk melihat
penggunaan bahasa yang khas sastra, kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa
seharihari, dan bahasa ilmiah. Pertama-tama, kita akan membedakan bahasa ilmiah
dan bahasa sastra. Bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika
atau logika simbolis. Salah satu contoh usaha menciptakan bahasa ilmiah yang
sempurna adalah upaya Leibniz menyusun bahasa universal yang dimulai pada akhir
abad ke-17. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya
tapi berbeda artinya), serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan
tak rasional seperti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa). Bahasa
sastra juga memiliki fungsi ekspresif yang menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau
penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya
mengubah sikap pembaca, yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda,
simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai macam teknik untuk menarik perhatian
pembaca kepada kata-kata dalam karya sastra. Bahasa sastra memiliki segi
ekspresif dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah. Kedua,
membedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Hal ini sangat sulit
dilakukan, dikarenakan bahasa sehari-hari bukanlah konsep yang seragam.
Lagipula, ciri bahasa sastra yang memiliki fungsi ekspresif juga dimiliki oleh
bahasa sehari-hari. Dalam hal ini juga berusaha mempunyai tujuan mencapai
sesuatu, untuk mempengaruhi sikap dan tindakan. Oleh karena itu, pembedaan yang
akan dilakukan akan dimulai pada segi kuantitatif. Dalam karya sastra,
sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan dengan sengaja.
Sejak dahulu, keistimewaan pemakaian bahasa dalam sastra ditonjolkan dalam
puisi, sebab bahasa dalam puisi hanya dimanfaatkan oleh penyair yang terkadang
menyimpang dari bahasa seharihari dan bahasa yang normal. Meskipun dalam
penyimpangannya dari bahasa sehari-hari tidak dapat dicari dasar unutk membedakan
sastra dari pemakaian bahasa yang lain, namun keistimewaan bahasa puisi dan
sastra tetap diteliti, dan secara sistematik disusun dalam sistem retorika yang
amat luas dan halus. Retorika seringkali menjadi sistem normatif atau
preskriptif, yaitu menentukan norma-norma yang harus diterapkan dalam pemakaian
bahasa yang baik dan indah.
C.
BAHASA SEBAGAI SISTEM SEMIOTIK PRIMER
Dikatakan
bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang khas; paling sering digunakan dalam
puisi yang hanya dimanfaatkan sang penyair atau penulis semata. Seorang
pencipta atau pembaca karya sastra tidak mencipta atau pun menanggapinya dalam
situasi vakum, kehampaan mutlak. Mereka terikat oleh berbagai ikatan dan harus
takluk pada berbagai keterbatasan. Namun, tak kurang pentingnya, keterikatan
seorang penulis atau pembaca, yang diakibatkan oleh bahan-bahan yang mau tak
mau harus dipakai dalam karya itu, yaitu bahasa. Sebab bahan itu bukanlah bahan
yang netral, bahan kosong yang dapat dipergunakan semau-maunya saja (Teeuw,
1984). Bahasa yang dipakai sastrawan, sudah merupakan sistem tanda, system semiotik;
setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi
disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka,
tidak hanya dalam artian bahwa tanda itu merupakan berian tetapi yang lebih penting
lagi : di dalam sistem tanda itu tersedia perlengkapan konseptual yang sukar
sekali dihindari, sebab perlengkapan itu merupakan dasar pemahaman dunia nyata
dan sekaligus merupakan dasar komunikasi antara anggota masyarakat yang
terpenting. Sebuah bahasa memiliki sistem kemaknaan yang bersifat lincah,
luwes, longgar, malahan licin dan licik dan penuh dinamika sehingga memberi
segala kemungkinan untuk pemanfaatan yang kreatif dan orisinal, juga dari segi konseptual.
Jadi, kita semua mempunyai sistem bahasa yang antara lain merupakan sistem kemaknaan
yang berbeda-beda menurut menurut bahasa yang kita pakai sebagai anggota sebuah
masyarakat tertentu. Contohnya, kita tahu bahwa secara fisik spektrum warna
merupakan kontinum, tidak membedakan warna secara diskret; tetapi setiap
masyarakat bahasa secara konvensi memberi sejumlah nama pada potongan-potongan
kesinambungan warna itu: merah, putih, hijau, dan seterusnya. Dan ternyata
bahwa masingmasing bahasa mempunyai nomenklatur warna (pemberian nama) yang tidak
selalu sama, malahan ada yang berbeda, yang menentukan identifikasi dan penafsiran
gejala warna bagi pemakai bahasa-bahasa itu. Dalam ilmu bahasa modern,
khususnya Benyamin Lee Whorf mengembangkan ide bahwa pandangan manusia terhadap
dunia sekelilingnya dalam artian yang seluas-luasnya ditentukan oleh sistem
bahasanya (Whorf, 1986). Dalam ilmu sastra modern. Ide ini antara lain digarap
secara sistematik oleh peneliti Rusia Lotman (1972), bahasa disebutnya ein primares modellbildendes sistem, sistem tanda yang
secara primer membentuk model dunia baagi pemakainya; model itulah pada
prinsipnya mewujudkan perlengkapan konseptual manusia untuk penafsiran segala
sesuatunya di dalam dan di luar dirinya. Sistem inilah yang tersedia untuk dan
sekaligus mengikat juga seorang sastrawan dan penikmat sastra. Lotman juga
menyebut sastra sebagai ein sekundares modellbildendes sistem, sistem tanda sekunder yang membentuk
model, yaitu yang tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa dan
yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam
pertentangannya dengan system bahasa (Teeuw, 1984).
D.
MASALAH SISTEM SASTRA
Sebuah
pertanyaan muncul Apakah sastra seluruhnya merupakan sistem? Adakah analogi
antara yang disebut sistem bahasa dan sistem sastra? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, Teeuw mengemukakan beberapa hal tentang sistem sastra sebagai
berikut: 1. Sistem itu tak dapat bersifat longgar, lincah; oleh karena karya
sastra individual justru ditandai oleh penyimpangan, pelanggaran terhadap norma-norma,
maka dengan sendiri sistem itu, seandainya ada, tidak dapat ketat. Aturan
sistem , misalnya konvensi sastra tidak perlu ada, malahan tidak boleh dipatuhi
secara mutlak. Dalam batas tertentu (yang mungkin berbeda ketat longgarnya
untuk sastra yang berlainan) penyimpangan dari aturan termasuk sistem itu
sendiri; tanpa variasi dan kebebasan untuk menyimpang, sastra sebagai ciptaan
kreatif tidak mungkin ada. Ketegangan antara norma sastra yang kolektif dan penyimpangan
individual adalah ciri khas sistem sastra, demikian pula merupakan ciri khas
sistem karya individual itu sendiri (Mukarovssky, 1978). 2. sebagai akibatnya,
perbedaan antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep
sistem bahasa, untuk sistem sastra tidak berlaku kejelasan yang sama. Sistem
sastra secara prinsip menggabungkan unsur diakronik dengan unsur sinkronik;
dinamik diakronik merupakan unsur asasi dari sistem sinkronik, dan sebaliknya dalam
diakronik, ketegangan sistematik selalu dipertahankan. Sejarah sastra dan
sistem sastra menunjukkan hubungan dialektik, yang satu tidak dapat diteliti
atau dideskripsi tanpa yang lain.
BAB III
A. Tentang Sosiologi Sastra
Sosiologi berasal dari kata Latin
socius yang
berarti “kawan atau masyarakat” dan kata Yunani logos yang berarti “ilmu”.
Jadi sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat. Secara harfiah sosiologi
berasal dari bahasa Latin socius yang artinya “sahabat, kawan” dan logos yang artinya “ilmu
pengetahuan”. Jadi sosiologi adalah ilmu tentang cara bergaul yang baik dalam
masyarakat.
Alvin Bertrand menyatakan bahwa
sosiologi adalah ilmu tentang hubungan manusia yang satu dengan manusia yang.
Sementara Rene Wellek dan Austin Warren menjelaskan bahwa sosiologi menjabarkan
pengaruh dan kedudukan sastra terhadap manusia dalam masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan pendapat Roucek dan Warren, sosiologi merupakan ilmu yang
mempelajari manusia dalam masyarakat.
Menurut William F. Ogburn dan
Meyeer F. Nimkoff sosiologi merupakan proses menyesuaikan manusia dengan
lingkungannya yang hasilnya dikaitkan dengan organisasi masyarakat. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku dan
perkembangan masyarakat.
Swingewood berpendapat bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan organisasi-organisasi sosial
dalam masyarakat. Sosiologi menurut Bottomore adalah ilmu positif yang modelnya
sejenis dengan ilmu-ilmu alam, seperti model dari fisika dan model dari
biologi.
Sosiologi sastra memandang karya
sastra berhubungan dengan masyarakat. Seperti dikatakan oleh Baribin, bahwa
cara kerja pendekatan sosiologi dipandu oleh hubungan karya sastra dengan
kelompok sosial, hubungan selera masyarakat dengan kualitas karya sastra, serta
hubungan gejala yang timbul di sekitar pengarang dengan karyanya.
Perspektif sosiologi sastra
dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu (1) memandang sastra sebagai dokumen sosial, (2)
memandang situasi sosial pengarang, (3) memandang cara yang dipakai pengarang
dalam membuat karyanya berkaitan dengan kondisi sosial budaya dan peristiwa
sejarah.
Sastra merupakan hasil cipta
seorang pengarang dengan menggunakan manusia dan sekitarnya (masyarakat)
sebagai sarana untuk mengungkapkan ide-idenya. Di sini terlihat antara
sosiologi dan sastra mempunyai objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat,
perbedaannya terletak pada pendekatannya. Sosiologi memfokuskan pada analisis
ilmiah dan objektif, sedangkan sastra memfokuskan penghayatan melalui perasaan.
Maka dari itu, sosiologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat. Sosiologi
mempelajari masalah sosial dalam masyarakat, sedangkan sastra merupakan media
untuk mendokumentasi masalah-masalah sosial.
Jadi dapat dijelaskan bahwa yang
dimaksud sosiologi sastra adalah suatu pendekatan terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pandangan tentang sosiologi sastra
menurut Wellek dan Warren bahwa sosiologi sastra membicarakan tentang pengarang
yang mempermasalahkan status sosial dan ideologi sosial pengarang. Menurut Ian
Watt, sosiologi sastra menampilkan keadaan masyarakat dan fakta-fakta sosial
dalam karyanya.
Sosiologi sastra mempermasalahkan
lingkungan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkan. Hal ini sesuai dengan
pandangan Swingewood tentang sosiologi sastra, bahwa sosiologi sastra
mempelajari manusia dan organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa sosiologi sastra berhubungan
dengan manusia imajiner serta masalah-masalah sosialnya yang terjadi dalam
masyarakat.
B. Dasar Ian Watt Tentang
Sosiologi Sastra
Menurut Ian Watt, ada tiga
kecenderungan utama terhadap karya sastra. Pertama, konteks
sosial pengarang. Keadaan sosial dalam masyarakat mempengaruhi pengarang dalam
membuat karya sastra. Berkaitan dengan cara pengarang mendapatkan pekerjaan,
profesional dalam mengarang, masyarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua,
sastra sebagai cermin masyarakat. Karya sastra ditampilkan berdasarkan keadaan
masyarakat beserta masalah-masalah sosial oleh pengarang dalam karyanya. Ketiga,
fungsi sosial sastra.
Ada 3 fungsi sastra yaitu (a)
sebagai pembaharu dan perombak (b) sebagai penghibur belaka (c) sebagai
pengajar sesuatu dengan cara menghibur.
Berdasarkan klasifikasi di atas,
dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap
sastra dengan masyarakat yang mempunyai cakupan luas mengenai pengarang, teks
sastra sebuah karya sastra serta pembacanya. Oleh karena itu, penulis
menggunakan klasifikasi sosial menurut Ian Watt karena pengarang menampilkan keadaan
masyarakat dan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
C. Hubungan Masalah Sosial Dengan Karya Sastra
Hubungan antara masalah sosial
dengan sastra bersifat deskriptif (memaparkan sesuatu apa adanya sesuai dengan
bentuk atau kenyataan yang ada). Hal yang harus diperhatikan ada 3 yaitu: Pertama, sosiologi
pengarang, profesi pengarang dan institusi pengarang. Masalah yang dihadapi
mencakup dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang
dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar
karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam
karya sastra itu sendiri dan yang berkaitn dengan masalah sosial. Ketiga, pembaca dan
dampak sosial karya sastra.
Sastra dan masalah sosial mempunyai perbedaan, namun dapat
memberikan penjelasan tentang sastra. Sastra adalah karya seni ekspresi
kehidupan manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosial merupakan
dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah karya yang
menyajikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tata nilai dan bentuk
dari kondisi social yang terdapat dalam kehidupan manusia.
BAB III
KARYA SASTRA DAN
KENYATAAN
A.
TEORI TENTANG MIMESIS
Dalam Bab
ini akan dibahas mengenai hubungan antara karya sastra dan kenyataan, universe dalam istilah Abrams, reality dalam tulisan lain. Banyak tulisan
mengenai teori sastra sukar dipahami jika kita tidak tahu sedikit banyaknya
mengenai diskusi yang diadakan lebih dari 2000 tahun yang lalu. Plato dengan
panjang lebar memaparkan peranan puisi, khususnya dalam hubungannya dengan
kenyataan, di berbagai tempat dalam karya-karyanya. Untuk uraian ini terdapat
bahan yang padat isinya tentang mimesis (Verdenius, 1949). Semenjak orang
mempelajari sastra, secara kritis timbul pertanyaan, sejauh mana sastra
mencerminkan kenyataan? Sering juga dikatakan, bahwa sastra memang mencerminkan
kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua
pendapat ini disebut penafsiran mimetic mengenai sastra. Pengertian mimesis
(Yunani: Perwujudan atau jiplakan) pertama-tama dipergunakan dalam teori-teori
seni oleh Plato dan Aristoteles. Pandangan Plato tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan yang bersifat hirarki.
Menurut Plato, dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh,
hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, peneladanan atau pembayangan ataupun peniruan
(sebab terjemahan kata mimesis tidak mudah) (Luxemburg, et al : 1986). Jadi,
bagi Plato, mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak menghasilkan kopi yang
sungguh-sungguh; lewat mimesis, tataran yang lebih tinggi hanya dapat
disarankan. Dalam rangka ini menurut Plato, mimesis atau sarana artistik tidak
mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari
tataran yang Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang
fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam
kenyataan yang tampak. Meskipun demikian, seni berusaha mencoba secara
ssungguh-sungguh mencoba mengatasi kenyataan sehari-hari. Seni yang terbaik
lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki
kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful, benar; dan seniman harus bersifat
modest, rendah hati; dia harus tahu
bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah
(Luxemburg, et al : 1987). Pandangan Aristoteles tentang mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif; penyair,
sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan
bermimesis, penyair menciptkan kembali kenyataan. Berdasarkan pendapatnya
tersebut, Aristoteles tidak lagi memandang sastra sebagai copy atau jiplakan mengenai
kenyaataan, melainkan sebagai sebuah suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsepkonsep umum). Jika
Plato menyebutnya dunia Ide, tetapi Aristoteles menyebutnya sebagai pikiran,
perasaan, dan perbuatan yang khas bagi seorang manusia Selain hal di atas,
terdapat juga pandangan bahwa sastra bukan hanya menciptakan suatu kenyataan
sendiri, tetapi sastra membuat modul (bagan) mengenai kenyataan.
B. TEORI MIMESIS DAN CREATION
Telah
dijelaskan bahwa sastra merupakan sebuah cermin atau gambar kenyataan. Lalu,
muncul teori yang mengatakan bahwa sastra menciptakan seebuah dunia sendiri
(“sebuah dunia dengan kata-kata”), sebuah dunia yang serba baru, yang kurang
lebih lepas dari kenyataan. Pertentangan antara mimesis dan creation sebetulnya tidaklah begitu
ekstrim atau tajam seperti yang dibayangkan. Aristoteles mengatakan bahwa
seorang pengarang justru karena daya cipta artistic-nya mampu menampilkan
perbuatan manusia yang universal. Teeuw (1984) mengemukakan tentang kedua teori
tersebut, bahwa menurut penganut teori creation, karya seni adalah sesuatu
yang pada hakikatnya baru, asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh.
Sastra dianggap sebagai dunia dalam kata atau heterokosmos, sesuatu yang otonom (taat pada hukum sendiri)
terhadap kenyataan. Sedangkan penganut teori mimesis menganggap karya seni sebagai
pencerminan, peniruan atau pembayangan realitas. Meskipun teori mimesis dan creation saling melengkapi, namun
dalam perkembangan sastra yang ada saat ini, bahwa dalam dunia sastra dilukiskan
banyak hal yang dalam kenyataan tak pernah ada. Bila kita membaca teks-teks sastra,
kita berhadapan dengan tokoh-tokoh dan situasi-situasi yang hanya terdapat
dalam khayalan si pengarang. Teks-teks yang mengandung unsurunsur khayalan
sering disebut teks fiksi (Luxemburg, et al : 1987). Bila sebuah teks fiksi
mampu menciptakan suatu dunia sendiri yang harus dibedakan dari kenyataan, maka
akan timbul pertanyaan: Bagaimana hubungan antara dunia fiksi itu dengan
kenyataan? Dunis fiksi sebagai dunia lain yang berdiri di samping kenyataan,
tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan dengan kenyataan. Meskipun
seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan
makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup dalam suatu lingkungan khayalan,
namun tetap ada kaitan-kaitan tertentu antara tokohtokoh, dan perbuatan mereka,
yang dapat dimengerti oleh pembaca dan diterima berdasarkan pengetahuannya
mengenai dunia nyata. Tidaklah benar dikatakan bahwa teks fiksi menciptakan
suatu dunia yang serba baru. Ini bahkan mustahil, karena andaikata dunia itu
serba baru, itu berarti bahwa teksnya tidak dapat dimengerti. Dunia yang
diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya
tentang dunia nyata, termasuk tentang tradisi sastra. Kadang-kadang dunia
ciptaan itu mirip dengan kenyataan (otobiografik), kadang-kadang menyimpang
jauh (dongeng). Lebih lanjut, Teeuw (1984) mengemukakan tentang kaitan mimesis
dan creation dari segi bahasa. Bahasa
sebagai sistem tanda yang ciri khasnya adalah dualitas antara significant dan signifie, yang menandai dan
ditandai, dengan pemakaian bahasa langue dan parole). Pada tataran bahasa, tanda itu mempunyai
makna, designatum, yang tidak langsung merujuk pada kenyataan. Dia memandang bahwa
dari segi bahasa, terdapat unsur ambiguitas terhadap kenyataan itu. Dalam sastra,
bahasa digunakan sebagai alat yang cukup independen terhadap kenyataan itu
sehingga dapat dipakai untuk hal-hal yang tidak ada dalam kenyataan. Bahkan ada
peneliti yang berpendapat bahwa bahasalah yang memberi kemungkinan dan
pembatasaan pada kita tentang kenyataan.
C.SASTRA DAN
MASYARAKAT: PENELADANAN DAN SEKALIGUS MODEL KENYATAAN
Ketika
orang berbicara mengenai seni sastra, pertentangan antara mimesis dan creation adalah pertentangan nisbi
atau semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan yang searah,
sebelah atau sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleeks
dan tak langsung ditentukan oleh tiga macam konvensi, yakni konvensi sastra,
konvensi sosiobudaya, dan konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan
kita dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan. Hubungan
ini memang merupakan interaksi, saling mempengaruhi dan kaitan dwiarah. Sebab
tentu saja konvensi tidak akan terjadi tanpa dipengaruhi oleh kenyataan. Kenyataan
berpengaruh besar dan mengarahkan terjadinya konvensi bahasa, sastra dan
sosial, tetapi sebaliknya pengamatan dan penafsiran kenyataan diarahkan pula
oleh konvensi tersebut. Dalam seni umumnya, sastra khususnya, interaksi itu
dijadikan prinsip semiotik utama: pembaca harus bolak-balik antara kenyataan
dan rekaan, antara mimesis dan creation. Dalam kaitannya dengan
tiga jenis konvensi di atas, Luxemburg et al juga memberikan pandangan bahwa sebuah
sastra itu dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Pengarang menggubah
karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama
dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut. ia dihargai atau kurang
dihargai oleh para pembaca yang dipengaruhi atau kurang dipengaruhi oleh sang
pengarang. Hubungan antara sastra dan masyarakat diteliti dengan berbagai cara yakni:
1) yang diteliti ialah factor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra;
teks sastra itu sendiri tidak ditinjau, 2) yang diteliti adalah hubungan antara
(aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat
BAB IV
APRESIASI KARYA SASTRA
A.
PENGERTIAN APRESIASI SASTRA
Istilah
apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti ‘mengindahkan’
atau ‘menghargai’. Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai
penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berupa
prosa fiksi, drama, maupun puisi (Dola, 2007). Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove
mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2)
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan
pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu
proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni 1) aspek kognitif, 2) aspek
emotif, dan 3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan
intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat
objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut, selain dapat
berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks
sastra atau unsure intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar
teks yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri. Aspek
emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati
unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi
juga sangat berperanan dalam upaya memahami unsurunsur yang bersifat subjektif.
Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna
atau bersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur
signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis. Aspek evaluatif berhubungan
dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah,
sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir
dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.
Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat
umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu meresponsi teks sastra yang
dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu
melaksanakan penilaian. Sejalan dengan rumusan pengertian di atas, Effendi
dalam (Aminuddin, 2002) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan
menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan,
kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Juga
disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca
mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya,
menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu
sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan
rohaniahnya. Belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang
hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga
sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi
nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar
tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Seiring dengan dinamika
peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, sastra menjadi makin
penting dan urgen untuk disosialisasikan dan "dibumikan" melalui
institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam
membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang
memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global
dengan sikap arif, matang, dan dewasa.
B. BEKAL AWAL
PENGAPRESIASI SASTRA
Kellet
mengungkapkan bahwa pada saat ia membaca suatu karya sastra, dalam kegiatan
tersebut, ia selalu berusaha menciptakan sikap serius, tetapi dengan suasana
batin ruang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra itu terjadi
karena sastra bagaimana pun lahir dari daya kontemplasi batin pengarang
sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan pemilikan daya kontemplatif
pembacanya, sementara pada sisi lain, sastra merupakan bagian dari seni yang
berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat actual dan imajinatiff
sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya. Sebab
itulah tidak berlebihan jika Boulton mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain
menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan
kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan
renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat,
politik maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas
kehidupan ini. Kandungan makna yang begitu kompleks serta berbagai macam nilai kehidupan
tersebut dalam hal ini akan mewujudkan atau tergambar lewat media kebahasaan,
media tulisan, dan struktur wacana. Dengan demikian, sastra, sebagai salah satu
cabang seni bacaan, tidak cukup dipahami lewat analisis kebahasaannya, lewat
studi yang disebut teks grammar atau teks linguistik, tetapi juga karena teks sastra bagaimana pun
memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan lainnya. Adanya
ciri-ciri khusus teks sastra itu, salah satunya ditandai oleh adanya unsur-unsur
intrinsik karya sastra yang berbeda dengan unsur-unsur yang membangun bahan
bacaan lainnya. Dari keseluruhan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cipta
sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain
1) unsur keindahan, 2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilainilai atau
renungan tentang keagamaan, filsafat, politik serta berbagai macam kompleksitas
permasalahan kehidupan; 3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun
struktur wacana, serta 4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan
karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks. Sejalan dengan
kandungan keempat aspek di atas, maka bekal awal yang harus dimiliki seorang
calon apresiator adalah 1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu
memahami maupun menikmati unsurunsur keindahan yang terdapat dalam cipta
sastra, 2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah
kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan kehidupan ini secara
intensif—kontemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah
humanitas, misalnya buku filsafat atau psikologi; 3) pemahaman terhadap aspek
kebahasaan dan 4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsic cipta sastra yang
akan berhubungan dengan telaah teori sastra. Berbagai macam bekal pengetahuan
dan pengalaman di atas disebut sebagai bekal awal karena seperti telah
diungkapkan di depan, untuk mampu mengapresiasi suatu cipta sastra seseorang
harus secara terus-menerus menggauli karya sastra. Pemilikan bekal pengetahuan
dan pengalaman daapat diibaratkan sebagai pemilikan pisau bedah, sedangkan
kegiatan menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan sehingga pisau
itu menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan
akrab dengan kegiatan membaca sastra.
C.KEGIATAN LANGSUNG
DAN TAK LANGSUNG DALAM MENGAPRESIASI SASTRA
Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra sebenarnya
bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku,
melainkan merupakan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu
kegiatan yang harus terwujud secara kongkret. Perilaku tersebut dapat dibedakan
ke dalam perilaku kegiatan langsung dan tak langsung. Apresiasi sastra secara
langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun
performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung
itu dapat terwujud melalui kegiatan membaca, memahami, menikmati serta
mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, maupun teks
sastra yang berupa puisi. Kegiatan langsung yang mewujud dalam kegiatan
mengapresiasi sastra pada performansi misalnya saat anda melihat, mengenal,
memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen,
pememtasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di panggung
terbuka. Bentuk kegiatan ini secara kontinum harus dilakukan sungguh-sungguh,
dan berulangkali. Hal ini dimaksudkan seorang apresiator dapat mengembangkan
kepekaan pikiran dan perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu karya sastra. Kegiatan
tak langsung dapat dilaksanakan dengan cara mempelajari teori sastra, membaca
artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah, di koran,
mempelajari penilaian buku maupun esei yang membahas dan memberikan gambaran
terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta
sastra. Kegiatan menikmati sastra seringkali diistilahkan dengan ‘menggauli’
sastra. Kegiatan menggauli sastra dapat berupa kegiatan yang bersifat reseptif dan
dapat pula berupa kegiatan yang bersifat kreatif. Menggauli sastra secara reseptif
adalah menikmati hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk sastra (puisi-prosa
drama), misalnya memperhatikan/mendengarkan deklamasi/baca puisi, menonton pementasan drama, membaca pemahaman
(dalam hati) cerita atau puisi. Sedangkan menggauli sastra secara kreatif
kegiatan yang mengharapkan adanya penciptaan bentuk-bentuk sastra secara lisan
atau tertulis, misalnya menulis cerpen atau puisi, membaca puisi, mendeklamasi puisi,
mementaskan drama. Kegiatan menggauli sastra secara reseptif berkaitan erat
dengan kegiatan menggauli sastra secara kreatif dalam mengantar seseorang
menjadi ”sastrawan”. Dengan banyak menggauli sastra secara reseptif merupakan tangga
awal untuk dapat menjelajah pergaulan sastra lebih tinggi tingkatannya. Dengan
banyak membaca karya sastra orang lain akan membentuk suatu pemahaman utuh yang
berujung pada terbentuknya gaya pribadi kreatif yang berbeda dengan orang lain
(Khalik, 2007).
D. MANFAAT
MENGAPRESIASI SASTRA
Dalam
mengapresiasi sastra, banyak manfaat yang dapat diperoleh, di antaranya adalah
menambah pengetahuan seseorang tentang kosakata dalam suatu bahasa, tentang
pola kehidupan suatu masyarakat. Terdapat dua manfaat yang digunakan dalam
apresiasi sastra, yakni manfaat umum dan manfaat khusus.
1. Manfaat secara umum
Seperti
telah diketahui, masyarakat peminat atau pembaca sastra sangat beragam. Adanya
keragaman itu lebih lanjut juga menyebabkan timbulnya keragaman dalam kegiatan
apresiasinya. Bila dalam butir ini diungkapkan manfaat secara umum, sebenarnya
yang dimaksud adalah manfaat membaca sastra yang diperoleh oleh pembaca pada
umumnya lewat generalisasi Bila anda mengamati kehidupan sehari–hari, sering
kali kita lihat ada seseorang yang dengan asyik membaca cerita sambil menunggu
kereta atau bus yang tak kunjung tiba, sebagai penyangga kantuk sewaktu harus
berjaga, sebagai pengantar tidur, atau mungkin sebagai pengisi kegiatan
daripada tidak ada yang harus dikerjakan, Sehubungan dengan kompleksitas yang
terkandung dalam suatu cipta sastra, Olsen mengungkapknan bahwa cipta sastra
sedikitnya akan mengandung tiga elemen yang oleh Olsen istilahkan dengan 1) aesthetic properties, yang berhubungan dengan
unsur-unsur intrinsik maupun media pemapaaran suatu cipta sastra, 2) aesthetic dimension, berhubungan dengan dimensi
keindahan yang dikandung oleh suatu cipta sastra, 3) aesthetic object, berhubungan dengan kemampuan
cipta sastra untuk dijadikan objek kegiatan menusia dengan keanekaragaman
tujuan yang ingin dicapainya.
2. Manfaat khusus
Uraian
tentang manfaat umum di atas yang dinikmati oleh masyarakat umum, yang
bertujuan untuk hiburan semata, juga mengandung manfaat khusus dari pembaca
khusus. Adanya manafaat khusus tersebut bertujuan untuk pencapaian tujuan-tujuan
tertentu. Seorang pembaca sastra, kegiatan bacanya dilatarbelakangi
tujuantujuan mendapatkan berbagai macam nilai kehidupan. Dalam hal ini, manfaat
membaca sastra antara lain 1) memberikan informasi yang berhubungan dengan
pemerolehan nilai-nilai kehidupan, dan 2) memperkaya pandangan atau wawasan
sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun
peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai kreasi manusia yang
diangkat dari realitas kehidupan juga mampu menjadi wakil dari zamannya. Sastra
pada dasarnya merupakan kegiatan kebudayaan maupun peradaban dari setiap
situasi, masa ataupun zaman saat sastra itu dihasilkan. Sehingga tercipta
hubungan timbal balik antara perekam dan pemapar sosiokultural yang bermanfaat
untuk 3) pembaca dapat memperoleh dan memahami nilai-nilai budaya dari setiap
zaman yang melahirkan cipta sastra itu sendiri, dan 4) mengembangkan sikap
kritis pembaca dalam mengamati perkembangan zamannya sejalan dengan kedudukan
sastra itu sendiri sebagai salah satu kreasi manusia yang mampu menjadi semacam
permala tentang perkembangan zaman itu sendiri di masa yang akan datang. Sapardi
Djoko damono mengungkapkan bahwa dalam situasi tersebut, masyarakat mendekati
karya sastra dari dua arah, yakni sastra sebagai suatu kekuatan atau faktor
material yang istimewa dan 2) sastra sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan
spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif.
BAB V
APRESIASI KARYA SASTRA
SEBAGAI KEGIATAN MEMBACA
A. HAKIKAT DAN RAGAM
MEMBACA DALAM APRESIASI SASTRA
Dalam
upaya pemahaman unsur-unsur yang terdapat dalam suatu cipta sastra, hendaknya
seorang apresiator dapat memahami hakikat membaca sebelum melakukan apresiasi.
Dalam teori membaca Todorov, memberikan batasan dalam kegiatan membaca suatu
cipta sastra, diantaranya : 1) proyeksi, 2) komentar, dan 3) puitika. Dalam
tahap proyeksi, kegiatan pembaca adalah memahami unsur-unsur di luar teks,
tetapi yang secara kongruen atau secara laras dan bersama-sama menunjang
kehadiran teks. Unsur-unsur itu meliputi kehidupan pengarang, kehidupan sosial
masyarakat, yang melatari kehidupan teks sastra serta system konvensi yang
dianuti pengarangnya. Dalam tahap komentar, seorang pembaca memahami
isi paparan teks yang terbatas pada bentuk paparan yang “tersisa” dari
jangkauan pemahaman pembaca. Oleh karena itu, ada tiga tahap kegiatan yang
terdapat dalam komentar, yakni: 1) Eksplikasi, yakni menguraikan isi paparan
yang belum dipahami dengan jalan menghubungkannya dengan isi bagian paparan
lain yang sudah dipahami. 2) Elusidasi, yakni menerangkan secara jelas hasil
uraian isi paparan yang belum dipahami dalam kaitannya dengan bagian isi
paparan yang lainnya ssecara umum. 3) Précis, yakni meringkas uraian panjang lebar tentang
isi paparan yang belum dipahami sesuai dengan ketepatan dan keselarasannya
dengan isi dalam bagian lain dari teks itu sendiri. Kegiatan terakhir adalah paraphrase. Pada tahap puitika,
pembaca harus berusaha memahami kaidah-kaidah abstrak yang secara instrinsik
terdapat dalam teks sastra itu sendiri. Dalam hal ini, kaidah abstrak tersebut
dapat dipahami melalui dua tahap kegiatan, antara lain, 1) interpretasi, dan 2)
deskripsi. Interpretasi terhadap makna dalam teks sastra dalam hal ini harus
bertolak dari realitas yang ada dalam teks sastra itu sendiri. Tahap kedua
adalah deskripsi. Meskipun deskripsi itu tampak terlalu ilmiah untuk mengkaji
ragam seni, tetapi menurut Todorov, isitilah tersebut memiliki nuansa arti
sendiri. Bila dalam metode deskriptif adalah metode yang bertujuan memberikan
perolehan realitas yang diteliti apa adanya, maka tahap pendeskripsian makna
dalam teks sastra diharapkan sepenuhnya bertolak dari makna yang terkandung
dalam teks sastra itu sendiri. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ragam
membaca yang berkaitan dengan kegiatan mengapresiasi cipta sastra, yakni:
1. Membaca Teknik
Membaca
teknik merupakan kegiatan membaca yang dilaksanakan secara bersuara sesuai
dengan aksentuasi, intonasi, dan irama yang benar selaras dengan gagasan serta
suasana penuturan dalam teks yang dibaca. Dalam kegiatan membaca sastra, dapat
dijumpai dalam membaca poetry reading sastra secara lisan memiliki sifat redeskriptif. Dalam membaca redeskriptif
itu, bunyi ujar tidak muncul secara sewenang-wenang. Tetapi, harus mampu menggambarkan
isi cerita serta suasana yang semula dipaparkan pengarang secara tertulis.
Dalam hal ini, kegiatan poetry reading dapat dilakukan meliputi 1) pelafalan, 2) penentuan kualitas
bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, 3) tempo, dan 4) irama. Selain keempat aspek
tersebut, membaca secara lisan juga melibatkan aspek tubuh, pembaca juga harus
mampu menata gerak mimik atau facial expression, gerak bagian-bagian tubuh
atau gesture, maupun penataan posisi tubuh
atau posture. Juga, eye contact sebagai salah satu upaya
menciptakan hubungan batin dengan pendengarnya juga harus diperhatikan.
2. Membaca Estetis
Ragam
membaca estetis juga memiliki kaitan utama dalam mengapresiasi sastra. Membaca
estetis merupakan kegiatan membaca yang dilatarbelakangi tujuan menikmati serta
menghargai unsur-unsur keindahan yang terpapar dalam suatu teks sastra.
Sementara itu, agar dapat dan mampu menikmati dan menghayati, terlebih dahulu
pembaca harus mempu memahami isi serta suasana penuturan dalam teks yang
dibacanya. Istilah membaca estetis juga sering dikenal dengan membaca indah,
membaca emotif, dan membaca sastra. Membaca estetis dapat terwujud lewat
kegiatan membaca dalam hati maupun dalam bentuk membaca secara lisan.
3. Membaca Kritis
Membaca
kritis merupakan salah satu ragam membaca sastra yang dilakukan dengan
menggunakan pikiran dan perasaan secara kritis untuk menemukan dan
mengembangkan suatu konsep dengan jalan membandingkan isi teks yang dibaca
dengan pengetahuan, pengalaman, serta realitas lain yang diketahui pembaca
untuk memberikan identifikasi, perbandingan, penyimpulan dan penilaian. Jadi,
dengan membaca sastra, seorang pembaca teks sastra, bukan hanya bertujuan
memahami, menikmati, dan menghayati melainkan juga bertujuan memberikan
penilaian.
Berdasarkan
paparan ragam membaca di atas, terdapat beberapa tahapan dalam membaca yang
dikutip dalam Aminuddin (2002), diataranya:
1. Tahap Pemahaman
Media Bentuk Tulisan
Pemahaman
media bentuk tulisan berhubungan dengan tulisan berbentuk huruf, tanda baca,
bentuk penulisan paragraf maupun sistematika dalam memaparkan gagasannya.aspek
tulisan huruf merupakan kode yang mampu merepresentasikan atau menjadi
pengungkap suatu gagasan yang menggunakan media bahasa dalam tes. Aspek tanda
baca sebagai penanda, pengatur, dan tatanan huruf yang mengandung gagasan
tertentu akan memberikan pemahaman representasi tuturan lisan yang semula
berupa penghentian, perintah, pertanyaan dan lain-lain.
2. Tahapan Pemahaman
Media Kebahasaan
Istlah
gramatikal dalam linguistik, hanya mencakup aspek morfologi dan sintaksis,
sedangkan aspek fonologi dan semantik dianggap sebagai unsure eksternal. Akan
tetapi, dalam perkembangannya lebih lanjut, aspek fonologi dan semantik juga
termasuk intrinsik bahasa karena bagaimana pun juga unsure bunyi dan makna
merupakan unsur penting dalam bahasa. Jalan pikiran yang terakhir itulah yang
dianut penulis dalam kajian butir ini.
3. Tahap Pemahaman
Aspek Leksis-Semantis
Pengertian
pemahaman aspek leksis-semantis dalam kajian ini adalah tahap kegiatan pembaca
dalam upaya memahami kata-kata dalam suatu teks, baik secara tersurat maupun
tersirat. Hal ini perlu disinggung dalam pembahasan ini karena gagasan yang
disampaikan pengarang dapat disampaikan secara eksplisit maupun simbolik.
Sajian gagasan demikian, sejalan juga dengan pembagian makna dalam bidang studi
semantik yang membedakan antara makna denotatif, yaitu satu lambang satu
makna, dan makna konotatif, satu lambang mengimplikasikan berbagai macam makna. Selain
beberapa cara di atas, dalam rangka memahami makna dalam teks sastra, terutama
puisi, dalam telaah sastra dikenal adanya beberapa paham, antara lain fenomenologi dan hermeneutika.
Dalam fenomenologi, misalnya, dalam upaya
memahami makna suatu teks sastra dikenal adanya beberapa tahapan, yakni:
a. Pembaca berusaha memahami
realitas yang digambarkan pengarang secara tersurat,
b. mengidentifikasi satuan
realitas apa saja yang benar-benar bermakna atau mengafirmasi,
c. pembaca menahan atau mengurung realitas
bermakna dalam kesadarannya,
d. pembaca mengadakan
reduksi, yakni penyaringan realitas yang menjadi inti gagasan,
e. pembaca melaksanakan
abstraksi untuk menemukan berbagai kemungkinan makna realitas yang masih
tersirat,
f. pembaca mengadakan
ideasi, yakni menyimpulkan pemaknaan inti realitas sehingga menjadi satuan-satuan
yang bermakna,
g. pembaca menyusun pokok
pikiran yang terdapat dalam teks sastra yang dibaca.
Dalam hermeneutika, pemahaman teks itu disebut
memiliki lingkaran timbale balik yang bersifat dinamis.lingkaran itu adalah:
a. Teks sastra sebagai sesuatu
yang bermakna di bentuk oleh pengarangdengan berbagai latar histories dan
sosial-budaya,
b. Teks sebagai sesuatu yang
bermakna memberikan gambaran makna itu kepada pembaca dengan berbagai kemungkinannya,
c. Pengetahuan dan pengalaman
pembaca yang dibentuk oleh unsur kesejarahan dan sosial-budaya menentukan
kualitas pemakna,
d. Pembaca berusaha memberikan
makna sesuai dengan konteks sejarah dan sosial-budaya sekaligus juga pada
bentuk serta konteks yang terdapat di dalam teks, dan
e. Pembaca menyimpulkan makna
sesuai dengan gagasan yang ingin dipaparkan pengarang. Dari situasi tersebut
terjadilah lingkaran hermeneutika.
4. Tahap Penarikan
Kesimpulan
Tahap
penarikan kesimpulan dibedakan atas tahap penarikan kesimpulan yang terdapat di
dalam setiap bacaan serta tahap kesimpulan dari totalitas makna atau gagasan
yang terdapat di dalam bacaan. Dalam membaca sastra, bentuk penyimpulan
tersebut mutlak harus dilakukan, karena media pemaparnya dalam teks sastra
meliputi tiga aspek yaitu 1) tulisan, 2) bahasa, dan 3) struktur verbal yang
berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik yang pembangun karya sastra sebagai
suatu wacana. Dalam rangkan menyimpulkan makna teks sastra, tahap penyimpulan yang
harus dilalui adalah 1) penyimpulan nuansa makna dan suasana sehubungan dengan
pemilihan bunyi, 2) penyimpulan makna kata, terutama kata konotatif, 3)
penyimpulan hubungan makna kata baris atau kalimatnya, 4) penyimpulan
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam satuan kalimat, baik atau paragraf,
5) penyimpulan butir-butir makna yang terkandung dalam aspek struktur verbal
wacana sastra, baik setting, karakterisasi, dialog dan lainlainnya, 6) penyimpulan totalitas
makna, dan 7) penyimpulan tema.
B. PENILAIAN PEMBACAAN
TEKS SASTRA
Telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa membaca teknik dan membaca estetik sebagai bentuk
kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan menikmati sastra. Kegiatan demikian,
selain dapat dapat berlangsung secara informal, juga dapat berlangsung dalam
bentuk lomba sebagai bagian daari kegiatan perayaan tertentu. Untuk itu, tentunya
dibutuhkan semacam pedoman latihan bagi para calon apresiator. Umumnya, banyak
di antara mereka yang tidak menguasai atau memahahi kriteria penilaian yang
digunakan dalam pembacaan teks lisan. Ada tiga unsur utama yang harus
diperhatikan ketika melakukan kegiatan membaca teks sastra secara lisan, baik
itu berupa puisi maupun cerpen. Ketiga unsur tersebut saling mempengaruhi dan
berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yakni: 1) pemahaman,
2) penghayatan, dan 3) pemaparan. Pemahaman berkaitan dengan kemampuan memahami
makna dalam bacaan sastra, memahami suasana penuturan dalam teks sastra yang
dibaca, sikap pengarang, serta intensi yang mendasarinya. Agar seseorang dapat
memahami isi bacaan sastra yang akan dibacanya, pembaca terlebih dahulu harus
dapat memahami prisnip-prinsip dalam apresiasi sastra. Kemampuan seseorang
dalam memahami 1) makna, 2) suasana penuturan, 3) sikap pengarang, dan 4)
intensi pengarang, juga menentukan bentuk penghayatannya terhadap karya sastra
tersebut. sebagai contoh, pembacaan puisi di tiap perlombaan antar siswa dalam
suatu even/peristiwa, terkadang terlihat lucu ketika seseorang membacakan
puisinya dengan penghayatan yang tidak sesuai dengan isi puisinya, sehingga
bagi orang yang mamahami puisi dan cara menghayatinya akan terlihat kontras. Keempat
aspek dalam memahami puisi di atas juga terdapat dalam penghayatan puisi.
Selain itu, bentuk latihan yang dapat menunjang tumbuhnya kemampuan menghayati
keempat aspek tersebut, antara lain: 1) latihan berkonsentrasi untuk memasuki
dunia pengalaman batin yang dinuansakan pengarang dari teks sastra yang akan
dibacakan, 2) pelafalan untaian paparan bahan dalam objek bacaan secara
perlahan-lahan sesuai dengan suasana penuturan yang akan ditampilkannya, 3)
usaha mengidentikkan diri sebagai penutur pertama, dan bukan sekadar sebagai
pembaca yang mengemban tugas menyampaikan berita dari orang lain. Gejala
konkret dari kemampuan pembaca dalam memahami dan menghayati isi bacaan sastra
yang dibacakannya, tampak dalam pemaparan ataupun penampilannya. Disebut
demikian, karena kuat, lunak, tinggi, rendah, kecepatan maupun pelambatan bunyi
ujaran yang dimunculkan pembaca, semata-mata ditentukan oleh ciri makna,
suasana penuturan, serta penekanan intensi penuturnya. Selain gejala tersebut,
masalah lain yang perlu diperhatikan adalah 1) Pelafalan, 2) ekspresi, 3)
kelenturan, dan daya konversasi Kemampuan melafalkan bunyi ujaran secara tepat,
kuat dan jelas merupakan kunci keberhasilan dalam membacakan teks sastra secara
lisan. Bentuk latihan sederhana yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah: 1) melafalkan
bunyi-bunyi vokal secara tepat sesuai dengan ciri daerah artikulasinya, 2)
melafalkan kata-kata dalam puisi yang akan dibaca secara lepas-lepas dengan
memberikan penekanan silabik, pelafalan bunyi konsonan secara kuat, dan 3)
membaca keseluruhan bahan bacaan dengan bebas, suara keras-keras, tentunya
dengan memilih tempat yang pantas untuk melakukannya. Latihan ekspresi dapat
dilakukan dengan melakukan semacam senam wajah dan kelenturan tubuh. Latihan
tersebut bertujuan untuk menumbuhkan relaksasi sebagai unsur yang penting dalam
pembacaan teks sastra. Misalnya pembacaan puisi terkadang tampak suasana tegang
sewaktu membacakan teks tersebut sehingga penguasaan ekspresi sejalan dengan
ciri semantik teks sastra yang dibacakannya. Kegiatan membaca sastra secara
lisan yang brelangsung di depan khalayak pendengar, sebenarnya juga merupakan
salah satu bentuk komunikasi. Dengan demikian, pembaca perlu memperhitungkan
unsur-unsur yang dapat menumbuhkan keakraban suasana antara dirinya sebagai
penutur dengan khalayak sebagai pendengar. Unsur-unsur tersebut antara lain, penciptaan
kontak lewat pandangan mata, pengaturan posisi tubuh, maupun pengaturan
gerak-gerik bagian tubuh, unsur lain adalah keluwesan sikap dan kewajaran. Hal
ini perlu diperhatikan disebabkan banyaknya yang sering mengalami demam
panggung ke.tika berada di atas panggung atau depan khalayak. Berikut ini
disajikan format penilaian hasil pembacaan teks sastra secara lisan.
Nama peserta:
Nomor undian :
Puisi :
Karya :
Komponen yang dinilai Nilai
Catatan
A
1. PEMAHAMAN
1.1 Makna
1.2 Suasana
1.3 Sikap penutur
1.4 Intensi
B
II. PENGHAYATAN
2.1 Makna
2.2 Suasana
2.3 Sikap penutur
2.4 Intensi
C
III. PEMAPARAN
3.1 Kualitas ujaran
3.2 Tempo
3.3 Durasi
3.4 Pelafalan
3.5 Ekspresi
3.6 Kelenturan
3.7 Konversasi
BAB VI
PENDEKATAN DALAM
APRESIASI SASTRA
A. PENDEKATAN
PARAFRATIS
Pendekatan
parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra
dengan jalan mengungkapkaan kembali gagasan yang disampaikan pengarang
dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata
dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir pendekatan ini adalah
untuk menyederhanakan pemakaian kata dan kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang
terdapat dalam suatu cipta sastra. Prinsip dasar dari penerapan pendekatan parafratis adalah sebagai berikut:
- Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda;
- simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna;
- kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya;
- pengubahan suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolis dan elipsis menjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan;
- pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
B. PENDEKATAN EMOTIF
Pendekatan
emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi
itu dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi
yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Prinsip dasar
yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif adalah bahwa rutinitas
masyarakat yang padat mengakibatkan kejenuhan sehingga memerlukan media untuk
menghibur dirinya, di antaranya menikmati cipta sastra itu sendiri. Oleh karena
itu, diharapkan pembaca dapat menemukan unsur-unsur keindahan maaupun kelucuan
yang terdapat dalam suatu karya
sastra. Selain berhubungan
dengan masalah keindahan, juga unsur gaya bahasa dan pola persajakan juga
mempengaruhi suasana hati pembaca. Unsur gaya bahasa seperti metafora, simile maupun penataan setting mampu menghasilkan panorama
yang menarik. Masalah pola persajakan juga dapat menghasilkan penikmatan
keindahan terhadap karya sastra karena dapat menghadirkan unsure musikalitas
yang merdu dan menarik. Penyajian keindahan dalam puisi, selain lewat permainan
bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan secara
visual, misalnya dengan membuat panorama yang menarik dan indah sehingga juga
dikenal adanya penyair yang visual.
C. PENDEKATAN ANALITIS
Pendekatan
analitis merupakan suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara
pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang
dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan
dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan
dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi munculnya pendekatan analitis adalah 1)
Cipta sastra itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu, 2) setiap elemen dalam
cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya meskipun karakteristik berbeda, 3) dari adanya
karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemen yang satu dengan elemen
yang lain, pada awalnya dapat dibahasa secara terpisah meskipun pada akhirnya
setiap elemen itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan. Kegiatan mengapresiasi
sastra dengan menerapkan pendekatan analitis dianggap sebagai suatu kerja yang
bersifat saintifik karena dalam menerapkan pendekatan ini, pembaca harus
memahami terlebih dahulu landasan teori tertentu, bersikap objektif dan
menunjukkan hasil analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh
umum. Namun, kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang
terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini, pembaca dapat membatasi
diri pada analisis struktur, diksi atau gaya bahasa, atau mungkin analisis
kebahasaaan dalam linguistik.
D. PENDEKATAN HISTORIS
Pendekatan
historis merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang
biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi
masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana
perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada
umumnya dari zaman ke zaman. Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya
pendekatan adalah anggapan bahwa cipta sastra bagaimana pun juga merupakan
bagian dari zamannya. Selain itu, pemahaman terhadap biografi pengarang juga
sangat penting dalam upaya memahami kandungan makna dalam suatu cipta sastra. Sebab
itulah, telaah makna suatu teks dalam pendekatan sosio-semantik sangat mengutamakan
konteks, baik konteks sosio-budaya, situasi atau zaman maupun konteks kehidupan
pengarangnya sendiri.
E. PENDEKATAN SOSIO PSIKOLOGIS
Pendekatan
sosio-psikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha
latar belakang kehidupan
sosiobudaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap
pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta
sastra itu diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, pendekatan sosio-psikologis
berusaha memahami bagaimana kehidupan sosial masyarakat pada masa itu,
bagaimana sikap pengarang terhadap lingkungannya, serta bagaimana hubungan
antara cipta sastra itu dengan zamannya. Oleh karena itu, Sapardi Djokodamono mengungkapkan
bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkaplengkapnya apabila dipisahkan
dari lingkungan atau kebudayaan.
F. PENDEKATAN DIDAKTIS
Pendekatan
didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan,
tanggapan maupun sikap pengarang terhadap kehidupan,. Gagasan, tanggapan maupun
sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis,
filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu
memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Dalam pelaksanaannya,
pendekatan didaktis menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun
sikap yang mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan
didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun
tingkat kematangannya akan terasa lebih mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca
umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca.
Penggunaan pendekatan ini diawali dengaan upaya pemahaman satuan-satuan pokok
pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada
dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan
ekspresif, komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang
atau penyairnya.
BAB VII
KONSEP APRESIASI PROSA
FIKSI
A.
UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM PROSA FIKSI
Istilah
prosa fiksi seringkali disebut dengan karya fiksi. Yang dimaksud dengan prosa
fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu
dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang
bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi
mengandung unsur-unsur meliputi, 1) pengarang atau narator, 2) isi penciptaan,
3) media penyampai isi berupa bahasa, dan 4) elemen-elemen fiksional atau
unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi
menjadi suatu wacana. Pada sisi lain, dalam memaparkan isi tersebut, pengarang
akan memaparkannya lewat 1) penjelasan atau komentar, 2) dialog maupun monolog,
dan 3) lewat lakuan atau action.
1. Setting
Setting merupakan peristiwa-peristiwa dalam cerita fiksi yang dilatarbelakangi
oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Namun, setting bukan hanya bersifat
fisikal dalam suatu cerita fiksi. Ia juga bersifat psikologis yang mampu
menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasanasuasana tertentu yang
menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Untuk memahami setting yang bersifat fisikal,
pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan
adanya penghayatan dan penafsiran. Setting yang mampu menuansakan suasana-suasana
tertentu terjadi akibat penataan setting yang berhubungan dengan
dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita. Suasana penuturan
itu sendiri dibedakan antara tone sebagai suasana penuturan yang berhubungan
dengan sikap pengarang dalam menampilkan gagasan atau ceritanya, dengan mood yang berhubungan dengan
suasana batin individual pengarang dalam mewujudkan suasana cerita. Sementara
suasana cerita yang ditimbulkan oleh setting maupun implikasi maknanya
dalam membangun suasana cerita disebut dengan atmosfer. Sewaktu menelaah unsur setting dalaam suatu karya fiksi,
terkadang kita menemui kendala dalam hal pengidentifikasiannya. Hal ini tentu
saja menyulitkan beberapa penelaah, terutama bagi pemula. Oleh karena itu, berikut
ini beberapa hal pertanyaan yang dapat membantu seseorang untuk memudahkan
dalam mengidentifikasi setting dalam suatu karya fiksi.
a. Adakah
unsur setting dalam karya fiksi yang saya baca?
b. Apabila ada, setting itu meliputi setting apa saja; tempat, waktu, peristiwa,,
suasana kehidupan ataukan benda-benda dalam lingkungan tertentu, dan
c. Apakah setting itu semata-mata bersifat
fisikal atau berfungsi sebagai dekor saja, ataukah bersifat psikologis, dan
d. Bila bersifat
psikologis, kandungan makna apa dan suasana bagaimana yang dinuansakannya.
e. Bagaimanakah hubungan setting dalam karya fiksi yang say
abaca dengan tema yang mendasarinya.
Keseluruhan
pertanyaan di atas hanya merupakan gambaran umum, karena pada dasarnya tidak
semua karya fiksi mampu menampung dan memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan demikian, sifatnya luwes dan harus
disesuaikan dengan karakteristik karya fiksi yang dibaca. Tang (2007)
mengemukakan bahwa berbagai peristiwa dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam
suatu rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan mutlak antara
sebuah peristiwa dengan waktu dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala
alamiah. Tak satupun makhluk atau apa pun juga namanya, bergerak dalam
kehampaan. Secara sederhana, Sudjiman (1992) mengatakan bahwa segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya
peristiwa dalam suatu karya sastra; semua turut membangun latar cerita.
2. Unsur Gaya dalam
Karya Fiksi
Istilah
gaya mengandung definisi cara seseorang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara
seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dapat dilihat pada penggunaan wacana
ilmiah dan wacana sastra. Dalam wacana ilmiah, seorang pengarang akan
menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya
bahasa yang mengandung makna konotatif. Sedangkan dalam wacana sastra,
pengarang akan menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif,
asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan kalimatnya juga
mengandung adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan
bukan hanya nuansa makna tertentu saja.
3. Penokohan dan
Perwatakan
Boulton
mengungkapkan bahwa seorang pengarang dapat menggambarkan dan memunculkan
tokohnya melalui cara yang beragam. Pengarang dapat menampilkan tokoh sebagai
pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan
dalam hidupnya,, pelaku yang memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia
yang sebenarnya maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Boulton
membedakan beberapa peran yang berbeda dalam sebuah cerita fiksi, yakni:
a. Tokoh inti atau tokoh
utama adalah seorang tokoh yang memiliki peranan yang penting dalam sebuah
cerita;
b. tokoh tambahan atau
tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama. Dalam menentukan
peran tokoh utama dan tokoh pembantu dapat diketahui melalui beberapa cara
yakni,
a. Seorang pembaca dapat
menentukannya dengan cara melihat keseringan pemunculannya dalam suatu cerita;
b. juga dapat ditentukan
melalui petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya
merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya,
sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya;
c. dapat ditentukan dengan
cara melihat judul cerita, misalnya judul Siti Nurbaya.
Sewaktu
pengarang menentukan tokoh dalam ceritanya, maka dia juga akan menentukan watak
atau karakter tokoh tersebut. Istilah protagonis, biasanya diberikan kepada
pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. Istilah antagonis, yaitu pelaku yang
memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pembaca. Dalam
upaya memahami watak pelaku, seorang pembaca dapat menelusurinya dengan cara:
a.Tuturan pengarang
terhadap karakteristik pelakunya;
b.gambaran yang diberikan
pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian;
c. menunjukkan bagaimana
perilaku;
d. melihat bagaimana tokoh
itu berbicara tentang dirinya sendiri;
e. memahami bagaimana jalan
pikirannya;
f. melihat bagaimana tokoh lain berbicara
tentangnya;
g. melihat bagaimana tokoh
lain berbincang dengannya;
h. bagaimana tokoh-tokoh
yang lain tidak memberikan reaksi terhadapnya;
i. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi
tokoh yang lainnya.
Selain
beberapa ragam pelaku yang disebutkan di atas, juga masih ada beberapa ragam
pelaku lainnya, di antaranya sebagai berikut:
a. simple character, ialah bila pelaku itu
tidak banyak menunjukkan adanya kompleksitas masalah. Pemunculannya hanya
dihadapkan pada satu permasalahan tertentu yang tidak banyak menimbulkan adanya
obsesi-obsesi lain yang kompleks;
b. complex character, ialah pelaku yang
pemunculannya banyak dibebani permasalahan. Selain itu, pelaku juga banyak
ditandai oleh munculnya obsesi batin yang cukup kompleks sehingga kehadirannya
banyak memberikan gambaran perwatakan yang kompleks. Biasanya sering dialami
oleh pelaku utama.
c.Pelaku dinamis, ialah
pelaku yang memiliki perubahan atau perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya.
d.Pelaku statis, ialah
pelaku yang tidak menunjukkan perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu
muncul sampai akhir cerita.
4. Alur
Alur
dalam karya fiksi merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Istilah alur sering disebut plot. Lebih lanjut, dengan mengutip
pendapat Forster dalam (Tang. 2007) bahwa untuk memahami alur dengan baik,
dibutuhkan intelegensi dan daya ingat/memori (intelligency and memory) yang
kuat. Hal ini berdasarkan pada konsep, bahwa dalam sebuah cerita yang bersifat
narasi, terdapat kejadian atau fakta yang terorganisir dan bersiifat
korespondensi, tetapi ada juga unsur yang bersifat surprise atau bersifat misteri
dalam sebuah alur dan hal ini tetntunya menginginkan sebuah intelegensi yang
tinggi. Secara khusus, dengan mengutip pendapat Scholes dalam (Tang : 2007) menjelaskan
bahwa terdapat tiga elemen penting dalam sebuah alur, yakni : alur
aksi/tindakan, alur karakter, dan alur pikiran. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Alur aksi/tindakan,
merupakan prinsip perpaduan (sintesis) yakni perubahan sempurna,
berangsur-angsur atau mendadak dalam suatu situasi oleh pelaku utama
(protagonist), yang ditentukan atau dipengaruhi oleh karakter dan pikiran;
b. Alur karakter, pada dasarnya
ini sebuah proses sempurna dari perubahan dalam karakter moral protagonist,
dengan cepat atau lambat dalam tindakan dan ia menunjukkannya dalam dua sisi
yaitu dalam pikiran serta perasaan;
c. Alur pikiran merupakan
sebuah proses sempurna dari perubahan dalam pikiran protagonist sebagai akibat
dari perasaannya, yang secara langsung dijelmakan ke dalam tindakan atau
karakternya sebagai suatu kebiasaan.
Lebih
lanjut, Tang (2007) mengemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam suatu aluir
adalah munculnya konflik dan klimaks dalam cerita narasi tersebut. konflik
dalam karya fiksi terdiri atas: 1) konflik internal, pertentangan dua keinginan
dalam diri seorang tokoh; 2) konflik sentral, yaitu konflik antara satu tokoh
dengan tokoh lain, ataukah konflik antara tokoh dengan lingkungannya; dan 3)
konflik sentral, merupakan jenis konflik kecil. Artinya, bahwa mungkin saja
konflik yang terjadi dapat berupa konflik internal ataukah konflik eksternal
yang kuat, mungkin pula gabungan dari keduanya. Konflik sentral inilah yang
merupakan inti dari struktur cerita, dan secara umum merupakan pusat
pertumbuhan alur.
5. Titik Pandang atau point of view
Titik
pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya. Ada empat titik pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya,
yakni sebagai berikut:
a. Narrator omniscient, adalah narator atau
pelaku kisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini dia mampu
memaparkan sejumlah peran pelaku tentang apa yang ada dalam benak pelaku uatama
maupun pelaku lainnya, baik secara fisik maupun psikologis; pengarang sering
menyebut dirinya dengan aku, saya, nama pengarang sendiri;
b. Narrator observer, adalah bila pengisah
hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya
tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku; pengarang menyebutkan
nama pelakunya dengan ia, dia, nama-nama lain, dan mereka.
c. Narrator observer
omniscient, ialah
meskipun pengarang hanya menjadi pengamat dari pelaku, juga merupakan pengisah
atau penutur yang serba tahu, meskipun menyebut nama pelaku dengan is, mereka, dan
dia. Hal ini mungkin saja terjadi karena pengarang prosa fiksi adalah juga
merupakan pencipta dari para pelakunya.
d. Narrator the third
person omniscient, ialah pengarang mungkin saja hadir di dalam cerita yang
diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu.
Dalam hal
ini, sebagai pelaku ketiga pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri,
saya, atau aku. Luxemberg, et al (1987) menjelaskan bahwa adakalanya suatu
cerita secara berturut-turut menampilkan berbagai pencerita atau pengisah.
Perkataan seorang dengan yang lain saling bergantian sehingga keseluruhan
penuturan mereka membentuk cerita besarnya. Dalam hal ini kedudukan semua
pencerita sederajat. Sehingga tepatlah kalau Luxemburg, et al mengatakan bahwa
setiap cerita mana pun, pastilah ada penceritanya. Kadang-kadang ia memperkenalkan
diri, kadang-kadang kehadirannya harus kita simpulkan saja dari kenyataan bahwa
cerita iru diceritakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa titik pandang
oleh seorang pengarang dapat berganti sesuai dengan penceritaan yang dikisahkan
oleh pengarang itu sendiri.
6. Tema
Scharbach
dalam (Aminuddin, 2002) menjelaskan tema sebagai sebuah ide yang mendasari
suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebelum melaksanakan proses kreatif
penciptaan, seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan
dipaparkannya sehingga pembaca mudah memahami tema pada saat membaca atau
selesai membacanya. Pradotokusumo (1992) mengemukakan pengertian tema dipandang
dari sudut cerita narasi (Novel/cerpen) dalam dua makna, yakni: 1) tema adalah gagasan
sentral atau gagasan yang dominant di dalam suatu karya sastra; 2) pesan atau
nilai moral yang terdapat secara implicit di dalam karya seni. Batasan yang
kedua ini lebih mengacu pada batasan amanat. Untuk dapat memahami tema dalam
suatu cerita secara mudah, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut
ini.
a.Memahami setting dalam cerita fiksi yang
dibacanya;
b.memahami penokohan dan
perwatakan para pelaku;
c.memahami satuan
peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam karya fiksi yang
dibacanya;
d.memahami plot atau alur
cerita yang dibacanya;
e.menghubungkan pokok-pokok
pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa
yang terpapar dalam suatu cerita;
f.menentukan sikap penyair
terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya;
g.mengidentifikasi tujuan
pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta
sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya;
h.menafsirkan tema dalam
cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan
merupakan ide dasar yang dipaparkan pengarangnya.
BAB VIII
KONSEP APRESIASI PUISI
A.
DEFENISI PUISI
Di banyak
kalangan, mendefinisikan puisi secara terbuka merupakan hal yang masih sulit
dilakukan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pendapat tentang puisi. Akan
tetapi, perumusan tentang puisi tidak begitu penting, karena yang paling
penting adalah pembaca dapat memahami dan menikmati puisi yang ada.
Secara etimologi, istilah
puisi berasal dari bahasa Yunani pocima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam
bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’, karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah
menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan, atau gambaran
suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. Dalam Aminuddin (2002), Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra
yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Penggunaan
kata-kata dalam puisi, tentu saja bersifat kiasan. Anggapan lain mengenai
puisi adalah bahwa puisi merupakan pengungkapan perasaan (Luxemburg, et al :
1987). Jadi, menurutnya bahwa bahasa puisi itu merupakan bahasa yang
berperasaan dan subjektif. Anggapan ini muncul pada zaman Romawi yang
menganggap bahasa puisi lahir dari perasaan yang ada dalam penyairnya.
Sehingga perasaan pada zaman tersebut menjadi pusat perhatian. Puisi mengungkapkan
keadaan hati. Akan tetapi, di sisi lain, terutama dalam perkembangan puisi
saat ini, terdapat jenis puisi yang tidak memperhitungkan perasaan, dalam
hal ini bahasa yang digunakan sangat lugas dan mudah dipahami oleh
pembacanya. Biasanya disebut puisi prosa. Wordsworth (dalam Pradopo, 1995:6) mengemukakan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan
yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Selain pandangan tersebut, pandangan lain
menjelaskan bahwa puisi adalah seni peniruan atau simbol bicara yang bertujuan
untuk mengajar atau kesenangan.
Puisi berupa luapan perasaan secara spontan yang bersumber dari perasaan
yang berkumpul dalam ketenangan. Puisi dianggap sebagai lahar dingin yang
menahan terjadinya gempa. Puisi adalah ekspresi konkret dan artistik
pemikiran manusia dalam bahasa yang emosional yang berirama. Puisi adalah
ekspresi pengalaman yang bernilai dan berarti sederhana dan disampaikan dengan bahasa yang tepat. Puisi adalah pendramaan pengalaman yang
bersifat menafsirkan dalam bahasa yang berirama (Tang, 2007). Adapun batasan puisi menurut Waluyo (1987:25) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya
sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan
semua kekuatan bahasa dengan
pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batin.
B.
MACAM-MACAM PUISI
Melengkapi
pengertian puisi di atas, pada bagian ini akan diuraikan tentang macam-macam
puisi. Waluyo (1987) membagi puisi menjadi sepuluh macam, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada uraian berikut.
1. Puisi naratif,
lirik, dan deskriptif
Pembagian
puisi ini didasarkan atas cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak
disampaikan. a. Puisi naratif , yaitu puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair.
Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Balada adalah puisi yang berisi
cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi
pusat perhatian. Romansa adalah jenis puisi cerita yang mengungkapkan bahasa romantik yang
berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi
perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih mempesonakan.
b. Puisi lirik , yaitu penyair mengungkapkan gagasan pribadinya. Jenis puisi lirik
misalnya, elegi, ode, dan serenada. Serenada ialah sajak yang dapat dinyanyikan. Kata ”serenada” berarti
nyanyian yang tepat dinyanyikan pada waktu senja. Ode adalah puisi yang berisi
pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau keadaan. c. Puisi deskriptif,
yaitu jenis puisi yang mengungkapkan tindakan penyair sebagai pemberi kesan
terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik
perhatian penyair. Jenis puisi ini misalnya, puisipuisi impresionostik,
satire, dan kritik sosial.
Satire adalah puisi
yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara
menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Kritik sosial adalah puisi yang juga
menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap suatu keadaan atau seseorang, namun
dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan keadaan/orang tersebut.
2. Puisi kamar dan
puisi auditorium
Puisi-puisi
auditorium disebut juga puisi Hukla (puisi yang mementingkan suatu atau serangkaian suatu). Puisi kamar ialah puisi yang cocok
dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja dalam kamar. Sedangkan
puisi auditorium adalah puisi yang cocok
untuk pembaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan
orang. Puisi auditorium disebut juga puisi oral karena cocok untuk
dioralkan.
3. Puisi fisikal,
platonik, dan metafisika
Pembagian
puisi ini berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam suatu puisi. Puisi fisikal bersifat realistis artinya
menggambarkan kenyataan apa adanya. Puisi platonik adalah puisi yang
sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual dan kejiwaan. Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis
dan mengajak pembaca merenungkan Tuhan. Puisi relegius di satu pihak dapat dinyatakan
sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan penyair) di lain pihak
dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup,
kehidupan, dan Tuhan).
4. Puisi subyektif dan
puisi obyektif
Puisi subyektif (puisi personal) adalah
puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri
penyair sendiri. Adapun puisi obyektif adalah puisi yang
mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri.
5. Puisi konkret
Puisi konkret adalah puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan
bentuk dari sudut penglihatan. Bentuk konkret tersebut dapat berupa bentuk
grafis, kaligrafi, ideogramatik, atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang
menunjukkan pengimajian kata lewat bentuk grafis. Puisi konkret ada yang berbentuk
segitiga, kerucut, belah ketupat, piala, tiang lingga, bulat telur, spidle, ideografik,
dan ada juga yang menunjukkan lambang tertentu.
7. Puisi Diafan,
Gelap, dan Prismatis
Puisi diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga puis ini mirip dengan
bahasa sehari-hari. Adapun puisi prismatis justru sebaliknya. Dalam
puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, verifikasi,
diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu gelap.
Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun, makna itu bagaikan sinar
yang keluar dari prisma.
8. Puisi parnasian dan
puisi inspiratif
Puisi
parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan
didasarkan oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Adapun puisi
inspiratif diciptakan berdasarkan mood. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang
hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benarbenar terlibat ke dalam puisi.
9. Stansa
Stansa
berarti puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf karena
oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah
8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam stansa seluruh puisi terdiri atas 8
baris.
10. Puisi demonstrasi
dan pamflet
Puisi
demonstrasi menyaran pada puisi-puisi Taufik Ismail dan mereka yang Jassin
disebut Angkatan 66. Puisi ini melukiskan dan merupakan hasil refleksi
demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMMI-KAPPI – sekitar tahun 1966.
Menurut Subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat kekitaan,
artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu. Puisi pamflet adalah
puisi yang bahasanya menggunakan bahasa pamflet. Puisi ini juga mengungkapkan
protes sosial. Kata-kata dalam puisi ini mengungkapkan rasa tidak puas pada
keadaan. Kata-kata tersebut muncul tanpa melalui proses pemikiran atau
perenungan yang mendalam.
11. Alegori
Puisi
yang mengungkapkan cerita dengan maksud untuk memberikan nasihat tentang budi
pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal adalah parabel yang juga disebut
dengan dongeng perumpamaan.
C. APRESIASI PUISI
Puisi
selalu terkait dengan emosi, pengalaman, sikap, dan pendapatpendapat tentang
situasi atau kejadian yang ditampilkan secara abstrak atau implisit. Oleh
karena itu, pemahaman sebuah puisi juga diperlukan keterlibatan emosi,
pengalaman estetis, dan intuisi-intuisi. Bekal semacam itu akan menolong siswa
untuk menikmati puisi. Di sinilah letak strategi puisi yang ibarat sebuah
tanaman mempesona, penuh arena bermain, penuh hiburan, dan penuh keindahan alamiah
yang anggun. Dampaknya, tentu pembelajaran tetap akan berjalan dengan baik tanpa
membuat siswa mengawang dalam belajar, melainkan menikmati. Terkait dengan hal
tersebut, Aftaruddin (dalam Endaswara, 2005) menyatakan bahwa ’peristiwa besar’
menikmati puisi pada hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara intens, secara mendalam. Pembelajaran
tidak sekadar membaca huruf-huruf, tapi menempatkan diri sebagai pencipta sehingga
antara penikmat dengan penyair seakan-akan tidak ada jarak. Konteks itu
menghendaki pembelajaran yang sungguh-sungguh ada keterlibatan jiwa, tetapi
tetap tidak membuat jiwa tegang. Bahkan, diharapkan pembelajaran tersebut
menjadi sebuah momen refreshing. Suatu istilah yang sering rancu dalam pembelajaran puisi adalah
ihwal pengkajian. Pembelajaran puisi tidak menolak pengkajian, namun, ada beberapa
perbedaan, dalam pengkajian puisi lebih diarahkan pada penyelidikan, apresiasi
lebih menuju ke arah pemahaman. Pemahaman lebih banyak terkait dengan aspek
pragmatik penikmatan dan bukan sekadar membedah isi puisi secara mekanik
seperti lazimnya seorang peneliti puisi. Dengan modal nikmat, siswa akan paham,
karena dalam kejiwaan mereka timbul penghayatan dan pengenalan terhadap puisi.
Satu hal yang penting dalam apresiasi puisi adalah bukan hasil (nilai), bukan
pula yang telah hafal judul-judul dan pencipta puisi. Namun, apresiasi puisi
adalah proses pemahaman dan pengenalan yang tepat; pertimbangan dan penilaian
serta pernyataan yang memberikan penilaian terhadap puisi. Oleh sebab itu, Atmazaki
(1993) memberikan penegasan bahwa apresiasi adalah kegiatan: (1) untuk merespon
suatu (puisi), melakukan kontak sehingga ada efek, resepsi, dan persepsi, dan (2) memberikan pertimbangan
terhadap sesuatu untuk memberikan penilaian.
D. PEMAKNAAN BENTUK
LEWAT SEMIOTIKA
Dalam
teks, semiotika dipandang sebagai sebuah realitas yang dihadirkan di hadapan
pembaca yang mengandung potensi komunikatif. Pemilikan potensi komunikatif
ditandai dengan digunakannya lambang-lambang kebahasaan di dalamnya, berupa
lambang artistic yang berbeda dengan lambang kebahasaan lainnya. Upaya
pemahaman terhadap lambang teks sastra tersebut sangat beragam. Akan tetapi,
sesuai dengan terdapatnya empat dimensi dalam teks sastra, yakni 1) sastra
sebagai kreasi ekspresi, 2) sastra sebagai pemapar realitas, 3) sastra sebagai
kreasi penciptaan yang menggunakan media berupa bahasa, dan sastra sebagi teks
yang memiliki potensi komunikasi dengan pembaca. Pierce seorang pelopor
semiotika membedakan lambang atas tiga bentuk yakni, 1) ikon, yakni bilaman
lambang tersebut sedikit banyaknya menyerupai apa yang dilambangkan, seperti
foto dari seseorang atau ilustrasi, 2) indeks, yakni bila lambang itu masih
mengasosiasikan adanya hubungan dengan lambang yang lain, misalnya rokok dengan
api, 3) simbol, yakni bila secara arbitrer maupun konvensional, lambang itu
masih menunjuk pada referen tertentu dengan acuan makna yang berlainan.
E. PEMAHAMAN LAPIS MAKNA
PUISI
Aminuddin
mengungkapkan bahwa lapis makna adalah unsur yang tersembunyi di balik struktur
bangun. Unsur lapis makna sulit dipahami sebelum seorang pembaca bisa memahami
bangun struktur puisi tersebut. Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk
puisi yang dapat diamati secara visual.
Berikut ini diuraikan
struktur yang membangun fisik yang terdiri atas dua jenis yakni sebagai
berikut:
1. Struktur batin
puisi (Hakikat puisi)
Struktur
fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan
puisi. I. A. Richards (dalam Waluyo, 1987) menyebut
makna atau struktur batin
dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsure hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair
terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention).
a. Tema
Tema
adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok
tersebut menguasai jiwa
penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Tema harus dihubungkan
dengan penyairnya, dengan konsepkonsepnya yang terimajinasikan. Oleh karena
itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan
lugas (tidak dibuat-buat). Ada beberapa macam tema sesuai dengan Pancasila,
yaitu: tema ketuhanan, tema kemanusiaan, tema patriotisme/kebangsaan, dan tema
keadilan sosial.
b. Perasaan penyair (feeling)
Perasaan
penyair (feeling) merupakan faktor yang mempengaruhi dalam penciptaan puisi.
Suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh
pembaca. Dalam mengungkapkan tema yang sama, antara penyair yang satu akan
berbeda dengan penyair yang lain, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda.
c. Nada dan suasana
Dalam
apresiasi puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia
ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas
hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca inilah
yang disebut nada puisi. Adapun yang dimaksud dengan suasana dalam puisi adalah
keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau akibat psikologis yang
ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling
berhubungan karena nada menimbulkan puisi menimbulkan suasana terhadap
pembacanya.
d. Amanat (pesan)
Amanat
merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat
di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang
diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar
berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan
amanat yang diberikan penyair.
2. Struktur fisik
puisi (Metode puisi)
Adapun
unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi diuraikan dalam metode puisi,
yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Berikut akan diuraikan
lebih lanjut.
a. Diksi (pilihan
kata)
Seorang
penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis
harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
puisi itu.
b. Pengimajian
Ada
hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih
harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret
seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.
c. Kata konkret
Untuk
membangkikan imaji (daya bayang), maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya
ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran pada arti yang menyeluruh.
d. Bahasa figuratif
(majas)
Penyair
menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura sehingga disebut bahasa
figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya
memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
e. Verifikasi (rima,
ritma, dan metrum)
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas
atau orkestra. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Ritma sangat berhubungan dengan
bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
Ritme berbeda dengan metrum. Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap.
Metrum sifatnya statis (Waluyo, 1987).
F. DEKLAMASI PUISI
SEBAGAI SALAH SATU BENTUK APRESIASI PUISI
Sebuah
puisi barulah terasa keindahannya jika dibaca dengan irama yang baik. Irama ini
akan jelas menonjol pada saat puisi tersebut dideklamasikan. Deklamasi berasal
dari bahasa Latin yaitu declamare atau declaim yang memiliki arti membaca suatu hasil sastra yang berbentuk puisi
dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu (Situmorang, 1974). Gerak yang
dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama dengan isi bacaan.
Tentang pengertian deklamasi, Syahril Adlar dalam bukunya Deklamasi mengemukakan beberapa
rumusan (1) Ajip Rosidi menyatakan ”Seni deklamasi ialah suatu seni sastra lisan
yang disertai dengan gaya, mimik, intonasi, tempo, dan interpresi yang baik.
(2) M. Hussyn Umar menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni menafsirkan kembali
ciptakan seseorang yang disertai ekspresi, mimik, dan irama yang baik.” (3)
Abdul Muthalib menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni menyatakan kembali ciptaan
seseorang dengan keselurhan jiwa disertai irama tanpa nada dan berusaha lebih mendekatkan
isi/maksudnya kepada pendengarnya” (Situmorang, 1974). Dari uraian-uraian
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa deklamasi itu pasti maksudnya adalah
mengucapkkan sebuah prosa atau puisi (bentuk yang paling umum di Indonesia
ialah puisi) dengan cara sebaik-baiknya dengan memperhatikan syarat-syarat
seperti diuraikan di bawah ini.
a.Pemahaman. Seorang
pendeklamasi yang belum paham isi/maksud sebuah puisi tidak akan mungkin dapat
mendeklamasikan puisi tersebut dengan baik.
b.Peresapan. Sebuah puisi
yang akan dideklamasikan haruslah diresapkan benar-benar dalam hati hingga
seakan-akan menjadi milik si pendeklamasi sendiri. Pendeklamasi bertugas sebagai
juru bicara yang harus dapat meyakinkan dan menikmatkan hati si pendengar. Oleh
karena itu, tanpa peresapan yang baik dan meyakinkan tidak mungkin akan dapat
menikmatkan hati pendengar
c.Ekspresi. Pendeklamasi
harus memantulkan puisi itu pada pendengarnya. Berhasil tidaknya usaha yang
dilakukan pendeklamasi untuk menikmatkan hati orang lain, tergantung sampai mana
kemampuannya mengekspresikan puisi itu.
Terkait
dengan ekspresi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu
daya hafal, pengucapan, irama, batas sintaksis, mimik, dan gerak gerik. Daya hafal. Sebuah deklamasi
sebenarnya dapat dilakukan dengan mempergunakan catatan. Akan tetapi
mempergunakan catatan akan sangat sering mengganggu sebab dengan jalan berulang-ulang
pendeklamasi melihat ke arah catatannya, akan berakibat yang luas, yakni maksud
puisi tersebut dan juga berakibat pendengar akan terganggu. Oleh karena itu,
sebaiknya pendeklamasi puisi harus mempunyai daya hafal yang sebaik-baiknya. Pengucapan. Salah satu hal yang sangat
penting mendapatkan perhatian pada setiap kesempatan berdeklamasi adalah
ucapan. Pengucapan dalam berdeklamasi haruslah dijaga semurni dan sebaik
mungkin, jangan terlampau dipengaruhi oleh ucapan bahasa daerah atau
sekali-kali jangan pula mengarah pada ucapan bahasa asing. Dalam hubungan
inilah pengucapan tidak dapat dipisahkan dari intonasi. Dari ucapan dan
intonasi seseorang akan dengan cepat memberi petunjuk, apakah seseorang cocok
untuk berdeklamasi atau tidak Irama. Irama merupakan faktor yang utama untuk
menghidupkan puisi sebab irama merupakan jiwa pendeklamasian puisi. Tanpa irama
yang baik, pastilah seorang pendeklamasi tidak akan mungkin berhasil dalam deklamasi.
Dalam hal ini, seorang pendeklamasi harus tahu pada bagian mana suara perlu
dikeraskan, ditinggikan, atau dilambatkan. Batas sintaksis. Batas perhentian suara
(sintaksis) ini sangat penting agar jelas pada bagian-bagian mana seseorang
berhenti untuk menarik nafas, hingga pokok-pokok pikiran dalam puisi itu jelas
dikemukakan. Jadi, sebelum mendeklamasikan puisi harus ditandai lebih dahulu
dimaksud penciptanya tidak menjadi kacau-balau. Mimik. Setelah puisi itu
benar-benar meresap ke dalam jiwa seseorang pendeklamasi akan dengan mudah
terlihat dari mimiknya. Jadi, mimikmerupakan petunjuk apakah seseorang sudah
benar-benar dapat menjiwai atau meresapkan puisi itu dengan sebaik-baiknya.
Harmonisasi antara mimic dengan isi (maksud) puisi merupakan puncak
keberhasilan sebuah deklamasi. Gerak-gerik dalam deklamasi walaupun bukan
keharusan tapi sangat sering menolong untuk menjiwai dan menghidupkan sebuah
puisi (Situmorang, 1974).
Pada saat
mendeklamasikan puisi akan muncul rasa emosionil – artistik. Hampir semua siswa
akan tergugah rasa emosionil – artistiknya bila mendengar sebuah deklamasi yang
berhasil dibawakan di depan kelas. Hal itu terlihat dari tepuk tangan yang riuh
dan wajah mereka yang merasa puas bila seorang temannya dengan indah
mendeklamasikan sebuah puisi. Memang tidak semua siswa dapat mendeklamasikan
puisi dengan baik tapi pastilah jika guru membimbing mereka, paling tidak
siswa-siswa dapat menghargai dan menikmati sebuah puisi yang berhasil
dideklamasikan (Situmorang, 1974).
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra..Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan
Penerbit Universitas Negeri
Makassar.
Khalik, Suhartini. 2008. “Penerapan Metode Kooperatif Tipe STAD
untuk Meningkatkan Pembelajaran Apresiasi Puisi pada Siswa Kelas XI
Bahasa SMA Negeri 1 Pancarijang Kabupaten Sidrap.” Tesis. Tidak diterbitkan.
Makassar: PPs UNM
Luxemburg, Jan Van,et.al. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
-------------------------------. 1987. Tentang Sastra. Diterjemahkan oleh Akhdiati Ikram. Jakarta:
Intermasa.
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah. Online
(http://johnherf.wordpress.com). Diakses 23 Februari 2008.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat. 1995. Pengkajian Puisi. Jakarta: Rineka Cipta. Sakdiyah, Mislinatul. Menggauli Puisi Lewat Lagu. Online
(http://cybersastra.net). Diakses 19 Januari 2007.
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dan Empat ORBA. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.
Tang, Muhammad Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan. Makassar: PPs UNM
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende: Nusa Indah
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman. 1987. Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra. Diakses dari
Http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar